PENDAHULUAN
Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sangat mudah memberikan
suatu manifestasi klinis apabila timbul gangguan pada tubuh. Salah satu gangguan
tersebut dapat disebabkan oleh reaksi alergi terhadap suatu obat. Erupsi obat alergi
atau allergic drug eruption itu sendiri ialah reaksi alergi pada kulit atau daerah
mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik.(1)
Pemberian dengan cara sistemik di sini berarti obat tersebut masuk melalui
mulut, hidung, rektum, vagina, dan dengan suntikan atau infus. Sedangkan reaksi
alergi yang disebabkan oleh penggunaan obat dengan cara topikal, yaitu obat yang
digunakan pada permukaan tubuh mempunyai istilah sendiri yang disebut
dermatitis kontak alergi. (1)
Tidak semua obat dapat mengakibatkan reaksi alergi ini. Hanya beberapa
golongan obat yang 1% hingga 3% dari seluruh pemakainya akan mengalami
erupsi obat alergi atau erupsi obat. Obat-obatan tersebut yaitu; obat anti inflamasi
non steroid (OAINS), antibiotik; misalnya penisilin dan derivatnya, sulfonamid,
dan obat-obatan antikonvulsan. (1)
Menurut WHO, sekitar 2% dari seluruh jenis erupsi obat yang timbul
tergolong serius karena reaksi alergi obat yang timbul tersebut memerlukan
perawatan di rumah sakit bahkan mengakibatkan kematian. Sindrom Steven-
Johnson (SSJ) dan Nekrolisis Epidermal Toksis (NET) adalah beberapa bentuk
reaksi serius tersebut. (1)
Perlu ditegakkan diagnosa yang tepat dari gangguan ini memberikan
manifestasi yang serupa dengan gangguan kulit lain pada umumnya. Identifikasi
dan anamnesa yang tepat dari penyebab timbulnya reaksi obat adalah salah satu
hal penting untuk memberikan tatalaksana yang cepat dan tepat bagi penderita
dengan tujuan membantu meningkatkan prognosis serta menurunkan angka
morbiditas. (1)
1
BAB II
LAPORAN KASUS
Nama : Ny. E
Umur : 33 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status Marital : Menikah
Alamat : Jl. Kalisegoro Semarang
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : SI
Pekerjaan : Pegawai swasta
Tanggal Periksa : 18 Oktober 2017
2.2 Anamnesis
a. Keluhan utama
2
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Kepala :
3
Mata : tidak ada kelainan
Hidung : tidak ada kelainan
Telinga : tidak ada kelainan
Mulut : tidak ada kelainan
Leher : tampak lesi kulit kemerahan pada leher sebelah kiri
Thoraks :
Jantung dan paru tidak ditemukan adanya kelainan, tampak adanya lesi
kulit berupa macula eritama disertai bula pada bagian thoraks anterior dan
posterior
Abdomen : tidak ada kelainan
Ekstremitas : tampak adanya lesi kulit macula eritema pada brachii
dekstra dan lesi macula eritama disertai bula pada 1/3 femur dekstra et
sinistra.
Kulit : Lihat status dermatologi
I. Status Dermatologikus
Inspeksi
4
Gambar 2.2 makula eritema di lengan atas
5
- Epidermolisis bulosa
- Eritema Multiformis
- Sindrom Steven Johnson
2.8 Penatalaksanaan
Umum
- Topikal
Bedak salisilat 2 % ditambah dengan obat antipruritus mentol %
2.9 Prognosis
6
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Definisi
Erupsi obat alergik atau drug eruption ialah reaksi alergik pada kulit atau
daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya
sistemik. Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui mekanisme imunologik
mauun non imunologik. Yang dimaksud erupsi obat alergi adalah alergi terhadap
obat yang terjadi melalui mekanisme imunologik. Hal ini terjadi pada pemberian
obat kepada penderita yang sudah mempunyai hipersensitivitas terhadap obat jenis
tertentu. (2)
Biasanya obat berperan sebagai antigen yang tidak lengkap atau hapten
disebabkan oleh berat molekulnya yang rendah. Terjadinya reaksi hipersensitivitas
karena obat harus di metabolisme terlebih dahulu menjadi produk secara kimia
7
yang sifatnya reaktif. Secara umum metabolisme obat dapat dianggap sebagai satu
bentuk proses detoksifikasi yaitu obat dikonversi dari zat yang larut dalam lemak
nonpolar, menjadi zat yang hidrofilik dan polar yang mudah dieksresi. (2)
Terdapat dua langkah untuk terjadiya reaski yaitu reaksi fase 1 atau reaksi
oksidasi reduksi dan reaksi fase 2 atau reaksi konjugasi. Reaksi oksidasi reduksi
umumnya melibatkan enzin sitokrom p450, prostaglandin sintetase dan macam
peroksidase jaringan. Reaksi fase 2 diperantarai oleh enzim, misalnya hidrolase,
glutation-S-transferase, dan N-asetyl-transferase. Untuk dapa menimbulkan reaksi
imunologik hapten harus bergabung dahulu dengan protein pembawa yang ada
dalam sirkulasi atau protein jaringan hospes. Protein pembawa diperlukan oleh
obat atau metabolitnya untuk merangsang sel limfosit T agar mernagsang sel
limfosit B membentuk antibodi terhadap obat atau metabolitnya. (2)
3.2 Faktor-faktor risiko timbulnya erupsi obat adalah:
1. Jenis Kelamin dan Usia
Banyak orang menyatakan bahwa anak-anak lebih jarang tersensitisasi
akibat obat jika dibandingkan dengan orang dewasa. Akan tetapi
beberapa jenis kasus erupsi obat alergi yang memiliki prognosis buruk
lebih sering mengenai anak-anak. Pada anak anak, ruam merah yang
timbul akibat virus sering mengaburkan gambaran klinis erupsi alergi
obat akibat antimikroba yang diberikan. Wanita lebih sering menderita
erupsi obat alergi dibandingkan pria (5).
2. Faktor Genetik
Erupsi obat alergik berhubungan dengan faktor genetik dan lingkungan
misalnya pada kasus nekrolisis epidermal toksik akibat sulfonamida. Hal
ini berhubungan dengan gen human leukocyte antigen. Diantara para
remaja yang memiliki orang tua dengan riwayat alergi antibiotika,
25,6% remaja tersebut juga memiliki alergi obat yang sama (5).
3. Pajanan Obat Sebelumnya
Hal yang terpenting dari erupsi alergi obat adalah pajanan obat yang
sebelumnya menimbulkan alergi ataupun obat obatan lain yang
memiliki struktur kimia yang sama.Akan tetapi, alergi obat tidak bersifat
persisten. Setelah pajanan, imunnoglobulin e dapat bertahan dari 55
hongga 2000 hari (5).
4. Riwayat Penyakit yang Dimiliki
8
Pasien dengan riwayat penyakit asma cenderung mudah menderita
dermatitis atopi (5).
5. Bentuk Obat
Beberapa jenis obat seperti antibiotika beta laktam dan sulfonamida
memiliki potensial untuk mensensitisasi tubuh (5).
6. Cara Masuk Obat
Obat yang diaplikasikan secara kutaneus cenderung lebih menyebabkan
erupsi alergi obat. Antibiotika beta laktam dan sulfonamida jarang
digunakan secara topikal karena alasan ini. Dosis dan durasi pemberian
obat juga berperan dalam timbunya erupsi alergi obat (5).
9
Menurut Lee & Thomson (2006), terdapat empat mekanisme
imunologis. Reaksi pertama yaitu reaksi tipe I (reaksi anafilaksis)
merupakan mekanisme yang paling banyak ditemukan. Pada tipe ini,
imunoglobulin yang berperan ialah imunoglobulin E yang mempunyai
afinitas tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pajanan pertama dari obat tidak
menimbulkan reaksi, tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat yang
sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan
merangsang pelepasan bermacam-macam mediator seperti histamin,
serotonin, bradikinin, dan heparin. Mediator yang dilepaskan ini akan
menimbulkan bermacam-macam efek misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis
yang paling ditakutkan adalah timbulnya syok. Mekanisme kedua adalah
reaksi tipe II (reaksi autotoksis) dimana terdapat ikatan antara
imunoglobulin G dan imunoglobulin M dengan antigen yang melekat pada
sel. Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang
berakhir dengan lisis (7).
10
Alergen dipresentasikan ke sel T CD4+ oleh sel dendritik (yang
menangkap alergen dari tempat masuknya: selaput lendir hidung, paru,
konjungtiva). Sel T kemudian berubah menjadi sel Th2. Sel T CD4+ ini
berperan penting dalam patogenesis hipersensitivitas tipe I karena
sitokin yang disekresikannya (khususnya IL-4 dan IL-5) menyebabkan
diproduksinya IgE oleh sel B, yang bertindak sebagai faktor
pertumbuhan untuk sel mast, serta merekrut dan mengaktivasi eosinofil.
