Anda di halaman 1dari 22

Salah satu Rumah adat yang berasal dari daerah sabu.

segi material dan struktur bangunan ini menggunakan material asli/alami seperti daun lontar /
rukeli sekitar 90 % dan sisanya menggunakan kayu sekitar 10%
Adapun bagian bagian bangunan yang menggunakan bahan lontar :
1.Kolom(Geri)
2.Lantai(Kelaga)
3.Dinding(Ruhedidi)
4.Pintu(RuKelae)
5.Atap(Ruwuwu)
6.Konstruksi rangka atap (Bengu, Aju Nou, Gala)
7. Tali pengikat (Terbuat dari sayatan kulit pelepah lontar)
Bahan lain selain lontar adalah
1. Kolom (Geri Teruwuy dan Geri Teruduru serta Geri Kolo Eka)
2. Reng (Badu) biasanya menggunakan material kayu yang mudah lentur
3. Dinding pada ruang Demu yang terbuat dari rangkaian/ anyaman daun kelapa (Ketangarohe)

Suku Sabu adalah suku mayoritas yang bermukim di Pulau Rai Hawu atau Sabu,
Kabupaten Kupang. Suku ini juga memiliki pakaian adat NTT khas yang bernama pakaian adat
Sabu. Untuk para pria, perlengkapan yang dikenakan adalah kemeja putih lengan panjang,
bawahan dan selendang yang diselempangkan ke bahu berupa sarung tenun, ikat kepala berupa
mahkota tiga tiang terbuat dari emas kalung mutisalak, sabuk berkantong, perhiasan leher
(habas), dan sepasang gelang emas. Sementara untuk para wanita, kebaya dan kain tenun dengan
2 kali lilitan adalah pilihan utamanya. Kain tenun tersebut berupa sarung dengan ikat pinggang
bernama pending. Pakaian Adat NTT Suku Sabu
Potensi
Holtikultura
Kondisi alam yang kering dan langkanya air di sebagian besar wilayah Sabu Raijua yang
disebabkan musim kemarau yang terjadi hampir sepanjang tahun berdampak pada minimnya
hasil pertanian seperti padi, palawija dan juga hortikultura di Kabupaten Sabu Raijua. Namun
demikian, penduduk setempat terus berusaha untuk menjadikan lahan di kabupaten ini bisa
dimanfaatkan menjadi lahan pertanian sehingga produksi pertanian dan pendapatan petanipun
dapat ditingkatkan.

Beberapa cara diantaranya dengan pembangunan irigasi dan memanfaatkan sumur gali. Selain
itu,pemanfaatan lahan kering atau lahan tidur ditingkatkan serta dilakukan penanaman tanaman
pangan seperti palawija dan hortikultura pada lahan-lahan yang memiliki sumber daya air
sekalipun saat musim kemarausehingga panen dapat dilakukan pada musim kemarau dimana hal
seperti ini tidak biasa dilakukan oleh petani di Sabu Raijua.

Pada tahun 2011, tercatat Kabupaten Sabu Raijua memiliki lahan sawah seluas 1.773,6 hektar
atau sekitar 4 persen dari total luas wilayahnya. Berdasarkan jenis pengairannya seluas 1.417
hektar atau 80 persen lahan sawah menggunakan pengairan irigasi (irigasi teknis, irigasi
sederhana dan irigasi desa/non PU), sedangkan sisanya adalah lahan sawah tadah hujan.

Beberapa tanaman pangan yang dibudidayakan di Sabu Raijua adalah padi,jagung, kacang tanah,
kacang hijau, sorgum dan ubi kayu. Jagung dan kacang hijau merupakan tanaman pangan dengan
produksi tertinggi khususnya di tahun 2011. Jagung dengan luas panen 1.423 hektar
menghasilkan 3.516 ton, sedangkan produksi kacang hijau sebesar 3.010 ton dari 3.010 luas
panen. Tanaman padi biasanya ditanam di tempat yang mendapatkan aliran air dari irigasi atau
lahan yang dekat dengan aliran sungai.Tercatat, di tahun 2011, produksi padi sawah sebanyak
1.738 ton dari 597 hektar luas panen dan 410 ton padi ladang dari 147 hektar luas panen.

