Anda di halaman 1dari 16
Majalah Ilmiah Kedokteran Gigi Scientific Journal in Dentistry Maret 2006 e Volume 21 e No. 1 ISSN 0215 - 126 X Effects of Saccharum spontaneum L. to Liver Enzyme Activities M. Sadono, F. Mayangsari, S. Maat, E.H. Sundoro Correlation between Middle Phalanx Third Finger Development and Cervical Vertebrae Maturation Stages in Deutro Malay Student Monica Irewaty Wibisana, E. Arlia Budiyanti, Isnani Jenie, J. Widijanto Sudhana Analisis Imunohistokimia Proliferasi Sel Fibroblas gingiva yang Dipajan Lipopolisakarida Bakteri Gram Negatif ‘Kusumawardani, Totok Utoro, Al Supartinah S. Pemeriksaan Patologi Pendukung Diagnosis Klinis Epulis Strategt ees Pulpoperiapikal Majalah Ilmiah Kedokteran Gigi Scientific Journal in Wg Penasehat Prof. Dr. Thoby Mutis ( Rektor Usakti ) Bambang S. Trenggono, drg., MS (Dekan FKG Usakti ) Pemimpin Redaksi Yuniar Zen, drg., Sp. Ort. Dewan Redaksi Dr. Melanie Sadono, drg., M. Biomed. Dr. Loes Syahruddin, drg., M.Kes. Dr-Tri Erri Astoeti, deg. MKes. Datu Mulvono, drg., SU Marzella Mega Lestari, drg. Sp. BM. Redaksi Pelaksana Widijanto S.drg. M.Kes Mitra Bestati Prof.Dr. Hamilah D. Koesoemahardja, drg, Sp. Ort. ( Usakti ) Prof. Dr. Sri Subekti Winanto, drg, Sp.KG. ( Usakti ) Prof. Dr. E. Arlia Budiyanti., drg., SU ( Usakti ) Dr. Boedi Oetomo Roeslan, drg., M. Biomed. ( Usakti ) Prof. Dr. Daroewati Mardjono, MSD, Sp. Pros. ( UI) Prof. Dr. Soertini E. Lambri, drg, MS ( Unpad ) Prof.Dr.Hadi Soenartyo, drg., MSc. Sp. PM ( UNAIR ) Prof. Dr. Rosnah Mohd. Zain, BDSc, MS, FICD, FAMM, Fellow AAOP ( University of Malaya ) Sekretariat Monica Dewi Ranggaini, drg. Andree Ismirandi S., S.kom Alamat Redaksi Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Trisakti Jalan Kyai Tapa, Grogol, Jakarta 11440 Indonesia Telepon : 021- 5672731 ext. 1601 Telp. /Fax : 5668352 E-mail : majalahkg@yahoo.com Diakreditas! Departemen Pendidikan Nasional Nomor : 23a/ DIKTI/Kep/2004 Majalah Ilmiah Kedokteran Gigi ISSN 0215 - 126 X Vol. 21, No. 1, Maret 2006 Daftar Isi Artikel Effects of Saccharum spontaneum L. to Liver Enzyme Activities ... M. Sadono, F Mayangsari, S. Maat, and E.H. Sundoro Correlation between Middle Phalanx Third Finger Development and Cervical Vertebrae Maturation Stages in Deutro Malay Student .... Monica Irewaty Wibisana, E.Arlia Budiyanti, Isnani Jenie, J. Widijanto Sudhana Analisis Imunohistokimia Proliferasi Sel Fibroblas gingiva yang Dipajan Lipopolisakarida Bakteri Gram Negatif ... . 15-19 Banun Kusumawardani, Totok Utoro, Al Supartinah S Tinjauan Pustaka Pemeriksaan Patologi Pendukung Diagnosis Klinis Epulis danti Sudiono Tahap Retensi Dalam Perawatan Ortodonti . Ratna Sekundariadewi R, Haru Setyo Anggani Strategi Mengatasi Nyeri Pulpoperiapikal. M. Bernard O Iskandar; Boedi Oetomo Roeslan Dari Redaksi Pembaca yang budiman Kita berjumpa lagi di edisi pertama yang terbit di tahun 2006. Ada beberapa perubahan yang kami Jlakukan untuk menyesuaikan dengan Panduan Akreditasi Berkala llmiah yang dikeluarkan oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi tahun 2006 dan Pedoman Penerbitan Jurnal Inmiab di Lingkup Universitas Trisakti tahun 2005. Mudah-mudahan dengan perubahan ini akan meningkatkan kualitas MIKG. Dalam penerbitan kali ini kami sajikan artikel- artikel yang beragam, baik bidang ilmu maupun asal penulis. Ada 3 buah Laporan penelitian dan 3 buah Tinjauan Pustaka. Asal penulis juga bervariasi yaitu dari Universitas Indonesia, Universitas Jember dan Universitas Trisakti, sehingga diharapkan dapat lebih menambah khasanah wawasan kita, Semoga bermaniaat dan selamat membaca. Salam Redaksi ARTIKEL ML. Kedokteran Gigi Vol. 21, No. 1, Maret 2006 STRATEGI MENGATASI NYERI PULPOPERIAPIKAL M, Bernard O Iskandar; Boedi Oetomo Roeslan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti Pulpoperiapical pain may occur before, during, and after the endodontics treatment. The occurrence of pain caused by inflammation and immune responses due to various irritants, particularly microbes and its products. The inflammation and immune responses will cause tissues damage and the release of various biochemical ‘mediators. The interaction between biochemical mediators will stimulate the pain receptors within pulpoperiapical tissues. After activation A-? and C fibers from the pulpoperiapical region transmit nociceptive signals through the affronts pathway to the thalamus. The effective strategies for the management of pulpoperiapical pain are to remove the irritant from the inflamed tissues. Pulpoperiapical pain management encompasses all aspects of treatment: preoperative pain control includes accurate diagnosis and anxiety reduction, intraoperative pain control revolves around effective local anesthetic and operative techniques, and postoperative pain management can involve a variety of pharmacological agents. Key words: pain, pulpoperiapical, management, strategy PENDAHULUAN Akhir-akhir ini, nyeri atau sakit sedang menjadi perhatian di dunia kesehatan. Dalam. bidang kedokteran gigi, masalah nyeri sulit dihindari. Sebagian besar penderita datang ke dokter gigi karena nyeri pada giginya, terutama pada pulpoperiapikal. Sebaliknya, banyak orang sakit gigi vang tidak mau datang berobat ke dokter gigi karena takut sakit Pengetahuan tentang nyeri, baik penyebab maupun mekanismenya yang sangat kompleks, masih banyak yang belum terungkap. Nyeri sangat individual dan dipengaruhi kondisi psikologik penderita (Priska, 2003). Rangsang yang sama diterima penderita dengan persepsi 34 yang tidak sama. Dalam keadaan emosi tinggi, sedikit rangsangan