Anda di halaman 1dari 24

1

RINGKASAN INTENSIFIKASI PERTANIAN TANAMAN PADI DALAM


RANGKA SWASEMBADA BERAS PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 1969
1984
a. Nama Proyek : Intensifikasi Pertanian
Tanaman Padi dalam Rangka
Swasembada Beras Provinsi Jawa Timur Tahun
1969 1984
b. Lokasi : Jawa Timur
c. Tujuan dan Manfaat :
Tujuan dari proyek ini adalah mewujudkan swasembada beras pada
tahun 1984. Sementara manfaat dari proyek ini adalah Provinsi Jawa Timur
menjadi penyumbang terbesar produksi tanaman pangan yaitu mencapai 40
% skala nasional sehingga target swasembada beras pun terwujud.
d. Deskripsi
Latar belakang
Pembangunan nasional Indonesia pada awal lahirnya orde baru,
selalu menitik beratkan pada sektor pertanian. Indonesia mencanangkan
suatu program yang disebut intensifikasi pertanian. Hakekat dari program
ini adalah memaksimalkan produktivitas lahan pertanian yang ada agar
memperoleh hasil yang lebih besar dengan menerapkan panca usaha tani
yang terdiri dari, pengolahan lahan pertanian dengan menggunakan alat
pertanian yang lebih modern. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan efisiensi
waktu dan hasil dari pengolahan tanah itu sendiri. Pengolahan tanah yang
semula dilakukan secara manual, dengan dicangkul atau menggunakan
hewan ternak seperti sapi dan kerbau, mulai diperkenalkan pengolahan
tanah dengan menggunakan traktor.
Penggunaan varietas unggul dalam pembenihan produk pertanian
juga dilakukan untuk menghasilkan tanaman yang memiliki kualitas baik,
yaitu tahan terhadap penyakit dan hasil produktivitasnya tinggi. Penerapan
teknik pengairan yang baik yaitu dengan menambah daerah penampungan
air untuk kepentingan irigasi areal persawahan. Penggunaan pupuk
pertanian dalam jumlah besar juga dilaksanakan. Hal ini difungsikan untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi tanaman padi untuk bisa tumbuh dan
berproduksi secara maksimal. Obat- obatan kimia juga digunakan untuk
2

mengendalikan populasi hama yang biasa menyerang tanaman padi. Hal


ini dimungkinkan untuk mengurangi kerusakan tanaman akibat serangan
hama.

Pelaksanaan Intensifikasi
1. Pengolahan tanah dan pembentukan kelompok tani
Pengolahan tanah merupakan proses paling awal bagi seorang
petani sebelum melakukan penanaman bibit tanaman. Proses ini
dilakukan untuk meningkatkan kegemburan tanah agar bibit tanaman
yang ditanam kelak dapat tumbuh dengan baik. Ada beberapa tahapan
dalam pengolahan tanah sebelum sawah atau ladang dapat ditanami.
Sebelum tanah persawahan diolah, terlebih dahulu diberi pengairan
untuk melunakkan tekstur tanah. Setelah tahap pengairan dilanjutkan
dengan proses pembabatan jerami sisa panen sebelumnya. Jerami yang
dibabat kemudian dibiarkan untuk nanti dibajak bersama tanah yang
nantinya akan berfungsi sebagai pupuk organik bagi tanaman yang
akan ditanam. Setelah proses tersebut barulah tanah persawahan dapat
mulai dibajak.

2. Irigasi
Padi merupakan tanaman pertanian yang membutuhkan
pengairan melebihi tanaman pertanian lainnya. Untuk memenuhi
kebutuhan akan air, rata rata padi membutuhkan sedikitnya 8,6 mm

setiap hari. Oleh karena itu pembangunan sarana irigasi sangatlah


penting untuk menunjang kebutuhan akan air bagi tanaman pertanian.
Mengingat pentingnya sarana irigasi untuk pertumbuhan
tanaman padi, maka pembangunan keadaan fasilitas air yang baik juga
dilakukan untuk menunjang program intensifikasi. Penggunaan pupuk
diperlukan untuk membantu pertumbuhan tanaman serta peningkatan
produksi padi.
Untuk mengatur kegiatan pengairan, pemerintah membentuk
3