Antibodi IgE berikatan pada reseptor Fc berafinitas tinggi (Fc-R1)
yang terdapat pada sel mast dan basofil; begitu sel mast dan basofil
dipersenjatai, individu yang bersangkutan diperlengkapi untuk
menimbulkan hipersensitivitas tipe I. (2,3,4)
Pajanan yang ulang terhadap antigen yang sama mengakibatkan
pertautan-silang antara antigen dengan IgE yang terikat sel dan memicu
suatu kaskade sinyal intrasel sehingga terjadi pelepasan beberapa
mediator kuat. Mediator primer untuk respons awal sedangkan mediator
sekunder untuk fase lambat. Setelah pemicuan IgE, mediator primer di
dalam granula sel mast dilepaskan untuk memulai tahapan awal reaksi
hipersensitivitas tipe 1. Histamine merupakan komponen utama granul
sel mast. histamin yang merupakan mediator primer yang dilepas akan
diikat oleh reseptornya. (2,3,4)
Ada 4 reseptor histamine (H1, H2, H3, H4) dengan distribusi
yang berbeda dalam jaringan dan bila berikatan dengan histamine akan
menunjukkan berbagai efek, yaitu meningkatnya permeabilitas
vaskular, vasodilatasi, bronkokontriksi, dan meningkatnya sekresi
mukus. Mediator lain yang segera dilepaskan meliputi adenosin
(menyebabkan bronkokonstriksi dan menghambat agregasi trombosit)
serta faktor kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil. Mediator lain
ditemukan dalam matriks granula dan meliputi heparin serta protease
netral (misalnya, triptase). Protease menghasilkan kinin dan memecah
komponen komplemen untuk menghasilkan faktor kemotaksis dan
inflamasi tambahan (misalnya, C3a). (2-4)
Mediator sekunder mencakup dua kelompok senyawa mediator
lipid dan sitokin. Mediator lipid dihasilkan melalui aktivitas fosfolipase
11
A2, yang memecah fosfolipid membrane sel mast untuk menghasilkan
asam arakhidonat. Selanjutnya asam arakhidonat merupakan senyawa
induk untuk menyintesis leukotrien dan prostaglandin. Leukotrien
merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal paling poten,
agen ini beberapa ribu kali lebih aktif daripada histamin dalam
meningkatkan permeabilitas vaskular dan dalam menyebabkan
kontraksi otot polos bronkus. (2-4)
Prostaglandin adalah mediator yang paling banyak dihasilkan
oleh jalur siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan
bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi mukus. Faktor
pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain,
mengakibatkan agregasi trombosit, pelepasan histamin dan
bronkospasme. Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4,
IL-5 dan IL-6) dan kemokin berperan penting pada reaksi
hipersensitivitas tipe I melalui kemampuannya merekrut dan
mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF merupakan mediator
yang sangat poten dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4
juga merupakan faktor pertumbuhan sel mast dan diperlukan untuk
mengendalikan sintesis IgE oleh sel B. IL-5 mengaktifkan eosinophil.
3.2.2 Tipe 2 (Reaksi Sitostatik)
Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang
diarahkan untuk melawan antigen target pada permukaan sel atau
komponen jaringan lainnya. Antigen tersebut dapat merupakan molekul
intrinsik normal bagi membrane sel atau matriks ekstraseluler atau
dapat merupakan antigen eksogen yang diabsorbsi (misalnya metabolit
obat). (2-4)
Sel-sel yang menjadi target antibodi diopsonisasi oleh molekul-
molekul yang mampu menarik fagosit, sehingga sel-sel tersebut
mengalami deplesi. Saat antibodi (IgG/IgM) terikat pada permukaan
sel, terjadi pengaktifan sistem komplemen. Aktivasi komplemen
terutama menghasilkan C3b dan C4b, yang akan terikat pada
permukaan sel. C3b dan C4b ini akan dikenali oleh fagosit yang
mengekspresikan reseptor C3b dan C4b. Hasil akhirnya yaitu