saja sudah menimbulkan nyeri yang hebat. Nyeri juga tergantung pada tempat terjadinya cedera. Intensitas nyeri pada gigi dan jaringan sekitamya terkadang lebih sakit dirasakan oleh penderita dibandingkan dengan nyeri pada organ lain. Di dalam praktek dokter gigi sehari-hari, sering ditemukan penderita datang dengan nyeri gigi yang menimbulkan masalah karena penderita datang dalam keadaan panik. Dalam hal ini dokter gigi harus dapat menenangkan penderita dan memberi penjelasan dengan sebaik-baiknya kepada penderita. Selain itu, nyeri juga bisa timbul pada saat atau setelah dilakukan perawatan gigi. Hal inisering menimbulkan keluhan dari penderita ISSN 0215 - 126 X yang suatu saat nanti dapat menimbulkan akibat hukum bagi dokter gigi. Mengatasi nyeri pada pulpoperiapikal memerlukan strategi tersendiri. Nyeri di daerah ini termasuk golongan nyeri akut yang biasanya disebabkan inflamasi. Prosedur untuk meng- eliminasi nyeri pulpoperiapikal meliputi kontrol nyeri pra-tindakan, termasuk diagnosis yang akurat dan mereduksi ansietas; tindakan kontrol nyeri seperti anestesi lokal yang efektif dan prosedur endodontik; serta pasca-tindakan dengan pemberian berbagai macam obat farmakologik (Keiser & Hargreaves, 2002). TINJAUAN PUSTAKA Mekanisme Nyeri Pulpoperiapikal Sebetulnya, nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh dengan mengenali iritan melalui reseptor nyeri di perifer yang kemudian diolah di dalam susunan saraf pusat. Tajuannya untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada penderita agar secepatnya mengkoreksi sebelum terjadi kerusakan yang menetap. Nyeri pulpoperiapikal merupakan nyeri akut (Lund dkk., 2001). Dalam. hal ini, cedera jaringan menyebabkan sel saraf melepaskan sinyal kimia yang akan ditangkap oleh serat A-? dan serat C yang ada di perifer diteruskan ke spinal cord (Cohen & Brown, 2002). Otak yang menerima impuls nyeri, melokalisasi cedera dan menentukan berat-ringannya nyeri, lalu melepaskan pesan ke daerah cedera. Otak juga melepaskan sinyal penghambat yang dapat ‘menginterupsi atau menghentikan pesan di spinal. Berbeda dengan nyeri akut, pada nyeri kronis cedera merusak sistem nyeri termasuk hilangnya kemampuan memblokade pesan nyeri hingga nyeri dirasakan sangat parah (Hargreaves & Milam, 2002) Sinyal penghantar impuls nyeri terdiri atas berbagai mediator biokimia yang saling berinteraksi, di antaranya bradikinin, C3a, C5a, dan berbagai produk sel mast terutama histamin. Strategi Mengatasi Nye: Pulpoperiapikal ‘Semuan sinyal ini mempunyai efek meningkatkan vasodilatasi, permeabilitas, dan inflamasi. Penglepasan berbagai mediator biokimia ini distimulasi oleh endotoksin (Pitts dkk., 1982; Naidorf, 1985). Mediator nyeri yang utama adalah prostaglandin E, (PGE,). Senyawa ini disintesis dari asam arakhidonat yang berasal dari dinding sel yang rusak akibat cedera. Oleh siklooksigenase (COX.2), suatu enzim indusibel, asam ini akan diubah menjadi PGE, yang merupakan penyebab nyeri, demam, vasodilatasi, edema, kemotaksis, dan agregasi platelet (Roberts Il & Morrow, 2001). Nyeri pulpoperiapikal dapat disebabkan oleh perubahan adaptasi lokal, peningkatan tekanan di daerah pulpoperiapikal, faktor mikroorganisme, interaksi mediator biokimia respon inflamasi dan respon imun terhadap antigen, autoantigen, atau hapten, serta falttor psikologi (Smulson dkk., 1996). Namun, dapat dikatakan bahwa penyebab utamanya adalah inflamasi, sedangkan faktor psikologik hanya merupakan variebel luar yang ikut mempengaruhi (Priska, 2003) Adanya inflamasi atau abses akan ‘meningkatkan tekanan pada ujung saraf sehingga menimbulkan nyeri. Terlebih lagi bila hal ini terjadi di dalam saluran akar yang dibatasi oleh dinding, dentin yang kaku (Smulson & Sieraski, 1996). Inflamasi dan respon imun terhadap mikroorganisme dan produknya, menimbulkan, nyeri karena vasodilatasi dan rangsang amin vasoaktif pada serabut saraf pulpoperiapikal. Hambatan khemotaksis dan fagositosis oleh enzim dan endotoksin, dapat menyebabkan nyeri pada pulpoperiapikal menetap. Selain meningkatkan kadar amin vasoaktif, endotoksin juga meningkatkan neurotransmiter pada ujung saraf lesi periapikal (Smulson dkk., 1996). Diagnosis Nyeri Pulpoperiapikal Diagnosis merupakan titik awal untuk mengatasi nyeri pulpoperiapikal mengingat banyak kondisi yang semula diperkirakan nyeri odontogenik, ternyata tidak memerlukan perawatan endodontik (Eversole & Chase, 2002; Holland, 2002). Contoh Klasik adelah penderita 35 M.L Kedokteran Gigi Vol. 21 No.1. Maret 2006: 34-45 dengan sakit yang dalam di daerah posterior rahang atas, ternyata berasal dari sinusitis. Oleh karena itu, mengembangkan diagnosis banding sangat diperlukan dalam strategi mengatasi nyeri pulpoperiapikal. Pada Tabel 1, disajikan garis besar nyeri klinis yang menyerupai nyeri odontogenik. Nyeri pada pulpoperiapikal dapat dikelompokkan menjadi nyeri yang terjadi sebelum perawatan, selama perawatan, dan setelah perawatan. Sekuen Diagnosis Pertama kali yang dilakukan untuk mengatasi nyeri adalah menggali keluhan utama yang dialami penderita. Penderita dibiarkan menguraikan keluhan utamanya dengan kata- katanya senditi, jangan diinterupsi, dan perhatian penuh harus diberikan. Setelah itu, baru ditanya tentang riwayat keluhan utamanya, tentang kapan_ mulai nyeri, spontan atau tidak, dan semakin memburuk atau tidak. Pertanyaan diteruskan dengan tujuan untuk menggali riwayat kesehatan, umum dan kesehatan gigi secara keseluruhan (Walton & Torabinejad, 1996). Semua informasi ini sangat diperlukan untuk menentukan rencana perawatannya. Penggalian