HIPPA (Himpunan Petani Pemakai Air) untuk mengatur sarana irigasi,


apabila air berada dalam batas minimum maka harus dilakukan
penetapan tata tanam, pola tanam, dan jadwal giliran pemakaian air

untuk setiap areal golongan. 8 Lembaga yang dulunya bernama P3A


(perkumpulan petani pemakai air) ini sudah ada sejak zaman pemerintah
kolonial belanda ini meniru apa yang dilakukan oleh masyarakat bali.
Masyarakat Bali mengilhami pemerintah kolonial waktu itu dalam
pembuatan irigasi. Pada tahun 1920 di Jawa Timur sudah berdiri
organisasi pembinaan petani pemakai air yang disebut dengan Kring
Bestuur.
Namun, karena adanya resesi dunia tahun 1930 pemerintah
waktu itu menghentikan program tersebut karena tidak adanya
anggaran dana untuk melakukan pembinaan para petani. Selama 50
tahun kemudian tidak ada perhatian khusus terhadap lembaga ini. Baru
pada kisaran tahun 1982 pemerintah mulai menggalakan kembali
lembaga ini dengan nama HIPPA. Dengan munculnya PP Republik
Indonesia nomor 23, tahun 1982, pasal 20 tentang irigasi menandai
digalakannya lagi perkumpulan petani pemakai air. Pelaksanaannya
merupakan tanggung jawab pemerintah daerah mulai dari
pembangunan, rehabiitasi, eksploitasi, dan pemeliharaan jaringan irigasi
beserta bangunan pelengkapnya.
Sebagian besar pembangunan sistem pengairan diusahakan
oleh Departemen Pekerjaan Umum. Pada tahun 1973 di Mojokerto
dibangun bendungan Rolak Songo yang digunakan untuk mengatur
debit air yang dialirkan ke sungai Porong dan Surabaya yang nantinya
akan digunakan mengairi persawahan di sekitar aliran sungai
sungai tersebut. Sepanjang aliran kedua sungai dibangun pintu-pintu
air kecil untuk mengalirkan air. sungai ke persawahan di desa desa
sekitarnya. Peranan DPU dalam bidang pengairan ini ternyata terus
meningkat tiap tahun. Pada tahun 1974 DPU hanya mengurusi
3.924.000 ha dari areal persawahan nasional. Kemudian meningkat
4

pada tahun 1977 areal yang diairi bertambah luas menjadi 4.337.000
ribu ha dan menjadi 4.420 ribu ha pada tahun 1978. Wilayah Jawa
Timur areal sawah yang mendapat sarana irigasi juga mengalami
peningkatan secara signifikan tiap tahunnya. Untuk awal pelaksanaan
Repelita pertama tahun 1969 luas areal persawahan yang terjamin
irigasinya seluas 896.334 ha. Kemudian pada 1976 wilayah
persawahan yang terjamin irigasinya meningkat sebanyak 912.150 ha
dan meningkat lagi pada tahun 1984 menjadi 924.847 ha. Berikut akan
disajikan data luas sawah yang terjamin pengairannya:

Tabel 1 Perkembangan Areal Sawah Jawa Timur yang Terjamin


Pengairannya (ha)
Luas Sawah
Tahun
(ha)
1969 896.334
1970 896.334
1971 898.402
1972 899.029
1973 889.847
1974 897.546
1975 896.074
1976 912.150
1977 914.139
1978 914.796
1979 922.028
1980 924.245
1981 926.701
1982 928.500
1983 933.288
1984 924.847
1985 930.743
Sumber: BPS Jawa Timur dalam Nurvianto, 2014

3. Perlindungan Tanaman Melalui Penggunaan bibit unggul,


Pupuk dan Pestisida
Penggunaan bibit unggul untuk mendapatkan hasil yang
memuaskan sudah dilaksanakan sejak dulu. Pada saat pelaksanaan
5

program padi sentra tahun 1963 sudah berhasil menghasilkan jenis


varietas padi unggul seperti padi Bengawan, Jelita yang kemudian pada
tahun 1968 muncul jenis padi PB 5 dan PB 8. Secara produktifitas
varietas tersebut mampu memberikan kenaikan produksi, akan tetapi ada
beberapa kelemahan yang menjadikan varietas ini tidak disukai. Padi
PB tekenal dengan batangnya yang pendek sehingga menimbulkan
kesulitan pada saat pemanenan. Selain itu rasa dari nasinya juga
terbilang tidak enak. Selain itu serangan hama wereng coklat pada
tahun 1974 mengharuskan adanya benih yang tahan terhadap hama
wereng. Hal ini mengakibatkan jumlah produksi padi mengalami
penurunan. Untuk melindungi tanaman padi dari gangguan berbagai
macam hama maka dibentuklah stasiun pengamatan dan peramalan.
Selain dilakukan oleh petani sendiri, di Jawa Timur didirikan stasiun
untuk melakukan pengawasan dan pengamatan lahan intensifikasi dari
serangan hama.
Berikut ini adalah data kerusakan lahan akibat serangan hama
pada tahun 1974-977 di wilayah Jawa Timur

