Anda di halaman 1dari 25

Prima Eriawan Putra 1102012212 1

1. Disabilitas Intelektual (Retardasi Mental)


1.1. Definisi
Konsep dasar dari retardasi mental adalah sebagai berikut:
a. Retardasi mental bukanlah kelainan yang spesifik (ataupun singular) karena baik penyebabnya, mekanisme, perjalanan
kelainannya, dan prognosisnya berasal dari banyak faktor. Retardasi mental lebih merujuk kepada sindrom perilaku.
b. Retardasi mental bukanlah diagnosis tunggal. Seseorang yang didiagnosis mengalami retardasi mental dapat menunjukkan
manifestasi klinis dan perilaku yang beragam.

Menurut definisi, retardasi mental adalah defisit dalam kemampuan kognitif dan defisit terhadap perilaku yang dibutuhkan dalam
sufisiensi sosial serta personal. Untuk mengetahui tingkat retardasi mental, diperlukan penilaian adaptasi sosial dan juga intelligence
quotient (IQ).

1.2. Epidemiologi
Prevalensi retardasi mental pada satu waktu, berkisar antara 1-3% dari populasi. Incidence dari retardasi mental sangat sulit untuk
dihitung karena retardasi mental yang ringan dapat tidak terdeteksi hingga pertengahan masa kanak-kanak. Pada beberapa kasus,
meskipun terjadi keterbatasan intelektual, kemampuan adaptifnya tidak terganggu sampai akhir masa kanak-kanak atau mulainya
masa remaja, dan diagnosisnya baru diketahui pada saat tersebut. Incidence tertingginya adalah pada usia sekolah anak-anak, dan
puncaknya adalah usia 10-14 tahun. Retardasi mental 1,5 kali lebih sering diderita laki-laki ketimbang perempuan. (Kaplan & Sadock,
2010)

1.3. Etiologi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan retardasi mental antara lain kelainan genetik, kelainan tumbuh kembang, acquired, ataupun
kombinasi.

Genetik
Down sydnrome, fragile X sydnrome, Prader-Willi syndrome, Cri-du-chat syndrome, phenylketonuria, Retts disorder,
neurofibromatosis, Tuberous sclerosis, Lesch-Nyhan syndrome, Adrenoleukodystrophy, Maple syrup urine disease, kelainan
enzimatik lainnya. (Kaplan & Sadock, 2010)

Gangguan tumbuh kembang dan Acquierd infection


Rubella (German Measles), Cytomegalic inclusion disease, Syphilis, Toxoplasmosis, Herpes Simplex, AIDS, Fetal alcohol syndrome,
Pajanan obat-obatan pada masa prenatal, komplikasi kehamilan, masa perinatal: infeksi, trauma kepala, kelainan lainnya. (Kaplan &
Sadock, 2010)

Lingkungan dan Faktor Sosiokultural


Depriviasi nutrisi pada saat pertumbuhan ataupun saat kehamilan (maternal).

Kebanyakan anak yang menderita retardasi mental ini berasal dari golongan sosial ekonomi rendah akibat kurangnya stimulasi dari
lingkungannya sehingga secara bertahap menurunkan IQ yang bersamaan dengan terjadinya maturasi. Demikian pula dengan keadaan
sosial ekonomi yang rendah dapat sebagai penyebab organik dari retardasi mental, misalnya keracunan logam berat yang subklinik
dalam jangka waktu yang lama dapat mempengaruhi kemampuan kognitif, ternyata lebih banyak pada anak-anak dikota dari golongan
sosial ekonomi rendah. Demikian pula dengan kurang gizi, baik pada ibu hamil maupun pada anaknya setelah lahir dapat
mempengaruhi pertumbuhan otak anak. (Depkes, 2005)
Prima Eriawan Putra 1102012212 2

Tabel 1. Etiologi Retardasi Mental (Kliegman, 2011)

1.4. Klasifikasi
Menurut American Psychiatric Association, klasifikasi disabilitas intelektual (retardasi mental) adalah sebagai berikut:
a. Disabilitas intelektual ringan (IQ level 50-55 hingga ~70)
b. Disabilitas intelektual sedang (IQ level 35-40 hingga 50-55)
c. Disabilitas intelektual berat (IQ level 20-25 hingga 35-40)
d. Disabilitas intelektual profound (IQ level <20-25)
e. Disabilitas intelektual dengan tingkat keparahan yang tidak diketahui: untuk seseorang yang diduga kuat mengalami disabilitas
intelektual namun intelegensinya tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan standar. (Kliegman, 2011)

1.5. Patofisiologi
Down Syndrome
Down syndrome disebabkan oleh aberrasi kromosom sebagai berikut:
a. Pasien dengan trisomy 21 (tiga kromosom 21, yang normalnya adalah 2). Down syndrome paling sering disebabkan oleh trisomy
kromosom 21; jumlah kromosomnya menjadi 47. Karyotype ibu normal, tetapi terjadi nondisjunction pada saat meiosis, namun
sampai saat ini penyebabnya masih belum banyak diketahui.
b. Nondisjunction yang terjadi setelah fertilisasi, sehingga terjadi mosaicism, yaitu adanya sel dengan kromosom normal serta sel
dengan kromosom trisomik.
c. Translokasi (fusi dari 2 kromosom), biasanya antara kromosom 21 dengan 15, namun tidak ada kelebihan (pertambahan jumlah)
kromosom. Berbeda dengan trisomi 21, biasanya kasus translokasi ini merupakan faktor keturunan.

Di Amerika serikat, incidence Down Syndrome adalah 1 dari tiap 700 kelahiran. Ibu hamil yang berusia >32 tahun, risiko anaknya
mengidap down syndrome adalah 1 dari 100 kelahiran, namun apabila ada riwayat translokasi, risikonya adalah 1 dari 3 kelahiran.
Hal ini menunjukkan pentingnya konseling genetik.

