Anda di halaman 1dari 4

BMT Untuk Kesejahteraan Nelayan

PENULIS:
Shochrul Rohmatul Ajija
Dosen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga
Sri Cahyaning Umi Salama
Mahasiswa Pascasarjana,Kajian Timur Tengah dan Islam, Universitas Indonesia
Awardee BPI LPDP PK 81

Indonesia sebagai negara berkembang memiliki masalah yang sama dengan negara berkembang
lainnya, yaitu kesejahteraan. Tujuan dibentuknya suatu negara adalah untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakatnya. Cara, aturan, pendekatan, alat, hingga kebijakan dilakukan dan
dipilih sesuai dengan kondisi negara dan tujuannya. Dalam Undang-Undang Dasar 1945,
Indonesia merumuskan tujuan negara yaitu menciptakan kesejahteraan masyarakat.

Kondisi Indonesia saat ini masih dikatakan jauh dari sejahtera. Jika dilihat dari rasio GINI, tahun
2017 pada semester 1 mencapai 0,393%. Menurun 0,001% dari semester 2 tahun 2016
(www.bps.go.id). Kesejahteraan dan kemiskinan saling berkaitan. Kemiskinan merupakan situasi
seseorang atau rumah tangga mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar tanpa
didukung oleh lingkungan pendukung untuk mencari peluang dalam meningkatkan kesejahteraan
secara berkesinambungan. Berdasarkan definisi tersebut, maka ada tiga tingkat kondisi yang
perlu di pantau, yaitu kesejahteraan subjektif, kesejahteraan inti, dan lingkungan pendukung
(Cahyat et al., 2007).

Kesejahteraan subjektif berdasarkan pada perasaan seseorang, seperti perasaan sejahtera,


bahagia, dihormati, diakui, dan perasaan sejenisnya. Kesejahteraan inti berdasarkan pada
kebutuhan dasar yang bersifat material dan bukan material, seperti aspek gizi dan kesehata,
pengetahuan dan kekayaan materi. Lingkungan pendukung merupakan lingkungan kehidupan
yang mempengaruhi kesejahteraan inti. Kesejahteraan dari sudut pandang Islam berdasarkan
pemikiran Al Ghazali adalah terpenuhinya maslahah bagi kehidupan manusia yang terdiri dari
lima unsur, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Secara geografi, Indonesia terdiri dari 70% lautan dan 30% daratan. Menurut data BPS yang
dihimpun hingga tahun 2014, potensi nilai produksi kelautan Indonesia adalah 15,20 juta rupiah
untuk rumput laut, 5,80 juta rupiah untuk bandeng, 7,30 juta rupiah untuk udang windu. Nilai
produksi tersebut merupakan nilai dari produksi budidaya yang dihasilkan tiap-tiap rumah tangga
usaha budidaya per siklus per satuan tertentu dalam satu hektar. Sementara itu, produksi
perikanan laut yang di jual di TPI (Tempat Pelelangan Ikan) dari tahun 2011 hingga 2015 terus
mengalami pengingkatan meskipun terjadi penurunan yang signifikan dari tahun 2010 ke 2011
yang mencapai 42%. Jika ditinjau dari besaran export produk perikanan, ekspor tuna, udang,
kepiting dan kerang-kerangan terus mengalami penurunan tiap tahunnya.

Luasnya lautan dan karunia sumber daya alam yang melimpah di lautan Indonesia seharusnya
menjadikan nelayan sejahtera. Namun perlu disayangkan bahwa kondisi nelayan Indonesia saat
ini jauh dari kata sejahtera. Daerah pemukiman pinggir pantai yang mayoritas penghuninya
berprofesi sebagai nelayan kebanyakan adalah pemukiman kumuh. Meskipun telah banyak
upaya yang dilakukan pemerintah daerah untuk mengubah pemandangan kumuh menjadi
destinasi wisata yang menarik mata seperti salah satunya di kampung nelayan Kenjeran,
Surabaya namun masalah kesejahteraan masih belum teratasi.

Penghasilan yang tidak menentu karena ditentukan oleh kondisi cuaca menjadi dilema. Ketika
cuaca sedang tidak bersahabat untuk melaut otomatis nelayan akan lebih memilih untuk tetap di
rumah atau bahkan dalam kondisi paling parah yang menyebabkan nelayan tidak bisa melaut
dalam waktu yang lama, mereka akan melakukan pekerjaan serabutan seperti menjadi buruh tani,
buruh bangunan, beternak kambing, berdagang, hingga usaha keramba ikan. Jikalau berdagang,
skala usaha adalah mikro. Mereka akan menjual hasil olahan rumah tangga dari hasil tangkapan
sebelumnya seperti menjual ikan asin, olahan kerupuk, dan sebagainya. Masalah utama ada di
permodalan, pengembangan skill, dan pemasaran.