Tabel 2 Luas Panen dan Kerusakan Padi di Jawa Timur Tahun 1974-1977

Luas
Panen Kerusakan (ha) %
Tahun
(ha) Kerusaka
1973 3.670.422 123.422 3,4
1974 3.824.509 65.509 1,7
1975 3.904.631 130.631 3,3
1976 4.002.915 302.915 7,6
1977 3.748.155 327.155 8,7
6

Sumber: Direktorat Publikasi Departemen Penereangan RI dalam


Nurvianto

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat kerusakan yang


terjadi sebelum tahun 1980 cukup besar yang berdampak terjadinya
krisis pangan. Kerusakan lahan pertanian mengakibatkan jumlah
produksi padi pada tahun tahun tersebut tidak pernah mencapai
target. Pada tahun 1973 kerusakan yang mencapai 3,4 % atau seluas
123.422 ha. Kerusakan yang terjadi pada tahun 1977 dengan luas
kerusakan mencapai 327,155 ha atau sekitar 8,7 % dari luas areal
tanam semula. Dampaknya pemerintah masih belum mampu
mencukupi kebutuhan beras masyarakat. Penanggulangan bencana
tersebut dilakukan dengan memberantas hama menggunakan
insektisida. Selain itu penyemprotan menggunakan obat perangsan
pertumbuhan tanaman juga dilakukan guna mendapatkan
pertumbuhan selain menggunakan pupuk.

Tabel 3 Kebutuhan Pestisida di Jawa Timur Tahun 1978 1984


Musim Tanam Insektisid Rodentisida
(Kemarau dan a (Kg)
1978 3.901.500 118.000
1979 3.542.640 183.168
1980 2.050.000 90.000
1981 2.320.716 147.928
1982 2.691.500 78.500
1983 2.650.000 76.500
1984 3.000.000 76.500
Sumber : BPS Jawa Timur 1984
7

Dari data diatas dapat dilihat bahwa penggunaan insektisida


mengalami penurunan dari tahun 1979 sebesar 3.542.640 liter menjadi
3.000.000 liter. Dari data tersebut dapat disimpulkan dari tahun ke
tahun gangguan hama berkurang seiring dengan diciptakannya bibit
unggul baru yang lebih tahan dengan serangan hama. Sementara itu
untuk merangsang pertumbuhan tanaman yang lebih baik, para petani
melakukan pemupukan tanaman padi mereka. Pupuk merupakan faktor
penting guna menjaga agar pertumbuhan tanaman tetap stabil.

Tabel 4 Kebutuhan Pupuk di Jawa Timur Tahun 1978 - 1984


Musim Tanam
Urea (Ton) TSP ( ton )
(Kemarau dan
1978 416.000 124.650
1979 502.689 188.844
1980 526.767 110.000
1981 659.000 149.754
1982 740.000 160.000
1983 765.000 165.000
1984 805.000 201.000
Sumber : BPS Jawa Timur 1984

4. Penyuluhan melalui BIMAS


Untuk meningkatkan pemahaman dan ketrampilan para petani,
selalu mngadakan penyuluhan-penyuluhan kepada kelompok-kelompok
tani yaitu melalui Bimbingan Masal (Bimas). Bimas memiliki 2
program utama dalam pelaksanaannya, yang pertama BIMAS bertugas
sebagai pembimbing petani untuk melakukan teknik pertanian yang
lebih baik dan yang kedua Bimas juga menyalurkan kredit maupun
subsidi dari pemerintah untuk dijadikan modal oleh para petani. Selama
Pelita I pemerintah Jawa Timur sudah menggelontorkan dana yang
digunakan sebegai modal kredit petani pada tahun 1971 sebesar Rp
13.224.897.000 dan pada tahun 1974 menjadi Rp 13.390.000.000,
setiap tahun dana yang dikeluarkan pemerintah terkait juga dengan
adanya peningkatan lahan yang dijadikan sebagai sarana Intensifikasi.
8