informasi sering sulit dilakukan bila penderita dalam keadaan panik akibat nyeri yang dideritanya sangat parah, namun sedapat mungkin informasi ini diusahakan untuk diperoleh karena diperlukan untuk menentukan diagnosis banding. Tabel 1. Nyeri klinis yang menyerupai nyeri odontogenik Nyeri odontog Hipersensitvitas dentin Pubpits reversibel Pubpitsireversibel Periodontitis apikalis akut Abses apikalis akut Nyeri non-odontogenik ~ kelainan sisterik — neuropati Cardiac pain ~ Herpes Zoster Anemia sel sabit (sickle cell Penyakit neoplastik Trigeminal neuralgia ‘+ Odontalgia atpikal + Neuralgia glosofaringeal ~ muskuloskeletal © Nyeri miofasial ‘© Nyeri karena kerusakan sendi rahang akibat bruksisme ~ inflamatori Sinusitis alergika ‘© Sinusitis bakterial neurovaskular © Migrain Quster headache + Nyeri odontogenik dapat berasal dari gigi yang dicurigal atau nyert (Keiser & Hargreaves, 2002) 36 Pemeriksaan klinis yang perlu dilakukan adalah inspeksi visual, probing periodontal, tes periapikal, dan tes pulpa. Pada inspeksi visual, selain dilihat adanya inflamasi pada jaringan lunak atau sinus tracts sebagai tanda patosis periapikal sekunder, juga diperiksa adanya kelainan lain yang mungkin sebagai penyebab timbulnya keluhan utama seperti ulkus aptosa. Karies dan fraktur gigi, dentin terbuka, atau restorasi rusak perlu dicatat, karena semuanya berkaitan dengan kelainan pada pulpa. Bila hal-hal yang dapat menjadi etiologi keluhan utama tidak ditemukan, perlu dipertimbangkan sumber non-odontogenik (Keiser & Hargreaves, 2002). Jaringan periodontal perlu diperiksa dengan seksama, tidak hanya secara visual saja, tetapi juga dengan menjalankan probing di sekitar sulkus untuk mengetahui adanya area yang kehilangan perlekatan yang mungkin terjadi akibat fraktur gigi vertikal (Walton dkk., 1984). Perkusi dan/atau palpasi berquna untuk mengetahui inflamasi atau infeksi pada jaringan periradikular. Penting untuk dicatat bahwa iritasi pada jaringan periradikular bukan hanya disebabkan patosis pulpa. Trauma karena oklusi, sinusitis, dan penyakit periodontal merupakan sumber potensial simptom periradikular (Keiser & Hargreaves, 2002). Vitalitas gigi sangat perlu diperiksa bila masih vital harus diketahui inflamasinya, reversible atau menetap. Tes dingin yang tetap merupakan diagnosis pulpa yang definitif (Holland, 2002), dilakukan dengan memakai karbon dioksida atau Korofluorokarbon yang disemprotkan pada kapas, diletakkan pada permukaan bukal atau labial dekat gingival gigi yang diuji. Tes panas dengan mudah dapat dilakukan dengan mengqunakan gutaperca. Tes elektrik untuk pulpa digunakan bila hasil uji termal tidak dapat disimpulkan. Hal ini sering terjadi pada penderita lansia yang pulpanya sudah tidak merespon rangsang suhu (Keiser & Hargreaves, 2002) Diagnosis nyeri pulpoperiapikal pada beberapa kasus, memerlukan foto Rontgen gigi Informasi yang diperolah dari foto Rontgen harus dikorelasikan dengan penemuan biinis dan riwayat Strategi Mengatasi Nyeri Pulpoperiapikal keluhan utama agar tidak terjadi kesalahan konklusi (Walton & Torabinejad, 1996) Kemungkinan dari foto Rontgen gig, akan terlihat adanya karies dan/atau restoras: yang dapat menyebabkan patosis pulpa, kondisi ligamen periodontal dan lamina dura, serta keadaan tulang alveolar yang dapat menimbulkan rasa nyeri. Nyeri Sebelum Perawatan Pulpoperiapikal 1. Nyeri pada pulpa ‘Nyeri pada pulpa bisa terjadi pada kondisi hipersensitif dentin, pulpitis reversibel, dan pulpitis 1. Dentin hipersensitif merupakan suatu kondisi peningkatan rasa sakit akibat dentin yang terekspos. Kondisi ini lebih merupakan suatu gejala yang kompleks daripada suatu penyakit karena timbulnya nyeri akibat paparan panas, kimia, atau tekanan osmosa (Coken & Brown, 2002). Nyeri karena pulpitis (painful pulpitis) merupakan respon inflamasi jaringan konektif pulpa terhadap iritan akibat adanya peningkatan tekanan intrapulpal yang melewati ambang batas seratsakit (Seltzer, 1986). Ada dua kondisi pulpitis dengan nyeri, yaitu pulpitis akut dan subakut. Pulpitis akut menimbulkan nyeri hebat dan merupakan respon inflamasi akut ireversibel yang dikarakterisasikan oleh hiperaktivitas eksudatif. Pulpitis subakut merupakan eksaserbasi ringan pulpitis kronis. Respon eksudatif dapat menjadi hiperaktif dari derajat ringan sampai moderat yang ditandai dengan nyeri intermiten. Pada pulpitis akut, pulpa masih vital dan perkusi negatif. Radiogram menunjukkan penyebab inflamasi seperti karies dalam, restorasi ekstensif, trauma, atau pulp capping. Bila pada perkusi menun- jukkan tanda positif, pulpitis akut ini disertai dengan periodontitis apikalis. Gambaran foto Rontgen terlihat sedikit radiolusensidan pelebaran membran ligamen periodontal, yang terkadang hanya pada salah satu akar gigi posterior (Holland, 1996). 