Pasca angkatan Balai Pustaka, ada yang namanya angkatan Pujangga Baru. Katanya sih angkatan
Pujangga Baru ini lahir gara-gara ada banyak sensor yang dilakukan pihak Balai Pustaka terhadap karya
tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa
nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Nggak paham deh sensor yang model gimana. Nah, Sastra
Pujangga Baru ini ciri khasnya sastra intelektual, nasionalistis dan elitis. Layar Terkembang adalah salah
satu karya yang lahir di era ini.
Setelahnya angkatan Pujangga Baru, baru nih ada yang namanya Angkatan 45. Karya-karya angkatan ini
juga lumayan tenar, dan kayaknya kalian juga pasti lumayan tahu. Chairil Anwar ada di angkatan ini ~
karya sastra angkatan 45 katanya lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik-
idealistik. Karya-karya sastra pada angkatan 45 ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut
kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Selain Tiga Manguak Takdir, pada periode ini
cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dan Atheis dianggap sebagai karya pembaharuan prosa
Indonesia.
Proses pembagian angkatan ini masih terus berlanjut hingga angkatan 66 sebelum akhirnya vakum. Baru
pada tahun 1998, akhirnya Kusprihyanto, Sosiawan Leak dan Wowok Hesti Prabowo mencetuskan
perlunya angkatan terbaru sastra Indonesia, yang ditandai dengan diterbitkannya Tabloid Angkatan.
Secara umum keperluan adanya angkatan terbaru sastra Indonesia ini, dapat tertangkap dari sebuah
pertanyaan retoris: kok ga ada lagi angkatan sastra setelah angkatan 1966? Kalo ga ada angkatan lain
pasca angkatan 66 kan berarti sastrawan yang berkarya pada tahun 1970-an, 1980-an, 1990-an tetap
termasuk sebagai bagian dari angkatan 1966. Padahal setiap angkatan punya ciri khas dan gambaran
jaman yang berbeda.
Nah yang pengen tak bahas, masihkah angkatan sastra menjadi suatu hal yang penting di tahun
2000 an ini?
Di era ini ada banyak karya yang bertebaran, dan meledak di pasaran. Hanya saja banyak yang
tidak lagi bicara soal budaya ataupun nasionalisme, tapi soal kegalauan hati.
Masih laku kah buku-buku (entah novel, atau apapun itu) bertema budaya di masyarakat ataupun
nasionalisme di era ini? Ada pandangan terkait hal ini?
Bicara soal angkatan, sebenarnya ada juga penulis sastra yang enggan dikelompokan berdasarkan
angkatan. Salah seorang penulis sejarah sastra yang enggan menuliskan pembagian berdasarkan
angkatan antara lain Ajip Rosidi (1986), yang menyatakan: dalam pembabakan ini digunakan istilah
periode dan bukan angkatan karena angkatan dalam sastra Indonesia sekarang telah
menimbulkan kekacauan.