12
fagositosis dari sel yang di-opsonisasi, kemudian sel tersebut
dihancurkan. (2,3,4)
Reaksi ini disebabkan oleh obat (antigen) yang memerlukan
penggabungan antara IgG dan IgM di permukaan sel. Hal ini
menyebabkan efek sitolitik atau sitotoksik oleh sel efektor yang
diperantarai komplemen. Gabungan obat antibodi komplemen terfiksasi
pada sel sasaran ialah berbagai macam sel biasanya eritrosit, leukosit,
trombosit yang mengakibatkan lisis sel, sehingga reaksi tipe II tersebut
disebut juga reaksi sitolisis atau sitotoksik. Contohnya ialah penisilin,
sefalosporin, streptomisin, sulfonamida, analgesik, antipiuretik dan
isonoazid. Erupsi obat alergi yang berhubungan dengan tipe ini ialah
purpura, bila sel sasarannya trombosit. (2,3,4)
3.2.3 Tipe III (Reaksi Kompleks imun)
Terjadi akibat pembentukan & pengendapan kompleks imun
(kompleks antigen-antibodi). Penumpukan kompleks imun terjadi bila
antigen dalam jumlah besar yang masuk ke dalam sirkulasi darah. Bila
antigen jauh berlebihan dibanding antibodi, kompleks yang terbentuk
kecil yang tidak mudah untuk dibersihkan oleh fagosit. (2,3,4)
Kompleks imun terutama mengendap dikapiler glomerulus
(granular), tetapi dapat ditemukan ditempat lain seperti pada sendi dan
kulit. Kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen juga
makrofag, granulosit, dan trombosit. Komplemen yang diaktifkan
melepaskan anafilatoksin (C3a, C5a) yang memacu sel mast dan basofil
melepaskan histamin yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas
vaskular, serta menarik lebih banyak neutrofil untuk datang dan
memfagosit kompleks imun yang ada. Dinding kapiler akan diserang
oleh sistem komplemen dan fagosit serta neutrofil yang tertarik secara
kemotaksis. Saat neutofil bekerja dilepaskanlah intergranular enzim
(toksin) yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan setempat. (2,3,4)
Reaksi ini ditandai oleh pembentukan komplek antigen, antibodi
(IgG dan IgM) dalam sirkulasi darah atau jaringan dan mengaktifkan
komplemen. Komplemen yang diaktifkan kemudian melepaskan
berbagai medator diantaranya enzim-enzim yang dapat merusak
jaringan. Kompleks imun akan beredar dalam sirkulasi dan kemudian
13
dideposit pada sel sasaran. Contohnya ialah penisilin, ertitromisin,
sulfonamid, slidila, dan isoniazid. (2,3,4)
14
Obat penyebab yang sering ialah sulfonamid, barbiturat, trimetropan, dan
analgesik.(2,4,5,6)
Penyebab FDE diduga karena reaksi imunologi. Berdasarkan
mekanisme imunologik yang terjadi pada reaksi obat dapat berupa IgE
mediated drug eruption, immunocomplex dependent drug reaction, cytotoxic
drug induced reaction dan cell mediated reaction. Lesi pada FDE terjadi
akibat penigkatan kadar histamine dan komplemen yang sangat bermakna.
Keadaan ini diduga sebagai penyebab timbulnya reaksi eritema, lepuh dan
rasa gatal. (2,4,5,6)
Sel infiltrat yang terdaat pada FDE adalah sel limfosi T (T4 dan T8).
Terdapat pula peningkatan sel mast serta ditemukan HLA-DR pada limfosit
T (limfosit aktif) yang berada di dermis. Limfosit T yang menetap dilesi
kulit berperan dalam memori imunologis dan menjelaskan rekurensi lesi
pada tempat yang sama. Keratinosit pada lesi kulit FDE menunjukkan
peningkatan ekspresi pada ICAM 1 dan HLA DR dan hal ini menjelaskan
migrasi limfosit T ke sel epidermis dan mengakibatkan kerusakan. (2,4,5,6)
3.5 Gejala Klinis
FDE dapat timbul dalam waktu 30 menit sampai 8 jam setelah
ingesti obat secara oral. Lesi berupa makula oval atau bulat, berwarna merah
atau keunguan, berbatas tegas, seiring dengan waktu lesi bisa menjadi bula,
mengalami deskuamasi atau menjadi krusta. Ukuran lesi bervariasi mulai
