Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

RETENSIO PLACENTA

Disusun Oleh :
dr. Bayu Ramadhan

Pembimbing :
dr. Ade Fitra
dr. Lidyawati

Narasumber :
dr. Rinta Maulina Sp.OG

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


KEMENTERIAN KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
RUMAH SAKIT OTORITA BATAM
2016/2017
BAB I
ILUSTRASI KASUS

I.Identitas

Nama : Nn. E
Tempat, Tanggal lahir : Batam, 6 Mei 1992
Umur : 25 tahun
Alamat : Kp. Baru Indosat RT 01 RW 06
Suku bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Ibu RT
Pendidikan terakhir : SMA
No.Rekam Medis : 39.56.87
Tanggal masuk : 16 Juni 2017
Tanggal pemeriksaan : 16 Juni 2017

II. Anamnesis

1. KeluhanUtama
Placenta belum lahir >60menit
2. Keluhan Tambahan

3. Riwayat Penyakit Sekarang


pasien diantar ke igd rujukan dari bidan dengan retensio placenta,pasien baru
melahirkan jam 21:20 dibidan dengan persalinan normal, pasien melahirkan anak pertama,
bayi perempuan dengan berat 2700gr, tidak ada perdarahan, namun placenta belum lahir
lebih dari 30 menit, sudah diberikan inj. Oxitocin 2x namun placenta belum lahir , tidak ada
rasa mual, pusing disangkal, biasa ANC di bidan dan pernah di USG di dr. Meman Sp.OG.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


6. Riwayat Kebiasaan

III. PemeriksaanFisik
KeadaanUmum : Tampak slemas
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital
- Tekanan Darah : 110/70mmHg - Respirasi : 20 x/menit
- Nadi : 78 x/menit - Suhu : 36.5C

Kepala : Normocephal, rambut berwarna hitam dan tumbuh merata.


Mata : Pupil isokor, RC / RCTL +/+.
Leher : Tidak teraba massa. Tidak teraba pembesaran KGB leher.
Thorax :
- Inspeksi : Hemitoraks kanan dan kiri simetris pada saat statis dan dinamis
- Palpasi : Hemitoraks kanan dan kiri simetris pada saat fremitus taktil
- Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
- Auskultasi : Suara napas vesikular, wheezing -/-, rhonki -/-

Abdomen :
- Inspeksi : Datar, simetris
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Palpasi : Supel, tidak teraba massa, dan tidak ada nyeri tekan
- Perkusi : Timpani hampir diseluruh kuadran abdomen

Ekstremitas :
- Superior : Akral teraba hangat, CRT < 2, dan tidak tampak deformitas
- Inferior : Akral teraba hangat, CRT < 2, dan tidak tampak deformitas

Pemeriksaaan Obstetri
Inspeksi: tampak tali pusat didepan vulva, perdarahan tidak aktif, tampak lupa epis grade II
belum dijahit.
Palpasi : Tfu 2 jari diatas pusat
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium

Parameter Hasil Nilai Rujukan


Hemoglobin 11,3 11,0 16,5 g/dL
Hematokrit 34,8 35,0 50,0 %
Eritrosit 4,41 3,8 5,8 106 /uL
MCV 78,9 80,0 97,0 Fl
MCH 25,7 26,5 33,5 pg
MCHC 32,8 31,5 35,0 g/dL
Leukosit 15,71 4 11 103/uL
Basofil 0,1 103/uL
Neutrofil 13,95 46 75 %
Eosinofil 0,01 103/uL
Limfosit 1,00 103/uL
Monosit 0,75 103/uL
Trombosit 207 150 450 103/uL
GDS 118 100-140
Golongan darah B+

IV. Resume
V. pasien diantar ke igd rujukan dari bidan dengan retensio placenta,pasien baru melahirkan jam
21:20 dibidan dengan persalinan normal, pasien melahirkan anak pertama, bayi
perempuan dengan berat 2700gr, tidak ada perdarahan, namun placenta belum lahir
lebih dari 30 menit, sudah diberikan inj. Oxitocin 2x namun placenta belum lahir , tidak
ada rasa mual, pusing disangkal, biasa ANC di bidan dan pernah di USG di dr. Meman
Sp.OG.

VI. Diagnosis
Hemoragic post partum ec Retensio Placenta
VII. Penatalaksanaan
Konsul dr. Rinta Maulina Sp.OG
Kosongkan kantung kemih
IVFD RL 500 cc + ocytocin 5Ui
VIII.
Follow-up

Tanggal Subjective Objective Assessment Plan


17/06/2017 Nyeri pada CM, KU: sedang HPP+ retensio Ivfd Rl+oxitocin 5u
00:10 WIB luka jalan lahir TD : 110/70 placenta Kosongkan
mmHg kantung kemih
N : 78 x/m Manual placenta
RR: 20x/i
Temp:38,5
Kontaksi uterus
baik
Perdarahan tidak
aktif

17/06/2017 Nyeri CM, KU: sedang Amoxixilin


01:30 WIB berkurang TD : 110/70 HPP+ retensio
3x500mg tab
bekas luka mmHg placenta
jahitan. N : 78 x/m Asam mefenamat
RR: 20x/i
3x500mg
Temp:38,5
Kontaksi uterus Hemafat 1x1 tab
baik
Perdarahan (-)

17/06/2017 Nyeri (-) CM, KU: sedang P1A0 + Pasien boleh rawat
13:50 Perdarahan (-) TD : 110/70 retensio
jalan
mmHg placenta
N : 78 x/m Terapi teruskan
RR: 20x/i
Temp:38,5
Kontaksi uterus
baik
BAB II
DISKUSI

Dari data anamnesis didapatkan keterangan mengenai seorang pasien perempuan, umur
19 tahun datang ke IGD RSOB dengan keluhan keluar cairan berupa darah dan nanah dari
telinga kiri sejak 4 hari SMRS. Sebelumnya keluhan keluarnya cairan dari telinga sudah
beberapa kali dialami pasien dan dikatakan telinga mengalami infeksi, namun tidak pernah
kontrol berobat hingga selesai. Keluhan ini sudah berulang sejak pasien berusia 5 tahun.
Penurunan pendengaran telinga kiri diakui pasien beberapa bulan belakangan ini. Hal ini
sesuai dengan definisi otitis media supuratif kronis (OMSK) yaitu OMSK merupakan
stadium dari penyakit telinga tengah dimana terjadi peradangan kronis dari telinga
tengah dan mastoid dan membran timpani tidak intak (perforasi) dan ditemukan sekret
(otorea), purulen yang hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa
nanah dan berlangsung lebih dari 2 bulan.
Dari anamnesis juga didapatkan adanya kumpulan gejala berupa pusing berputar, mual,
muntah, bertambah jika pasien berubah posisi, membaik jika berbaring, penurunan fungsi
pendengaran, tidak disertai penglihatan ganda, telinga berdenging. Keluhan yang dialami
pasien adalah pusing berputar atau yang disebut dengan vertigo. Vertigo adalah halusinasi
gerakan lingkungan sekitar serasa berputar mengelilingi pasien atau pasien serasa berputar
mengelilingi lingkungan sekitar (Sura, 2010). Keluhan vertigo harus benar-benar dicermati
pada saat anamnesis karena sering kali dikacaukan dengan nyeri kepala atau keluhan lain
yang bersifat psikosomatis. Riwayat infeksi berat pada telinga dialami pasien yaitu OMSK
maligna dengan kolesteatom. Adanya keluhan kelemahan sisi tubuh, kesuliatn berbicara,
pandangan ganda, dan penglihatan kabur disangkal sehingga dari anamnesis lebih
menguatkan kepada vertigo perifer.
OMSK maligna dengan kolesteatom dapat menimbulkan berbagai macam komplikasi,
baik intrakranial maupun ekstrakaranial, dimana salah satu gejala penyebaran intrakranial
yang timbul adalah vertigo. Hal ini ditemukan pada pasien. Terjadinya vertigo dimungkinkan
karena adanya penyebaran infeksi telinga melalui tulang dalam telinga yang terdestruksi
sehingga menyebabkan mastoiditis kronis dan gangguan keseimbangan yang tampak sebagai
vertigo.
Pemeriksaan fisik harus difokuskan pada sifat nistagmus, beratnya ataksia, ada tidaknya
gejala yang berhubungan dengan gangguan serebellum misalnya dismetri dan abnormalitas
nervus kraniales misalnya ophtalmoplegi, diplopia atau disartri, serta pada pemeriksaan fisik
juga ditemukan tes lermit (-) sesuai dengan hasil rontgen sehingga tidak ada etiologi
berdasarkan servikogenik. Pada pemeriksaan juga didapatkan sistem motoric dalam batas
normal sehingga melemahkan ke arah vertigo sentral. Tes romberg (+), gangguan
pendengaran(+),stepping tes(+), dan dix hallpike maneuver (-) pada saat keadaan pasien
membaik maka hasil ini mendukung ke arah vertigo vestibular. Secara lebih sederhana,
Eaton dan Roland membedakan vertigo sentral dan perifer sebagai berikut:

