Anda di halaman 1dari 8

SILVOFISHERY (WANAMINA)

Menurut pakar lingkungan, ekosistem mangrove harus dikelola berdasarkan pada


paradigma ekologi yang meliputi prinsip-prinsip interdependensi antar unsur
ekosistem, sifat siklus dari proses ekologis, fleksibilitas, diversitas dan koevolusi dari
organisme beserta lingkungannya dalam suatu unit fisik DAS dan merupakan bagian
integral dari program PWPLT (Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Terpadu).
Alternatif pemanfaatan daerah pesisir yang bersifat multiple-use dimana mangrove
sebagai salah satu unsur ekosistemnya. Pakar lain menyatakan bahwa budidaya sistem
silvofishery di dalam area hutan mangrove memungkinkan adanya budidaya perikanan
tanpa perlu mengkonversi area mangrove. Dengan alternatif pengelolaan seperti ini
diharapkan dapat meningkatkan nilai ekonomi hutan mangrove, tanpa mengancam
fungsi ekologisnya.

Gb. Pengembangan Silvofishery (wanamina)


Komoditas perikanan yang sesuai untuk budidaya di air payau kawasan mangrove
adalah kepiting bakau (Scylla serrata), ikan bandeng (Chanos chanos), udang windu
(Penaeus monodon), udang vanamei (Penaeus vannamei), ikan patin (Pangasius pangasius),
ikan kakap (Lates calcarifer), kerang hijau atau rumput laut. Kepiting bakau mempunyai
karakteristik yang sedikit berbeda dengan komoditas lainnya karena kemampuannya
untuk bertahan hidup dalam kondisi kurang air. Oleh karena itu membudidayakan
kepiting tidak memerlukan tambak yang luas.

Penanaman bibit mangrove dalam sistem wanamina yaitu dengan membuat tambak atau
kolam dan saluran air untuk budidaya ikan seperti ikan bandeng, udang, dan lain-lain.
Dengan demikian terdapat perpaduan antara tanaman mangrove (wana) dan budidaya
sumberdaya ikan (mina). Ada banyak cara dalam memanfaatkan mangrove secara
lestari, di antaranya ada lima bentuk utama, yaitu:
(a) tambak tumpang sari, dengan mengkombinasikan tambak dengan penanaman
mangrove;
(b) hutan rakyat, dengan pengelolaan yang berkelanjutan dengan siklus tebang 15-30 tahun
atau tergantung dari tujuan penanaman;
(c) budaya memanfaatkan mangrove untuk mendapatkan hasil hutan selain kayu berhasil
memanfaatkan buah dan daun mangrove sebagai bahan baku beragam makanan kecil
dan minuman sirup karena berdasarkan penelitian laboratorium, buah mangrove
mengandung gizi seperti karbohidrat, energi, lemak, protein dan air;
(d) silvofishery (wanamina); dan
(e) bentuk kombinasi pemanfaatan mangrove yang simultan.

Pengelolaan budidaya ikan/udang di tambak melalui konsep silvofishery, disamping


sangat efisien juga mampu menghasilkan produktivitas yang cukup baik dengan hasil
produk yang terjamin keamanannya karena merupakan produk organik (non-cemical).
Bukan hanya itu konsep ini juga mampu mengintegrasikan potensi yang ada sehingga
menghasilkan multiple cash flow atau bisnis turunan antara lain adalah bisnis wisata alam
(eco-taurism business) yang sangat prospektif, pengembangan UMKM pengolahan produk
makanan dari buah mangrove, disamping bisnis turunan lainnya. Jenis komoditas
perikanan yang dapat dikembangkan dalam silvofishery antara lain: kakap, kerapu,
bandeng atau baronang, jenis Crustase (udang, kepiting bakau dan rajungan),
kekerangan (kerang hijau, kerang darah atau kerang bakau).