Sementara untuk subsidi lebih cenderung diberikan dalam bentuk


pemberian pupuk gratis ataupun murah. Selain itu untuk merangsang
minat dan keseriusan diadakan perlombaan insus dimana setiap
pemenang yang mampu mnghasilkan padi lebih besar dengan kwalitas
terbaik akan diberi hadiah. Di tingkat petani, dibentuk kelompok-
kelompok tani yang berfungsi untuk menjalankan instruksi di lapangan.
Pemerintah akan memutuskan jenis benih apa yang akan digunakan,
berapa lama waktu tanam, jenis pupuk, pestisida, dan lain-lain.
Kemudian, petani tinggal melaksanakan apa yang diinstruksikan,
setelah diberikan penyuluhan oleh lembaga-lembaga penyuluhan yang
dibentuk oleh Departemen Pertanian. Di lapangan, lembaga-lembaga
penyuluhan tersebut dibebankan tugas untuk memastikan apakah
petani sudah menjalankan sesuai dengan yang diinstruksikan. Setiap
penyuluh harus memastikan semua petani bimbingannya menjalankan
instruksi. Perkembangan dari program insus ini menjadi tanggung
jawab para Gubernur, Bupati dan walikota, sehingga pejabat tersebut
harus mengawasi pelaksanaannya agar bisa sukses. Selain itu
penyusunan petunjuk pelaksanaan program ini adalah kewajiban
Kepala kantor wilayah departemen pertanian.

Dampak Terhadap Swasembada Beras Di Jawa Timur Tahun 1969 - 1984


Perencanaan penyelenggaraan program intensifikasi dan ekstensifikasi
pertanian bertujuan untuk meningkatkan hasil produksi beras dalam negeri.
Program ini menggunakan lahan pertanian di seluruh Jawa serta perluasan
areal tanam di pulaupulau lain yang belum maksimal atau masih minim
digunakan sebagai lahan pertanian. Daerah tersebut diharapkan mampu
menyuplai kebutuhan beras penduduk setempat dan memenuhi stok
nasional. Selama pelaksanaanya pulau Jawa menjadi wilayah penghasil
terbesar stok nasional. Terlepas dari banyaknya hambatan yang dilalui dalam
masa pelaksanaannya, hasil positif dapat diraih dengan secara nyata
meningkatnya produktifitas padi dari tahun 1969 1984. Provinsi Jawa Barat
9

menduduki peringkat pertama disusul kemudian provinsi Jawa Timur dan


Jawa Tengah.
Jawa Timur menjadi penyumbang atau sentra produksi padi terbesar
kedua setelah Jawa Barat dengan jumlah produksinya mencapai 5,509,572
ton pada tahun 1974, kemudian mengalami penurunan pada tahun 1975
menjadi 5.376.269 ton. Produksinya mengalami kenaikan lagi pada tahun
1976 dan 1977 menjadi 5.808.125 ton dan 5.847.156 ton. Untuk lebih
jelasnya perhatikan tabel produksi padi Jawa Timur di bawah ini:
Tabel 5 Produksi Padi Jawa Timur Tahun 1969 1984

Sumber : BPS Jawa Timur 1984


10

Nama : Analisis Fungsi Produksi Intensifikasi Usaha Tani Padi di


Kabupaten Manokwari

Lokasi : Kabupaten Manokwari

Tujuan :

- Menambah luas areal padi (percetakan sawah baru, memperluas jaringan air,
menyediakan sumberdaya manusia malalui transmigrasi maupun masyarakat
lokal)
- Meningkatka produksi padi

Manfaat :

- Kepada Pemerintah Daerah, Penyuluh dan Stakeholders: guna memberikan


masukan kebijakan terhadap penyusunan program pembangunan
pertanian terkait dengan upaya peningkatan produksi
- Kepada petani: guna memberikan masukan dan gambaran bahwa pentingnya
intensifikasi usahatani yang baik dan benar akan memberikan manfaat positif
terhadap peningkatan produksi.

Deskripsi :

Sejalan dengan itu, Kabupaten Manokwari sebagai salah satu kabupaten


yang terdapat di provinsi Papua Barat berupaya untuk menjadi salah satu daerah
penghasil padi. Potensi yang dimiliki Kabupaten Manokwari adalah

1. tersedianya sumberdaya manusia sebagai pelaku usahatani padi karena


Kabupaten Manokwari merupakan salah satu daerah program transmigrasi
sejak tahun 1970an,
2. sumberdaya lahan yang cukup potensial dan memungkinkan untuk
pengembangan tanaman padi,
3. sumberdaya air tersedia cukup banyak sehingga permasalahan pengairan
dapat diatasi,
4. aksesibilitas dalam penyampaian hasil pertanian sangat baik dari wilayah
penghasil pertanian ke ibukota Kabupaten
Pemerintah Daerah Kabupaten Manokwari mempunyai program kedepan
sebagai daerah pensuplai padi di Provinsi Papua Barat melalui perluasan areal lahan
11

