Stigma yang salah masih hinggap dalam pemikiran sejumlah orang tua
sehingga diskriminasi terhadap anak difabel tetap ada. Anak tak mendapatkan
haknya untuk memperoleh layanan fasilitas kesehatan, pusat rehabilitasi, atau
sekolah. Padahal, anak difabel memiliki hak yang sama dengan anak lainnya.
Mereka berhak memiliki identitas, mendapatkan pendidikan layak, dan diterima di
lingkungan sekitar. Fakta lainnya, pelayanan kesehatan, pendidikan, serta fasilitas
umum bagi anak-anak berkebutuhan khusus di Indonesia memang masih minim.
Padahal, hak mereka sudah diatur dalam undang-undang, tetapi penerapannya
masih belum sesuai harapan. Di samping itu, masyarakat juga kerap membully
anak berkebutuhan khusus. Persepsi mengenai anak difabel tidak bisa apa-apa dan
tempatnya hanya di rumah atau sekolah luar biasa (SLB) masih kuat melekat di
benak kebanyakan orang. "Paradigma seperti ini yang menjadi penghambat
pemenuhan hak mereka," kata Wiwied menjelaskan (republika.co.id).
Respons terhadap situasi anak penyandang disabilitas umumnya terbatas
pada institusionalisasi, ditinggalkan atau ditelantarkan. Respons semacam ini
merupakan masalah, dan itu sudah mengakar dalam asumsi-asumsi negatif tentang
ketidakmampuan, ketergantungan dan perbedaan yang muncul karena
ketidaktahuan. Yang dibutuhkan sekarang adalah komitmen terhadap hak-hak
anak dan masa depan mereka, dengan memprioritaskan anak yang paling tidak
beruntung sebagai masalah kesetaraan dan manfaat bagi semua.
Anak-anak penyandang disabilitas menghadapi berbagai bentuk
pengucilan dan itu mempengaruhi mereka dalam berbagai tingkatan tergantung
dari jenis disabilitas yang mereka alami, di mana mereka tinggal dan budaya serta
kelas sosial mereka. Gender juga merupakan sebuah faktor penting. Anak-anak
perempuan penyandang disabilitas juga kecil kemungkinan untuk mendapatkan
pendidikan, mendapatkan pelatihan kerja atau mendapatkan pekerjaan
dibandingkan dengan anak laki-laki dengan disabilitas atau anak perempuan tanpa
disabilitas. Anak-anak penyandang disabilitas seringkali dianggap rendah, dan ini
menyebabkan mereka menjadi lebih rentan. Diskriminasi karena disabilitas
berujung pada marginalisasi dari sumber daya dan pembuatan keputusan, dan
bahkan pada kematian anak. Pengucilan seringkali muncul dari penglihatan. Tidak
banyak negara yang memiliki informasi yang bisa diandalkan tentang berapa
banyak warganya yang merupakan anak-anak penyandang disabilitas, disabilitas
macam apa yang mereka alami atau bagaimana disabilitas ini mempengaruhi
kehidupan mereka. Dengan demikian, anak-anak yang dikucilkan terputus dari
pelayanan publik yang sebenarnya mereka berhak untuk mendapatkannya.
Pembatasan ini bisa memiliki efek panjang yang membatasi akses mereka pada
pekerjaan atau partisipasi mereka dalam masalah-masalah kemasyarakatan di
kemudian hari. Namun akses pada pelayanan dan teknologi bisa memposisikan
anak penyandang disabilitas untuk mengambil tempat di dalam masyarakat dan
memberikan kontribusinya (Unicef, 2013).
Diskriminasi dan stigma dari luar tersebut adalah adanya ejekan, sikap
pengucilan dan memandang aneh anak berkebutuhan khusus. Sebagian besar
masyarakat masih menganggap sebelah mata kemampuan penyandang disabilitas.
Padahal, tak sedikit penyandang disabilitas yang berkapasitas dan berkualitas hal
ini terjadi karena tidak adanya bukti bahwa mereka itu berharga dan didukung.
Sehingga hak untuk menyuarakan aspirasi tersebut hilang dan mengganggu
okupasi dari penyandang disabilitas itu sendiri. (kompas.com)
.
DAFTAR PUSTAKA