Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lahan gambut merupakan bentang lahan yang tersusun oleh tanah hasil dekomposisi tidak
sempurna dari vegetasi pepohonan dan organisme yang tergenang air sehingga kondisinya anaerobik.
Material organik tersebut terus menumpuk dalam kurun waktu yang lama sehingga membentuk
lapisan-lapisan dengan ketebalan lebih dari 50 cm. Tanah jenis banyak dijumpai di daerah-daerah
jenuh air seperti rawa, cekungan, atau daerah pantai.
Sebagian besar lahan gambut masih berupa hutan yang menjadi habitat tumbuhan dan satwa
langka. Hutan gambut mempunyai kemampuan menyimpan karbon dalam jumlah yang besar. Karbon
tersimpan mulai dari permukaan hingga di dalam dalam tanah, mengingat kedalamannya bisa
mencapai lebih dari 10 meter. Tanah gambut memiliki kemampuan menyimpan air hingga 13 kali dari
bobotnya. Oleh karena itu perannya sangat penting dalam hidrologi, seperti mengendalikan banjir saat
musim penghujan dan mengeluarkan cadangan air saat kemarau panjang. Kerusakan yang terjadi pada
lahan gambut bisa menyebabkan bencana bagi daerah sekitarnya.
1.2 Rumusan masalah
1) Bagaimana proses pembentukan lahan gambut?
2) Apa permasalahan yang terjadi pada lahan gambut?
3) Apa Vegetasi penciri pada lahan gambut?
4) Bagaiman cara mengelola lahan gambut menjadi lahan budidaya?
5) Bagaimana tingkat kematangan pada lahan gambut?
1.3 Tujuan
1) Untuk mengetahui proses terjadinya lahan gambut
2) Mengenal permasalahan yang terdapat pada lahan gambut
3) Mengenali lahan gambut dengan ciri vegetasi yang hidup pada lahan gambut
4) Untuk mengelola lahan gambut menjadi lahan efektif

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Proses Pembentukan Lahan Gambut


Tanah gambut terdiri dari sisa-sisa pohon, rerumputan, lumut dan binatang yang telah mati baik
yang sudah lapuk maupun belum. Tanah gambut biasanya terbentuk di lingkungan yang basah. Proses
dekomposisi di tanah gambut terhambat karena kondisi anaerob yang menyebabkan sedikitnya jumlah
organisme pengurai.
Lapisan-lapisan tanah gambut terbentuk dalam jangka waktu yang panjang yaitu sekitar 10.000-5.000
tahun yang lalu. Hutan gambut di Indonesia diduga terbentuk sejak 6.800-4.200 tahun. Semakin
dalam tanah gambut semakin tua umurnya. Laju pembentukan tanah gambut berkisar 0-3 mm per
tahun.2
Proses pembentukan gambut dimulai dari danau yang dangkal yang ditumbuhi tanaman air dan
vegetasi lahan basah lainnya. Tumbuhan air yang mati kemudian melapuk dan membentuk lapisan
organik di dasar danau. Lapisan demi lapisan terbentuk di atas tanah mineral di dasar danau, lama
kelamaan danau menjadi penuh dan terbentuklah lapisan gambut. Lapisan gambut yang memenuhi
danau tersebut disebut gambut topogen.
Gambut dibentuk oleh timbunan bahan sisa tanaman yang berlapis-lapis hingga mencapai
ketebalan >30cm. Proses penimbunan bahan sisa tanaman ini merupakan proses geogenik yang
berlangsung dalam waktu yang sangat lama (Hardjowegeno, 1986). Gambut terbentuk dari
lingkungan yang khas, yaitu rawa atau suasana genangan yang terjadi hampir sepanjang tahun.
Kondisi langka udara akibat genangan, ayunan pasang surut, atau keadaan yang selalu basah telah
mencegah aktivitas mikro-organisme yang diperlukan dalam perombakan. Laju penimbunan gambut
dipengaruhi oleh peduan antara keadaan topografi dan curah hujan dengan curahan perolehan air yang
lebih besar dari pada kehilangan air serta didukung oleh sifat tanah dengan kandungan fraksi debu
(silt) yang rendah. Ketebalan gambut pada setiap bentang lahan adalah sangat tergantung pada:
1) proses penimbunan yaitu jenis tanaman yang tumbuh, kerapatan tanaman dan lama pertumbuhan
tanaman sejak terjadinya cekungan tersebut,
2) proses kecepatan perombakan gambut,
3) proses kebakaran gambut,
4) Perilaku manusia terhadap lahan gambut.
Tumbuhan masih bisa tumbuh dengan subur di atas tanah gambut topogen. Hasil pelapukan
tumbuhan tersebut akan membentuk lapisan baru yang lebih tinggi dari permukaan air danau semula.
Membentuk lapisan gambut yang cembung seperti kubah. Tanah gambut yang tumbuh di atas gambut
topogen adalah gambut ombrogen. Jenis tanah gambut ini lebih rendah kesuburannya dibanding