Mual dan Gejala


Kausa muntah Ataksia Tuli neurologis Kompensasi

Vertigo perifer Berat Jarang Sering Jarang Cepat

Vertigo Sentral Sedang Sering Jarang Sering Lambat

(Dikutip dari Eaton dan Roland)

Berikut ini tabel untuk membedakan vertigo perifer dari vertigo sentral.

Tanda dan Gejala Vertigo Perifer Pasien Vertigo Sentral

1. Serangan Intermiten intermiten Konstan

2. Pusing berputar Hebat hebat Tidak terlalu hebat

3. Mual muntah Hebat hebat Ringan

4. Nistagmus Selalu ada Ada Ada/tidak ada

5. Ciri Nistagmus tidak pernah vertikal horisontal sering vertikal

6.Kurang pendengaran /
tinitus Sering ada Tidak ada Jarang ada

7. Tanda Lesi batang otak Tidak ada Tidak ada Ada

8. Disartria Tidak ada Tidak ada Ada

9. Defek Visual Tidak ada Tidak ada Ada


10. Diplopia Tidak ada Tidak ada Ada

11. Drop attack Tidak ada Tidak ada Ada

12. Ataksia Tidak ada Tidak ada Ada

Lambat, tegak dan Lambat, tegak Bergerak menyimpang


13. Gaya berjalan berhati-hati dan berhati-hati ke satu arah, ataksik

Sumber: Hamid,2003., Sidharta, 1999., Perdossi, 2000., Greenberg, 2001

Untuk menegakan diagnosis dilakukan pemeriksaan fisik. Dengan pemeriksaan fisik dapat
membedakan adanya proses patologis di perifer atau di sentral. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan adanya tanda vital dalam batas normal, namun didapatkan tanda tanda peradangan
kronis pada telinga kiri, yaitu adanya sekret yang keluar dari OAE berupa darah dan cairan
kekuningan, berbau, yang sudah berulang kali dialami pasien. Juga ditemukan adanya
hiperemis dan nyeri tekan pada tulang belakang telinga. Hal ini diperkuat dengan telah
dilakukannya pemeriksaan penunjang berupa CT mastoid dengan kesan mastoiditis kronik
AS, kolesteatom AS, dan defek tegmen timpani dan sigmoid plate yang merupakan faktor
resiko terjadinya vertigo perifer. Selain itu pada pemeriksaan didapatkan adanya gangguan
pendengaran pada telinga kiri disertai dengan adanya kolesteatom, hal ini semakin
menguatkan kemungkinan bahwa vertigo yang terjadi bersifat otogenik.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) dan Kolesteatoma

1.1 Definisi
Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) adalah radang kronis telinga tengah dengan
perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorea) lebih dari 2
minggu, baik terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening
atau berupa nanah (World Health Organization 2004; Helmi 2005; Chole & Nason 2009).
OMSK dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe benigna dan tipe bahaya. OMSK tipe
bahaya adalah OMSK yang mengandung kolesteatoma,disebut tipe bahaya karena sering
menimbulkan komplikasi berbahaya (Helmi 2005; Chole & Nason 2009).
Insidens OMSK tinggi di negara berkembang, karena lingkungan yang padat,
pelayanan kesehatan yang tidak memadai, higiene yang buruk, dan infeksi saluran
pernafasan atas yang rekuren, nutrisi yang kurang dan polusi (World Health Organization
2004; Chole & Nason 2009).
OMSK tipe bahaya disebut juga tipe atikoantral. Komplikasi umumnya disebabkan
jaringan granulasi dan kolesteatoma yang menyebabkan erosi dan nekrosis yang
mengenai struktur penting seperti nervus fasialis, telinga dalam dan komponen
intrakranial. Dapat terjadi erosi tulang pendengaran dan menyebabkan ketulian
(Browning et al. 2008; Rout et al. 2012).
Kolesteatoma dapat didefinisikan sebagai lesi non neoplastik dan destruktif yang
mengandung lapisan keratin pada suatu kavitas yang dilapisi oleh epitel skuamus dan
jaringan ikat subepitelial (Persaud 2007).

1.2 Etiologi OMSK


Faktor risiko pada otitis media adalah disfungsi tuba Eustachius (misalnya
rinosinusitis, hipertrofi adenoid, atau karsinoma nasofaring), imunodefisiensi (primer atau
didapat), gangguan fungsi silia, anomali midfasial kongenital (cleft palate atau Down
syndrome), dan refluks gastroesofageal. Faktor risiko yang menonjol pada OMSK adalah
infeksi otitis media yang berulang dan orang tua dengan riwayat otitis media kronis
dengan perawatan yang tidak baik (World Health Organization 2004; Ramakrishnan et al.
2005; Bhat et al. 2009; Chole & Nason 2009).
1.3 Patogenesis OMSK
Ada dua mekanisme perforasi kronis yang dapat menyebabkan infeksi telinga tengah
yang berlanjut atau berulang: (1) Bakteri dapat mengkontaminasi telinga tengah secara
langsung dari telinga luar karena efek proteksi barier fisikal membran timpani telah
hilang. (2) Membran timpani yang utuh secara normal menghasilkan bantalan gas, yang
menolong untuk mencegah refluks sekresi nasofaring ke dalam telinga tengah melalui
tuba Eustachius. Hilangnya mekanisme protektif ini menyebabkan terpaparnya telinga
tengah terhadap bakteri patogen dari nasofaring (Yates & Anari 2008). Pada dasarnya
tuba eustachius memiliki 3 fungsi utama sebagai mekanisme pertahanan yaitu pertama
sebagai ventilasi untuk menjaga keseimbangan tekanan udara natara telinga luar dan
dalam. Fungsi kedua sebagai proteksi dan fungsi ketiga sebagai clearance. Jika terdapat
gangguan pada membran timpani atau tuba maka terjadi ketidakseimbangan fungsi yang
dapat menyebabkan refluks nasofaring yang sekretnya mengkontaminasi telinga tengah.
Bila bakteri memasuki telinga tengah melalui nasofaring atau defek membran
timpani, terjadi replikasi bakteri di dalam efusi serosa. Hal ini diikuti oleh pelepasan
mediator inflamasi ke dalam ruang telinga tengah. Hiperemia dan leukosit
polimorfonuklear yang mendominasi fase inflamasi akut memberi jalan pada fase kronis,
ditandai dengan mediator selular mononuklear (makrofag, sel plasma dan limfosit),
edema persisten dan jaringan granulasi. Selanjutnya dapat terjadi metaplasia epitel telinga
tengah, dimana terjadi perubahan epitel kuboidal menjadi epitel kolumnar
pseudostratified yang mampu meningkatkan sekret mukoid. Jaringan granulasi menjadi
lebih fibrotik, kadang-kadang membentuk adhesi terhadap struktur penting di telinga
tengah. Hal ini akan mengganggu aerasi antrum dan mastoid dengan mengurangi ruang
antara osikel dan mukosa yang memisahkan telinga tengah dari antrum. Obstruksi kronis
menyebabkan perubahan ireversibel di dalam tulang dan mukosa (Chole & Nason 2009).