Retardasi mental merupakan gejala yang paling tampak dari Down syndrome. Pasien dengan sindrom ini umumnya mengalami
retardasi sedang hingga berat; dan hanya minoritas yang skor IQ nya >50. Perkembangan mental seharusnya bertambah sejak usia 6
bulan. Pada penderita Down syndrome, skor IQ nya turun secara perlahan (dari nilai normal) sejak usia 1 tahun hingga usia 30 tahun.
Penurunan intelegensi ini bisa saja tidak terlihat. Tes-tes infantil juga tidak dapat mengetahui defek yang terjadi. Berdasarkan banyak
Prima Eriawan Putra 1102012212 3

studi, anak dengan Down syndrome dapat menunjukkan sifat gembira, kooperatif, dan mudah beradaptasi di rumah. Seiring dengan
bertambahnya usia, pada remaja yang mengalami Down syndrome, akan muncul gejala seperti kelainan emosional, kelainan perilaku,
dan kelainan psychotic (meskipun jarang).

Diagnosis Down syndrome lebih mudah pada anak yang sudah lebih tua usianya, namun pada bayi baru lahir, diagnosis sangat sulit
untuk dilakukan. Beberapa tanda Down syndrome yang umum ditemui pada bayi baru lahir antara lain hypotonia, fissura palpebra
oblique, banyaknya kulit di bagian leher, tulang kepala yang datar dan kecil, tulang pipi yang tinggi, lidah yang menjulur. Tangan
terlihat lebar dan tebal, dengan garis tangan singular transversal, jari kelingking pendek dan menekuk ke dalam. Reflex moro sangat
lemah atau bahkan tidak ada. Harapan hidup adalah sekitar 40 tahun; banyak yang tidak bisa mencapai usia >40 tahun. Orang yang
menderita Down syndrome biasanya mengalami deteriorasi bahasa, memori, kemampuan menjaga diri, dan deteriorasi problem-
solving pada usia 30 tahun. (Kaplan & Sadock, 2010)

Fragile X Syndrome
Fragile X syndrome merupakan penyebab retardasi mental urutan ke-dua, setelah Down syndrome. Sindrom ini disebabkan oleh
mutasi kromosom X di lokasi yang sangat rentan (Xq27.3). Lokasi rentan ini hanya diekspresi oleh beberapa sel, dan bisa saja tidak
menunjukkan gejala. Fragile X syndrome diperkirakan terjadi pada 1:1000 pria, dan 1:2000 wanita. Fenotip yang muncul dari X
fragile adalah kepala dan telinga yang panjang, besar, tumbuh yang pendek, hiperekstentibilitas persendian, serta makroorkdisime
postpubertal. (Kaplan & Sadock, 2010)

Cri-du-chat Syndrome
Anak dengan cri-du-chat syndrome mengalami delesi pada sebagian kromosom 5 nya. Umumnya anak ini mengalami retardasi mental
yang berat. Beberapa tanda dari cri-du-chat syndrome adalah microcephaly, fissura palpebral oblique, dan microganthia. Suara
tangisan seperti kucing disebabkan oleh kelainan larynx, namun lama-kelamaan akan berubah seiring dengan bertambahnya usia.
(Kaplan & Sadock, 2010)

Phenylketonuria
PKU merupakan abnormalitas genetik yang diturunkan secara reessive autosomal, dan terjadi pada 1 dari 10.000 hingga 15.000
kelahiran. Kelainan yang terjadi pada phenylketonuria adalah tidak mampunya mengubah phenylalanine (asam amino essensial)
menjadi paratyrosine. Hal ini karena inaktivitas ataupun tidak adanya enzim phenylalanine hydroxylase.

Penderita PKU umumnya mengalami retardasi mental yang berat, namun dilaporkan bahwa beberapa penderita memiliki intelegensi
yang normal ataupun intelegensinya berada pada batas bawah. Beberapa tanda phenylketonuria yang dapat dilihat pada masa anak-
anak antara lain hiperaktif, perilaku yang tidak dapat diprediksi (erratic/tak menentu), dan sangat sulit untuk diurus. Biasanya anak
dengan phenylketonuria melakukan gerakan-gerakan yang tidak lazim pada tubuh dan extremitas atasnya; perilaku yang tampak
biasanya mirip dengan perilaku pada anak autisme atau schizophrenia. Komunikasi verbal maupun non verbal biasanya sangat
terganggu. Koordinasi juga sangat buruk. (Kaplan & Sadock, 2010)

Kelainan Prenatal
Perlu diketahui bahwa penting bagi ibu untuk menjaga kesehatan fisik, psikologis, dan menjaga nutrisinya selama hamil. Penyakit
kronis yang dimiliki ibu dapat mengganggu perkembangan sistem saraf pusat fetus, antara lain diabetes, anemia, emphysema,
hipertensi, dan penggunaan alkohol serta narkotika dalam jangka panjang. Infeksi maternal pada saat kehamilan, yang paling sering
adalah infeksi virus, juga diketahui dapat menyebabkan gangguan perkembangan janin, termasuk retardasi mental. (Kaplan & Sadock,
2010)

Rubella (Campak Jerman)


Rubella menjadi penyebab utama terjadinya malformasi kongenital dan juga retardasi mental akibat infeksi maternal. Gejala yang
dapat ditimbulkan antara lain congenital heart disease, retardasi mental, katarak, ketulian, microcephaly, dan microphthalmia. Ketika
ibu terinfeksi rubella pada trimester pertama kehamilan, maka risiko mengenai janinnya adalah 10-15%, namun incidence nya
meningkat (menjadi 50%) ketika ibu terinfeksi pada bulan pertama kehamilan. Rubella maternal dapat dicegah dengan cara imunisasi.
(Kaplan & Sadock, 2010)

Syphilis
Syphilis pada wanita hamil dapat menyebabkan berbagai macam neuropatologis pada janinnya, termasuk juga retardasi mental.
(Kaplan & Sadock, 2010)

Toxoplasmosis
Prima Eriawan Putra 1102012212 4

Toxoplasmosis dapat ditransmisi dari ibu ke anak. Toxoplasmosis menyebabkan retardasi mental yang ringan ataupun berat, dan pada
kasus yang berat, dapat juga terjadi hydrocephalus, kejang, microcephaly, dan choriotinitis. (Kaplan & Sadock, 2010)