2. Nyeri periapikal Nyeri periapikal, merupakan respon inflamasi 37 ML. Kedokteran Gigi Vol. 21 No.1 Maret 2006: 34-45 jaringan periapikal terhadap iritan yang berasal dari pulpa karena zona eksudatif (akut) menjadi hiperalif dan memegang peranan yang dominan. Timbulnya nyeri sebagai akibat peningkatan berlebihan tekanan intraperiapikal sebagaimana yang disebabkan oleh mediator algogenik yang dilepaskan sel yang mengalami cedera (Cohen & Brown, 2002). Periodontitis periapikal akut, merupakan awal eksudatif dan gejala moderat reaksi inflamasi jaringan konektif periapikal. Penyebabnya adalah kontaminan dari saluran akar yang akan menimbulkan vasodilatasi, eksudasi cairan, dan infiltrasi sel PMN leukosit dan limfosit dalam periapeks (Cohen & Brown, 2002). Pada keadaan ini perkusinya positif, sedangkan radiogram terkadang terlihat normal sampai sedikit radiolusen di periapikal (Torabinejad & Walton, 1996). Abses periapikal akut, merupakan eksudatif lanjutan dengan gejala berupa respons inflamasi jaringan konelttif periapikal terhadap kontaminan dari saluran akar yang akan meningkatkan terus- menerus sejumlah eksudat inflamasi (edema), infltrasi leukosit (PMN & limfosit), dan supurasi (Smulson & Sieraski, 1996). Pulpa sudah tidak vital, perkusi positif dan ada nyeri, sedangkan gambaran foto Rontgen tampak dari tanpa perubahan periapikal sampai radiolusensi (Weine, 1996). Abses periapikal bisa juga dijumpai dalam keadaan subakut yang merupakan fase sakit siklus, abses periapikal kronis. Pada saat kronis, tidak timbul nyeri karena ada drainase ke rongga mulut. Namun, saat saluran drainase tertutup oleh koagulum dan atau prolifrasi epitel mukosa, akan terjadi peningkatan tekanan pada periapikal dan menjadi tidak nyaman saat diperkusi. Inflamasi akan menyebar ke jaringan lunak di sekitamya sehingga nyerinya meluas (Torabinejad & Walton, 1996). Bila proses inflamasi atau komponen toksik nekrosis mendekati jaringan konektif pada perbatasan pulpoperiapikal, akan terjadi periodontitis apikalis. Kompresi pada jaringan periapikal yang persisten karena trauma oklusi, 38 menimbulkan respons inflamasi. Bila disharmoni oklusi ini didiamkan saja, akan memperparah keadaan (Weine, 1996). Nyeri Selama Perawatan Endodonti Pada perawatan endodonti rutin, terkadang timbul nyeri dari sedang sampai berat. Prosedur perawatan saluran akar ering menimbulkan nyeri pulpoperiapikal, di antaranya akibat eksterpasi pulpa, pemakaian bahan kimia intrakanal yang keras dan berlebihan, atau manipulasi instrumen didalamsaluran akar yang salah atau overekstensi karena tidak akuratnya pengukuran panjang saluran akar. Beberapa kasus sering menimbulkan nyeri selama perawatan endodontik, di antaranya periodontitis apikalis sekunder, pengambilan jaringan pulpa yang tidak lengkap, periodontitis apikalis kronis rekrudesen, atau abses periapikal rekuren (Weine, 1996), Terkadang, periodontitis apikalis sekunder menimbulkan gejala sakit berdenyut, perih, dan atau sakit sekali setelah perawatan. Sebelum perawatan, gejala ini tidak ada, namun setelah dirawat timbul rasa tidak enak dan pada perkusi gigi menjadi lebih sensitif. Bila kavitas dibuka, tidak ada eksudat atau gas dan hasil uji kultur mungkin negatif karena tidak ada infeksi Periodontitis apikalis sekunder dapat terjadi karena overinstrumentasi, adanya debris yang tertekan ke dalam jaringan periapikal, atau overmedikasi dalam hal ini obat saluran akar yang digunakan terlalu kaustik atau terlalu banyak (Weine, 1996) Pengambilan jaringan pulpa yang tidak lengkap yang dilakukan pada awal perawatan endodontik dengan tindakan pulpotomi atau pulpektomi parsial pada kasus pulpitis kronis atau akut, dapat menimbulkan nyeri karena jaringan pulpa yang mengalami inflamasi tidak terambil semuanya. Bila terjadi pulpitis akut tanpa periodontitis apikalis, biasanya inflamasinya hanya terjadi pada pulpa bagian korona yang diambil saat pulpotomi. Pada pulpitis kronis dan beberapa kasus pulpitis akut, inflamasi mungkin sudah meluas ke pulpa bagian akar. Awalnya, pulpotomi mungkin akan menghilangkan nyeri, namun perasaan tidak nyaman terkadang timbul kembali. Gejala sakit ini dapat timbul karena gigi sensitif terhadap panas dan/atau dingin atau sakit pada saat diperkusi (Walton & Torabinejad, 1996). Periodontitis apikalis yang semula kronis dapat menjadi akut menjadi periodontitis apikalis kronis rekrudesen. Perawatan endodontik pada kasus pulpa nekrosis dan lesi apikal yang asimptomatik dengan periodontitis apikalis kronis, biasanya sukses. Namun, pada sejumlah kecil kasus, lesi kronis berubah menjadi akut setelah perawatan saluran akar pada kunjungan pertama Hal ini dapat disebabkan oleh kuman anaerobik fakultatif yang hidup pada kondisi sedikit oksigen di dalam jaringan periapikal, tiba-tiba mendapat udara pada saat saluran akar dibuka. Keadaan ini membuat kuman menjadi ganas hingga terjadi reaksi akut. Overinstrumentasi atau debris nekrotik yang tertekan ke apeks disertai adanya daerah yang resistensinya rendah, juga dapat menjadi akut (Weine, 1996), Abses periapikal rekuren terjadi pada kasus abses periapikal akut yang sudah dirawat yang kemudian gejalanya timbul kembali. Walaupun akses saluran akar sudah dibiarkan terbuka, tetapi kemudian tertutup kembali oleh sisa makanan atau objek asing lain seperti potongan tusuk gigi, sikat gigi, atau permen karet sehingga drainasenya terhenti. Bila gigi dengan pulpa terbuka langsung tertutup, sering absesnya timbul kembali. Pada beberapa kasus, gejalanya baru timbul setelah beberapa hari tanpa intervensi perawatan (Walton & Torabinejad, 1996). Nyeri Setelah Perawatan Endodontik Berbeda dengan banyak laporan tentang nyeri selama perawatan endodontik, hanya sedikit yang diketahui tentang etiologi nyeri setelah obturasi. Padahal, sekitar sepertiga penderita sering mengalami nyeri setelah obturasi. Nyeri pasca-obturasi terjadi karena iritasi periakal oleh material obturasi, oklusi yang terlalu tinggi, atau ekstrusi pelapis (sealer) atau guta-perca ke dalam. jaringan periapikal (Harrison dkk., 1983). Strategi Mengatasi NyeriPulpoperiapikal Mengeliminasi Nyeri Pulpo-Periapikal Nyeri yang timbul sebelum dan setelah perawatan endodonti, biasanya merupakan kejadian gawat-darurat di dalam kemar praktek dokter gigi. Tindakan pertama yang harus dilakukan adalah mengurangi nyeri, bahkan kalau