padi seluas 8.850 ha, meskipun kenyataannya hingga saat ini luas lahan yang telah
tersedia masih kurang dari 2.500 ha (Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kab.
Manokwari, 2007). Upaya untuk menambah areal padi terus diupayakan seperti
pencetakan sawah baru, memperluas jaringan air, dan menyediakan sumberdaya
manusia malalui transmigrasi maupun masyarakat lokal. Dengan hasil dan
pembahsan yaitu:
1. Karakteristik Daerah Penelitian
Berdasarkan penggunaan Lahan pertanian yang sudah
dimanfaatkan seluas 28.159 ha (15.18 %), namun potensi lahan pertanian
mencapai luas 185.501 ha. Lahan pertanian terdiri dari lahan sawah
mencapai luas 3.080 ha dan lahan kering mencapai luas 25.861 ha (Dinas
Pertanian dan Ketahanan Pangan 2005). Sebaran lahan sawah terletak di
Distrik Prafi, Distrik Masni, dan Distrik Oransbari. Ketiga Distrik
tersebut merupakan wilayah transmigrasi sejak tahun 1970-an yang
dikirim secara bertahap.
Berdasarkan hasil Participatory Rural Appraisal (PRA) yang
dilaksanakan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat
dalam rangka persiapan kegiatan Prima Tani pada tahun 2007 diperoleh
beberapa pemecahan masalah terhadap rendahnya produktivitas usahatani
padi di kedua Distrik yaitu : (1) pengadaan benih unggul, (2)
pembentukan penangkar benih untuk menyediakan benih bermutu, (3)
rehabilitasi dan pembuatan saluran irigasi, (4) pengkajian pemupukan
spesifik lokasi, (5) sosialisasi dan pelatihan bagi petani terhadap
perkembangan teknologi seperti teknik pemupukan berimbang,
pembuatan pupuk organik, teknik budidaya PTT, (6) penyediaan alat dan
mesin pertanian, dan (7) peningkatan peran KUD dalam menyediakan
kebutuhan saprodi.
Selanjutnya dari beberapa hasil kegiatan pengkajian yang
dilakukan oleh tim peneliti BPTP Papua Barat Distrik Prafi menunjukkan
bahwa potensi pengembangan dan peningkatan produktivitas padi sawah
masih dapat ditingkatkan. Hasil pengkajian uji adaptif terhadap
beberapa varietas unggul pada kegiatan sistem dan usaha agribisnis lahan
12

sawah di Distrik Papua Barat diperoleh hasil produksi padi bisa mencapai
5 6 ton/ha bila dibandingkan dengan produksi petani setempat 2,3
ton/ha.

2. Analisis Fungsi Produksi

Tabel 1. Hasil Analisis Regresi Fungsi Produksi Pada


Usahatani Padi di Distrik Prafi SP 1 dan Distrik
Masni SP8, Tahun 2009

Variabel Coefisie T-Ratio P-Value


Luas Lahan 0.03570 0.3334 0.739
Benih 0.16046* 3.823 0.000
Tenaga Kerja - -0.3496 0.727
Tenaga Kerja Luar 0.13663* 4.380 0.000
Pupuk Urea 0.32733* 5.598 0.000
Pupuk NPK 0.031528* 2.676 0.009
Pupuk PPC 0.028250 2.301 0.023
Intensifikasi Ustan 0.43553* 6.579 0.000
Dummy MT - -0.8411 0.402
CONSTANT 4.6246* 14.36 0.000
R-SQUARE 0.6157
F hit 19.584
Keterangan : 1% = ***, 5%=**
Sumber : Data Primer diolah
Bila dilihat hasil analisis regresi fungsi produksi menunjukkan
variabel independen yang berpengaruh yaitu variabel benih, tenaga kerja
luar keluarga, pupuk urea, pupuk NPK, pupuk PPC dan intensifikasi
usahatani berpengaruh nyata terhadap produksi padi pada masing-masing
tingkat kesalahan 1% dan 5%. Dari lima variabel yang diduga
mempengaruhi produksi padi tersebut menunjukkan bahwa kelima
variabel tersebut berpengaruh positif terhadap produksi. Ini mengartikan
bahwa :
Jika benih naik 1%, maka produksi padi akan naik sebesar
0.13341%,
13