dari lentikuler sampai plakat. Lesi awal soliter, tapi jika penderita meminum
obat yang sama maka lesi akan timbul kembali disertai dengan lesi yang
baru. Timbulnya lesi ditempat yang sama menjelaskan arti kata fixed pada
nama penyakit tersebut. Gejala lokal meliputi gatal dan rasa terbakar, jarang
dijumpai gejala sistemik. Lesi pada FDE apabila menyembuh akan
meninggalkan bercak hiperpigmentasi post inflamasi yang menetap dalam
jangka waktu yang lama. (2,4,5,6)
15
Gambar 3.2. Gambaran lesi FDE
3.6 Pemeriksaan Penunjang
- Uji tempel obat dengan cara obat dengan konsentrasi 10% dalam vaselin
atau etanol 70% diaplikasikan secara terbuka pada bekas lesi dan
punggung penderita. Observasi dilakukan dalam 24 jam pertama, dan
dianggap positif bila terdapat eritema yang jelas yang bertahan selama
minimal 6 jam. Kalau cara ini tidak memungkinkan untuk dilaksanakan
dianjurkan uji tempel tertutup biasa dengan pembacaan pertama setelah
24 jam. (2,4,5,6)
- Uji provokasi oral merupakan pemeriksaan baku emas unuk memastikan
penyebab. Uji ini dikatakan aman dan dapat dipercaya untuk pasien
anak. Uji ini bertujuan untuk mencetuskan tanda dan gejala klinis yang
lebih ringan dengan pemberian obat dosis kecil biasanya dosis 1/10 dari
obat penyebab sudah cukup untuk memprovokasi reaksi dan provokasi
biasanya sudah muncul dalam beberapa jam. Karena risiko yang
mungkin ditimbulkannya maka uji ini harus dilakukan dibawah
pengawasan petugas medis yang terlatih. (2,4,5,6)
3.7 Penatalaksanaan
1. Pengobatan kausal
Dilaksanakan dengan menghindari obat tersangka (apabila obat
tersangka telah dapat dipastikan). Dianjurkan pula untuk menghindari
obat yang mempunyai struktur kimia mirip dengan obat tersangka (satu
golongan).
2. Pengobatan sistemik
- Kortikosteroid
16
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat
sistemik. Dosis standar untuk fixed drug eruption pada orang dewasa
ialah 3 x 10 mg prednisone sehari. Untuk lesi mukosa luas, umum, dan
sangat menyakitkan, oral prednisone 1 mg / kg berat badan diturunkan
selama pemberian dari 2 minggu. (2,4,5,6)
- Antihistamin
Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika
terdapat rasa gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang bila
dibandingkan dengan kortikosteroid
3. Pengobatan topikal
Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit,
apakah kering atau basah. Pada FDE, jika kelainan membasah dapat
diberi kompres dan jika kering dapat diberi krim kortikosteroid,
misalnya krim hidrokortison 1% atau 2 %. (2,4,5,6)
Identifikasi dari obat penyebab FDE dilakukan apabila hanya 1
obat yang digunakan biasanya kita mencurigai beberapa obat sebagai
petunjuk yang kita gunakan adalah mengetahui kronologis pemberian
obat-obatan tersebut. Hanya obat-obatan yang baru digunakan (8-21
hari) yang dimasukkan dalam daftar yang dicurigai. (2,4,5,6)
Identifikasi yang jelas dari obat penyebab dan catatan tertulis
tentang obat-obat penyebab yang diberikan pada pasien oleh dokter
merupakan langkah pencegahan yang sangat penting. Pemberian obat
spesifik (kortikosteroid, obat-obatan imunosupresif/ terapi anti sitokin,
immunoglobulin) seharusnya tidak diberikan sesuai standar pemberian
obat sebelum terdapat bukti efisiensi penggunaannya terhadap pasien,
kadang-kadang penggunaan obat-obatan tersebut dapat berbahaya bagi
pasien.
3.8 Diagnosis Banding
3.8.1 Eritema nodosum
17
Kelainan kulit berupa eritema dan nodus-nodus yang nyeri
disertai gejala umum berupa demam, dan malaise. Tempat perdileksi
ialah di regio ekstensor tungkai bawah. (2,4,5,6)
3.8.2 Eritroderma
Eritroderma pada penderita alergi obat berbeda dengan
eritroderma pada umumnya yang biasanya disertai eritem dan skuama.