Perikanan
Sebagai kabupaten yang dikelilingi lautan, Sabu Raijua dianugerahi potensi sumber daya laut
yang luar biasa. Kondisi ini dimanfaatkan oleh penduduk kabupaten ini untuk memenuhi
kebutuhan hidup dan sekaligus menjadi lahan mata pencaharian. Pada tahun 2011, tercatat ada
sebanyak 1.916 nelayan di kabupaten ini yang tersebar di semua kecamatan. 735 orang di
antaranya merupakan nelayan penuh yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan
pekerjaan/kegiatan enangkapan ikan, 519 orang nelayan sambilan utama yang sebagian besar
waktunya digunakan untuk menangkap ikan, dan 662 orang sebagai nelayan sambilan tambahan
yang hanya sebagian kecil waktunya yang digunakan untuk kegiatan penangkapan ikan. Jumlah
nelayan terbanyak terdapat di kecamatan Raijua dan Sabu Barat.
Sebagian besar nelayan di Sabu Raijua masih melakukan penangkapan ikan secara tradisional
yang menangkap ikan di laut dangkal (sekitar pesisir) dan menggunakan teknologi dan
perahu/kapal yang masih sederhana seperti jukung, perahu tanpa motor dan ketinting sehingga
penangkapan ikan khususnya di laut dalam belum optimal dan produksinya juga masih rendah.

Rumput Laut

Saat ini rumput laut merupakan salah satu produk laut unggulan di Kabupaten Sabu Raijua.
Dalam beberapa tahun terakhir, hasil rumput laut di kabupaten ini berkembang pesat dan menjadi
sumber penghasilan bagi masyarakat khususnya yang tinggal di pesisir pantai. Tercatat, pada
tahun 2011, terdapat sebanyak 6.161 pembudidaya atau 1.232 rumah tangga rumput laut di
Kabupaten Sabu Raijua yang tersebar di seluruh kecamatan.

Diperkirakan luas areal potensial untuk budidaya rumput laut 16.580 hektar dan saat ini luas
areal olahan sekitar 1.101,8 hektar. Pada tahun 2011, tercatat produksi rumput laut sebanyak
8.220 ton. Untuk usaha meningkatkan produksi saat ini petani rumput laut menggunakan system
long line dan menggunakan pelampung yang terbuat dari bekas botol minuman mineral.

Produksi rumput laut tersebut diekspor ke beberapa wilayah di NTT seperti Waingapu, Ndao,
Kupang dan bahkan hingga keluar NTT seperti Surabaya dan Sulawesi. Namun, masih ada
petani yang kesulitan memasarkan hasil mereka.

Hal ini secara umum disebabkan faktor sulitnya transportasi untuk menjual rumput laut dan
harga yang semakin menurun. Keadaan ini menyebabkan petani tersebut lebih memilih menukar
rumput laut mereka kepada pedagang (biasanya dari Sulawesi) dengan berbagai barang seperti
beras, bahan bangunan, peralatan rumah tangga dan sebagainya.

Garam

Selain penangkapan ikan dan budidaya rumput laut, kegiatan pengumpulan garam laut juga
banyak dilakukan penduduk di beberapa wilayah di Kabupaten Sabu Raijua khususnya di
Kecamatan Liae.

Pada musim tertentu, air laut ditampung dengan menggunakan karang besar dan daun lontar,
kemudian diletakkan di dalam lubang yang digali di sekitar pantai hingga garam terbentuk.

Peternakan
Ternak besar yang paling banyak dijumpai di Sabu Raijua adalah kerbau dimana populasinya
tahun 2011 sebanyak 7.216 ekor. Sementara ternak besar lainnya yang juga cukup banyak
dijumpai adalah kuda dan sapi.