Jika tenaga kerja luar keluarga naik 1%, maka produksi padi akan
naik sebesar 0.11861%,
Jika pupuk urea naik 1%, maka produksi padi akan naik sebesar
0.40141%;
Jika pupuk NPK naik 1%, maka produksi padi naik sebesar
0.025245%,
Jika pupuk PPC naik 1%, maka produksi padi akan naik sebesar
0.028250%, dan
Jika intensifikasi usahatani naik 1%, maka produksi padi akan
naik sebesar 0.49364%.
Selanjutnya pada tabel diatas dapat dilihat bahwa untuk luas lahan
dan tenaga kerja dalam keluarga tidak berpengaruh terhadap produksi.
Hal ini menunjukkan nilai koefisien variabel-variabel tersebut tidak
bermakna, artinya kenaikan atau penurunan nilai variabel tersebut tidak
berpengaruh terhadap produksi padi. Bila dilihat luas lahan tidak
berpengaruh terhadap produksi diduga karena kepemilikan lahan petani
yang relatif kecil yakni berkisar 0,5 ha sampai 0,75 ha sehingga sulit
dikembangkan untuk meningkatkan produksi sehingga alternatif dalam
meningkatkan produksi adalah melalui penggunaan secara intensif input
produksi (intensifikasi usahatani). Selanjutnya ketersediaan tenaga kerja
dalam keluarga tersedia sangat sedikit yaitu 2 - 3 orang tenaga kerja
produktif (49%) dan berumur diatas 46 tahun (45%) sehingga diduga
kurang memberikan kontribusi terhadap peningkatan produksi. Pada
koefisien dummy Musim Tanam ternyata tidak signifikan, hal ini berarti
secara teknis gabungan kedua musim tanam tidak mempunyai pengaruh
dalam peningkatan produksi padi pada kedua Distrik.
Peningkatan intensifikasi usahatani masih dimungkinkan juga
untuk dilakukan meningkatkan produksi padi. Intensifikasi usahatani
difokuskan bagaimana penggunaan saprodi dan aspek teknis dapat
dilakukan dengan baik, sehingga diharapkan peningkatan produksi ini
dapat terus ditingkatkan. Penerapan intensifikasi yang dilakukan oleh
petani di Kabupaten Manokwari dapat dilihat pada 2 musim tanam terjadi
14

peningkatan produksi yaitu pada musim tanam 1 sebesar 5031,50 kg/ha


dan musim tanaman 2 sebesar 5063,70 kg/ha

Lampiran Foto:

Petani membajak sawah di kampung Muari, Distrik Oransbari, Kabupaten


Manokwari Selatan. Kodim 1703 Manokwari bersama pemerintah daerah akan
membuka lahan sawah padi baru di Kabupaten Manokwari.
15

Nama : Reklamasi Pantai di Wilayah Pesisir Pantai Talise (Teluk Palu)


Lokasi : Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore
Tujuan :
Memperbaiki kawasan pantai menjadi lebih baik fasilitasnya.
Menjadikan Kota Palu menjadi kota pariwisata yang baik, termasuk pusat
perbelanjaan, hotel, ruko apartemen, dan tempat bermain.
Deskripsi :
Proses reklamasi akan berlangsung selama empat tahun dengan dibagi
beberapa tahap pengerjaan. Tahap pertama berlangsung selama satu tahun dengan
menimbun Teluk Palu seluas 10 hektare. Proses penimbunan itu dilakukan oleh
gabungan sejumlah perusahaan daerah serta beberapa investor lain yang hendak
membantu pelaksanaan dari proses reklamasi tersebut. Pembangunan proyek besar
ini diperkirakan mencapai sekitar Rp200 miliar. Teluk Palu memiliki potensi
ekonomi yang tinggi sehingga harus dimanfaatkan secara maksimal.

Setiap tahun, sedimen di Teluk Palu yang berasal dari Sungai Palu sebanyak
1,8 juta ton yang berasal dari Sungai Palu. Hal ini juga salah satu yang mendasari
untuk melakukan reklamasi. Pinggiran pantai yang berada di sekitar Teluk Palu
memiliki potensi wisata sangat menjanjikan namun kurang tertata dengan baik. Di
sepanjang pantai tersebut banyak penjual yang menyediakan beberapa sajian
tradisional, namun belum menyediakan sarana seperti toilet atau tempat ibadah.
Bayangkan, untuk mencari kamar kecil saja susah. Ini persoalan sepele namun
harus dipikirkan. Semua pembangunan yang dilakukan pemerintah dan swasta
diklaim adalah untuk kepentingan masyarakat bukan untuk orang per orang. Harga
tanah di sekitar proyek reklamasi yang berada di pinggiran Pantai Talise
diperkirakan akan terdongkrak naik seiring bertumbuhnya investasi di kawasan
tersebut.