Silvofishery merupakan pola pendekatan teknis yang terdiri atas rangkaian kegiatan
terpadu antara kegiatan budidaya ikan, udang atau usaha kepiting lunak, dengan
kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan
mangrove. Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan menerapkan silvofishery,
yaitu:
1. Konstruksi pematang tambak akan menjadi kuat karena akan terpegang akar-akar
mangrove dari pohon mangrove yang ditanam di sepanjang pematang tambak dan
pematang akan nyaman dipakai para pejalan kaki karena akan dirimbuni oleh tajuk
tanaman mangrove
2. Hasil penelitian ahli perikanan pada tahun 1979 menunjukkan terdapat hubungan yang
signifikan antara luas kawasan mangrove dengan poduksi perikanan budidaya, dimana
semakin meningkatnya luasan mangrove maka produksi perikanan budidaya juga turut
meningkat.
3. Salah satu nilai ekologis dari ekosistem mangrove telah digunakan sebagai pengolah
limbah cair sejak 1990, percobaan lapangan dan eksperimen rumah hijau telah diujikan
efek dari penggunaan ekosistem mangrove untuk mengolah limbah. Hasil uji lapang di
Negara Tiongkok membuktikan bahwa bertambahnya konsentrasi polutan di lahan
mangrove tidak menyebabkan terdeteksinya kerusakan pada tanaman mengrove,
invertebrata bentik, atau spesies alga.
4. Peningkatan produksi dari hasil tangkapan alam dan ini akan meningkatkan pendapatan
masyarakat petani ikan.
5. Mencegah erosi pantai dan intrusi air laut ke darat sehingga pemukiman dan sumber air
tawar dapat dipertahankan
6. Terciptanya sabuk hijau di pesisir (coastal green belt) serta ikut mendukung program
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global karena mangrove akan mengikat
karbondioksida dari atmosfer dan melindungi kawasan pemukiman dari kecenderungan
naiknya muka air laut.
7. Mangrove akan mengurangi dampak bencana alam, seperti badai dan gelombang air
pasang, sehingga kegiatan berusaha dan lokasi pemukiman di sekitarnya dapat
diselamatkan

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif tanpa
menghilangkan fungsi ekonomis areal mangrove sebagai lahan budidaya perikanan
dapat dilakukan melalui budidaya sistem polikultur dan wanamina. Sistem polikultur
adalah sistem budidaya ikan yang dipelihara lebih dari satu jenis ikan dalam satu wadah.
Sistem ini berguna untuk efisiensi penggunaan pakan alami yang ada di kolam.
Sedangkan, silvofishery adalah suatu bentuk kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara
budidaya air payau dengan pengembangan mangrove pada lokasi yang sama. Konsep
silvofishery ini dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan
berkelanjutan dengan input yang rendah. Pendekatan antara konservasi dan
pemanfaatan kawasan mangrove ini kemungkinan untuk mempertahankan keberadaan
mangrove yang secara ekologi memiliki produktivitas relatif tinggi dengan keuntungan
ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan.
Dalam mengakomodasi kebutuhan lahan dan lapangan pekerjaan, hutan mangrove
dapat dikelola dengan model silvofishery atau wanamina yang dikaitkan dengan program
rehabilitasi pantai dan pesisir. Kegiatan silvofishery berupa empang parit pada kawasan
hutan mangrove, terutama di areal Perum Perhutani telah dimulai sejak tahun 1978.
Empang parit ini pada dasarnya adalah semacam tumpang sari pada hutan jati, dimana
ikan dan udang sebagai pengganti tanaman palawija, dengan jangka waktu 3-5 tahun
masa kontrak.

Pada awalnya empang parit ini hanya berupa parit selebar 4 meter yang disisihkan dari
tepi areal kegiatan reboisasi hutan mangrove, sehingga keluasannya mencapai 10-15%
dari total area garapan. Jarak tanam 3 m x 2 m, dengan harapan 4-5 tahun pada akhir
kontrak, tajuk tanaman sudah saling menutup. Sejak tahun 1990 dibuat sistem pola
terpisah (komplangan) dengan 20% areal untuk budidaya ikan dan 80% areal untuk
hutan dengan pasang surut bebas.