1.4 Patogenesis Kolesteatoma


Terdapat 4 teori utama sebagai etiopatogenesis kolesteatoma didapat yakni:
a. Teori invaginasi
Teori invaginasi pembentukan kolesteatoma secara umum diterima sebagai salah satu
mekanisme primer dalam pembentukan atik kolesteatoma. Retraction pockets dari
pars flaksida terjadi karena tekanan negatif telinga tengah dan kemungkinan
disebabkan inflamasi berulang. Ketika retraction pocket membesar, deskuamasi
keratin tidak dapat dibersihkan dari reses kemudian terbentuk kolesteatoma. Asal dari
retraction pocket kolesteatoma disangkakan adalah disfungsi tuba Eustachius atau
otitis media efusi dengan resultante tekanan telinga tengah (ex vacuo theory). Pars
flaksida, yang kurang fibrous dan kurang tahan terhadap pergerakan, biasanya sebagai
sumber kolesteatoma.
b. Teori invasi epitel
Teori ini menyatakan invasi epitel skuamosa dari liang telinga dan permukaan luar
dari membran timpani mempunyai kemampuan bermigrasi ke telinga tengah melalui
perforasi marginal atau perforasi atik. Epitel akan masuk sampai bertemu dengan
lapisan epitel yang lain, yang di sebut dengan contact inhibition (Chole & Nason
2009).
c. Teori hiperplasia sel basal
Sel epitel (prickle cells) dari pars flaksida dapat menginvasi jaringan subepitelial
dengan cara proliferasi kolum sel epitel. Epitel yang menginvasi lamina propria, basal
lamina (basement membrane) menjadi berubah. Kerusakan basal lamina
menyebabkan invasi kerucut epitel ke dalam jaringan ikat subepitel dan membentuk
mikrokolesteatoma. Mekanisme ini dapat menerangkan beberapa tipe kolesteatoma,
termasuk yang terbentuk di belakang membran timpani yang utuh. Mikrokolesteatoma
membesar dan mengadakan perforasi secara sekunder melalui membran timpani,
meninggalkan ciri khas kolesteatoma atik (Chole & Nason 2009).
d. Teori Metaplasia Skuamosa
Infeksi atau inflamasi jaringan yang kronis diketahui dapat mengalami transformasi
metaplasia. Epitel kuboid pada telinga tengah dapat berubah menjadi epitel berkeratin.

1.5 Diagnosis OMSK


Diagnosis OMSK dibuat berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Gejala
klinis meliputi tuli, otorea, otalgia, obstruksi hidung, tinitus dan vertigo. Tuli dan otorea
merupakan gejala yang paling umum terjadi (Chole & Nason 2009).
OMSK ditandai oleh otorea yang banyak dan intermiten, bila disertai dengan
kolesteatoma yang terinfeksi maka menimbulkan bau busuk. Nyeri dapat terjadi sebagai
tanda komplikasi intrakranial dari kolesteatoma. Gejala lainnya adalah otorea yang
berdarah, vertigo akibat fistula labirin, paralisis nervus fasialis atau gejala neurologis
akibat penyebaran intrakranial. (Yates & Anari 2008; Chole & Nason 2009).
Diagnosis OMSK dan kolesteatoma telinga biasanya dilakukan dengan pemeriksaan
otomikroskopik. Perlu juga untuk mengevaluasi nasofaring karena disfungsi tuba
Eustachius sering menyebabkan OMSK pada beberapa kasus. Pemeriksaan dengan
mikroskop akan membantu untuk mengidentifikasi perforasi membran timpani, retraction
pockets, kolesteatoma, dan jaringan granulasi. Primary acquired kolesteatoma akan
terlihat pada daerah posterosuperior membran timpani yang tampak seperti defek mutiara
putih yang mengandung debris keratin, sementara secondary acquired kolesteatoma dapat
dilihat di belakang membran timpani (Yates & Anari 2008; Chole & Nason 2009).
Pemeriksaan mikrobiologi dari sekret telinga juga dapat dilakukan untuk menentukan
pengguanaan antibiotik yang tepat.
Pemeriksaan audiologi dengan audiogram nada murni digunakan untuk menilai
hantaran udara dan tulang, penting untuk mengevaluasi tingkat penurunan pendengaran
dan untuk menentukan gap udara dan tulang. Audiometri tutur berguna untuk menilai
speech reception threshold pada kasus untuk memperbaiki pendengaran.
Pemeriksaan pencitraan mastoid perlu untuk melihat perluasan penyakit dan untuk
mengidentifikasi kolesteatoma. Walaupun Computed Tomography (CT) dianggap
merupakan gold standard untuk mendiagnosis kolesteatoma, namun spesifitasnya
kurang untuk membedakan kolesteatoma dengan jaringan granulasi atau edema. Pada CT,
kolesteatoma terlihat sebagai lesi yang halus dan berbatas tajam, umumnya CT dilakukan
tanpa kontras (
Pada pemeriksaan dengan magnetic resonance imaging (MRI) kolesteatoma terlihat
sebagai low signal pada T1-weighted images dan high signal pada T2-weighted images.
MRI dengan gadolinium sangat berguna bila disangkakan terjadi komplikasi intrakranial
karena keunggulannya dalam visualisasi densitas jaringan lunak. MRI juga efektif untuk
mendiagnosis penyakit yang menyebar ke apeks petrosa (Wright & Valentine 2008;
Wright & Valentine 2008; Chole & Nason 2009).
1.6 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan OMSK adalah untuk menyembuhkan gejala dan
meminimalisir risiko komplikasi penyakit. Penggunaan antibiotik tetes telinga atau
topikan disertai aural toilet lebih efektif dibandingakn hanya dengan aural toilet saja.
Quinolon menjadi salah satu pilihan antibiotik yang dapat digunakan pada OMSK.
Penggunaan quinolon topikan dikatakan lebih efektif dibandingkan tetes telinga. Selain
kuinolon, antibiotik lain yang dapat juga digunakan adalah ofloxacin dan aminoglikosida.
Antibiotik sistemik dianjurkan digunakan sebagai terapi awal atau bila terapi dengan
topikal gagal. Berikut penggunaan antibiotik sistemik yang dianjurkan :
Pembedahan adalah satu-satunya pengobatan yang efektif pada kolesteatoma.
Granulasi dan inflamasi mukosa sementara dapat diatasi dengan obat topikal dan aural
toilet untuk mengurangi otorea sambil menunggu operasi (Wright & Valentine 2008).
Terdapat berbagai macam teknik operasi untuk menangani kolesteatoma, yang secara
umum dapat dibagi atas open cavity (canal wall down) dan closed cavity (intact canal
wall) mastoidektomi (Wright & Valentine 2008).
a. Canal wall down procedures
Prosedur ini mengeluarkan dan mengangkat semua kolesteatoma, termasuk dinding
posterior liang telinga, sehingga kavum mastoid berhubungan langsung dengan liang
telinga luar (Helmi 2005; Merchant, Rosowski & Shelton 2009; Dhingra 2010).
b. Intact Canal Wall Procedures
Keuntungan intact canal wall mastoidectomy adalah anatomi normal dinding posterior
liang telinga dapat dipertahankan tanpa perlu membuang dan merekonstruksi skutum.
Prosedur ini sering dilakukan pada kasus primary acquired cholesteatoma bila
kolesteatoma terdapat di atik dan antrum. Dilakukan complete cortical mastoidectomy
dan antrum mastoid dapat dilihat. Diseksi matriks kolesteatoma harus dilakukan dengan
hati-hati. Rekurensi dapat terjadi bila fragmen kecil dari epitel berkeratinisasi
tertinggal. Sering diperlukan second look operation setelah 6-12 bulan kemudian
disebabkan rekurensi kolesteatoma (Wright & Valentine 2008; Chole & Nason 2009).

1.7 Komplikasi OMSK dengan Kolesteatoma


Karena kapasitasnya untuk menyebabkan erosi tulang, yang terdapat pada 80% kasus,
kolesteatoma bertanggung jawab terhadap komplikasi ekstrakranial dan intrakranial. Bila
komplikasi ini muncul, menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Vitale &
Riberio 2007).
Komplikasi OMSK dengan kolesteatoma dapat berupa (Friedland, Pensak & Kveton
2009):
A. Komplikasi Intratemporal
- Petrositis
- Paralisis nervus fasialis
- Labirinitis
- Mastoiditis
- Abses subperiosteal
- Fistel retroaurikular
B. Komplikasi intrakranial
- Abses ekstradural
- Abses subdural
- Meningitis
- Abses otak otogenik
- Tromboplebitis sinus lateralis
- Hidrosefalus otikus

2. Vertigo
1.1 Anatomi dan Fisiologi Alat Keseimbangan Tubuh
Terdapat tiga sistem yang mengelola pengaturan keseimbangan tubuh yaitu : sistem
vestibular, sistem proprioseptik, dan sistem optik. Sistem vestibular meliputi labirin
(aparatus vestibularis), nervus vestibularis dan vestibular sentral. Labirin terletak dalam
pars petrosa os temporalis dan dibagi atas koklea (alat pendengaran) dan aparatus
vestibularis (alat keseimbangan). Labirin yang merupakan seri saluran, terdiri atas labirin
membran yang berisi endolimfe dan labirin tulang berisi perilimfe, dimana kedua cairan
ini mempunyai komposisi kimia berbeda dan tidak saling berhubungan.
Aparatus vestibularis terdiri atas satu pasang organ otolith dan tiga pasang kanalis
semisirkularis. Otolith terbagi atas sepasang kantong yang disebut sakulus dan utrikulus.
Sakulus dan utrikulus masing-masing mempunyai suatu penebalan atau makula sebagai
mekanoreseptor khusus. Makula terdiri dari sel-sel rambut dan sel penyokong. Kanalis
semisirkularis adalah saluran labirin tulang yang berisi perilimfe, sedang duktus
semisirkularis adalah saluran labirin selaput berisi endolimfe. Ketiga duktus
semisirkularis terletak saling tegak lurus.
Sistem vestibular terdiri dari labirin, bagian vestibular nervus kranialis kedelapan
(yaitu,nervus vestibularis, bagian nervus vestibulokokhlearis), dan nuklei vestibularis di
bagian otak, dengan koneksi sentralnya. Labirin terletak di dalam bagian petrosus os
tempolaris dan terdiri dari utrikulus, sakulus, dan tigan kanalis semisirkularis. Labirin
membranosa terpisah dari labirin tulang oleh rongga kecil yang terisi dengan perilimf;
organ membranosa itu sendiri berisi endolimf. Urtikulus, sakulus, dan bagian kanalis
semisirkularis yang melebar (ampula) mengandung organ reseptor yang berfungsi untuk
mempertahankan keseimbangan.
Tiga kanalis semisirkularis terletak di bidang yang berbeda. Kanalis semisirkularis
lateral terletak di bidang horizontal, dan dua kanalis semisirkularis lainnya tegak lurus
dengannya dan satu sama lain. Kanalis semisirkularis posterior sejajar dengan aksis os
petrosus, sedangkan kanalis semisirkularis anterior tegak lurus dengannya. Karena aksis
os petrosus terletak pada sudut 450 terhadap garis tengah, kanalis semisirkularis anterior
satu telinga pararel dengan kanalis semisirkularis posterior telinga sisi lainnya, dan
kebalikannya. Kedua kanalis semisirkularis lateralis terletak di bidang yang sama
(bidang horizontal).
Masing-masing dari ketiga kanalis semisirkularis berhubungan dengan utrikulus.
Setiap kanalis semisirkularis melebar pada salah satu ujungnya untuk membentuk
ampula, yang berisi organ reseptor sistem vestibular, krista ampularis. Rambut-rambut
sensorik krista tertanam pada salah satu ujung massa gelatinosa yangmemanjang yang
disebut kupula, yang tidak mengandung otolit. Pergerakan endolimf di kanalis
semisirkularis menstimulasi rambut-rambut sensorik krista, yang dengan demikian,
merupakan reseptor kinetik (reseptor pergerakan).
Utrikulus dan sakulus mengandung organ resptor lainnya, makula utrikularis dan
makula sakularis. Makula utrikulus terletak di dasar utrikulus paralel dengan dasar
tengkorak, dan makula sakularis terletak secara vertikal di dinding medial sakulus. Sel-
sel rambut makula tertanam di membrana gelatinosa yang mengandung kristal kalsium
karbonat, disebut statolit. Kristal tersebut ditopang oleh sel-sel penunjang.
Reseptor ini menghantarkan implus statik, yang menunjukkan posisi kepala terhadap
ruangan, ke batang otak. Struktur ini juga memberikan pengaruh pada tonus otot. Implus
yang berasal dari reseptor labirin membentuk bagian aferen lengkung refleks yang
berfungsi untuk mengkoordinasikan otot ekstraokular, leher, dan tubuh sehingga
keseimbangan tetap terjaga pada setiap posisi dan setiap jenis pergerakan kepala.
Stasiun berikutnya untuk transmisi implus di sistem vestibular adalah nervus
vestibulokokhlearis. Ganglion vestibulare terletak di kanalis auditorius internus;
mengandung sel-sel bipolar yang prosesus perifernya menerima input dari sel resptor di
organ vestibular, dan yang proseus sentral membentuk nervus vestibularis. Nervus ini
bergabung dengan nervus kokhlearis, yang kemudian melintasi kanalis auditorius
internus, menmbus ruang subarakhnoid di cerebellopontine angle, dan masuk ke batang
otak di taut pontomedularis. Serabut-serabutnya kemudian melanjutkan ke nukleus
vestibularis, yang terletak di dasar ventrikel keempat.
Kompleks nuklear vestibularis terbentuk oleh :
Nukleus vestibularis superior (Bekhterev)
Nukleus vestibularis lateralis (Deiters)
Nukleus vestibularis medialis (Schwalbe)
Nukleus vestibularis inferior (Roller)

Gambar . Kompleks nuklear vestibularis dan hubungan sentralnya. A. Komponen nulkeus


vestibularis. B. Hubungan sentral masing-masing komponen nukleus vestibularis.
Serabut-serabut nervus vestibularis terpisah menjadi beberapa cabang sebelum memasuki
masing-masing kelompok sel di kompleks nuklear vestibularis, tempat mereka membentuk
relay sinaptik dengan neuron kedua.
Anatomi hubungan aferen dan eferen nuklei vestibularis saat ini belum diketahui secara
pasti. Teori yang berlaku saat ini adalah sebagai berikut :
Sebagian serabut yang berasal dari nervus vestibularis menghantarkan impuls
langsung ke lobus flokulonodularis serebeli (arkhiserebelum) melalui traktus
juxtarestiformis, yang terletak di dekat pedunkulus serebelaris inferior. Kemudian,
lobus flokulonodularis berproyeksi ke nukleus fastigialis dan melalui fasikulus
unsinatus (Russell), kembali ke nukleus vestibularis; beberapa serabut kembali
melalui nervus vstibularis ke sel-sel rambut labirin, tempat mereka mengeluarkan efek
regulasi inhibitorik utama. Selain itu, arkhi serebelum mengandung serabut-serabut
ordo kedua dari nukleus vestibularis superior, medialis, dan inferior dan
mengirimkan serabut eferen langsung kembali ke kompleks nuklear vestibularis, serta
ke neuron motorik medula spinalis, melalui jaras serebeloretikularis dan
retikulospinalis.
Traktus vestibulospinalis lateralis yang penting berasal dari nukleus vestibularis
lateralis (Deiters) dan berjalan turun pada sisi ipsilateral di dalam fasikulus anterior ke
motor neuron dan medula spinalis, turun hingga ke level sakral. Impuls yang
dibawa di traktus vestibularis lateralis berfungsi untuk memfasilitasi refleks ekstensor
dan mempertahankan tingkat tonus otot seluruh tubuh yang diperlukan untuk
keseimbangan.
Serabut nukleus vestibularis medialis memasuki fasikulus longitudinalis medialis
bilateral dan berjalan turun di dalamnya ke sel-sel kornu anterius medula spinalis
servikalis, atau sebagai traktus vestibulospinalis medialis ke medula spinalis torasika
bagian atas. Serabut-serabut ini berjalan turun di bagian anterior medula spinalis
servikalis, di dekat fisura mediana anterior, sebagai fasikulus sulkomarginalis, dan
mendistribusikan dirinya ke sel-sel kornu anterior setinggi servikal dan torakal bagian
atas. Serabut ini mempengaruhi tonus otot leher sebagai respon terhadap posisi kepala
dan kemungkinan juga berpapartisipasi dalam refleks yang menjaga ekuilibrium
dengan gerakan lengan untuk keseimbangan.
Semua nukleus vestibularis berproyeksi ke nuklei yang mempersarafi otot-otot
ekstraokular melalui fasikulus longitudinalis medialis.
Neurofisiologi Alat Keseimbangan Tubuh
Alur perjalanan informasi berkaitan dengan fungsi AKT melewati tahapan sebagai berikut.
Tahap Transduksi.
Rangsangan gerakan diubah reseptor (R) vestibuler (hair ceel), R. visus (rod dan cone
cells) dan R proprioseptik, menjadi impuls saraf. Dari ketiga R tersebut, R vestibuler
menyumbang informasi terbesar disbanding dua R lainnya, yaitu lebih dari 55%.
Mekanisme transduksi hari cells vestibulum berlangsung ketika rangsangan gerakan
membangkitkan gelombang pada endolyimf yang mengandung ion K (kalium). Gelombang
endolimf akan menekuk rambut sel (stereocilia) yang kemudian membuka/menutup kanal ion
K bila tekukan stereocilia mengarah ke kinocilia (rambut sel terbesar) maka timbul influks
ion K dari endolymf ke dalam hari cells yang selanjutnya akan mengembangkan potensial
aksi. Akibatnya kanal ion Ca (kalsium) akan terbuka dan timbul ion masuk ke dalam hair
cells. Influks ion Ca bersama potensial aksi merangsangn pelepasan neurotransmitter (NT) ke
celah sinaps untuk menghantarkan (transmisi) impuls ke neuron berikutnya, yaitu saraf aferen
vestibularis dan selanjutnya menuju ke pusat AKT.

2.2 Definisi
Vertigo adalah halusinasi gerakan lingkungan sekitar serasa berputar mengelilingi pasien
atau pasien serasa berputar mengelilingi lingkungan sekitar. Vertigo tidak selalu sama dengan
dizziness. Dizziness dapat berupa vertigo, presinkop (perasaan lemas disebabkan oleh
berkurangnya perfusi cerebral), light-headness, disequilibrium (perasaan goyang atau tidak
seimbang ketika berdiri).
Vertigo - berasal dari bahasa Latin vertere yang artinya memutar - merujuk pada sensasi
berputar sehingga mengganggu rasa keseimbangan seseorang, umumnya disebabkan oleh
gangguan pada sistim keseimbangan.
2.3 Epidemiologi
Vertigo merupakan gejala yang sering didapatkan pada individu dengan prevalensi
sebesar 7 %. Dizziness telah ditemukan menjadi keluhan yang paling sering diutarakan oleh
pasien, yaitu sebesar 20-30% dari populasi umum. Dari keempat jenis dizziness vertigo
merupakan yang paling sering yaitu sekitar 54%. Pada sebuah studi mengemukakan vertigo
lebih banyak ditemukan pada wanita disbanding pria (2:1), sekitar 88% pasien mengalami
episode rekuren.
Vertigo sentral biasanya diderita oleh populasi berusia tua karena adanya faktor resiko
yang berkaitan, diantaranya hipetensi, diabetes melitus, atherosclerosis, dan stroke. Cedera
vaskular dan infark di sirkulasi posterior dapat menyebabkan kerusakan yang permanen dan
kecacatan. Pemulihan seperti yang terjadi pada vertigo perifer akut tidak dapat diharapkan
pada vertigo sentral.

2.4 Etiologi
Vertigo merupakan suatu gejala,sederet penyebabnya antara lain akibat kecelakaan,stres,
gangguan pada telinga bagian dalam, obat-obatan, terlalu sedikit atau banyak aliran darah ke
otak dan lain-lain. Tubuh merasakan posisi dan mengendalikan keseimbangan melalui organ
keseimbangan yang terdapat di telinga bagian dalam. Organ ini memiliki saraf yang
berhubungan dengan area tertentu di otak. Vertigo bisa disebabkan oleh kelainan di dalam
telinga, di dalam saraf yang menghubungkan telinga dengan otak dan di dalam otaknya
sendiri.

Keseimbangan dikendalikan oleh otak kecil yang mendapat informasi tentang posisi
tubuh dari organ keseimbangan di telinga tengah dan mata.
Penyebab umum dari vertigo:
1. Keadaan lingkungan : mabuk darat, mabuk laut.
2. Obat-obatan : alkohol, gentamisin.
3. Kelainan telinga : endapan kalsium pada salah satu kanalis semisirkularis di dalam
telinga bagian dalam, infeksi telinga bagian dalam karena bakteri, labirintis, penyakit
Menier, peradangan saraf vestibuler, herpes zoster.
4. Kelainan Neurologis : Tumor otak, tumor yang menekan saraf vestibularis, sklerosis
multipel, dan patah tulang otak yang disertai cedera pada labirin, persyarafannya atau
keduanya.
5. Kelainan sirkularis : Gangguan fungsi otak sementara karena berkurangnya aliran
darah ke salah satu bagian otak ( transient ischemic attack ) pada arteri vertebral dan
arteri basiler.
2.5 Klasifikasi
Vertigo dapat berasal dari kelainan di sentral (batang otak, serebelum atau otak) atau di
perifer (telinga dalam, atau saraf vestibular).
1. Fisiologik : ketinggian, mabuk udara.
Vertigo fisiologik adalah keadaan vertigo yang ditimbulkan oleh stimulasi dari
sekitar penderita, dimana sistem vestibulum, mata, dan somatosensorik berfungsi
baik. Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain :
Mabuk gerakan (motion sickness)
Mabuk ruang angkasa (space sickness)
Vertigo ketinggian (height vertigo)
2. Patologik :
Sentral
Perifer

Vertigo dapat diklasifikasikan menjadi :


a. Sentral diakibatkan oleh kelainan pada batang batang otak atau cerebellum
b. Perifer disebabkan oleh kelainan pada telinga dalam atau nervus cranialis
vestibulocochlear (N. VIII)
c. Medical vertigo dapat diakibatkan oleh penurunan tekanan darah , gula darah yang
rendah, atau gangguan metabolic karena pengobatan atau infeksi sistemik.

Kata kunci untuk vertigo yang berasal dari sentral adalah gejala atau tanda
batang otak lainnya atau tanda onset akut misalnya sakit kepala tuli dan temuan
neurologis lainnya misalnya trigeminal sensory loss pada infark arteri cebellar postero
inferior. Red flag pada pasien dengan vertigo meliputi :
Sakit kepala
Gejala neurologis
Tanda neurologis
Gambar . Perbedaan vertigo central dan perifer

Selain itu kita bisa membedakan vertigo sentral dan perifer berdasarkan nystagmus.
Nystagmus adalah gerakan bola mata yang sifatnya involunter, bolak balik, ritmis, dengan
frekuensi tertentu. Nystagmus merupakan bentuk reaksi dari refleks vestibulo oculer terhadap
aksi tertentu. Nystagmus bisa bersifat fisiologis atau patologis dan manifes secara spontan
atau dengan rangsangan alat bantu seperti test kalori, tabung berputar, kursi berputar,
kedudukan bola mata posisi netral atau menyimpang atau test posisional atau gerakan kepala.
Tabel . Membedakan nystagmus sentral dan perifer adalah sebagai berikut :
No. Nystagmus Vertigo Sentral Vertigo Perifer

1. Arah Berubah-ubah Horizontal /


horizontal rotatoar
2. Sifat Unilateral / bilateral Bilateral

3. Test Posisional
- Latensi Singkat Lebih lama
- Durasi Lama Singkat
- Intensitas Sedang Larut/sedang
- Sifat Susah ditimbulkan Mudah ditimbulkan

4. Test dengan rangsang (kursi Dominasi arah Sering ditemukan


putar, irigasi telinga) jarang ditemukan
5. Fiksasi mata Tidak terpengaruh Terhambat

2.6 Patofisiologi
Vertigo timbul jika terdapat gangguan alat keseimbangan tubuh yang mengakibatkan
ketidakcocokan antara posisi tubuh (informasi aferen) yang sebenarnya dengan apa yang
dipersepsi oleh susunan saraf pusat (pusat kesadaran).
Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba di pusat integrasi alat
keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual dan proprioseptik. Jika fungsi
alat keseimbangan tubuh di perifer atau sentral dalam kondisi tidak normal/ tidak
fisiologis, atau ada rangsang gerakan yang aneh atau berlebihan, maka proses
pengolahan informasi akan terganggu, akibatnya muncul gejala vertigo dan gejala
otonom. Di samping itu, respons penyesuaian otot menjadi tidak adekuat sehingga
muncul gerakan abnormal yang dapat berupa nistagmus, unsteadiness, ataksia saat
berdiri/ berjalan dan gejala lainnya.

2.7 Gejala Klinis


Gejala klinis pasien dengan dizziness dan vertigo dapat berupa gejala primer,
sekunder ataupun gejala non spesifik. Gejala primer berupa vertigo, impulsion,
oscilopsia, ataxia, gejala pendengaran.
Vertigo, diartikan sebagai sensasi berputar. Vertigo dapat horizontal, vertical atau
rotasi. Vertigo horizontal merupa tipe yang paling sering, disebabkan oleh disfungsi dari
telinga dalam. Jika bersamaan dengan nistagmus, pasien biasanya merasakan sensasi
pergerakan dari sisi yang berlawanan dengan komponen lambat. Vertigo vertical jarang
terjadi, jika sementara biasanya disebabkan oleh BPPV. Namun jika menetap, biasanya
berasal dari sentral dan disertai dengan nistagmus dengan gerakan ke bawah atau ke atas.
Vertigo rotasi merupakan jenis yang paling jarang ditemukan. Jika sementara biasnaya
disebabakan BPPV namun jika menetap disebabakan oleh sentral dan biasanya disertai
dengan rotator nistagmus.
Impulsi diartikan sebagai sensasi berpindah, biasanya dideskrepsikan sebagai sensais
didorong atau diangkat. Sensasi impulse mengindikasi disfungsi apparatus otolitik pada
telinga dalam atau proses sentral sinyal otolit
Oscilopsia ilusi pergerakan dunia yang dirovokasi dengan pergerakan kepala. Pasien
dengan bilateral vestibular loss akan takut untuk membuka kedua matanya. Sedangkan
pasien dnegan unilateral vestibular loss akan mengeluh dunia seakan berputar ketika
pasien menoleh pada sisi telinga yang mengalami gangguan.
Ataksia adalah ketidakstabilan berjalan, biasnaya universal pada pasien dengan
vertigo otologik dan sentral. Gejala pendengaran biasanya berupa tinnitus, pengurangan
pendengaran atau distorsi dan sensasi penuh di telinga. Gejala sekunder meliputi mual,
gejala otonom, kelelahan, sakit kepala, dan sensitivitas visual.

Faktor Pencetus
Faktor pencetus dan dapat mempersempit diagnosis banding pada vertigo vestibular
perifer. Jika gejala terjadi hanya ketika perubahan posisi, penyebab yang paling mungkin
adalah BPPV. Infeksi virus yang baru pada saluran pernapasan atas kemungkinan
berhubungan dnegan acute vestibular neutritis atau acute labyrhinti. Faktor yang
mencetuskan migraine dapat menyebabkan vertigo jika pasien vertigo bersamaan dengan
migraine. Vertigo dapat disebabkan oleh fistula perilimfatik Fistula perimfatik dapat
disebabkan oleh trauma baik langsung ataupun barotraumas, mengejan. Bersin atau
gerakan yang mengakibatkan telinga ke bawah akan memprovokasi vertigo pada pasien
dengan fistula perilimfatik. Adanya fenomena Tullios (nistagmus dan vertigo yang
disebabkan suara bising pada frekuensi tertentu) mengarah kepada penyebab perifer.
Tabel . Perbandingan Faktor Pencetus dari masing-masing penyebab Vertigo
Faktor pencetus Kemungkinan diagnosis

Perubahan posisi kepala Acute labyrinthitis; benign positional paroxysmal vertigo;


cerebellopontine
angle tumor; multiple sclerosis; perilymphatic fistula

Spontaneous episodes Acute vestibular neuronitis; cerebrovascular


(i.e., no consistent disease (stroke or transient ischemic
provoking factors) attack); Mnires disease; migraine;
multiple sclerosis
Recent upper respiratory Acute vestibular neuronitis
viral illness

Stress
Psychiatric or psychological causes; migraine

Immunosuppression
(e.g., immunosuppressive Herpes zoster oticus
medications, advanced
age, stress)

Changes in ear pressure, Perilymphatic fistula


head trauma, loud noises

Gejala Penyerta
Gejala penyerta berupa penurunan pendengaran, nyeri, mual, muntah dan gejala
neurologis dapat membantu membedakan diagnosis peneybab vertigo. Kebanyakan penyebab
vertigo dengan gangguan pendengaran berasal dari perifer, kecuali pada penyakit
serebrovaskular yang mengenai arteri auditorius interna atau arteri anterior inferior cebellar.
Nyeri yang menyertai vertigo dapat terjadi bersamaan dengan infeksi akut telinga tengah,
penyakit invasive pada tulang temporal, atau iritasi meningeal. Vertigo sering bersamaan
dengan muntah dan mual pada acute vestibular neuronitis dan pada meniere disease yang
parah dan BPPV.
Pada vertigo sentral mual dan muntah tidak terlalu parah. Gejala neurologis berupa
kelemahan, disarthria, gangguan penglihatan dan pendengaran, parestesia, penurunan
kesadaran, ataksia atau perubahan lain pada fungsi sensori dan motoris lebih mengarahkan
diagnosis ke vertigo sentral misalnya penyakit cererovascular, neoplasma, atau multiple
sklerosis.
Tabel . Gejala penyerta untuk berbagai penyebab vertigo
Gejala Kemungikanan diagnosis
Sensasi penuh di telinga Acoustic neuroma; Mnires disease

Nyeri telinga atau mastoid Acoustic neuroma; acute middle ear disease (e.g., otitis
media, herpes zoster oticus)
Kelmahan wajah Acoustic neuroma; herpes zoster oticus

Temuan deficit neurologis Cerebellopontine angle tumor; cerebrovascular


fokal disease; multiple sclerosis (especially findings not
explained by single neurologic lesion)

Sakit kepala Acoustic neuroma; migraine


Tuli Mnires disease; perilymphatic fistula; acoustic
neuroma; cholesteatoma; otosclerosis; transient
ischemic attack or stroke involving anterior inferior
cerebellar artery; herpes zoster oticus

Imbalans Acute vestibular neuronitis (usually moderate);


cerebellopontine angle tumor (usually severe)

Nistagmus Peripheral or central vertigo

Fonofobia,fotofobia Migraine

tinnitus Acute labyrinthitis; acoustic neuroma; Mnires


disease

2.8 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan neurologis, pemeriksaan dan leher dan system
cardiovascular.
Pemeriksaan Neurologik
Pemeriksaan neurologi meliputi :
- Pemeriksaan nervus cranialis untuk mencari tanda paralisis nervus, tuli sensorineural,
nistagmus.
Nistagmus vertical 80% sensitive untuk lesi nucleus vestibular atau vermis cerebellar.
Nistagmus horizontal yang spontan dengan atau tanpa nistagmus rotator konsisten
dengan acute vestibular neuronitis.

- Gait test
1. Rombergs sign
Pasien dengan vertigo perifer memiliki gangguan keseimbangan namun masih
dapat berjalan, sedangkan pasien dengan vertigo sentral memilki instabilitas yang
parah dan seringkali tidak dapat berjalan. Walaupun Rombergs sign konsisten dengan
masalah vestibular atau propioseptif, hal ini tidak dapat dgunakan dalam
mendiagnosis vertigo.
Penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mula-mula dengan kedua
mata terbuka kemudian tertutup. Biarkan pada posisi demikian selama 20-30 detik.
Pada kelainan vestibuler hanya pada mata tertutup badan penderita akan bergoyang
menjauhi garis tengah kemudian kembali lagi, pada mata terbuka badan penderita
tetap tegak. Sedangkan pada kelainan serebeler badan penderita akan bergoyang baik
pada mata terbuka maupun pada mata tertutup.

Gambar. Uji Romberg

2. Heel-to- toe walking test


3. Unterberger's stepping test
Berdiri dengan kedua lengan lurus horisontal ke depan dan jalan di tempat dengan
mengangkat lutut setinggi mungkin selama satu menit. Pada kelainan vestibuler posisi
penderita akan menyimpang/berputar ke arah lesi dengan gerakan seperti orang
melempar cakram; kepala dan badan berputar ke arah lesi, kedua lengan bergerak ke arah
lesi dengan lengan pada sisi lesi turun dan yang lainnya naik. Keadaan ini disertai
nistagmus dengan fase lambat ke arah lesi.

4. Past-pointing test (Uji Tunjuk Barany)

Dengan jari telunjuk ekstensi dan lengan lurus ke depan, penderita disuruh
mengangkat lengannya ke atas, kemudian diturunkan sampai menyentuh telunjuk
tangan pemeriksa. Hal ini dilakukan berulang-ulang dengan mata terbuka dan
tertutup. Pada kelainan vestibuler akan terlihat penyimpangan lengan penderita ke
arah lesi.
Gambar Uji Tunjuk Barany

Pemeriksaan untuk menentukan apakah letak lesinya di sentral atau perifer.

1. Fungsi Vestibuler
a. Dix-Hallpike manoeuvre
Dari posisi duduk di atas tempat tidur, penderita dibaring-kan ke belakang
dengan cepat, sehingga kepalanya meng-gantung 45 di bawah garis horisontal,
kemudian kepalanya dimiringkan 45 ke kanan lalu ke kiri. Perhatikan saat timbul
dan hilangnya vertigo dan nistagmus, dengan uji ini dapat dibedakan apakah lesinya
perifer atau sentral.
Perifer (benign positional vertigo) : vertigo dan nistagmus timbul setelah
periode laten 2-10 detik, hilang dalam waktu kurang dari 1 menit, akan berkurang
atau menghilang bila tes diulang-ulang beberapa kali (fatigue). Sentral : tidak ada
periode laten, nistagmus dan vertigo ber-langsung lebih dari 1 menit, bila diulang-
ulang reaksi tetap seperti semula (non-fatigue) ( Allen, 2008)
b. Tes Kalori
Tes ini membutuhkan peralatan yang sederhana. Kepala penderita diangkat ke
belakang (menengadah) sebanyak 60. (Tujuannya ialah agar bejana lateral di labirin
berada dalam posisi vertikal, dengan demikian dapat dipengaruhi secara maksimal
oleh aliran konveksi akibat endolimf). Tabung suntik berukuran 20 mL dengan ujung
jarum yang dilindungi oleh karet ukuran no 15 diisi dengan air bersuhu 30C (kira-
kira 7 di bawah suhu badan) air disemprotkan ke liang telinga dengan kecepatan 1
mL/detik, dengan demikian gendang telinga tersiram air selama kira-kira 20 detik.
Bola mata penderita segera diamati terhadap adanya nistagmus. Arah gerak
nistagmus ialah ke sisi yang berlawanan dengan sisi telinga yang dialiri (karena air
yang disuntikkan lebih dingin dari suhu badan) Arah gerak dicatat, demikian juga
frekuensinya (biasanya 3-5 kali/detik) dan lamanya nistagmus berlangsung
dicatat.Lamanya nistagmus berlangsung berbeda pada tiap penderita. Biasanya antara
- 2 menit. Setelah istirahat 5 menit, telinga ke-2 dites. Tes ini memungkinkan kita
menentukan apakah keadaan labirin normal hipoaktif atau tidak berfungsi.
c. Elektronistagmogram
Pemeriksaan ini hanya dilakukan di rumah sakit, dengan tujuan untuk
merekam gerakan mata pada nistagmus, dengan demikian nistagmus tersebut dapat
dianalisis secara kuantitatif.
d. Posturografi
Dalam mempertahankan keseimbangan terdapat 3 unsur yang mempunyai
peranan penting : sistem visual, vestibular, dan somatosensorik. Tes ini dilakukan
dengan 6 tahap :
a. Pada tahap ini tempat berdiri penderita terfiksasi dan pandangan pun dalam
keadaan biasa (normal)
b. pandangan dihalangi (mata ditutup) dan tempat berdiri terfiksasi (serupa
dengan tes romberg)
c. pandangan melihat pemandangan yang bergoyang, dan ia berdiri pada tempat
yang terfiksasi. Dengan bergeraknya yang dipandang, maka input visus tidak
dapat digunakan sebagai patokan untuk orientasi ruangan.
d. pandangan yang dilihat biasa, namun tumpuan untuk berdiri digoyang.
Dengan bergoyangnya tempat berpijak, maka input somatosensorik dari badan
bagian bawah dapat diganggu.
e. mata ditutup dan tempat berpijak digayang.
f. pandangan melihat pemandangan yang bergoyang dan tumpuan berpijak
digoyang.