Harga ternak besar tersebut, khususnya kerbau, cukup tinggi dimana satu ekor kerbau dewasa
harganya bisa mencapai 12 juta rupiah. Sedangkan harga sapi dan kuda berkisar 4 hingga 7 juta
per ekornya. Sebagian besar ternak besar tersebut pemanfaatan utamanya adalah untuk keperluan
adat, sebagian dikonsumsi dan sebagian dijual ke luar Sabu Raijua.
Sementara itu, ternak kecil yang banyak dibudidayakan adalah kambing, babi dan domba. Di
antara ketiganya, populasi kambing merupakan yang tertinggi. Populasinya di tahun 2011
sebanyak 30.360 ekor disusul babi sebanyak 25.987 ekor. Hampir sama dengan ternak besar,
ternak kecil di kabupaten ini, selain dikonsumsi dan untuk keperluan adat, sebagian juga dijual
ke luar wilayah Sabu Raijua.

Pertambangan
Kegiatan penelitian terhadap potensi pertambangan dan penggalian di Kabupaten Sabu Raijua
telah pernah dilakukan bahkan sebelum kabupaten ini resmi terbentuk. Hasil penelitian
menunjukkan terdapat beberapa potensi pertambangan dan penggalian di wilayah Sabu Raijua
diantaranya batu gamping, lempung, zeolit, mangan, sirtu, tanah urug dan lain sebagainya.

Diharapkan dengan pengelolaan yang tepat terhadap sektor pertambangan dan penggalian akan
memberi dampak positif bagi masyarakat setempat khususnya.

Kehutanan
Hutan adalah salah satu sumber daya alam yang mempunyai peranan penting dalam ekosistem
dan peningkatan pendapatan masyarakat disekitarnya maupun di luar kawasan hutan tersebut.
Hutan mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai pengatur dan penyeimbang kelestarian lingkungan
hidup, serta merupakan sumber devisa negara. Karena itu pemerintah selalu berusaha untuk
menjaga kelestarian lingkungan hutan serta memperbaikinya melalui konservasi, rehabilitasi,
reboisasi (penghijauan) dan inventarisasi hutan.

Kabupaten Sabu Raijua masih dalam tarap melakukan invetarisasi hutan, meski demikian
peranan sub sektor kehutanan dalam pembentukan PDRB tahun 2011 mencapai 2,28 persen atau
meningkat sebesar 1,97 persen dari tahun 2010. Jika dilihat dari sisi pertumbuhan hutan menurut
fungsinya maka tahun 2011 hanya meningkat 4,16 persen dari tahun 2010, yaitu adanya
penambahan luas hutan bakau sebesar 25 Ha,sedangkan hutan lindung masih tetap pada
posisinya yaitu sebesar 7.253 Ha.

Keberadaan lahan kritis tahun 2011, baik di dalam kawasan hutan sebesar 84,074 Ha maupun di
luar kawasan hutan 69.041 Ha. Luas hutan yang berada dalam kawasan mengalami penurunan
dari tahun 2010 sebesar 46 persen, sedangkan hutanmyang berada dalam kawasan hutan tidak
mengalami perubahan atau tetap pada posisinya sebesar 69.041 Ha.
Sabu, Surga bagi Penyesap Eskapisme

Foto oleh Azhari Fauzi

rumput laut dari Raijua biasanya di jual dengan harga


Rp20.000/kg, namun saat ini harga komoditas tersebut turun
sampai pada posisi antara Rp5.000-Rp6.000/kg.