Baitul Maal wat Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan mikro syariah dianggap mampu turut
membantu mengatasi masalah-masalah yang dihadapi nelayan di Indonesia. Hingga saat ini
masih belum ada angka pasti berapa jumlah BMT yang tesebar di Indonesia. Diperkirakan di
tahun 2006 ada sebanyak 3.200 dengan 3 juta anggota di Indonesia dan di 2010 diperkirakan ada
sebanyak 5.200 BMT yang melayani 10 juta anggota (Sakti, 2013). Menurut data PBMT di tahun
2015 terdapat 4.500 yang melayani anggota 3,7 juta dengan asset sebesar Rp 16 triliun. Angka
pertumbuhan BMT di Indonesia yang terus mengalami peningkatan menunjukkan semakin
banyaknya penduduk Indonesia yang aware dengan Ekonomi Islam terutama pada lembaga
keuangan mikro Islam. Sehingga hal tersebut diharapkan mampu memperkuat perekonomian
umat.

BMT memiliki dua fungsi utama sesuai dengan namanya, baitul maal yang sama dengan fungsi
sosial dan baitul tamwil yang sama dengan fungsi institusional. Fungsi sosial BMT mengolah
dana sosial yang terkumpul dari anggota BMT sedangkan fungsi institusional mengolah dana
anggota BMT untuk tujuan profit. Adanya kedua fungsi tersebut dianggap mampu meningkatkan
kesejahteraan anggota.

Dalam fungsinya sebagai lembaga sosial, BMT melakukan banyak kegiatan yang bertujuan
untuk meningkatkan softskill anggotanya seperti mendatangkan ahli, mengadakan seminar, dan
melakukan kerjasama dengan berbagai pihak. Masalah pemasaran yang sering dialami UMKM
terutama milik nelayan dapat diatasi dengan adanya koordinasi antara BMT dengan pihak
pengusaha (nelayan yang memiliki usaha) untuk memasarkan produknya. Adanya hubungan
antara BMT dengan dinas koperasi dan UMKM bisa menjadi sarana memasarkan produk hasil
usaha para nelayan.

Selain memberikan pengarahan terhadap softskill, BMT juga harus mampu mengedukasi nelayan
tentang ke-BMT-an atau perkoperasian. Faktanya masih banyak kampung nelayan yang kurang
familiar dengan BMT atau koperasi dan selama ini mengandalkan rentenir untuk masalah
keuangan. BMT bisa turut membantu masyarakat kampung nelayan untuk mendirikan koperasi
sederhana yang masih dalam bimbingan BMT hingga mereka benar-benar bisa mandiri.

Selain itu, pihak BMT sebagai lembaga keuangan yang tidak hanya diandalkan saat kekurangan
modal turut aktif membangun network dengan pihak luar. Misalnya bekerja sama atau membuat
MoU dengan pihak kampus yang menjadikan BMT tersebut sebagai tempat PKL atau magang
mahasiswanya untuk turut membantu pemasaran anggota BMT.

Sementara itu dalam fungsinya sebagai lembaga institusional yang menyalurkan pembiayaan
untuk mendapatkan profitnya, BMT bisa melakukan pembiayaan dengan produk-produk yang
dimilikinya. Keberadaan BMT diharapkan mampu mendorong produktivitas nelayan karena
pembiayaan mikro yang diberikan dan kemudahan akses keuangan. Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, salah satu kendala nelayan adalah pendanaan. Pembiayaan yang
diberikan bisa dipergunakan untuk tambahan modal membuka usaha dengan menjual hasil
olahan, kebutuhan melaut, dan sebagainya.

Selain cara-cara di atas yang bisa dilakukan oleh BMT pada umumnya, saat ini mulai muncul
BMT wakaf yang khusus mengelola dana wakaf maupun BMT umum yang menjadi nazir.
Sebenarnya, BMT diberikan kesempatan untuk menjadi nazhir (pengelola wakaf) dengan syarat
sudah mengantongi ijin dari Badan Wakaf Indonesia (BWI). Dana wakaf yang dikelola BMT
tersebut bisa digunakan untuk membantu menyelesaikan permasalahan kesejahteraan
masyarakat, termasuk nelayan. Melihat potensi wakaf di Indonesia yang mayoritas penduduknya
adalah muslim sangat memungkinkan bahwa para wakif (orang yang mewakafkan) juga
mewakafkan asetnya melalui BMT.

Anda mungkin juga menyukai