mungkin menghilangkannya. Karena itu, tindakan gawat-darurat untuk mengatasi nyeri harus dilakukan dengan tepat, jangan sampai menambah nyerinya. Ketepatan pengobatan tentunya harus didukung diagnosis yang akurat. Nyeri merupakan suatu kompleks fenomena fisiologik dan psikologik (Dionne & Kaneko, 2002). Tingkat persepsi nyeri tidak konstan, ambang nyeri seperti juga reaksi tethadap nyeri selalu berubah tergantung situasinya, Komponen psikologik persepsi nyeri dan reaksi tethadap nyeri, meliputi faktor-faktor kognitif, emosi, dan simbolik (Priska, 2003). Ambang realsi nyeri akan berubah karena pengalaman, tingkatkecemasan, dan kondisi emosinya. Untuk mengurangi kecemasan dan memperoleh kerja sama selama perawatan, dokter gigi harus mampu mengkontrol situasi, memberi perhatian dan simpati, meningkatkan kepercayaan diri penderita, dan memperlakukan penderita sebagai individu yang penting. Strategi mengatasi nyeri pulpoperiapikal dilakukan dengan kombinasi farmakologik dan non-farmakologik (Keiser & Hargreaves, 2002). Banyak laporan yang menunjukkan bahwa tindakan pulpotomi dan pulpektomi sudah dapat menurunkan nyeri (Hargreaves & Baumgartner, 2002; Walton & Hutter, 2002). Tujuannya adalah menghilangkan inflamasi dalam sistem saluran akar yang terinfeksi. Terkadang untuk infeksi yang sudah mencapi area periapikal, tindakan ini perlu dikombinasi dengan insisi untuk drainase dan reduksi oklusal (Walton & Hutter, 2002). Agar tindakan lokal ini tidak menambah nyer, tentunya lebih dulu hatus dilakukan anaestesia lokal. Pada beberapa kasus, pemberian analgesih, antibiotik, dan trankuilaiser terkadang diperluken. 39 MLL. Kedokteran Gigi Vol. 21 No.1 Maret 2006: 34-45 Anestesia Lokal Anestesia lokal biasanya kurang efektif untuk penderita dengan inflamasi. Misalnya, kegagalan injeksi anestesia lokal tunggal untuk memblokade nervus alveolaris inferior terjadi pada sekitar 30- 80% penderita dengan pulpitis ireversibel. Kegagalan injeksi blok pada penderita dengan pulpitis ireversibel 8 kali lebih sering bila dibandingkan dengan kontrol normal (Hargreaves & Keiser, 2002). Hal ini terjadi karena pada saat inflamasi, pH pada ruang ekstraneural turun menjadi sckitar5,6 dari 7,4 pada keadaan normal. Tabel2. Pada pH ini, kesetimbangan larutan anestesia 99% dalam bentuk kation, sisanya 1% dalam bentuk basa (RN) yang masuk ke dalam ruang neural. Akibatnya bentuk kation (RNH*) yang ditangkap oleh reseptor sel saraf hanya sedikit hingga tidak menghasilkan keadaan baal secara klinis (Malamed, 2002). Kegagalan lapat diatasi dengan menambah volume anestesia, memperjauh daerah injeksi, dan menggunakan prosedur tambahan. Pemilihan bahan anestesia lokal yang akan digunakan untuk prosedur mengatasi nyeri Teknik anestesia lokal untuk mengkontrol nyeri pulpoperiapikal Caan aI nInDnnnInnnrSeeeeaennnnnnT anna Rahang Teknik Gigitarget_—__Deposist Maksila ‘Supraperiosteal Ginfitrasi) Satu gigi ‘Apeks igi target Blok n. alveolaris posterosuperior —Ketiga molar Superior, distal, medial tuberosita maksilaris (kedalaman 16 mm) Blok n. alveolaris anterosuperior «I, C, dan ——_—Foramen infraorbitalis, kemudian ditekan dengan jari ke foramen Blok n. palatinus mays P dan M Foramen palatinus mayus Blok n. nasopalatinus Idan C Foramen insisivus Blok n. maksilris 1,C,P,danM Sama dengan n. alveolaris postero~ superior dengan penetrasi lebih dalam (kedalaman 30 mm) Blok n, alveolaris middleantero- ‘1, C, danP_—_Titik antara dua premolar superior dan garis tengah palatum Mandibula Blok n. alveolaris inferior T.GP, danM Titik di belakang garis oblik internal, arah ramus dari premolar seberang, sejajar dataran okhusal Blok n. insisivus 1,C, danP ——Sobelah huar foramen mentalis, lah ditekan dengan jari ke foramen Blok mandibula: © teknik Gow-Gates 1,C,P,danM — Aspek lateral Ieher kondil di bawah insersi m. pterigoideus lateral «© tekniktrismus 1,C,P,danP _ Insersijarum pada jaringan lunak aspek lingual ramus mandibula berbatasan dengan tuberositas rmaksilaris, jarum diusahakan sejajar ramus, kedalaman 25 mm Infitrast © Tlateral © Mucobuccal fold ujung apeks _M Aspek lingual ‘Anastesi Injeksi igamen periodontal Satu git, ‘Ruang periodontal antara akar dan tambahan terutama M_—_tulang interseptal Injeksi intraseptal Satu gigi Langsung ke korteks tulang Intraoseus Satu/dua gigi —_Langsung ke korteks setelah tulang diperforasi Injeksi intrapulpa Satu gigt ~ Tutup gutaperca, injekst ke kanal - Deposit larutan di dalam kanal a pulpoperiapikal, tergantung pada durasi prosedur perawatan, kebutuhan akan hemostasis, kebu- tuhan kontrol nyeri setelah tindakan, dan kontraindikasi untuk penderita khususnya penggunaan vasokonstriktor (Reader & Nusstein, 2002). Durasi kerja larutan anestesia pada jaringan pulpa (jaringan keras) atau jaringan lunak dipengaruhi oleh variasi individual dalam merespon obat, akurasi tekmnik penyuntikan, status jaringan pada situs deposisi seperti vaskularisasi atau pH, variasi anatomik, dan teknik anestesia vyaitu infiltrasi atau blok saraf (Malamed, 2002). Dalam keadaan inflamasi atau infeksi, teknik injeksi supraperiosteal atau lebih dikenal dengan teknik infitrasi, lebih sering mengalami kegagalan. ‘Teknik ini juga kurang efektif untuk geligi rahang ‘bawah orang dewasa atau pada gigi yang akarnya panjang (Malamed, 2002). Untuk itu, perlu dilakukan teknik anestesia dengan injeksi blok saraf atau prosedur anestesia tambahan (Reader & Nusstein, 2002). Berbagai teknik anestesia lokal untuk mengatasi nyeri pulpoperiapikal disajikan pada Tabel 2. Tindakan Lokal Pada patosis pulpo-periapikal sebelum perawatan