Pemerintah juga menjamin tidak akan menggusur rumah penduduk dan


tempat usaha masyarakat sekitar dengan adanya reklamasi Teluk Palu. Berbagai
pembangunan itu adalah dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat dan
16

menumbuhkan perekonomian Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah ini. Pertumbuhan


ekonomi Kota Palu mencapai diperkirakan 10,7 persen pada 2013, dan kota ini
menargetkan bisa menghapus kemiskinan pada 2015. Saat ini penduduk miskin di
Kota Palu sekitar sembilan persen dari 470 ribu penduduk atau kurang lebih
terdapat sekitar 42.3 ribu jiwa. Akan tetapi, reklamasi Teluk Palu itu nampaknya
tidak semulus sesuai yang direncanakan. Sebelum dan setelah penimbunan secara
simbolis, sejumlah aktivis pegiat lingkungan menentang habis-habisan rencana
reklamasi karena selain mengganggu ekosistem pantai, para petambak garam juga
akan terkena imbasnya. Selain itu juga akan mengurangi daerah tangkapan nelayan
yang telah lama mendiami tempat tersebut.

Dampak Reklamasi Teluk Palu

1. Pembuatan tanggul laut (construction sea wall) tanpa komposisi yang dirancang
dengan konstruksi yang tidak memperhatikan arah arus bawah laut, pecahnya
ombak dan gelombang serta pasut dapat mengakibatkan terjadinya sedimentasi
pada perairan pantai di sekitarnya. Berdasarkan analisis sampel sedimen yang
diambil diperoleh bahwa angkutan sedimen susur pantai di wilayah studi adalah
46.59 m3/hari.

2. Penyebab utama luapan air yang terjadi di sekitar lokasi tersebut diakibatkan
oleh buruknya sistem drainase perkotaan, sehingga meluapnya air ke badan jalan.
Selain itu, akibat peninggian muka air laut maka daerah pantai lainya rawan
tenggelam, atau setidaknya air asin laut naik ke daratan sehingga tanaman banyak
yang mati.

3. Program penataan kawasan pantai di Wilayah Pesisir Pantai Talise (Teluk Palu)
dengan jalan melakukan reklamasi memberikan dampak positif terhadap
perkembangan keruangan, yaitu bertambahnya luas lahan terbangun sehingga dapat
di manfaatkan untuk berbagai kepentingan publik.

4. Kegiatan Reklamasi juga akan berdampak langsung terhadapap warga sekitar


karena mereka telah lama menggantungkan hidupnya di lautan sekitar pantai yang
hendak direklamasi. Nelayan, pemilik kaffe di sekitar pantai, juga para petambak
garam akan kesulitan jika tidak adanya ganti rugi dari pihak yang melakukan
reklamasi. Selain itu, adapula warga yang terkena dampaknya seperti masyarakat
17

yang tinggal di sekitar tempat pengambilan material hingga para pengguna jalan
karena truck pengangkut muatan sering kali melintasi wilayah mereka sehingga
jalanan sangat mudah berdebu. Tidak heran masyarakat akan lebih mudah terkena
infeksi saluran pernapasan.

Lampiran foto:

Badrung, seorang petani garam di Teluk Palu, Sulawesi Tengah sedang menggarap
lahannya. Petani garam khawatir reklamasi di Teluk Palu mengganggu usaha
mereka.
18

Pemandangan Teluk Palu, Sulawesi Tengah dilihat dari ketinggian.

Jejeran perahu yang tertambat disebelah areal reklamasi di pantai di Teluk Palu,
Sulawesi Tengah

Aktivitas truk menumpahkan material untuk reklamasi di Teluk Palu, Sulawesi


Tengah. Berbagai pihak menentang reklamasi Teluk Palu karena merusak
lingkungan.
19

Nama : Reklamasi Lahan Bekas Tambang Menjadi Bangka Botanical


Garden
20

Lokasi : Pangkalpinang, Indonesia

Tujuan :

- menciptakan BBG sebagai paru-paru kota Pangkalpinang, tempat penelitian


lingkungan

- menciptakan sarana edukasi perbaikan lingkungan

- menciptakan wahana olahraga dan hobi (pemancingan, jogging track,


sepeda, dan fotografi), serta lahan pendapatan bagi karyawan dan
masyarakat sekitar

Deskripsi :

Ada beberapa dampak negatif dalam aktivitas penambangan adalah


kerusakan dan hilangnya lapisan tanah, degradasi habitat satwa liar, dan
penurunan keanekaragaman hayati. Hilangnya lapisan tanah yang subur dapat
terlihat dengan jelas di lahan-lahan bekas pertambangan yang dibiarkan begitu
saja. Dari hasil wawancara dengan masyarakat lokal, dampak degradasi habitat
yang dirasakan adalah adanya satwa liar yang memasuki area permukiman untuk
mencari makan, mulai dari kera ekor panjang yang merambah ladang penduduk
sampai buaya yang seringkali memasuki wilayah permukiman dekat sungai atau
muara dan menyerang warga yang tinggal di pelosok.