Komplikasi Kehamilan
Pre-eclampsia dan diabetes maternal yang tidak terkontrol dapat menimbulkan bahaya bagi janin, dan kadang-kadang dapat
menyebabkan retardasi mental. Malnutrisi ibu saat hamil seringkali menyebabkan prematuritas dan komplikasi obstetri. Pendarahan
vagina, placenta previa, separasi prematur placenta, dan prolapse dari tali pusat dapat menyebabkan kerusakan pada otak janin karena
anoxia. (Kaplan & Sadock, 2010)

Kelainan Perinatal
Beberapa studi menunjukkan bahwa bayi yang lahir prematur dan bayi yang lahir dengan berat badan rendah memiliki risiko tinggi
mengalami kelainan neurologis dan gangguan intelektual pada masa sekolahnya. Bayi yang mengalami pendarahan intracranial
ataupun yang menunjukkan tanda iskemia serebri sangat rentan untuk mengalami abnormalitas kognitif. Bayi dengan berat <1000
gram, 20% akan mengalami kelumpuhan, termasuk cerebral palsy dan retardasi mental. (Kaplan & Sadock, 2010)

Trauma pada Kepala


Trauma pada kepala yang seringkali terjadi pada anak-anak antara lain akibat kejang, kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh dari
meja, tangga, ataupun jatuh dari jendela. Kekerasan pada anak juga dapat menyebabkan trauma pada kepala anak. (Kaplan & Sadock,
2010)

Faktor Sosiokultural dan Lingkungan


Retardasi mental ringan dapat terjadi pada kasus kekurangan nutrisi dan kesalahan asuhan. Anak yang terus menerus di bawah kondisi
seperti ini akan mengalami gangguan perkembangan fisik dan emosional. Lingkungan prenatal yang tidak sadar perawatan medis
dan juga nutrisi maternal yang buruk menyebabkan retardasi mental ringan. Kehamilan pada masa remaja merupakan faktor risiko
dari komplikasi obstetri, prematuritas, dan berat badan lahir rendah. (Kaplan & Sadock, 2010)

1.6. Manifestasi Klinis


Diagnosis retardasi mental yang sedini memungkinkan untuk intervensi yang lebih cepat, identifikasi kemampuan, membuat goal
yan realistis, meredakan kekhawatiran orang tua, dan anak dapat dengan mudah diterima di masyarakat. Dokter harus memperhatikan
pasien anak yang datang, terutama dengan tanda-tanda seperti dismorfisme disertai terganggunya tumbuh kembang dan tidak bisa
mengikuti kemampuan teman sebayanya. Tidak ada karakteristik fisik yang spesifik pada retardasi mental, namun dismorfisme dapat
menjadi tanda awal dan harus menjadi perhatian dokter. Dismorfisme ini terkait dengan kelainan genetik seperti Down syndrome,
ataupun kelainan terisolasi lainnya, misalnya microcephaly ataupun failure to thrive. (Kliegman, 2011)

Anak dengan retardasi mental tidak mampu mengikuti kemampuan teman sebayanya. Pada masa bayi, tanda-tanta tersebut antara
lain kurangnya respon terhadap stimulus visual ataupun auditori, tonus otot yang tidak biasa (hypo atau hypertonia), gangguan postur
tubuh, dan kesulitan saat disusui.

Pada usia 6-18 minggu, terjadi keterlambatan kemampuan motorik kasar (belum bisa duduk, merangkak, ataupun jalan), dan ini
seringkali menjadi keluhan orangtua. Keterlambatan dalam berbicara dan kelainan perilaku merupakan keluhan yang sering
dilaporkan setelah usia 18 bulan.

Pada anak dengan mental retardasi ringan, diagnosis masih belum dapat dipastikan ketika anak baru masuk sekolah. Namun setelah
beban ataupun kebutuhan sekolah meningkat, barulah limitasi dari anak dapat diklarifikasi. Hal ini terutama terjadi ketika ada
perubahan dari belajar untuk bisa membaca menjadi membaca untuk bisa belajar.

Diagnosis menjadi lebih sulit pada remaja dengan retardasi mental. Biasanya pada remaja, mereka mampu untuk menjawab
pertanyaan siapa, apa, dan di mana apabila ditanyakan oleh lawan bicaranya. Namun pertanyaan seperti mengapa dan
bagaimana, mereka baru menunjukkan limitasinya. (Kliegman, 2011)
Prima Eriawan Putra 1102012212 5

Tabel 2. Manifestasi Retardasi Mental berdasarkan Kelompok usia (Kliegman, 2011)

Tabel 3. Manifestasi Retardasi Mental pada Dewasa (Kliegman, 2011)

Penggolongan anak Retardasi mental menurut kriteria perilaku adaptif


Retardasi mental ringan (IQ 52-69; umur mental 8-12 tahun)
Kelompok ini merupakan bagian terbesar dari retardasi mental. Kebanyakan dari mereka ini termasuk dari tipe sosial budaya dan
diagnosis dibuat setelah anak beberapa kali tidak naik kelas. Golongan ini termasuk mampu didik, artinya selain dapat diajar baca
tulis bahkan bisa sampai kelas 4-6 SD, juga bisa dilatih keterampilan tertentu sebagai bekal hidupnya kelak dan mampu mandiri
seperti orang dewasa yang normal. Tetapi pada umumnya mereka kurang mampu menghadapi stress sehingga tetap membutuhkan
bimbingan dari keluarganya.

