Penanaman bibit mangrove dalam sistem wanamina yaitu dengan membuat tambak atau
kolam dan saluran air untuk budidaya ikan seperti ikan bandeng, udang, dan lain-lain.
Dengan demikian terdapat perpaduan antara tanaman mangrove (wana) dan budidaya
sumberdaya ikan (mina). Ada banyak cara dalam memanfaatkan mangrove secara
lestari, di antaranya ada lima bentuk utama, yaitu:
(a) tambak tumpang sari, dengan mengkombinasikan tambak dengan penanaman
mangrove;
(b) hutan rakyat, dengan pengelolaan yang berkelanjutan dengan siklus tebang 15-30 tahun
atau tergantung dari tujuan penanaman;
(c) budaya memanfaatkan mangrove untuk mendapatkan hasil hutan selain kayu berhasil
memanfaatkan buah dan daun mangrove sebagai bahan baku beragam makanan kecil
dan minuman sirup karena berdasarkan penelitian laboratorium, buah mangrove
mengandung gizi seperti karbohidrat, energi, lemak, protein dan air;
(d) silvofishery (wanamina); dan
(e) bentuk kombinasi pemanfaatan mangrove yang simultan.
Silvofishery merupakan pola pendekatan teknis yang terdiri atas rangkaian kegiatan
terpadu antara kegiatan budidaya ikan, udang atau usaha kepiting lunak, dengan
kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan
mangrove. Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan menerapkan silvofishery,
yaitu:
1. Konstruksi pematang tambak akan menjadi kuat karena akan terpegang akar-akar
mangrove dari pohon mangrove yang ditanam di sepanjang pematang tambak dan
pematang akan nyaman dipakai para pejalan kaki karena akan dirimbuni oleh tajuk
tanaman mangrove
2. Hasil penelitian ahli perikanan pada tahun 1979 menunjukkan terdapat hubungan yang
signifikan antara luas kawasan mangrove dengan poduksi perikanan budidaya, dimana
semakin meningkatnya luasan mangrove maka produksi perikanan budidaya juga turut
meningkat.
3. Salah satu nilai ekologis dari ekosistem mangrove telah digunakan sebagai pengolah
limbah cair sejak 1990, percobaan lapangan dan eksperimen rumah hijau telah diujikan
efek dari penggunaan ekosistem mangrove untuk mengolah limbah. Hasil uji lapang di
Negara Tiongkok membuktikan bahwa bertambahnya konsentrasi polutan di lahan
mangrove tidak menyebabkan terdeteksinya kerusakan pada tanaman mengrove,
invertebrata bentik, atau spesies alga.
4. Peningkatan produksi dari hasil tangkapan alam dan ini akan meningkatkan pendapatan
masyarakat petani ikan.
5. Mencegah erosi pantai dan intrusi air laut ke darat sehingga pemukiman dan sumber air
tawar dapat dipertahankan
6. Terciptanya sabuk hijau di pesisir (coastal green belt) serta ikut mendukung program
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global karena mangrove akan mengikat
karbondioksida dari atmosfer dan melindungi kawasan pemukiman dari kecenderungan
naiknya muka air laut.
7. Mangrove akan mengurangi dampak bencana alam, seperti badai dan gelombang air
pasang, sehingga kegiatan berusaha dan lokasi pemukiman di sekitarnya dapat
diselamatkan
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif tanpa
menghilangkan fungsi ekonomis areal mangrove sebagai lahan budidaya perikanan
dapat dilakukan melalui budidaya sistem polikultur dan wanamina. Sistem polikultur
adalah sistem budidaya ikan yang dipelihara lebih dari satu jenis ikan dalam satu wadah.
Sistem ini berguna untuk efisiensi penggunaan pakan alami yang ada di kolam.
Sedangkan, silvofishery adalah suatu bentuk kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara
budidaya air payau dengan pengembangan mangrove pada lokasi yang sama. Konsep
silvofishery ini dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan
berkelanjutan dengan input yang rendah. Pendekatan antara konservasi dan
pemanfaatan kawasan mangrove ini kemungkinan untuk mempertahankan keberadaan
mangrove yang secara ekologi memiliki produktivitas relatif tinggi dengan keuntungan
ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan.
Dalam mengakomodasi kebutuhan lahan dan lapangan pekerjaan, hutan mangrove
dapat dikelola dengan model silvofishery atau wanamina yang dikaitkan dengan program
rehabilitasi pantai dan pesisir. Kegiatan silvofishery berupa empang parit pada kawasan
hutan mangrove, terutama di areal Perum Perhutani telah dimulai sejak tahun 1978.
Empang parit ini pada dasarnya adalah semacam tumpang sari pada hutan jati, dimana
ikan dan udang sebagai pengganti tanaman palawija, dengan jangka waktu 3-5 tahun
masa kontrak.
Pada awalnya empang parit ini hanya berupa parit selebar 4 meter yang disisihkan dari
tepi areal kegiatan reboisasi hutan mangrove, sehingga keluasannya mencapai 10-15%
dari total area garapan. Jarak tanam 3 m x 2 m, dengan harapan 4-5 tahun pada akhir
kontrak, tajuk tanaman sudah saling menutup. Sejak tahun 1990 dibuat sistem pola
terpisah (komplangan) dengan 20% areal untuk budidaya ikan dan 80% areal untuk
hutan dengan pasang surut bebas.