endodonti, terdapat empat kondisi gawat-darurat yang memerlukan tindakan berbeda untuk mengurangi nyerinya. Keempat kondisi ini, pulpitis akut, pulpitis akut dengan periodontitis, nekrosis pulpa, dan abses periapikal akut, hanya memerlukan dua macam determinasi Minis, yaitu uji vitalitas pulpa dan perkusi untuk menentukan perawatan, pengobatan, dan perlu atau tidaknya dibuat akses dari ruang pulpa. Kadang-kadang untuk melengkapi diagnosisnya diperlukan radiogram gigi dan jaringan periapikal (Walton & Torabinejad, 1996; Weine, 1996). Tindakan utama untuk mengurangi nyeri adalah membuang iritan dan menghentikan inflamasinya. Untuk pulpitis akut gigi posterior dilakukan pulpotomi, sedangkan gigi depan sebaiknya dilakukan pulpektomi. Analgesi ringan tanpa antibiotika dapat diberikan untuk pulpitis, yang ireversibel. Tindakan gawat-darurat untuk ‘Strategi Mengatasi Nyeri Pulpoperiapikal pulpitis akut dengan periodontitis lebih sulit dan kompleks. Tindakan terbaik adalah dengan pulpektomi karena jaringan yang mengalami inflamasi biasanya terletak pada bagian apikal saluran akar. Bila nyeri tidak hilang juga, sebaiknya inflamasi yang terjadi diredakan dengan antiinflamasi dan nyeri sementara langkan dengan analgesi, Nekrosis pulpa jarang menimbulkan gawat-darurat, namun bila terjadi, tindakannya adalah dengan membersihkan saluran akar yang kemudian dipreparasi untuk dibesarkan. Pada abses periapikal akut, diperlukan drainase melalui saluran akar dengan membuat akses dan saluran akar dibersihkan, kemudian dibiarkan terbuka. Bila tidak mungkin dilakukan pada saat itu, pembersihan saluran akar dilakukan pada kunjungan berikutnya, Pemberian analgesik dan antibiotika akan mengurangi rasa nyerinya (Keiser & Hargreaves, 2002). Nyeri selama perawatan saluran akar disebabkan oleh periodontitis apikalis sekunder, pengambilan jaringan pulpa yang tidak lengkap, periodontitis apikalis kronis rekrudesen, atau periapikal abses rekuren, Mengurangi nye karena periodontitis apikalis sckunder, dapat dilakukan dengan kombinasi kortikosteroid dan antibiotik yang diletakkan di dalam saluran akat, Beberapa peneliti menyebutkan bahwa nyeri akan hilang setelah beberapa jam pada penderita yang diberi rim yang mengandung kombinasi triamsinolon, nistatin, neomisin, dan gramisidin. Bila nyeri yang timbul karena tertinggalnya jaringan pulpa di dalam saluran akar, maka sisa jaringan tersebut harus dibersihkan. Tetapi, bila perkusinya positif, dapat diberikan kombinasi kortikostreoid dan antibiotik di dalam saluran akarnya, Penyebab inflamasi dan nyeri pada periodontitis kronis tekrudesen dan abses periapikal, biasanya mikroorganisme. Untuk itu perlu dilakukan drainase melalui saluran akar, pemberian antibiotik, dan analgesik secara sistemik (Weine, 1996) Informasi tentang kemungkinan tidak enak selama beberapa hari setelah perawatan 41 MLL Kedokteran Gigi Vol. 21 No.1. Maret 2006: 34-45 endodonti, pemberian analgesik ringan dapat mengurangi kecemasan dan mencegah reaksi berlebihan pada penderita. Namun, terkadang pada sementara penderita dapat berkembang komplikasi yang serius. Untuk itu, perlu dilakukan perawatan ulang atau bedah apikal bila nyerinya menetap tanpa disertai pembengkakan. Pada penderita dengan perawatan endodontik yang sudah sesuai prosedur tetapi_ timbul pembengkakkan setelah obturasi, perlu dilakukan insisi dan drainase. Bila nyerinya cukup berat tanpa disertai pembengkakan, sedangkan perawatan endodontiknya dilakukan dengan baik, penderita cukup ditenangkan dan diberi analgesik (Walton & Torabinejad, 1996) Pengobatan Sistemik Penderita yang dirawat endodonti, mungkin memerlukan obat berupa analgesik dan antibiotika kalau ada kuman yang terlibat. Terkadang untuk penderita yang mudah panik perlu diberi obat penenang. Sebenarnya, untuk banyak kasus, antibiotika tidak diperlukan asalkan perawatan endodotik dilakukan dengan sebaik- baiknya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum memberikan obat sistemik, vaitu riwayat kesehatan. Riwayat alergi, beberapa penyakit sistemik, atau kondisi lain yang dapat mengakibatkan kerusakan organ tubuh karena efek samping obat, perlu diketahui sebelum pemberian obat (Keiser & Hargreaves, 2002). Kadang diperlukan merujuk pada buku tentang indikasi dan kontraindikasi serta efek samping suatu obat. Tidak ada salahnya melakukan konsultasi ke dokter keluarga bila penderita mempunyai penyakit sistemik yang berat. 1. Analgesik Analgesik sering diperlukan untuk membantu menghilangkan nyeri, oleh karena itu pemahaman tentang analgesik sangat bermanfaat. Analgesik dapat dipilah menjadi dua kelompok, yaitu analgesik opioid dan anti-inflamasi bukan steroid (AIBS). Analgesik opioid terdiri atas morfin dan alkaloid opium, meperidin dan derivat 42 fenilpiperidin, serta metadon. Analgesik kelompok inj jarang digunakan di bidang kedokteran gigi karena selain efek analgetiknya sangat kuat sehingga hanya digunakan untuk nyeri berat yang berasal dari organ dalam, juga dapat menimbulkan adiksi (Santoso & Rosmiati, 1995). Kelompok anti-inflamasi bukan steroid (AIBS) lebih sering digunakan dalam bidang kedokteran gigi karena cukup efektif dan efisien untuk mengurangi nyeri pada gigi dan jaringan sekitar. Biasanya, AIBS juga bisa bekerja sebagai antipiretik dan antiinflamasi. AIBS merupakan kelompok obat yang heterogen, namun memiliki banyak persamaan dalam efek terapi dan efek samping (Keiser & Hargreaves, 2002). Sebagian besar efek terapi dan efek samping kelompok AIBS berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin, terutama PGE,, melalui