"Situasi inilah yang tampaknya membuat para petani rumput


laut setempat lebih memilih sistem barter dengan para
pedagang dari Sulawesi ketimbang harus menjualnya dengan
harga Rp5.000-Rp6.000/k
Tenun ikat Sabu (Foto: http://rintomedi.wordpress.com)

1.
: Tuak Gula Aer Laru Sopi
Nektar bunga lontar (Borassus flabellifer L.) atau bunga gawang (Corypha utan lamk.), itulah
bahan baku pembuatan gula cair, laru, dan sopi, juga gula lempeng serta gula semut (gula
bubuk). Nektar lontar yang baru disadap disebut tuak. Tuak yang dimasak hingga kental disebut
gula aer. Gula aer yang difermentasi dengan ragi yang dibawa oleh akar pohon laru disebut
laru, laru ini mengandung sedikit alkohol dan bersoda. Laru kemudian di destilasi untuk
menghasilkan embun sopi. Sopi ini mengandung alkohol > 40%.Lontar (Borassus flabellifer L.)
terlihat dimana-mana di wilayah Timor. Hal pertama yang saya ingat jika seseorang
menyebutkan lontar adalah bahwa jaman dahulu kala kitab-kitab kuno ditulis pada daun lontar.
Saya pikir di jaman sekarang ini, pohon lontar sudah tidak ada lagi, sampai saya melakukan
perjalanan ke Wilayah Timor, ternyata Timor bukan hanya negeri kayu cendana tapi juga negri
seribu lontar, karena pohon lontar terdapat dimana-mana.

Petani lontar dengan gesit memanjat pohon lontar yang tinggi, untuk memanen nektarnya

Seluruh bagian pohon lontar bisa digunakan untuk menopang kebutuhan mendasar hidup
manusia. Bukan hanya untuk menulis kitab kuno, daun lontar ternyata bisa dibentuk menjadi
berbagai macam wadah yang sangat unik, bisa dibuat menjadi semacam mangkuk atau baskom,
sebagai piring, sebagai ember, bahkan sebagai topi yang disebut Tiilangga, serta sebagai bahan
untuk membuat berbagai macam alat musik (seperti sasando yang sudah menggetarkan hati para
juri lomba Indonesia Mencari Bakat di salah satu stasiun televisi). Buah lontar juga ternyata
enak dan segar, dengan daging buahnya yang agak sedikit cair jika masih muda, sedikit kenyal
dan akan semakin keras jika sudah tua. Bunga lontar, memiliki nektar yang biasanya disadap
dan dijadikan berbagai jenis minuman, mulai dari tuak (nektar lontar yang baru saja disadap),
gula aer, gula lempeng (gula padat), gula bubuk (gula semut), bahkan minuman beralkohol
seperti laru dan sopi, serta asam cuka. Menurut penduduk desa, bahkan getahnya pun bisa
dimanfaatkan untuk menyembuhkan luka gores.
Dapur untuk memasak gula aer lontar. Nektar lontar alias tuak yang baru dipanen, diwadahi
dengan semacam ember yang terbuat dari anyaman daun lontar, tampak digantung di tiang-tiang
dapur.

Nektar bunga lontar (Borassus flabellifer L.) atau bunga gawang (Corypha utan Lamk.), itulah
bahan baku pembuatan gula cair, laru, dan sopi, juga gula lempeng dan gula semut (gula bubuk).
Nektar lontar yang baru disadap disebut tuak, jika diambilnya pagi hari dan sore hari rasanya
manis segar, tapi jika siang hari maka rasanya sedikit asam. Di Baa (Pulau Sabu), saya sempat
mencicip tuak yang rasanya sedikit asam, walaupun baru saja diturunkan dari pohon lontar,
waktu itu sekitar jam 11an siang. Sedangkan di Desa Kuli (Pulau Rote), sore hari saya mencicipi
tuak yang begitu manis segar.
Mencicipi tuak nektar lontar yang manis segar

Gula aer

Tuak itu kemudian dimasak dalam belanga-belanga besar diatas tungku kayu bakar selama
beberapa lama hingga mengental dan berwarna coklat muda, disebut sebagai gula aer, dan
biasanya dijual dalam jerigen-jerigen 20 literan (Rp.25000) atau dalam botol-botol bekas air
minum dalam kemasan 1,5 liter.

Mama Elizabeth dari Pulau Sabu menyuruh saya untuk meminum banyak-banyak gula aer ini,
katanya biar cepat gemuk dan agar penyakit tukak lambung saya cepat sembuh. Beliau prihatin
melihat tubuh saya yang kurus kerempeng. Akhirnya di Pulau Rote, saya membeli 1 jerigen (20
liter) gula aer untuk oleh-oleh , walaupun saya bingung bagaimana membawa-bawa jerigen
tersebut beserta backpack saya yang sudah berat itu kemana-mana (tempat yang ingin saya tuju
masih banyak setelah dari Pulau Sabu & Pulau Rote ini)
Memasak tuak menjadi gula aer

Gula aer yang dimasak agak lama hingga sangat kental biasanya dibuat menjadi gula lempeng
(gula padat), yang dibentuk kecil-kecil bulat. Bentuk gula yang lainnya adalah gula semut yang
berbentuk bubuk. Gula aer juga menjadi teman yang sangat cocok untuk menikmati air kelapa
muda, apalagi kalau ditambahkan es batu hmmmmm segarrrrrrr

LARU

Gula aer dapat pula dijadikan bahan baku pembuatan laru, minuman fermentasi beralkohol
rendah yang difermentasi dengan ragi yang ada pada akar pohon laru.
Fermentasi tuak lontar menggunakan akar pohon laru, dalam beberapa jam akan timbul busa-
busa di permukaan. Rasa tuak yang manis akan berubah menjadi sedikit asam, mengandung
sedikit soda, dan sedikit alkoho
l.

berkali-kali dari berbagai sudut pandang :))

dapur.

Nektar bunga lontar (Borassus flabellifer L.) atau bunga gawang (Corypha utan Lamk.), itulah
bahan baku pembuatan gula cair, laru, dan sopi, juga gula lempeng dan gula semut (gula bubuk).
Nektar lontar yang baru disadap disebut tuak, jika diambilnya pagi hari dan sore hari rasanya
manis segar, tapi jika siang hari maka rasanya sedikit asam. Di Baa (Pulau Sabu), saya sempat
mencicip tuak yang rasanya sedikit asam, walaupun baru saja diturunkan dari pohon lontar,
waktu itu sekitar jam 11an siang. Sedangkan di Desa Kuli (Pulau Rote), sore hari saya mencicipi
tuak yang begitu manis segar.

Mencicipi tuak nektar lontar yang manis segar

Gula aer

Tuak itu kemudian dimasak dalam belanga-belanga besar diatas tungku kayu bakar selama
beberapa lama hingga mengental dan berwarna coklat muda, disebut sebagai gula aer, dan
biasanya dijual dalam jerigen-jerigen 20 literan (Rp.25000) atau dalam botol-botol bekas air
minum dalam kemasan 1,5 liter.

Mama Elizabeth dari Pulau Sabu menyuruh saya untuk meminum banyak-banyak gula aer ini,
katanya biar cepat gemuk dan agar penyakit tukak lambung saya cepat sembuh. Beliau prihatin
melihat tubuh saya yang kurus kerempeng. Akhirnya di Pulau Rote, saya membeli 1 jerigen (20
liter) gula aer untuk oleh-oleh , walaupun saya bingung bagaimana membawa-bawa jerigen
tersebut beserta backpack saya yang sudah berat itu kemana-mana (tempat yang ingin saya tuju
masih banyak setelah dari Pulau Sabu & Pulau Rote ini)

Memasak tuak menjadi gula aer

Gula aer yang dimasak agak lama hingga sangat kental biasanya dibuat menjadi gula lempeng
(gula padat), yang dibentuk kecil-kecil bulat. Bentuk gula yang lainnya adalah gula semut yang
berbentuk bubuk. Gula aer juga menjadi teman yang sangat cocok untuk menikmati air kelapa
muda, apalagi kalau ditambahkan es batu hmmmmm segarrrrrrr
LARU

Gula aer dapat pula dijadikan bahan baku pembuatan laru, minuman fermentasi beralkohol
rendah yang difermentasi dengan ragi yang ada pada akar pohon laru.

Fermentasi tuak lontar menggunakan akar pohon laru, dalam beberapa jam akan timbul busa-
busa di permukaan. Rasa tuak yang manis akan berubah menjadi sedikit asam, mengandung
sedikit soda, dan sedikit alkohol.
Dapur untuk memasak gula aer lontar. Nektar lontar alias tuak yang baru dipanen, diwadahi
dengan semacam ember yang terbuat dari anyaman daun lontar, tampak digantung di tiang-tiang
dapur.
Nektar bunga lontar (Borassus flabellifer L.) atau bunga gawang (Corypha utan Lamk.), itulah
bahan baku pembuatan gula cair, laru, dan sopi, juga gula lempeng dan gula semut (gula bubuk).
Nektar lontar yang baru disadap disebut tuak, jika diambilnya pagi hari dan sore hari rasanya
manis segar, tapi jika siang hari maka rasanya sedikit asam. Di Baa (Pulau Sabu), saya sempat
mencicip tuak yang rasanya sedikit asam, walaupun baru saja diturunkan dari pohon lontar,
waktu itu sekitar jam 11an siang. Sedangkan di Desa Kuli (Pulau Rote), sore hari saya mencicipi
tuak yang begitu manis segar.

Mencicipi tuak nektar lontar yang manis segar

Gula aer
Tuak itu kemudian dimasak dalam belanga-belanga besar diatas tungku kayu bakar selama
beberapa lama hingga mengental dan berwarna coklat muda, disebut sebagai gula aer, dan
biasanya dijual dalam jerigen-jerigen 20 literan (Rp.25000) atau dalam botol-botol bekas air
minum dalam kemasan 1,5 liter.

Mama Elizabeth dari Pulau Sabu menyuruh saya untuk meminum banyak-banyak gula aer ini,
katanya biar cepat gemuk dan agar penyakit tukak lambung saya cepat sembuh. Beliau prihatin
melihat tubuh saya yang kurus kerempeng. Akhirnya di Pulau Rote, saya membeli 1 jerigen (20
liter) gula aer untuk oleh-oleh , walaupun saya bingung bagaimana membawa-bawa jerigen
tersebut beserta backpack saya yang sudah berat itu kemana-mana (tempat yang ingin saya tuju
masih banyak setelah dari Pulau Sabu & Pulau Rote ini)

Memasak tuak menjadi gula aer

Gula aer yang dimasak agak lama hingga sangat kental biasanya dibuat menjadi gula lempeng
(gula padat), yang dibentuk kecil-kecil bulat. Bentuk gula yang lainnya adalah gula semut yang
berbentuk bubuk. Gula aer juga menjadi teman yang sangat cocok untuk menikmati air kelapa
muda, apalagi kalau ditambahkan es batu hmmmmm segarrrrrrr

LARU

Gula aer dapat pula dijadikan bahan baku pembuatan laru, minuman fermentasi beralkohol
rendah yang difermentasi dengan ragi yang ada pada akar pohon laru.

Fermentasi tuak lontar menggunakan akar pohon laru, dalam beberapa jam akan timbul busa-
busa di permukaan. Rasa tuak yang manis akan berubah menjadi sedikit asam, mengandung
sedikit soda, dan sedikit alkohol.
Digunakan oleh para perempuan di bagian belakang kepala pada acara-acara adat tertentu,
anahida atau muti sala yaitu manik-manik antik yang terbuat dari batu berwarna orange, dan
mamuli yaitu perhiasan emas yang bentuknya menyerupai kelamin perempuan atau rahim dan
digunakan sebagai giwang, mata kalung (liontin) atau bros.

Anda mungkin juga menyukai