Dari sistem silvofishery semacam ini dengan pemeliharaan bandeng dan udang liar dapat
dihasilkan keuntungan sebesar Rp 5.122.000,-/ha/tahun untuk 2 kali panen setiap tahun
(Perum Perhutani, 1995). Dalam riset yang dilakukan tahun 1996 para peneliti
membandingkan pola silvofishery di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, pola
komplangan menunjukkan perbandingan relatif lebih baik daripada pola empang parit,
baik dalam hal produktivitas perairan maupun pertumbuhan mutlak, kelangsungan
hidup maupun biomassa bandeng yang dipelihara pada masing-masing pola. Selisih
pertumbuhan mutlaknya hanya 9,6 g, sedangkan biomassanya 7,1 kg/m3. Hasil ini
berbeda dengan penelitian lain pada tahun 2000 yang mengemukakan bahwa justru pola
empang parit menghasilkan bandeng pada usia 3 bulan dengan berat rata-rata 1 kg lebih
berat dibandingkan dengan pola komplangan. Namun demikian, kedua sistem ini turut
membantu dalam meningkatkan income petani petambak.
Wanamina merupakan pola pendekatan teknis yang cukup baik, yang terdiri atas
rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan dengan kegiatan penanaman,
pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove. Di Banyuasin,
Sumatera Selatan didominasi oleh hutan mangrove, dan cukup ideal untuk kehidupan
berbagai komoditas perikanan. Sehingga kawasan hutan mangrove di Banyuasin sangat
cocok dikelola dengan sistem wanamina. Sistem ini memiliki teknologi sederhana, dapat
dilakukan tanpa merusak tanaman bakau yang ada dan dapat dilakukan sebagai
kegiatan sela sambil berusaha menghutankan kembali kawasan jalur hijau di daerah
pantai yang kritis. Penerapan kegiatan wanamina di kawasan ekosistem hutan mangrove
secara umum diharapkan dapat mencegah perusakan kawasan tersebut oleh masyarakat
karena akan memberikan alternatif sumber pendapatan bagi masyarakat di kawasan
tersebut.

Sedangkan untuk perambah hutan, dapat disediakan lapangan kerja sebagai pedagang
dengan menjadikan kawasan wanamina sebagai kawasan wisata. Dengan demikian,
kawasan wanamina dapat berfungsi ganda yaitu menjaga dan memelihara ekosistem
serta menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat. Dari berbagai penelitian diketahui
bahwa daun-daun mangrove yang telah gugur, yang jatuh ke dalam air akan menjadi
substrat yang baik bagi bakteri dan fungi, yang sekaligus berfungsi membantu proses
pembusukan daun menjadi detritus. Detritus akan digunakan oleh pemakan detritus
seperti amphipoda, mysidaceae, dan lain-lain. Pemakan detritus akan dimakan oleh
larva-larva, ikan, kepiting, udang dan lain-lain. Dengan kata lain, detritus organik akan
merupakan sumber energi yang esensial bagi sebagian besar hewan estuaria.

Selain itu nilai pakan lain yang penting dari ekosistem adalah berbagai organisme
akuatik yang beberapa diantaranya memiliki nilai komersial memilih habitat mangrove
sebagai tempat hidupnya. Tiga puluh persen produksi perikanan laut tergantung pada
kelestarian hutan mangrove, karena kawasan mangrove menjadi tempat
perkembangbiakan jenis-jenis ikan yang tinggi nilai komersilnya. Daun-daun berjatuhan
dan berakumulasi pada sedimen mangrove sebagai leaf litter (lapisan sisa-sisa daun) yang
mendukung komunitas organisme detrial yang besar jumlahnya. Tanaman mangrove,
termasuk bagian batang, akar dan daun yang berjatuhan memberikan habitat bagi
spesies akuatik yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Ekosistem ini berfungsi
sebagai tempat untuk memelihara larva, tempat bertelur dan tempat pakan bagi berbagai
spesies akuatik. Ikan merupakan komoditas yang memiliki nilai ekonomi tak langsung
yang turut mempertahankan keberadaan kawasan mangrove. Semakin dijaganya
ekosistem mangrove maka akan memberikan nilai ekonomi lebih besar bagi masyarakat,
sehingga masyarakat sangat berperan dalam menjaga kelestarian ekosistem mangrove.

Dengan dilakukannya pengelolaan kawasan mangrove melalui wanamina maka didapat


beberapa manfaat secara ekologi dan ekonomi, yaitu:
1. Menjamin keberadaan ekosistem hutan mangrove dengan luasan yang cukup dan
sebaran yang proporsional.
2. Mengoptimalkan aneka fungsi kawasan tersebut, termasuk fungsi konservasi, fungsi
lindung dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi
yang seimbang secara berkelanjutan.
3. Meningkatkan daya dukung kawasan.
4. Mendukung pengembangan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif,
berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga menciptakan ketahanan sosial
ekonomi.