hambatan tethadap siklooksigenase (COX). Perlu diingat bahwa banyak analgesik kelompok AIBS yang bekerja menghambat COX- 1 dan COX-2. Secara fisiologik, COX-1 mengkatalisis biosintesis prostaglandin untuk fungsi ginjal dan prostasiklin sebagai pelapis mukosa lambung. Efek samping hambatan pada COX-1 akan mempengaruhi kerja ginjal dan mukosa lambung mudah terititasi (Roberts Il & Morrow, 2001), sehingga sering terjadi tukak lambung dan tukak peptik yang terkadang disertai anemia sekunder karena perdarahan saluran cema. Sifat asam kelompok AIBS akan mengiritasi lambung secara lokal. Efek samping lain adalah gangguan fungsi trombosit yang akan memperlama waldu perdarahan (Wilmana, 1995) Hambatan biosintesis PG di ginjal, menyebabkan berkurangnya aliran darah ginjal dan kecepatan filtrasi glomeruli hingga bisa terjadi gagal ginjal pada penderita hipovolemia, sirosis hepatis dengan asites, dan penderita gagal jantung (Ganong, 1995). Pada beberapa individu dapat terjadi reaksi alergi terhadap analgesik ini seperti rinitis vasomotor, edema angioneurotik, urtikaria, asma bronkial, hipotensi, presyok, dan syok (Wilmana, 1995). Mediator biokimia lainnya pada proses inflamasi tidak dapat dihambat oleh AIBS, kecuali PGE,. Efek vasodilatasi PGE, cukup besar, sedangkan histamin dan bradikinin tidak besar. Penambahan sedikit PGE,, efek eksudasi kedua mediator tadi menjadi jelas. Dalam dosis tinggi, AIBS menghambat migrasi sel oleh leukotrien B,, bat penghambat biosintesis PGE, dan leukotrien sudah tentu lebih potensial menekan proses inflamasi. Namun, AIBS hanya efeltif untuk nyeri dengan intensitas rendah. Efek analgesiknya jauh lebih lemah daripada kelompok opiat, tetapi AIBS tidak menimbulkan ketagihan. Nyeri akibat terpotongnya saraf aferen tidak dapat diatasi dengan AIBS, tetapi nyeri pascabedah dapat ditanggulangi. Hanya perlu diingat bahwa AIBS hanya meringankan nyeri secara simptomatik, tidak menghilangkan peyebabnya (Santoso & Rosmiati, 1995). Banyak pilihan di antara AIBS untuk mengatasi nyeri, sehingga sering menyulitan. Untuk itu, dianjurkan menguasai sedikitnya empat jenis AIBS yang berbeda hingga dapat memilih salah satu di antaranya yang sesuai dengan kasus dan kondisi penderita. Empat jenis AIBS ini fermasuk yang mempunyai waktu paruh panjang, waktu paruh pendek, dan dua jenis lagi dari kelas kimiawi lainnya. Berikut ini sebagai patokan untuk penggunaan praktis: (1) harus diingat bahwa belum ada AIBS yang ideal, (2) tidak semua AIBS, di pasaran perlu digunakan, (3) kenali empat AIBS seperti yang sudah diuraikan dan pilih salah satu yang sesuai dengan kondisi penderita, dan (4) dimulai dengan dosis kecil, baru ditingkatkan sampai dosis maksimalnya dan bila tidak ada respon baru diganti dengan salah satu dari 3 AIBS, yang dikenali (Malamed, 1996). Tetapi pilihan pertama pemakaian AIBS adalah yang paling sedikit menimbulkan efek samping, yaitu AIBS yang selektif COX-2 karena enzim yang dihambat adalah enzim yang hanya berkerja bila dinduksi asam arakhidonat pada saat terjadinya cedera {Roberts II & Morrow, 2001). 2. Antibiotika Dalam perawatan endodontik, bila prosedur ‘Strategi Mengatasi Nyeri Pulpoperiapikal debridemen dan menghilangkan atau mengurangi mikroorganisme dan substratnya dilakukan dengan benar, infeksi jarang terjadi. Drainase melalui saluran akar sebetulnya juga sudah mencegah infeksi (Weine, 1996). Namun, terkadang diperlukan antibiotika untuk mengkontrol infeksi, khususnya bila dreinase sulit, dilakukan atau resistensi pejamu rendah atau serangan virulensinya tinggi. Penderita dengan riwayat jantung reumatik atau kelainan sitemik lain memerlukan antibiotik untuk profilaksis selama perawatan endodonti, khususnya untuk: mencegah terjadinya endokarditis bakterial subakut (EBS) (Baumgartner & Hutter, 2002). Pilihan utama untuk infeksi pulpoperiapikal adalah penisilan G prokain (penisilin V) atau derivatnya karena infeksi pada daerah ini disebabkan infeksi campuran kuman aerob dan anaerob. Namun, penisilin dapat menimbulkan eaksi alergi dan banyak kuman yang sudah resisten tethadap penisilin (Gan, 1995). Sebagai penggantinya karena reaksi alergi yang ditimbulkan dan banyaknya kuman yang resisten, dapat dipilih antibiotik golongan lain seperti klindamisin atau derivat eritromisin (Baumgartner & Hutter, 2002). 3. Transkuilaiser Beberapa penderita nyeri tertentu akan mengalami kecemasan dan ketegangan begitu masuk ke kamar praktek dokter gigi. Hal ini terjadi karena respon berlebihan pada SSP terhadap situasi di sekelilingnya sehingga menghasilkan agitasi, tekanan, dan cemas. Pemberian trans- kuilaiser, grup depresan SSP. akan menurunkan respon abnormal tersebut (Malamed, 2002). Berbeda dengan sedatif, tranquilaiser tidak menimbulkan efek tidur secara langsung. Efeknya hanya menahan reaksi agresif seperti melindungi dari rasa takut (Gan, 1995). Untuk perawatan nyeri pulpoperiapikal, sebaiknya digunakan tranquilaiser karena hanya memberikan efek relaks walaupun kadang-kadang penderita tertidur. Pada dosis rendah, tranquilaiser mempunyai efek merelaksasi otot sehingga sering 43 MLL Kedokteran Gigi Vol. 21 No.1. Maret 2006: 34-45 dikombinasi dengan analgesik untuk mengurangi nyeri (Malamed, 2002). Obat-obat yang termasuk tranquilaiser adalah diazepam, klordiazepoksid, dan oksazepam (Gan, 1995). KESIMPULAN Nyeri pulpo-periapikal dapat terjadi sebelum, selama, dan setelah perawatan saluran akar. Timbulnya nyeri berkaitan dengan inflamasi dan respon imun yang disebabkan oleh berbagai titan, terutama oleh mikroorganisme patogen. Strategi mengatasinya diawali dengan