Karakteristik :
Usia presekolah tidak tampak sebagai anak retardasi mental, tetapi terlambat dalam kemampuan berjalan, bicara , makan sendiri, dll.
Usia sekolah, dapat melakukan ketrampilan, membaca dan aritmatik dengan pendidikan khusus, diarahkan pada kemampuan aktivitas
sosial.
Usia dewasa, melakukan ketrampilan sosial dan vokasional, diperbolehkan menikah tidak dianjurkan memiliki anak. Ketrampilan
psikomotor tidak berpengaruh kecuali koordinasi

Retardasi mental sedang (IQ 35- 40 hingga 50 55; umur mental 3 7 tahun)
Kelompok ini kira-kira 12% dari seluruh penderita retardasi mental, mereka mampu latih tetapi tidak mampu didik. Taraf kemampuan
intelektualnya hanya dapat sampai kelas dua SD saja, tetapi dapat dilatih menguasai suatu keterampilan tertentu, misalnya
pertukangan, pertanian, dll. Apabila bekerja nanti mereka ini perlu pengawasan. Mereka juga perlu dilatih bagaimana mengurus diri
sendiri. Kelompok ini juga kurang mampu menghadapi stress dan kurang mandiri sehingga perlu bimbingan dan pengawasan.
Prima Eriawan Putra 1102012212 6

Karakteristik :
Usia presekolah, kelambatan terlihat pada perkembangan motorik, terutama bicara, respon saat belajar dan perawatan diri.
Usia sekolah, dapat mempelajari komunikasi sederhana, dasar kesehatan, perilaku aman, serta ketrampilan mulai sederhana. Tidak
ada kemampuan membaca dan berhitung.
Usia dewasa, melakukan aktivitas latihan tertentu, berpartisipasi dalam rekreasi, dapat melakukan perjalanan sendiri ke tempat yg
dikenal, tidak bisa membiayai sendiri.

Retardasi mental berat (IQ 20-25 s.d. 35-40; umur mental < 3 tahun)
Sekitar 7% dari seluruh penderita retardasi mental masuk kelompok ini. Diagnosis mudah ditegakkan secara dini karena selain adanya
gejala fisik yang menyertai juga berdasarkan keluhan dari orang tua, dimana anak sejak awal sudah terdapat keterlambatan
perkembangan motorik dan bahasa. Kelompok ini termasuk tipe klinik. Mereka dapat dilatih hygiene dasar saja dan kemampuan
berbicara yang sederhana, tidak dapat dilatih keterampilan kerja, dan memerlukan pengawasan dan bimbingan sepanjang hidupnya.

Karakteristik :
Usia prasekolah kelambatan nyata pada perkembangan motorik, kemampuan komunikasi sedikit bahkan tidak ada, bisa berespon
dalam perawatan diri tingkat dasar seperti makan.
Usia sekolah, gangguan spesifik dalam kemampuan berjalan, memahami sejumlah komunikasi/berespon, membantu bila dilatih
sistematis.
Usia dewasa, melakukan kegiatan rutin dan aktivitas berulang, perlu arahan berkelanjutan, protektif lingkungan, kemampuan bicara
minimal, meggunakan gerak tubuh.

Retardasi mental sangat berat (IQ dibawah 20-25; umur mental seperti bayi)
Kelompok ini sekitar 1% dan termasuk dalam tipe klinik. Diagnosis dini mudah diteakkan karena gejala baik mental dan fisik sangat
jelas. Kemampuan berbahasanya sangat minimal. Seluruh hidupnya tergantung orang disekitarnya.

Karakteristik :
Usia prasekolah retardasi mencolok.
Sensorimotor minimal, butuh perawatan total.
Usia sekolah, kelambatan nyata di semua area perkembangan, memperlihatkan respon emosional dasar, ketrampilan latihan kaki,
tangan dan rahang.
Butuh pengawas pribadi.
Usia mental bayi muda.
Usia dewasa, mungkin bisa berjalan, butuh perawatan total, biasanya diikuti dengan kelainan fisik.

1.7. Diagnosis & Diagnosis Banding


Anamnesis
Riwayat pasien ditanyakan kepada orangtua ataupun wali pasien. Pertanyaan dititikberatkan pada riwayat kehamilan ibu, proses
melahirkan, kemudian adanya riwayat mental retardasi di keluarga, riwayat retardasi mental orangtua, ataupun adanya kelainan
turunan lainnya. Sebagai bagian dari anamnesis, klinisi sebaiknya juga menilai tingkat intelektual orangtua dan juga iklim emosional
yang terjadi di rumah.

American Psychiatric Associations Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM IV) membagi gangguan bahasa
dalam 4 tipe:
1. Gangguan bahasa ekspresif
2. Gangguan bahasa reseptif ekspresif
3. Gangguan phonological
4. Gagap

Pada gangguan bahasa ekspresif, secara dapat ditemukan gejala seperti perbendaharaan kata yang jelas terbatas, membuat kesalahan
dalam kosa kata, mengalami kesulitan dalam mengingat kata-kata atau membentuk kalimat yang panjang dan memiliki kesulitan
dalam pencapaian akademik, dan komunikasi sosial, namun pemahaman bahasa anak tetap relatif utuh. Gangguan menjadi jelas pada
kira-kira usia 18 bulan, saat anak tidak dapat mengucapkan kata dengan spontan atau meniru kata dan menggunakan gerakan
badannya untuk menyatakan keinginannya.
Prima Eriawan Putra 1102012212 7

Pada gangguan bahasa campuran ekspresif-reseptif, selain ditemukan gejala-gejala gangguan bahasa ekspresif, juga disertai kesulitan
dalam mengerti kata dan kalimat. Gangguan ini biasanya tampak sebelum usia 4 tahun. Bentuk yang parah terlihat pada usia 2 tahun,
bentuk ringan tidak terlihat sampai usia 7 tahun atau lebih tua. Anak dengan gangguan bahasa reseptif-ekspresif campuran memiliki
gangguan auditorik sensorik atau tidak mampu memproses simbol visual seperti arti suatu gambar, biasanya tampak tuli.

Anak-anak dengan kesulitan berbicara memiliki masalah dalam pengucapan, yaitu berhubungan dengan gangguan motorik,
diantaranya kemampuan untuk memproduksi suara.
Anak yang gagap dapat diketahui dari cara dia berbicara, dimana terjadi pengulangan atau perpanjangan suara, kata, atau suku kata.
Biasanya sering terjadi pada anak laki-laki

Gambar 1. Pencapaian-pencapaian pada pertumbuhan bayi

Gambar 2. Pencapaian-pencapaian pada pertumbuhan anak

Pemeriksaan Fisik
Terdapat bebera bagian tubuh yang menunjukkan karakteristik tertentu, di mana karakteristik ini sering ditemui pada penderita mental
retardasi pada umumnya. Sebagai contohnya, ukuran dan konfigurasi kepala bisa menjadi acuan (microcephaly, hydrocephalus, dan
Down syndrome). Muka pasien dapat menunjukkan tanda-tanda mental retardasi seperti hypertelorisme, radix nasal yang datar, alis
yang menonjol, perubahan retina, telinga dengan bentuk yang berbeda, dan gangguan pertumbuhan gigi. (Kliegman, 2011)

Diameter kepala harus diukur sebagai bagian dari pemeriksaan fisik. Lipatan-lipatan tangan tertentu (misalnya simian crease) sering
ditemui pada pasien retardasi mental. Dermatoglyphic yang abnormal dapat ditemui pada kelainan kromosal dan juga pada orang
yang saat di dalam kandungan terinfeksi rubella. (Kliegman, 2011)

Cara Pengukuran Pertumbuhan


Parameter yang digunakan untuk mengetahui ada tidaknya gangguan pertumbuhan, maka dilakukan pengukuran tertentu yang
hasilnya kemudian dibandingkan dengan parameter yang sudah terstandardisasikan, yaitu meliputi:
a. Tinggi badan
Pengukuran tinggi badan dapat dilakukan sambil berbaring atau dalam posisi tubuh berdiri. Pengukuran pada posisi tubuh
berbaring lebih tepat untuk anak-anak di bawah 5 tahun. Panjang badan berbaring diukur ketika anak berbaring di atas sebuah
meja yang kokoh yang memiliki tongkat pengukur. Telapak kaki dipegang kuat-kuat pada sebilah papan vertikal yang dipasang
Prima Eriawan Putra 1102012212 8

pada tanda nol. Kemudian anak diukur panjang padannya baik dengan tongkat pengukur ataupun menggunakan meteran untuk
menjahit.

Pengukuran panjang/tinggi badan sambil berdiri dilakukan saat berdiri tegak lurus, dengan tumit, bokong, bagian atas punggung
dan oksiput (belakang kepala) pada suatu bidang vertikal (misal dinding tembok). Saat melakukan pengukuran, kedua tumit
harus dirapatkan. Kemudian ukurlah tinggi/panjang badan dengan alat ukur meteran.
Memprediksikan tinggi akhir anak sesuai potensi genetik berdasarkan tinggi badan orang tua dengan asumsi bahwa semuanya
tumbuh optimal sesuai potensinya.

Gambar 3. Posisi pengukuran tinggi badan bayi (Bickley, et al., 2013)

b. Berat badan
Berat badan diukur dengan menggunakan timbangan. Banyak timbangan yang dapat digunakan untuk menimbang berat badan.
Yang penting harus menggunakan alat timbang yang standar.

c. Lingkar kepala
Cara melakukan pengukuran lingkar kepala dapat menggunakan pita meteran yang tidak mudah berubah panjangnya, seperti pita
meteran yang dipakai untuk menjahit baju. Pita dilingkarkan pada kepala anak, menutupi alis mata dan melewati oksipital.
Prima Eriawan Putra 1102012212 9
Prima Eriawan Putra 1102012212 10

Tabel 4. Lingkar kepala normal anak

Umur Anak Ketika Angka normal anak


Diperiksa
Laki-laki (cm) Perempuan (cm)

0 bulan 32 - 37.5 32 - 36.5

1 Bulan 34.5 - 40.5 34 39

2 Bulan 36.5 42 36 41

3 Bulan 38 - 43.5 37 42

4 Bulan 39 - 44.5 38.5 - 43.5

5 Bulan 40.5 45 39 - 45

6 Bulan 41 46 40 - 46

7 Bulan 42 47 41 - 47

8 Bulan 43 48 41.5 - 47.5

9 Bulan 43.5 - 48.5 42 - 48

10 Bulan 44 49 42.75 - 48.5

11 Bulan 44.5 - 49.5 43.5 - 48.75

12 bulan 45 - 49.75 43.75 - 49

13 Bulan 45 - 49.75 43.75 - 49

14 Bulan 45.5 - 50.5 44.5 - 49.5

15 Bulan 45.5 - 50.5 44.5 - 49.5

16 Bulan 46.25 51 45 - 50

17 Bulan 46.25 51 45 - 50

18 Bulan 46.25 51 45 - 50

19 bulan 46.25 - 51.5 45 - 50

20 Bulan 46.5 - 51.5 45.5 - 50.75

21 Bulan 46.5 - 51.5 45.5 - 50.75

22 Bulan 46.5 - 51.5 45.5 - 50.75

23 Bulan 46.5 - 51.5 45.5 - 50.75

24 Bulan 47 52 45.75 - 51

2.5 Tahun 47 52 45.75 - 51

3 Tahun 48 53 46.5 - 52

3.5 Tahun 48 53 46.5 - 52

4 Tahun 48.5 - 53.5 47 - 53

4.5 Tahun 48.5 - 53.5 47 - 53

5 Tahun 48.75 - 53.75 48 - 53

5.5 Tahun 48.75 - 53.75 48 - 53

6 Tahun 49 54 48 - 53
Prima Eriawan Putra 1102012212 11

Tabel 5. Beberapa Kelainan yang Tampak pada Retardasi Mental (Kaplan & Sadock, 2010)
Prima Eriawan Putra 1102012212 12
Prima Eriawan Putra 1102012212 13

Pemeriksaan Penunjang
a. BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry)
Merupakan cara pengukuran evoked potensial (aktivitas listrik yang dihasilkan saraf VIII, pusat-pusat neural dan traktus di dalam
Prima Eriawan Putra 1102012212 14

batang otak) sebagai respon terhadap stimulus auditorik.

Gangguan neurologis sering terjadi pada retardasi mental seperti gangguan kejang terjadi pada 10 % dari semua orang retardasi
mental. Gangguan pada motorik dimanifestasikan oleh kelainan pada tonus (spastisitas atau hipotonia), refleks (hiperrefleksia),
dan gerakan involunter (koreoatetosis). Derajat kecacatan yang lbih kecil ditemukan dalam kelambanan dan koordinasi yang
buruk.

Gangguan sensorik dapat berupa gangguan pendengaran yang ringan. Gangguan visual dapat terentang dari kebutaan sampai
gangguan konsep ruang, pengenalan rancangan, dan konsep citra tubuh. Dilakukan pemeriksaan sinar-x tengkorak, pemeriksaan
tomografi computer (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk menghubungkan patologi sistem saraf pusat dengan
retardasi mental, pembesaran kepala, dicurigai adanya kelainan otak yang luas, dicurigai adanya tumor intra kranial, kejang local.

Elektroensefalogram (EEG) digunakan untuk menentukan adanya gejala kejang yang dicurigai, kesulitan mengerti bahasa yang
berat. (Kaplan, 2008)

b. Pemeriksaan audiometric
Pemeriksaan audiometri diindikasikan untuk anak-anak yang sangat kecil dan untuk anak-anak yang ketajaman pendengarannya
tampak terganggu. Ada 4 kategori pengukuran dengan audiometri :

Audiometri tingkah laku, merupakan pemeriksaan pada anak yang dilakukan dengan melihat respon dari anak jika diberi stimulus
bunyi. Respon yang diberikan dapat berupa menoleh ke arah sumber bunyi atau mencari sumber bunyi. Pemeriksaan dilakukan
di ruangan yang tenang atau kedap suara dan menggunakan mainan yang berfrekuensi tinggi. Penilaian dilakukan terhadap respon
yang diperlihatkan anak.

Audiometri bermain, merupakan pemeriksaan pada anak yang dilakukan sambil bermain, misalnya anak diajarkan untuk
meletakkan suatu objek pada tempat tertentu bila dia mendengar bunyi.

Audiometri bicara. Pada tes ini dipakai kata-kata yang sudah disusun dalam silabus dalam daftar yang disebut : phonetically
balance word LBT (PB List). Anak diminta untuk mengulangi kata-kata yang didengar melalui kaset tape recorder. Pada tes ini
dilihat apakah anak dapat membedakan bunyi s, r, n, c, h, ch. Guna pemeriksaan ini adalah untuk menilai kemampuan anak dalam
pembicaraan seharihari dan untuk menilai pemberian alat bantu dengar (hearing aid).

Audiometri objektif, biasanya memerlukan teknologi khusus. (Toback, 2003)

c. CT scan kepala untuk mengetahui struktur jaringan otak, sehingga didapatkan gambaran area otak yang abnormal.

d. Timpanometri
Digunakan untuk mengukur kelenturan membrana timpani dan system osikular. Selain tes audiometri, bisa juga digunakan tes
intelegensi. Paling dikenal yaitu skala Wechsler, yang menyajikan 3 skor intelegen, yaitu IQ verbal, IQ performance, dan IQ
gabungan.

Skala intelegensi Wechsler untuk anak II: penyelesaian susunan gambar. Tes ini terdiri dari satu set gambar-gambar objek yang
umum, seperti gambar pemandangan. Salah satu bagian yang penting dihilangkan dan anak diminta untuk mengidentifikasi.
Respon dinilai sebagai benar atau salah.

Skala intelegensi Wechsler untuk anakIII: mendesain balok. Anak diberikan pola bangunan dua dimensi dan kemudian diminta
untuk membuat replikanya menggunakan kubus dua warna. Respon dinilai sebagai benar atau salah. (Depkes, 2005)

Pemeriksaan Laboratorium
a. Karyotyping.
Rationale: fokus pada jumlah kromosom, duplikasi, delesi, translokasi, subtelomere.
Indikasi: Pasien dengan riwayat keluarga positif retardasi mental
b. Molecular genetic test
Rationale: mengetahui fragile X syndrome
Indikasi: laki-laki dengan retardasi mental sedang, dengan riwayat keluarga retardasi mental positif.
Prima Eriawan Putra 1102012212 15

c. Asam organik urin, asam amino plasma, laktat darah, enzim lysosomal di limfosit (pemeriksaan metabolik)
Rationale: mengetahui kelainan terkait metabolisme
Indikasi: anak-anak dengan kelainan neurologis profresif
d. Electroencephalography
Indikasi: anak retardasi mental dengan episode kejang-kejang (Kaplan & Sadock, 2010)

Diagnosis Banding
a. Kelainan sensorik terutama buta dan tuli
b. Gangguan perkembangan spesifik (kelambatan satu aspek perkembangan): gangguan perkembangan bicara, aleksia, agrafia,
afasia
c. Gangguan perkembangan pervasif (penyimpangan perkembangan): autisme infantil, skizofrenia yang timbul pada masa anak.
d. Penyakit fisik yang kronisKesulitan belajar (diagnosis banding untuk retardasi mental yang ringan)
Prima Eriawan Putra 1102012212 16

Gambar 4. Strategi
diagnosis anak dengan retardasi mental (Kliegman, 2011)

Tabel 6. Kriteria Diagnosis Retardasi Mental menurut DSM-IV-TR (Kliegman, 2011)

1.8. Tatalaksana
Non Farmakologis
Prinsip terapi non farmakologis sebetulnya lebih kepada pencegahan sekunder dan pencegahan tersier. Pencegahan sekunder
dilakukan untuk mempercepat masa perjalanan penyakit dan pencegahan tersier dilakukan untuk meminimalisasi disabilitas ataupun
Prima Eriawan Putra 1102012212 17

sekuel (perjalanan penyakit yang berkepanjangan). Tentu saja pencegahan sekunder dan tersier dilakukan setelah diagnosis retardasi
mental ditegakkan. (Kaplan & Sadock, 2010)

a. Edukasi untuk anak


Program edukasi untuk anak dengan retardasi mental haruslah program yang komprehensif, meliputi pelatihan skill beradaptasi,
skill sosial, dan vokasi. Selain itu, perlu juga diperhatikan mengenai pelatihan berkomunikasi dan juga upaya untuk meningkatkan
kualitas hidup. Terapi yang dilakukan secara berkelompok menunjukkan tingkat kesuksesan yang tinggi. (Kaplan & Sadock,
2010)

b. Terapi perilaku, kognitif, dan psikodinamik


Terapi perilaku telah dilakukan selama beberapa tahun, tujuannya adalah untuk membentuk dan meningkatkan perilaku sosial.
Selain itu, tujuan lainnya adalah untuk mengontrol serta meminimalisasi perilaku destruktif dan agresif. Terapi kognitif dilakukan
dengan memberikan exercise yang tidak membebani. Terapi psikodinamik digunakan untuk mengurangi konflik mengenai
ekspektasi keluarga, sehingga dapat menghindari kekhawatiran yang terus menerus, kemarahan, dan depresi. (Kaplan & Sadock,
2010)

c. Edukasi keluarga
Salah satu hal terpenting yang dilakukan adalah mengedukasi keluarga pasien retardasi mental. Tujuannya adalah untuk
meningkatkan kepercayaan diri pasien, dan juga untuk mempertahankan ekspektasi yang realistis. Keluarga kadang merasa
kesuiltan ketika anggota keluarganya yang mengalami retardasi mental ditolak di masyarakat (di luar konteks keluarga).
Konseling orang tua harus terus menerus dilakukan. (Kaplan & Sadock, 2010)

Farmakologis
a. Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD)
Terapi dengan methylphenidatel. Dosis diberikan 1.6 mg setiap hari selama 1 tahun.
b. Sifat agresif dan mencederai diri sendiri
Terapi dengan anticonvulsant (carbamazepine dan valproic acid).
c. Kelainan depresi
Terapi dengan menggunakan serotonin reuptake inhibitor (fluoxetine, paroxetine, sertraline).
d. Perilaku marah meledak-ledak
Terapi dengan menggunakan beta-Adrenergic receptor antagonist (beta blocker) seperti propanolol. Obat antipsikotik juga dapat
digunakan untuk mengatasi perilaku marah meledak-ledak. (Kaplan & Sadock, 2010)

1.9. Pencegahan
Pencegahan primer bertujuan untuk mengeliminasi atau mengurangi kondisi yang dapat menyebabkan kelainan seperti retardasi
mental. Upaya ini antara lain adalah edukasi untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran publik mengenai retardasi mental,
legislasi untuk meningkatkan pelayanan ibu anak yang optimal. Konseling genetik keluarga juga dapat mengurangi incidence
retardasi mental pada keluarga dengan kelainan genetik (terkait retardasi mental). Untuk anak yang tinggal dengan status
sosioekonomik yang rendah, diperlukan pelayanan medis baik prenatal maupun postnatal yang memadai. (Kaplan & Sadock, 2010)

1.10. Prognosis
In children with severe intellectual disability, the prognosis is often evident by early childhood. Mild intellectual disability might not
always be a lifelong disorder. Children might meet criteria for intellectual disability at an early age, but later the disability can evolve
into a more specific developmental disorder (communication disorder, autism, slow learner, or borderline normal intelligence). Others
with a diagnosis of mild intellectual disability during their school years develop sufficient adaptive behavior skills so that they no
longer fit the diagnosis as adoles- cents, or the effects of maturation and plasticity can result in children moving from one diagnostic
category to another (from moderate to mild retardation). Some children who have a diag- nosis of a specific learning disability or
communication disorder might not maintain their rate of cognitive growth and fall into the range of intellectual disability over time.
By adolescence, the diagnosis has generally stabilized.

The long-term outcome of persons with intellectual disability depends on the underlying cause, the degree of cognitive and adaptive
deficits, the presence of associated medical and developmental impairments, the capabilities of the families, and the school and
community supports, services, and training pro- vided to the child and family (Table 33-5). As adults, many persons with mild
intellectual disability are capable of gaining economic and social independence with functional literacy. They might need periodic
supervision, especially when under social or economic stress. Most live successfully in the community, either independently or in
supervised settings. Life expectancy is not adversely affected by intellectual disability itself.
Prima Eriawan Putra 1102012212 18

For persons with moderate intellectual disability, the goals of education are to enhance adaptive abilities and survival aca- demic
and vocational skills so they are better able to live in the adult world (see Table 33-5). The concept of supported employ- ment has
been very beneficial to these individuals; the person is trained by a coach to do a specific job in the setting in which the person is to
work. This bypasses the need for a sheltered work- shop experience and has resulted in successful work adaptation in the community
for many people with an intellectual disability. These persons generally live at home or in a supervised setting in the community.

As adults, people with severe to profound intellectual disabil- ity usually require extensive to pervasive supports (see Table 33-5).
These individuals may have associated impairments, such as cerebral palsy, behavioral disorders, epilepsy, or sensory impairments,
that further limit their adaptive functioning. They can perform simple tasks in supervised settings. Most people with this level of
intellectual disability are able to live in the commu- nity with appropriate supports.

The limitations in our knowledge of the neuropathology of intel- lectual disability are exemplified by the fact that 10-20% of brains
of persons with severe intellectual disability appear entirely normal by standard neuropathologic study. The majority of brains of
these persons show only mild, nonspecific changes that correlate poorly with the degree of intellectual disability. These changes
include microcephaly, gray matter heterotopias in the subcortical white matter, unusually regular columnar arrange- ment of the
cortex, and neurons that are more tightly packed than usual. Only a minority of the brain shows more specific changes in dendritic
and synaptic organization, with dysgenesis of dendritic spines or cortical pyramidal neurons, or impaired growth of dendritic trees.

The programming of the central nervous system (CNS) involves a process of induction; CNS maturation is defined in
terms of genetic, molecular, autocrine, paracrine, and endocrine influences. Receptors, signaling molecules, and genes are critical to
brain development. The maintenance of different neuronal phenotypes in the adult brain involves the same genetic tran- scripts that
play a crucial role during fetal development, with activation of similar intracellular signal transduction mecha- nisms. Several
syndromes that were thought to involve complex chromosomal abnormalities are, in fact, caused by single gene mutations involving
induction. Rubinstein-Taybi syndrome (Chapter 76), a disorder marked clinically by broad thumbs and great toes, characteristic
facies, and severe intellectual disability, has been shown to result from a mutation in the gene encoding for the transcriptional co-
activator CREB binding protein (CBP), a factor important in the control of gene expression in early embryogenesis. (Kliegman, 2011)

2. Kebutuhan Gizi Untuk Tumbuh Kembang Anak


1.1. Macam Gizi Anak
Masa remaja menurut WHO adalah antara 10 24 tahun, sedangkan menurut Monks (1992) masa remaja berlangsung pada umur
12-21 tahun dengan pembagian masa remaja awal (12-15 tahun), masa remaja pertengahan (15-18 tahun) dan masa remaja akhir
(18-21 tahun).