2
gambut topogen. Pembentukannya lebih ditentukan oleh air hujan yang mempunyai efek
pencucian (bleaching) sehingga miskin mineral.
2.2 Sebaran Lahan Gambut
Tanah gambut tropis mempunyai kandungan mineral yang rendah dengan kandungan bahan
organik lebih dari 90%. Secara kimiawi gambut bereaksi masam (pH di bawah 4) Andriesse (1988).
Gambut dangkal pH lebih tinggi (4,0-5,1), gambut dalam (3,1-3,9). Kandungan N total tinggi tetapi
tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N yang tinggi. Kandungan unsur mikro khususnya Cu, B
dan Zn sangat rendah ( Subagyo et al, 1996). Tanah gambut terdapat di cekungan, depresi atau
bagian-bagian terendah di pelimbahan dan menyebar di dataran rendah sampai tinggi. Yang paling
dominan dan sangat luas adalah lahan gambut yang terdapat di lahan rawa di dataran rendah
sepanjang pantai. Lahan gambut sangat luas umumnya menempati depresi luas yang menyebar
diantara aliran bawah sungai besar dekat muara, dimana gerakan naik turunnya air tanah dipengaruhi
pasang surut harian air laut.

Asia Tenggara merupakan tempat lahan gambut tropis terluas, sekitar 60% gambut tropis atau
sekitar 27 juta hektar terletak di kawasan ini. Lahan gambut di Asia Tenggara meliputi 12% total luas
daratannya. Sekitar 83% masuk dalam wilayah Indonesia, yang sebagian besar tersebar di Pulau
Sumatera, Kalimantan dan Papua.
2.3 Permasalahan Dilahan Gambut dan Penyebab kerusakan lahan Gambut
Menurut Soepardi (1979) dalam Mawardi et al, (2001), secara umum sifat kimia tanah
gambut didominasi oleh asam-asam organik yang merupakan suatu hasil akumulasi sisa-sisa tanaman.
Asam organik yang dihasilkan selama proses dekomposisi tersebut merupakan bahan yang bersifat
toksid bagi tanaman, sehingga mengganggu proses metabolisme tanaman yang akan berakibat
langsung terhadap produktifitasnya. Sementara itu secara fisik tanah gambut bersifat lebih berpori
dibandingkan tanah mineral sehingga hal ini akan mengakibatkan cepatnya pergerakan air pada
gambut yang belum terdekomposisi dengan sempurna sehingga jumlah air yang tersedia bagi tanaman
sangat terbatas. Begitu parahnya kabut asap yang terjadi pada 2015 lalu, sebagian besar disebabkan
oleh kebakaran lahan gambut. Karenanya, pengelolaan lahan gambut menjadi fokus penanganan

3
masalah lingkungan, salah satunya lewat pelibatan masyarakat. Namun kendala dan hambatannya
masih begitu pelik. Lahan gambut dikategorikan sebagai lahan yang kritis (tidak subur) dan sangat
miskin dengan unsur hara karena bersifat masam mempunyai pH yang rendah, sehingga perlu kerja
keras dan biaya yang cukup dalam mengelola menjadi lahan budidaya. Karena bersifat kritis,
sebagian unsur hara terikat dan tidak tersedia bagi tanaman. Lahan gambut terdiri dari sersah-sersah
sisa tumbuhan dan organisme lain yang terdekomposisi tidak sempurna, pada kondisi tertentu ketika
musim kemarau sangat rentan terbakar.
Kerusakan lahan gambut diawali dengan proses pembabatan hutan (land clearing). Proses
selanjutnya adalah pengeringan lahan yang bertujuan untuk mengeluarkan air, dengan membuat parit
atau saluran drainase agar air mengalir keluar.
Proses pengeringan ini menyebabkan turunnya permukaan gambut. Sehingga pohon-pohon yang
terdapat di permukaan tanah tidak bisa tegak dengan kuat karena akarnya menyembul.
Pengeringan pada lahan gambut mempunyai karakteristik tidak dapat kembali (irreversible).
Sekali air dikeluarkan, gambut akan kehilangan sebagian kemampuannya untuk menyimpan air.
Proses kebakaran hutan gambut merupakan pelepasan karbon dalam jumlah besar ke atmosfer dan
memusnahkan keanekaragaman hayati hutan. Sebaliknya di musim hujan hutan tidak bisa menyerap
air dengan baik yang menyebabkan bencana banjir.
2.3 Vegetasi Yang Terdapat Pada Rawa Lahan Gambut
Rawa pasang surut yang banyak ditumbuhi purun tikus Eleocharis dulcis, maka dapat
diduga rawa tersebut termasuk rawa sulfat masam. Artinya, pada lapisan di bawah permukaan tanah
terdapat lapisan pirit FeS2. Sementara bila banyak tumbuh kalakai Stenochlaena palustris maka lahan
tersebut tergolong sulfat masam dengan gambut di atasnya. Penciri lain lahan sulfat masam ialah
tumbuhnya tanaman gelam Melaleuca Sp. Ketiga tanaman itu menjadi penciri sulfat masam karena
toleran pada kelarutan besi yang tinggi
2.4 Jenis Lahan Gambut Berdasarkan Tingkat Kematangan Gambut
Menurut Soil Survey Staff (1990), bahwa tingkat kematangan atau tingkat pelapukan tanah
gambut dibedakan berdasarkan tingkat dekomposisi dari bahan atau serat tumbuhan asalnya. Tingkat
kematangan terdiri dari tiga katagori yaitu fibrik, hemik dan saprik. Tingkat kematangan tanah
gambut dalam pengamatan di lapangan dapat dilakukan dengan cara mengambil segenggam tanah
gambut dan memersnya dengan tangan. Kriteria mentah atau matang dari gambut dapat ditunjukkan
dengan melihat hasil cairan dan sisa bahan perasan. Ketentuan dalam menentukan kematangan
gambut untuk masing-masing katagori adalah sebagai berikut:
1. Histosol fibrik merupakan tanah gambut (organik) yang sangat sedikit atau baru mulai
terdekomposisi. Tanah ini tersusun atas beragaman vegetasi, cenderung memiliki kerapatan
dan kandungan endapan yang rendah serta memiliki kapasitas menahan air yang tinggi.
2. Histosol folik merupakan tanah organik yang tergenang dan sudah mulai terdekomposisi.
3. Histosol hemik merupakan tanah organik yang sudah mengalami dekomposisi sebagian.