diagnosis yang akurat untuk menentukan rencana perawatannya. Situasi dikontrol dengan meningkatkan keper- cayaan diri, memberi perhatian dan simpati, dan membuat penderita sebagai individu penting. Tindakan utamanya adalah menghilangkan iritan dan mengurangi inflamasi dengan pulpotomi atau pulpektomi. Apabila perkusi positif, perlu dipertimbangkan untuk mendrainase dan saluran akar dibiarkan terbuka. Terkadang peru. diberi analgesik, sebaiknya kelompok AIBS selektif COX- 2. Untuk antibiotika, penisilin merupakan pilihan pertama DAFTAR PUSTAKA, Baumgartner, J.C. dan Hutter, J.W. 2002. Endodontic microbiology and tretment of infection. Dalam Pathways of the Pulp. Cohen, S. dan Burns, R.C. (eds.). Ed. Ke-8. Mosby, St. Louis. Him. 501-20. Cohen, AS. dan Brown, D.C. 2002. Orofacial dental pain emergencies: endodontic diagnoses and management, Dalam Pathways of the Pulp. Cohen, S. dan Burns, RC. (eds.). Ed. Ke-8. Mosby, St. Louis. Him. 31-76. Dionne, RA. dan Kaneko, ¥. 2002. Overcoming pain and anxiety in dentistry. Dalam Management of Pain and Anxiety in the Dental Office. Dionne, RA, Phero, J.C., dan Becker, D.E. (eds.). Saunders, Philadelphia. Him. 1-13. Eversole L. 2002. Nonodontogenic facial pain and endodontics: pain syndrome of the jaws that stimulate odontalgia. Dalam Pathways of the Pulp. Cohen, S. dan Burns, R.C. (eds.). Ed. Ke-8. Mosby, St. Louis. Him. 51-9. Gan, S. 1995. Farmakologi dan Teropi. Ed. ke-4. Bagian Farmakologi FKUL Jakarta, Ganong, WE 1995. Review of Medical Physiology. Ed. ke-17, Appleton & Lange. Connecticut. Him. 84-6; 126. Hargreaves, KM. dan Milam, S.B, 2002. Mechanism of ‘orofacial pain and analgesia. Dalam Management of Pain and Anxiety in the Dental Office. Dionne, RA, Phero, J.C., dan Becker, D.E. (eds.). Saunders, Philadelphia. Him. 14.33, Haegreaves, KM. dan Hutter, J.W. 2002, Endodontic Phramacology. Dalam Pathways of the Pulp. Cohen, S. dan Burns, R.C. (eds.). Ed. Ke-8. Mosby, St Louis. Him, 665-83, Hargreaves, KM. dan Keiser, K. 2002. Local anesthetic failure in endodontics: Mechanism and Management. Endodontic Topics 1: 26-39. Hargreaves, K.M. dan Baumgartmer, C. 2002. Endodontics therapeutics. Differential diagnosis of ‘orofacial pain. Dalam Principles and Practice of Endodontics. Walton, R-E. dan Torabinejad, M. (eds. Ed. ke-3. Saunders. Philadelphia. Him. 533-44. Hartison, J.W., Baumgartner, J.C., dan Svec, TA. 1983. Incidence of pain associated with clini-cal factors during and after root canal therapy. Part | Interappointment pain. J Endodon 9: 384. Holland, G.R. 2002. Differential diagnosis of orofacial pain. Dalam Principles and Practice of Endodontics. Walton, RE. dan Torabinejad, M. (eds.). Ed. ke-2. Saunders. Philadelphia. Him. 493-506. Keiser, K. dan Hargreaves, KM. 2002. Building effective strategies for the management of endodontic pain. Endodontic Topics 3: 93-105. Lund, J.P, Lavigne, G.J., Dubner, R., dan Sessle, B.. 2001. Orofacial Pain. Quintessence Publ. Chicago. Malamed, S.F. 2002. Management pain and anxiety. Dalam Pathways of the Pulp. Cohen, S. dan Burns, R.C. (eds.). Ed. Ke-8. Mosby, St. Louis. Him, 727-49. Nair, LJ. 1985. Endodontic flare-ups: Bacterioogical and immunological mechanism. J Endodon 11: 462-4, Pitts, D.LWilliams, B.L., dan Morton, TH.dr. 1982. Investigation of the role of endotoxin in periapical inflamation. J Endodon 8: 10. Priska, P. 2003. Perbedaan Persepsi Rasa Sakit Akibat Pemasangan Separator dan Kawat Busur Inisial pada Berbagai Karakteristik Kepribadian. Tesis. Program ~ Pascasarjana Universitas Tiisalti, Jakarta, 2003, Reader, A. dan Nusstein, J. 2002. Local anesthesia for endodontic pain. Endodontic Topics 3: 14-30. Roberts Il, LJ. dan Morrow, J.D. 2001. Analgesic, Antipyretic, and antiinflamatory agents and drugs employedin the treatment of gout. Dalam Goodman & Gilman;s The Pharmacological Basis of Therapeutics. Ed. Ke-10, McGraw-Hill. Him, 688-94. Santoso, $.0. dan Rosmiati, H. 1995. Analgesikopicid dan antagonis. Dalam Farmakologi dan Terapi. Ed. ke-4, Bagian Farmakologi FKUIL Jakarta. Him. 189-206. Seltzer, S. 1986. Pain in endodontics. J Endodon 12: 505-8. ‘Smulson, MH. dan Sieraski,S.M. 1996. Histophysiology and deseases of the pulp. Dalam Endodontic Therapy. Ed. ke-5. Weine, FS. (ed.). Mosby, St. Louis. Him. 84-165. ‘Smulson, M.H., Hagen, J.C., dan Ellenz, S.J. 1996 Pulpoperiapical pathology and immunologic considerations. Dalam Endodontic Therapy. Ed. ke- 5. Weine, FS. (ed.). Mosby, St. Louis. Him. 166-202 Torabinejad, M. dan Walton, R.E. 1996. Pulp and periapical pathosis. Dalam Principles and Practice of Endodontics. Walton, R.E. dan Torabinejad, M. (eds.) Ed. ke-2. Saunders. Philadelphia, Him, 29-52. Walton, R.E. dan Torabinejad, M. 1996. Endodontic ‘emergencies. Dalam Principles and Practice of Endodontics. Walton, R.E. dan Torabinejad, M, (eds.) Ed. ke-2. Saunders. Philadelphia, Hin, 292-305, Walton, RE., Michelich, R.J., dan Smith, G.N. 1984. The histopathogenesis of vertical root fracture. J Endod 10: 48-56, Walton, RE. dan Hutter, J.2002. Endodontic emergencies. Dalam Principles and Practice of Endodontics. Walton, RE. dan Torabinejad, M. (eds.). Ed. Ke-3 Saunders. Philadelphia. Him, 295-309. Weine, FS. 1996. Endodontic emergency treatment. ‘Strategi Mengatasi Nyeri Pulpoperiapikal Dalam Endodontic Therapy. Ed. ke-5. Weine, FS. (ed.), Mosby, St. Louis. 203-38. Wilmana, PE 1995. Analgesik-antipiretik analgesik anti- inflamasi nonsteroid dan obat pirai. Dalam Farmakologi dan Terapi. Ed. ke-4. Bagian Farmakologi FKUL, Jakarta. him. 207-22.

Anda mungkin juga menyukai