Untuk pengembangan sistem wanamina (sylvofishery), di kawasan ekosistem hutan


mangrove ada beberapa hal yang dapat direkomendasikan:
1. Rencana pengembangan dan pengelolaan kawasan harus didasarkan atas asas
kelestarian manfaat dan keterpaduan, dengan tujuan:
a. Menjamin keberadaan kawasan ekosistem hutan mangrove dengan luasan yang cukup
dan sebaran proporsional,
b. Mengoptimalkan aneka fungsi kawasan, termasuk fungsi konservasi, fungsi lindung dan
fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi yang
seimbang dan berkelanjutan;
c. Mendukung pengembangan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif,
berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga menciptakan ketahanan sosial dan
ekonomi.
2. Revitalisasi fungsi kawasan hutan mangrove.
3. Pengembangan kegiatan wanamina dengan proporsi 80% kawasan untuk hutan dan 20%
untuk usaha perikanan.

Gb. Berbagai Tipe Pola Wanamina


Sebagai kawasan hutan prinsip pengelolaan hutan mangrove tidak berbeda dengan
pengelolaan hutan secara umum. Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki
manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat
ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara harmonis dan seimbang. Oleh karena itu
hutan harus dikelola dan diurus, dilindungi dan dimanfaatkan secara
berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia baik generasi sekarang
maupun yang akan datang. Dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem
penyangga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia,
oleh karena itu harus dijaga kelestariannya.

Metode wanamina (silvofisheries) merupakan suatu kegiatan harmonisasi budidaya


perikanan dengan hutan mangrove. Dimana dalam hal ini komoditas budidaya adalah
ikan bandeng dan vegetasi hutan mangrove adalah Rhizopora sp. dan Avicenia sp.
Prinsipnya metode ini mengandalkan berbagai jenis burung yang bersarang pada phon
mangrove dan kotorannya bermanfaat sebagai pupuk guna menumbuhkan pakan alami
berupa klekap. Klekap merupakan makanan bagi ikan bandeng yang terdiri dari
berbagai jenis mikro organisme dan membentuk flok. Prinsip keseimbangan (Principle of
harmony) menjadi dasar bagi terwujudnya budidaya berkelanjutan (sustainable
aquaculture). Keseimbangan yang dimaksud adalah bahwa pengelolaan perikanan
budidaya harus mampu menjamin berjalannya siklus dan interaksi yang saling
menguntungkan dalam sebuah ekosistem.

Kementerian Kelautan dan Perikanan saat ini tengah serius mewujudkan prinsip Blue
Economy dalam pengelolaan suumberdaya kelautan dan perikanan. Prinsip utama dari
blue economy tersebut di antaranya adalah:
1) kepedulian terhadap lingkungan (pro-enviroment) karena memastikan bahwa
pengelolaannya bersifat zero waste;
2) menjamin keberlanjutan (sustainable);
3) menjamin adanya social inclusiveness;
4) terciptanya pengembangan inovasi bisnis yang beragam (multiple cash flow).
Di tengah perjuangan mencapai visi pembangunan kelautan dan perikanan yang
berdaya saing dan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat, perlu adanya konsep
pembangunan perikanan di bidang budidaya yang sejalan dengan prinsip blue economy.