Dari sistem silvofishery semacam ini dengan pemeliharaan bandeng dan udang liar dapat
dihasilkan keuntungan sebesar Rp 5.122.000,-/ha/tahun untuk 2 kali panen setiap tahun
(Perum Perhutani, 1995). Dalam riset yang dilakukan tahun 1996 para peneliti
membandingkan pola silvofishery di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, pola
komplangan menunjukkan perbandingan relatif lebih baik daripada pola empang parit,
baik dalam hal produktivitas perairan maupun pertumbuhan mutlak, kelangsungan
hidup maupun biomassa bandeng yang dipelihara pada masing-masing pola. Selisih
pertumbuhan mutlaknya hanya 9,6 g, sedangkan biomassanya 7,1 kg/m3. Hasil ini
berbeda dengan penelitian lain pada tahun 2000 yang mengemukakan bahwa justru pola
empang parit menghasilkan bandeng pada usia 3 bulan dengan berat rata-rata 1 kg lebih
berat dibandingkan dengan pola komplangan. Namun demikian, kedua sistem ini turut
membantu dalam meningkatkan income petani petambak.
Wanamina merupakan pola pendekatan teknis yang cukup baik, yang terdiri atas
rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan dengan kegiatan penanaman,
pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove. Di Banyuasin,
Sumatera Selatan didominasi oleh hutan mangrove, dan cukup ideal untuk kehidupan
berbagai komoditas perikanan. Sehingga kawasan hutan mangrove di Banyuasin sangat
cocok dikelola dengan sistem wanamina. Sistem ini memiliki teknologi sederhana, dapat
dilakukan tanpa merusak tanaman bakau yang ada dan dapat dilakukan sebagai
kegiatan sela sambil berusaha menghutankan kembali kawasan jalur hijau di daerah
pantai yang kritis. Penerapan kegiatan wanamina di kawasan ekosistem hutan mangrove
secara umum diharapkan dapat mencegah perusakan kawasan tersebut oleh masyarakat
karena akan memberikan alternatif sumber pendapatan bagi masyarakat di kawasan
tersebut.
Sedangkan untuk perambah hutan, dapat disediakan lapangan kerja sebagai pedagang
dengan menjadikan kawasan wanamina sebagai kawasan wisata. Dengan demikian,
kawasan wanamina dapat berfungsi ganda yaitu menjaga dan memelihara ekosistem
serta menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat. Dari berbagai penelitian diketahui
bahwa daun-daun mangrove yang telah gugur, yang jatuh ke dalam air akan menjadi
substrat yang baik bagi bakteri dan fungi, yang sekaligus berfungsi membantu proses
pembusukan daun menjadi detritus. Detritus akan digunakan oleh pemakan detritus
seperti amphipoda, mysidaceae, dan lain-lain. Pemakan detritus akan dimakan oleh
larva-larva, ikan, kepiting, udang dan lain-lain. Dengan kata lain, detritus organik akan
merupakan sumber energi yang esensial bagi sebagian besar hewan estuaria.
Selain itu nilai pakan lain yang penting dari ekosistem adalah berbagai organisme
akuatik yang beberapa diantaranya memiliki nilai komersial memilih habitat mangrove
sebagai tempat hidupnya. Tiga puluh persen produksi perikanan laut tergantung pada
kelestarian hutan mangrove, karena kawasan mangrove menjadi tempat
perkembangbiakan jenis-jenis ikan yang tinggi nilai komersilnya. Daun-daun berjatuhan
dan berakumulasi pada sedimen mangrove sebagai leaf litter (lapisan sisa-sisa daun) yang
mendukung komunitas organisme detrial yang besar jumlahnya. Tanaman mangrove,
termasuk bagian batang, akar dan daun yang berjatuhan memberikan habitat bagi
spesies akuatik yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Ekosistem ini berfungsi
sebagai tempat untuk memelihara larva, tempat bertelur dan tempat pakan bagi berbagai
spesies akuatik. Ikan merupakan komoditas yang memiliki nilai ekonomi tak langsung
yang turut mempertahankan keberadaan kawasan mangrove. Semakin dijaganya
ekosistem mangrove maka akan memberikan nilai ekonomi lebih besar bagi masyarakat,
sehingga masyarakat sangat berperan dalam menjaga kelestarian ekosistem mangrove.
Kementerian Kelautan dan Perikanan saat ini tengah serius mewujudkan prinsip Blue
Economy dalam pengelolaan suumberdaya kelautan dan perikanan. Prinsip utama dari
blue economy tersebut di antaranya adalah:
1) kepedulian terhadap lingkungan (pro-enviroment) karena memastikan bahwa
pengelolaannya bersifat zero waste;
2) menjamin keberlanjutan (sustainable);
3) menjamin adanya social inclusiveness;
4) terciptanya pengembangan inovasi bisnis yang beragam (multiple cash flow).
Di tengah perjuangan mencapai visi pembangunan kelautan dan perikanan yang
berdaya saing dan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat, perlu adanya konsep
pembangunan perikanan di bidang budidaya yang sejalan dengan prinsip blue economy.
Jenis mangrove yang biasanya ditanam di tanggul adalah Rhizophora sp. dan Xylocarpus
sp. Sedangkan untuk di tengah/pelataran tambak adalah Rhizophora sp. Jarak tanam
mangrove di pelataran umumnya 1 m x 2 m pada saat mangrove masih kecil. Setelah
tumbuh membesar (4-5 tahun) mangrove harus dijarangkan. Tujuan penjarangan ini
untuk memberi ruang gerak yang lebih luas bagi komoditas budidaya. Selain itu sinar
matahari dapat lebih banyak masuk ke dalam tambak dan menyentuh dasar pelataran,
untuk meningkatkan kesuburan tambak.