4
4. Histosol saprik merupakan tanah organik yang telah mengalami dekomposisi sempurna.
Tanah ini memiliki kerapatan yang relatif tinggi dan memiliki kapasitas menahan air yang
rendah. Histosol jenis fibrik dan hemik akan melapuk menjadi saprik jika digenangi air. Gambut
mentah (fibrik) mempunyai kadar abu 3,09% dengan kadar bahan organik 45,9%. Sedangkan
gambut hemik mempunyai kadar abu 8,04% dengan kadar bahan organik 51,7% dan gambut
matang (saprik) mempunyai kadar abu 12,04% dengan kadar bahan organik 78,3% (Setiawan,
1991).
2.5 Pengelolaan Lahan Gambut Menjadi Lahan Budidaya
Lahan gambut dikatakan sebagai lahan yang miskin dengan unsur haranya, karena bersifat
masam dengan kondisi pH yang rendah, dan tidak semua jenis tanaman dapat tumbuh dengan baik
pada kondisi ini, karena pada pH rendah menyebabkan tanaman menjadi keracunan unsur hara mikro.
Permasalahan ini perlu diselesaikan dan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat setempat
karena salah satu sumber kehidupan melalui pengelolaan lahan gambut. Untuk menetralkan pH yaitu
dengan cara pemberian kapur. Hal-hal yang harus diperhatikan yaitu 1) pengelolaan air meliputi
drainase, saluran irigasi, penggenangan; 2) pengolahan tanah meliputi pembakaran, bahan pembenah
tanah (ameliurasi) untuk memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah.

5
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Gambut terbentuk dari seresah organik yang terdekomposisi secara anaerobik dimana laju
penambahan bahan organik lebih tinggi daripada laju dekomposisinya. Di dataran rendah dan daerah
pantai, mula-mula terbentuk gambut topogen karena kondisi anaerobik yang dipertahankan oleh tinggi
permukaan air sungai, tetapi kemudian penumpukan seresah tanaman yang semakin bertambah
menghasilkan pembentukan hamparan gambut ombrogen yang berbentuk kubah (dome) .
Proses pembentukan gambut dimulai dari danau yang dangkal yang ditumbuhi tanaman air dan
vegetasi lahan basah lainnya. Tumbuhan air yang mati kemudian melapuk dan membentuk lapisan
organik di dasar danau. Gambut terbentuk dari lingkungan yang khas, yaitu rawa atau suasana
genangan yang terjadi hampir sepanjang tahun. Kondisi langka udara akibat genangan, ayunan pasang
surut, atau keadaan yang selalu basah telah mencegah aktivitas mikro-organisme yang diperlukan
dalam perombakan.
Dalam pengelolaanya, masih dijumpai sejumlah kendala yang menghambat tercapainya
produktivitas yang tinggi. Kendala tersebut meliputi kendala fisik, kendala kimia dan kendala yang
berkaitan dengan penyediaan dan tata pengelolaan air.
Tanah gambut terdapat di cekungan, depresi atau bagian-bagian terendah di pelimbahan dan
menyebar di dataran rendah sampai tinggi. Yang paling dominan dan sangat luas adalah lahan gambut
yang terdapat di lahan rawa di dataran rendah sepanjang pantai. Lahan gambut sangat luas umumnya
menempati depresi luas yang menyebar diantara aliran bawah sungai besar dekat muara, dimana
gerakan naik turunnya air tanah dipengaruhi pasang surut harian air laut.

6
DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman dan Suriadikarta, 2000. Pemanfaatan Lahan Rawa eks PLG Kalimantan Tengah untuk
Pengembangan Pertanian Berwawasan Lingkungan. Jurnal Litbang Pertanian 19 (3).

Hardjowigeno, H. Sarwono., 2002. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo, Jakarta

Rosmarkam dan Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. 2002. Kanisius, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai