Anda di halaman 1dari 2

Nama : Alwin Juang Hamonangan

Mata Kuliah : Metodologi Penelitian Hukum

MENGATASI TINDAK PIDANA PERIKANAN DI INDONESIA MENURUT


UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN
A. Latar Belakang Penelitian
Indonesia memiliki 17.508 pulau besar dan kecil yang memiliki panjang garis
pantai 43.624 mil laut dengan panjang alur pelayaran 2.634 mil laut serta luas seluruh
perairan Indoneisa 207.087 Km2. Dengan wilayah perairan yang sangat luas, maka
Indonesia memiliki kekayaan laut yang berlimpah. Di satu sisi, hal tersebut
merupakan kebanggaan bangsa Indonesia karena memiliki kekayaan laut yang
berlimpah yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan bangsa Indonesia, tapi di sisi
lain kekayaan laut yang dimiliki Indonesia merupakan sasaran empuk bagi nelayan-
nelayan asing untuk mengeruk keuntungan dengan melakukan tindakan-tindakan yang
illegal.
Untuk menangani IUU Fishing faktor yang paling penting adalah faktor
pengamanan terhadap wilayah pengelolaan perikanan republik Indonesia. Dalam
hal ini pengawasan harus diperkuat dan menjadi prioritas bersama-sama dengan
pengelolaannya. Aparat hukum yang berwenang dalam melakukan penyidikan IUU
Fishing adalah :
1. Departemen Kelautan dan Perikanan ;
2. Angkatan Laut Tentara Nasional Indonesia ;
3. Polisi Air Kepolisian Republik Indonesia
Melihat cukup banyaknya aparat yang berwenang menangani penyidikan
IUU Fishing, seharusnya praktek illegal fishing dapat ditekan tetapi sampai saat ini
tindak pidana di bidang perikanan terus terjadi. Hal ini dapat terjadi karena tidak
jelasnya koordinasi penanganan tindak pidana antara DKP, TNI AL, dan POLAIR.
Secara umum ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2004 tentang Perikanan sudah cukup memenuhi kebutuhan ruang lingkup
penegakan hukum di bidang perikanan, namun tidak dapat dipungkiri dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 masih terdapat kelemahan, diantaranya
adalah ketentuan mengenai benda dan / atau alat yang dipergunakan dalam dan /
atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara dan
ketentuan mengenai transhipment. Ketentuan yang disebutkan pertama sangat tidak
memenuhi rasa keadilan karena adanya kata dapat, berarti benda dan / atau alat
yang dipergunakan dalam tindak pidana di bidang perikanan tidak harus dirampas
untuk negara padahal kerugian yang diakibatkan dari kegiatan IUU Fishing sangat
besar.
Ketentuan kedua mengenai transhipment atau bongkar muat di tengah laut,
jika ada kapal yang terbukti melakukan transhipment ditengah laut maka akan
dikenai sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan izin, atau pencabutan
izin, hal ini sangat tidak sebanding dengan akibat kegiatan transhipment ini.
Padahal transhipment justru banyak terjadi di tengah laut, kapal-kapal ikan milik

1
nelayan Indonesia memindahkan hasil tangkapannya ke kapal-kapal ikan asing lalu
kapal-kapal ikan asing tersebut langsung berlayar ke negaranya tanpa harus melalui
pelabuhan lapor di Indonesia.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk mengajukan
penulisan tesis yang berjudul Efektifitas Undang-undang No.31 Tahun 2004
tentang Perikanan Dalam Mengatasi Tindak Pidana Perikanan Di Indonesia.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka pokok permasalahan yang
akan dibahas dalam penelitian ini terfokus pada pertanyaan-pertanyaan di bawah
ini :
1. Bagaimanakah koordinasi antara PPNS Perikanan, POLAIR dan Angkatan
Laut dalam menyelesaikan IUU Fishing ?
2. Apakah sanksi hukum yang ada dalam Undang-undang No. 31 Tahun
2004 tentang Perikanan telah memberikan efek jera bagi para pelaku
tindak pidana perikanan ?

Anda mungkin juga menyukai