Pada penderita alergi obat terlihat adanya eritema tanpa skuama,
skuama justru baru akan timbul pada stadium penyembuhan.(2,5,7)
3.8
.3 Erupsi bulosa
Erupsi bulosa ini ditemukan pada; pemphigus foliaceus, fixed
drug eruption (FDE), erythema multiforme major (EM-major), SSJ dan
TEN
a. Pemphigus. Obat yang dapat menyebabkannya adalah
golongan penisilin dan golongan thiol. Drug-induced bullous
pemphigoid dapat terlihat dalam beberapa bentuk. Dimulai
dari urtikaria hingga terbentuk bulla yang luas dengan
melibatkan kavitas mukosa mulut, dapat juga berupa
beberapa bulla dalam ukuran sedang atau berupa plak dan
nodul yang disertai skar dan bulla. Gangguan ini dapat
muncul kembali pada 35-50 persen kasus sebagai pemphigus
foliaceus. (2,5,7)
b. Fixed Drug Eruption (FDE). Lesi baru akan timbul satu
minggu sampai dua minggu setelah paparan pertama kali dan
akan diikuti timbul lesi berikutnya dalam jangka waktu 24
jam. FDE ini akan terlihat sebagai makula yang soliter,
eritematosa dan berwarna merah terang dan dapat berakhir
menjadi suatu plak edematosa. Lesi biasanya akan muncul di
daerah bibir, wajah, tangan, kaki dan genitalia. Apabila
penderita memakan obat yang sama, maka FDE akan muncul
kembali ditempat yang sama. Histologisnya, FDE serupa
dengan erythema multiformis yang ditandai dengan adanya
limfosit di dermal-epidermal junction dan perubahan
18
degeneratif dari epitel yang disertai diskeratosis. FDE kronis
memberikan gambaran acanthosis, hiperkeratosis, dan
hipergranulosis dan dapat ditemukan eosinofil dan neutrofil.
Terdapat peningkatan jumlah sel T helper dan sel T supresor
pada tempat lesi. (2,5,7)
c. Eritema multiformis merupakan erupsi mendadak dan
rekuren pada kulit dan/atau selaput lendir dengan tanda khas
berupa lesi iris (target lesion). (2,5,7)
d. Sindrom Stevens-Johnson (ektodermosis erosiva
pluriorifisialis, sindrom mukokutaneaokular, eritema
multiformis tipe Hebra, eritema multiforme mayor, eritema
bulosa maligna) adalah sindrom kelainan kulit berupa
eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai
kulit, selaput lendir orifisium, dan mata dengan keadaan
umum bervariasi dari baik sampai buruk. (2,5,7)
e. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) adalah penyakit kulit
akut dan berat dengan gejala khas berupa epidermolisis yang
menyeluruh, disertai kelainan pada selaput lendir di orifisium
genitalia eksterna dan mata. Kelainan pada kulit dimulai
dengan eritema generalisata kemudian timbul banyak vesikel
dan disertai purpura di wajah, ekstremitas, dan badan.
Kelainan pada kulit dapat disertai kelainan pada bibir dan
selaput lendir mulut berupa erosi dan ekskoriasi. Lesi kulit
dimulai dengan makula dan papul eritematosa kecil
(morbiliformis) disertai bula lunak (flaccid) yang dengan
cepat meluas dan bergabung. Pada NET yang penting ialah
terjadinya epidermolisis, yaitu epidermis terlepas dari
dasarnya dengan gambaran klinisnya menyerupai luka bakar.
Adanya epidermolisis menyebabkan tanda Nikolsky positif
pada kulit yang eritematosa, yaitu jika kulit ditekan dan
digeser maka kulit akan terkelupas. Epidermolisis mudah
dilihat pada tempat yang sering terkena tekanan, yakni
19
punggung, aksila, dan bokong. Pada sebagian pasien kelainan
kulit hanya berupa epidermolisis dan purpura tanpa disertai
erosi, vesikel, dan bula. Pada NET, kuku dapat terlepas dan
dapat terjadi bronkopneumonia. Kadang-kadang dapat terjadi
perdarahan di traktus gastrointestinal. Umumnya NET terjadi
pada orang dewasa. NET merupakan penyakit berat dan
sering menyebabkan kematian karena gangguan
keseimbangan cairan/elektrolit atau sepsis. (2,5,7)
20
DAFTAR PUSTAKA
21
11. Sitakalin C. Drug Eruption. Dalam: Sitakalin C. Cutaneus drug
reactions. Institute of dermatology: Bangkok.
12. Retno WS, Suhartini KS ; Erupsi Obat Alergik, dalam ; Sri Adi S, et al
eds, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Erupsi Obat Alergik,
Balai Penerbit FK-UI, Jakarta
13. Gruchalla RS, Beltrani VS. Drug induced cutaneus reaction. Dalam:
Leung DYM, Greaves MW. Allergic skin disease, Marcel Dekker, Inc :
New York Basel, 2000
14. Alanko K, Hannuksela M. Mechanisms of drug reaction. Dalam:
Kauppinen K, et al. Skin reaction to drug. CRC Press : Boca Raton
New York
22