2. Fungsi Pendengaran
a. Tes garpu tala : Rinne, Weber, Swabach. Untuk membedakan tuli konduktif
dan tuli perseptif
b. Audiometri : Loudness Balance Test, SISI, Bekesy Audiometry, Tone
Decay

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang pada vertigo meliputi tes audiometric, vestibular testing, evalusi
laboratories dan evalusi radiologis. Tes audiologik tidak selalu diperlukan. Tes ini diperlukan
jika pasien mengeluhkan gangguan pendengaran. Namun jika diagnosis tidak jelas maka
dapat dilakukan audiometric pada semua pasien meskipun tidak mengelhkan gangguan
pendengaran. Vestibular testing tidak dilakukan pada semau pasien dengan keluhan dizziness.
Vestibular testing membantu jika tidak ditemukan sebab yang jelas.
Pemeriksaan laboratories meliputi pemeriksaan elekrolit, gula darah, funsi thyroid dapat
menentukan etiologi vertigo pada kurang dari 1 persen pasien.
Pemeriksaan radiologi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan vertigo yang memiliki
tanda dan gejala neurologis, ada factor resiko untuk terjadinya CVA, tuli unilateral yang
progresif. MRI kepala mengevaluasi struktur dan integritas batang otak, cerebellum, dan
periventrikular white matter, dan kompleks nervus VIII.

2.8 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Sekitar 20 sampai 40%
pasien dapat didiagnosis segera setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik.

2.9 Terapi
2.9.1 Prinsip umum terapi Vertigo
a. Medikasi
Karena penyebab vertigo beragam, sementara penderita seringkali merasa sangat
terganggu dengan keluhan vertigo tersebut, seringkali menggunakan pengobatan
simptomatik. Lamanya pengobatan bervariasi. Sebagian besar kasus terapi dapat
dihentikan setelah beberapa minggu. Beberapa golongan yang sering digunakan :
Antihistamin
Tidak semua obat antihistamin mempunyai sifat anti vertigo. Antihistamin yang
dapat meredakan vertigo seperti obat dimenhidrinat, difenhidramin, meksilin,
siklisin. Antihistamin yang mempunyai anti vertigo juga memiliki aktivitas anti-
kholinergik di susunan saraf pusat. Efek samping yang umum dijumpai ialah sedasi
(mengantuk), namun pada penderita vertigo yang berat efek samping ini
memberikan dampak yang positif.
- Betahistin
Senyawa Betahistin (suatu analog histamin) yang dapat meningkatkan sirkulasi di
telinga dalam, dapat diberikan untuk mengatasi gejala vertigo. Efek samping
Betahistin ialah gangguan di lambung, rasa enek, dan sesekali rash di kulit.
Betahistin Mesylate (Merislon)
Dengan dosis 6 mg (1 tablet) 12 mg, 3 kali sehari per oral.
Betahistin di Hcl (Betaserc)
Dengan dosis 8 mg (1 tablet), 3 kali sehari. Maksimum 6 tablet dibagi
dalam beberapa dosis.
- Dimenhidrinat (Dramamine)
Lama kerja obat ini ialah 4 6 jam. Dapat diberi per oral atau parenteral
(suntikan intramuscular dan intravena). Dapat diberikan dengan dosis 25 mg 50
mg (1 tablet), 4 kali sehari. Efek samping ialah mengantuk.

- Difenhidramin Hcl (Benadryl)


Lama aktivitas obat ini ialah 4 6 jam, diberikan dengan dosis 25 mg (1 kapsul)
50 mg, 4 kali sehari per oral. Obat ini dapat juga diberikan parenteral. Efek
samping mengantuk.
Antagonis Kalsium
Obat antagonis kalsium Cinnarizine (Stugeron) dan Flunarizine (Sibelium) sering
digunakan. Merupakan obat supresan vestibular karena sel rambut vestibular
mengandung banyak terowongan kalsium. Namun, antagonis kalsium sering
mempunyai khasiat lain seperti anti kholinergik dan antihistamin.
Fenotiazine
Kelompok obat ini banyak mempunyai sifat anti emetik (anti muntah). Namun tidak
semua mempunyai sifat anti vertigo.
- Promethazine (Phenergan)
Merupakan golongan Fenotiazine yang paling efektif mengobati vertigo. Lama
aktivitas obat ini ialah 4 6 jam. Diberikan dengan dosis 12,5 mg 25 mg (1
draze), 4 kali sehari per oral atau parenteral (suntikan intramuscular atau
intravena). Efek samping yang sering dijumpai ialah sedasi (mengantuk),
sedangkan efek samping ekstrapiramidal lebih sedikit disbanding obat Fenotiazine
lainnya.

- Khlorpromazine (Largactil)
Dapat diberikan pada penderita dengan serangan vertigo yang berat dan akut. Obat
ini dapat diberikan per oral atau parenteral (suntikan intramuscular atau intravena).
Dosis yang lazim ialah 25 mg (1 tablet) 50 mg, 3 4 kali sehari. Efek samping
ialah sedasi (mengantuk).
b. Obat penenang
Dapat diberikan kepada penderita vertigo untuk mengurangi kecemasan yang diderita
yang sering menyertai gejala vertigo. Efek samping seperti mulut kering dan
penglihatan menjadi kabur. Dapat diberikan lorazepam dengan dosis 0,5 mg 1 mg
atau diazepam dengan dosis 2mg 5 mg.
c. Obat anti kolinergik
Obat antikolinergik yang aktif di sentral dapat menekan aktivitas sistem vestibular dan
dapat mengurangi gejala vertigo. Skopolamin, dapat dikombinasi dengan fenotiazine
atau efedrin dan mempunyai khasiat sinergistik. Dosis skopolamin ialah 0,3 mg 0,6
mg, 3 4 kali sehari.

d. Terapi fisik
Susunan saraf pusat mempunyai kemampuan untuk mengkompensasi gangguan
keseimbangan. Latihan bertujuan untuk mengatasi gangguan vestibular, membiasakan
atau mengadaptasi diri terhadap gangguan keseimbangan. Tujuan latihan ialah :
1. Melatih gerakan kepala yang mencetuskan vertigo atau disekuilibrium untuk
meningkatkan kemampuan mengatasinya secara lambat laun.
2. Melatih gerakan bola mata, latihan fiksasi pandangan mata.
3. Melatih meningkatkan kemampuan keseimbangan
Contoh latihan :
1. Berdiri tegak dengan mata dibuka, kemudian dengan mata ditutup.
2. Olahraga yang menggerakkan kepala (gerakan rotasi, fleksi, ekstensi, gerak
miring).
3. Dari sikap duduk disuruh berdiri dengan mata terbuka, kemudian dengan mata
tertutup.
4. Jalan di kamar atau ruangan dengan mata terbuka kemudian dengan mata tertutup.
5. Berjalan tandem (kaki dalam posisi garis lurus, tumit kaki yang satu menyentuh
jari kaki lainnya dalam melangkah).
6. Jalan menaiki dan menuruni lereng.
7. Melirikkan mata kearah horizontal dan vertikal.
8. Melatih gerakan mata dengan mengikuti objek yang bergerak dan juga memfiksasi
pada objek yang diam.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Antunes MB. CNS Causes of Vertigo [Internet]. WebMD LLC. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/884048-overview#a0104
Chain, TC.2009. Practical Neurology 3rd edition: Approach to the Patient with Dizziness and
Vertigo. Illnois:wolter kluwerlippincot William and wilkins)
Djaafar ZA. Kelainan telinga tengah. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2001.
Helmi. Komplikasi otitis media supuratif kronis dan mastoiditis. Dalam: Soepardi EA,
Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi
kelima. Jakarta: FKUI, 2001.

Lempert, T, Neuhauser, H. 2009. Epidemiology of vertigo, migraine and vestibular migraine


in Journal Nerology 2009:25:333-338

Sura, DJ, Newell, S. 2010. Vertigo- Diagnosis and management in primary care, BJMP
2010;3(4):a351
Monique Verhoeff a, Erwin L. van der Veen a, Maroeska M. Rovers a,b,c,
Elisabeth A.M. Sanders c, Anne G.M. Schilder Chronic suppurative otitis media,
Internasional jurnal of pediatric Otorhinolaryngology (2006) 70, 112
Anil K. Lalwani, MD , Diagnosis & Treatment, in OtolaryngologyHead & Neck Surgery

Anda mungkin juga menyukai