Akibat lain dari kerusakan hutan adalah fauna khas Propinsi Bangka-
Belitung, yaitu Mentilin atau kera super mini (Primata Tarsius Bancanus
saltator) terancam punah. Kekayaan hayati pun terancam, padahal
keanekaragaman hayati mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan
masyarakat lokal, contohnya adalah pemanfaatan daun simpur (Dillenia indica)
sebagai pembungkus manakan. Daun ini mempunyai sifat antikuman, seperti
halnya daun jati sehingga makanan yang dibungkus daun simpur tidak cepat bau.
Selain daun simpur untuk membungkus makanan, masyarakt lokal juga
memanfaatkan tanaman paku resam (Dicranopteris linearis) sebagai bahan baku
kerajinan, seperti tempat tisu, peci, gantungan kunci dan lain-lain. Kedua jenis
21

tanaman itu banyak saya lihat di tepi hutan di sepanjang perjalanan saya dari
Pangkalpinang ke Batu Betumpang, tetapi semua itu akan punah kalau tidak ada
lagi hutan yang tersisa.

Mengingat hal-hal tersebut di atas, maka pengelolaan dampak negatif


tentunya menjadi sangat penting, tindakan reklamasi areal bekas pertambangan
menjadi urgen untuk dilakukan dalam rangka mengatasi kerusakan lingkungan
yang terjadi.
Ada satu contoh nyata reklamasi areal bekas pertambangan timah yang
berhasil dilakukan di Pangkalpinang, dengan menyulap areal bekas pertambangan
timah menjadi Bangka Botanical Garden (BBG) yang hijau dan telah menjadi
tempat ekowisata sekaligus agrowisata yang menarik dan sangat ramai dikunjungi
oleh masyarakat. Bahkan, saat saya berkunjung, di tempat ini sedang diadakan
lomba burung berkicau yang diikuti oleh pecinta burung nuri dari berbagai daerah,
termasuk dari luar Pulau Bangka. Dari wawancara dengan seorang petugas
lapangan, BBG mulai dikembangkan sejak Maret 2007 oleh PT. Dona Kembara
Jaya sebagai bagian dari program Corporate Social Responsibility (CSR), dengan
tujuan menciptakan BBG sebagai paru-paru kota Pangkalpinang, tempat penelitian
lingkungan, sarana edukasi perbaikan lingkungan, wahana olahraga dan hobi
(pemancingan, jogging track, sepeda, dan fotografi), serta lahan pendapatan bagi
karyawan dan masyarakat sekitar. Berbagai aktivitas pertanian, peternakan dan
perikanan di kawasan ini memang telah memberikan keuntungan secara finansial.
Kawasan ini telah menjadi pusat pembibitan beragam jenis tanaman, beragam jenis
ikan tawar, menciptakan lahan-lahan persawahan yang telah ditanami berbagai jenis
palawija, tambak budidaya ikan, maupun peternakan sapi perah dan potong. BBG
telah menjadi acuan pengembangan lahan tidur dan lahan bekas penambangan
22

timah menjadi lahan produktif, dan menjadi kawanan ekowisata modern di


Indonesia yang

Menjadi kebanggaan warga Pangkalpinang dan Bangka pada umumnya. Saat


ini banyak pula mahasiswa dari Jawa yang studi banding atau kerja praktik di BBG.
BBG dibagi dalam beberapa zona, ada sebagian bekas pertambangan yang
dibiarkan menjadi kolam, dikelola menjadi kolam pemancingan dan tempat wisata
perahu motor. Di sudut yang lain terdapat area perkebunan sayuran, bermacam
buah-buahan, pohon penghijauan, peternakan sapi perah, padang rumput, dan ada
sebagian lahan rawa yang dibiarkan tetap alami dengan tanaman bakaunya.
Memang memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk menyulap areal bekas
pertambangan seluas 300 hektar ini menjadi BBG, karena harus mengambil tanah
dari lokasi lain dan memindahkannya ke lokasi ini. Tetapi, biaya yang telah banyak
dikeluarkan untuk reklamasi lahan tersebut telah menghasilkan jasa lingkungan
yang dapat dinikmati dalam jangka panjang dan berkelanjutan. BBG telah menjadi
contoh sukses dalam melaksanakan reklamasi areal bekas pertambangan.

Lampiran Foto:
23

Gambar 1. Kebun Kurma di dalam Bangka Botanical Garden (BBG)

Gambar 2. Keramaian Pengunjung BBG


24

Gambar 3. Kebun Buah Mangga dan Sayuran Asparagus di BBG

Anda mungkin juga menyukai