Dalam upaya membangun Indonesia sebagai negara penghasil produk perikanan


terbesar di dunia pada 2015, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya KKP terus
menggenjot sektor-sektor yang menunjang program tersebut. Dari target sekitar 6,8 juta
ton pada 2011, ditingkatkan menjadi 9,4 juta ton pada 2012. Untuk itu, berbagai langkah
dan strategi terus dilakukan pemerintah. Bahkan, sampai 2014 akan digenjot hingga 221
persen dari total awal sekitar 5,26 juta ton, menjadi 16,89 juta ton untuk jenis rumput laut,
patin lele, nila, ikan mas, gurame, kakap, ikan kerapu, dan bandeng. Jenis perikanan
budidaya untuk udang akan terfokus di daerah Aceh, Lampung, kemudian pantai utara,
Bali, Sumbawa sampai Lombok, dan Sulawesi Selatan. Indonesia akan berusaha agar
ikan-ikan hasil budidayanya bisa bersaing untuk di ekspor karena mahalnya ikan laut
menjadikan alternatif ikan budidaya diminati banyak masyarakat, mulai dari ikan patin,
lele, gurame, nila, mas, kakap, dan bandeng sehingga Indonesia bisa menjadi negara
penyuplai benih ikan ke luar negeri.
Gb. Pola wanamina Empang Parit
Secara umum terdapat empat model tambak wanamina, yaitu:
-- Empang parit, lahan untuk hutan mangrove dan empang masih menjadi satu hamparan
yang diatur oleh satu pintu air. Pola ini lahan mangrove dan empang berada dalam satu
hamparan dan pengelolaan air diatur dengan satu buah pintu air.
Keuntungan dari penerapan pola ini adalah bentuknya yang sederhana, sehingga biaya
rekonstruksinya relatif lebih murah. Kelemahannya, karena letak hutan dan empang
berada dalam satu hamparan, kemungkinan hama pengganggu ikan cukup tinggi,
serasah dan dedaunan yang jatuh ke empang dalam jumlah berlebihan dapat
mengganggu kehidupan dan pertumbuhan ikan. Fungsi hutan sebagai penyedia pakan
alami tak terpenuhi dengan baik karena pertumbuhan ganggang dan plankton kurang,
akibat sinar matahari tak dapat mencapai permukaan empang. Tetapi hal ini bisa diatasi
dengan dilakukan penjarangan atau pengaturan jarak tanam yang lebih lebar.
Pola empang parit yang disempurnakan. Pola ini merupakan pengembangan dari pola
empang parit tradisional, perbedaannya terletak pada jumlah pintu air yaitu 2 buah
untuk pemasukan dan 1 buah untuk pengeluaran, serta terdapatnya saluran air
tersendiri untuk hutan. Pada pola ini biaya rekonstruksi khususnya untuk pembuatan
pematang cukup besar, untuk itu pengerjaannya dapat dilakukan secara bertahap.
Produktivitas empang lebih optimal, karena permasalahan seperti pola tradisional dapat
dieliminasi. Hambatannya, lahan pemeliharaan ikan kurang terintegrasi dan luasnya
terbatas.
-- Komplangan, lahan untuk hutan mangrove dan empang terpisah dalam dua hamparan
yang diatur oleh saluran air dengan dua pintu yang terpisah untuk hutan mangrove dan
empang. Pada pola komplangan, areal pemeliharaan ikan dengan lahan hutan bakau
terpisah oleh pematang dan dilengkapi dengan 2 buah pintu air masing-masing untuk
pemasukan dan pengeluaran air. Pada lahan hutan terdapat pintu air pasang surut bebas.
Keuntungan dari pola ini adalah bentuknya yang lebih terintegrasi, cukup memperoleh
sinar matahari sehingga dapat digunakan untuk budidaya semi intensif.
-- Jalur, merupakan hasil modifikasi dari tambak wanamina model empang parit. Pada
tambak wanamina model ini terjadi penambahan saluran-saluran di bagian tengah yang
berfungsi sebagai empang.
-- Tanggul, hutan mangrove hanya terdapat di sekeliling tanggul. Tambak jenis ini yang
berkembang di Kelurahan Gresik dan Kariangau Kota Balikpapan.
Berdasarkan 4 pola wanamina dan pola yang berkembang di masyarakat,
direkomendasikan pola wanamina kombinasi empat parit dan tanggul. Pemilihan pola
ini didasarkan atas pertimbangan:
- Penanaman mangrove di tanggul bertujuan untuk memperkuat tanggul dari longsor,
sehingga biaya perbaikan tanggul dapat ditekan dan untuk produksi serasah.
- Penanaman mangrove di tengah bertujuan untuk menjaga keseimbangan perubahan
kualitas air dan meningkatkan kesuburan di areal pertambakan.

Jenis mangrove yang biasanya ditanam di tanggul adalah Rhizophora sp. dan Xylocarpus
sp. Sedangkan untuk di tengah/pelataran tambak adalah Rhizophora sp. Jarak tanam
mangrove di pelataran umumnya 1 m x 2 m pada saat mangrove masih kecil. Setelah
tumbuh membesar (4-5 tahun) mangrove harus dijarangkan. Tujuan penjarangan ini
untuk memberi ruang gerak yang lebih luas bagi komoditas budidaya. Selain itu sinar
matahari dapat lebih banyak masuk ke dalam tambak dan menyentuh dasar pelataran,
untuk meningkatkan kesuburan tambak.

Anda mungkin juga menyukai