Faktor yang perlu diperhatikan untuk menentukan kebutuhan energi remaja adalah aktivitas fisik. Remaja yang aktif dan banyak
melakukan olahraga memerlukan asupan energi yang lebih besar dibandingkan yang kurang aktif.
Angka kecukupan gizi (AKG) energi untuk remaja dan dewasa muda perempuan 2000-2200 kkal, sedangkan untuk laki-laki antara
2400-2800 kkal setiap hari. AKG energi ini dianjurkan sekitar 60% berasal dari sumber karbohidrat. Makanan sumber karbohidrat
adalah: beras, terigu dan hasil olahannya (mie, spagetti, macaroni), umbi-umbian (ubi jalar, singkong), jagung, gula, dan lain-lain.

*Protein
Kebutuhan protein meningkat pada masa remaja, karena proses pertumbuhan yang sedang terjadi dengan cepat. Pada awal masa
remaja, kebutuhan protein remaja perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki, karena memasuki masa pertumbuhan yang lebih
cepat.
Pada akhir masa remaja, kebutuhan protein laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan karena perbedaan komposisi tubuh.
Kecukupan protein bagi remaja 1,5-2,0gr/kgBB/hari. AKG protein remaja dan dewasa muda adalah 48-62 gr per hari untuk
perempuan dan 55-66 gr per hari untuk laki-laki.

*Kalsium
Kebutuhan kalsium pada masa remaja relatif tinggi karena akselerasi muscular, skeletal/kerangka dan perkembangan endokrin lebih
besar dibandingkan masa anak dan dewasa. Lebih dari 20% pertumbuhan tinggi badan dan sekitar 50% massa tulang dewasa
dicapai pada masa remaja.
AKG kalsium untuk remaja dan dewasa muda adalah 600-700 mg per hari untuk perempuan dan 500-700 mg untuk laki-laki.
Sumber kalsium yang paling baik adalah susu dan hasil olahannya. Sumber kalsium lainnya ikan, kacang-kacangan, sayuran hijau,
dan lain-lain.
Prima Eriawan Putra 1102012212 19

*Zat Besi
Kebutuhan zat besi pada remaja meningkat karena terjadinya pertumbuhan cepat. Kebutuhan besi pada remaja laki-laki meningkat
karena ekspansi volume darah dan peningkatan konsentrasi haemoglobin (Hb). Setelah dewasa, kebutuhan besi menurun.
Pada perempuan, kebutuhan yang tinggi akan besi terutama disebabkan kehilangan zat besi selama menstruasi. Hal ini
mengakibatkan perempuan lebih rawan terhadap anemia besi dibandingkan laki-laki.
Perempuan dengan konsumsi besi yang kurang atau dengan kehilangan besi yang meningkat, akan mengalami anemia defisiensi
besi.

*Seng (Zink)
Seng diperlukan untuk pertumbuhan serta kematangan seksual remaja, terutama untuk remaja laki-laki. AKG seng adalah 15 mg
per hari untuk remaja dan dewasa muda perempuan serta laki-laki.

*Vitamin
Kebutuhan vitamin juga meningkat selama masa remaja karena pertumbuhan dan perkembangan cepat yang terjadi. Karena
kebutuhan energi meningkat, maka kebutuhan beberapa vitamin pun meningkat, antara lain yang berperan dalam metabolisme
karbohidrat menjadi energi seperti vitamin B1, B2 dan Niacin. Untuk sintesa DNA dan RNA diperlukan vitamin B6, asam folat dan
vitamin B12, sedangkan untuk pertumbuhan tulang diperlukan vitamin D yang cukup. Dan vitamin A, C dan E untuk pembentukan
dan penggantian sel.

Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi
makanan. Status ini merupakan tanda-tanda atau penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat
gizi yang berasal dari pangan yang dikonsumsi (Sunarti, 2004).
Menurut Supariasa, dkk (2001) menyatakan bahwa status gizi yaitu ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel
tertentu atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi

Penyebab Langsung
Makanan dan penyakit dapat secara langsung menyebabkan gizi kurang. Timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan asupan
makanan yang kurang, tetapi juga penyakit. Anak yang mendapat cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat
menderita gizi kurang.

Penyebab tidak Langsung


Ada 3 penyebab tidak langsung yang menyebabkan gizi kurang yaitu :
*Ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai. Setiap keluarga diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan
seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutu gizinya.
*Pola pengasuhan anak kurang memadai. Setiap keluarga dan mayarakat diharapkan dapat menyediakan waktu, perhatian, dan
dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan baik baik fisik, mental dan sosial.
*Pelayanan kesehatan dan lingkungan kurang memadai. Sistem pelayanan kesehatan yang ada diharapkan dapat menjamin
penyediaan air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan.

Penilaian Status Gizi Anak Sekolah Dasar


Penilaian Status Gizi Secara Antropometri
Supariasa, dkk (2002), mendefenisikan antropometri adalah ukuran tubuh. Jika dilihat dari tujuannya antropometri dapat dibagi
menjadi dua yaitu :
*Untuk ukuran massa jaringan : Pengukuran berat badan, tebal lemak dibawah kulit, lingkar lengan atas. Ukuran massa jaringan ini
sifanya sensitif, cepat berubah, mudah turun naik dan menggambarkan keadaan sekarang.
*Untuk ukuran linier : pengukuran tinggi badan, lingkar kepala dan lingkar dada. Ukuran linier sifatnya spesifik, perubahan relatif
lambat, ukuranya tetap atau naik, dapat menggambarkan riwayat masa lalu.
Parameter dan indeks antropometri yang umum digunakan untuk menilai status gizi anak adalah indikator Berat Badan Menurut
Umur (BB/U), Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U), Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U) (Depkes RI, 2006).

1.2. Kebutuhan Gizi Anak


Kebutuhan Gizi Bayi
*Kalori
100-120 per kilogram berat badan. Bila berat badan bayi 8 kilogram maka kebutuhannya: 8 x 100 /120 = 800/960 kkal.
Prima Eriawan Putra 1102012212 20

*Protein
1,5-2 gram per kilogram berat badan. Bila berat badan bayi 8 kilogram maka kebutuhannya 8 x 1,5/2 = 12/16 : 4 = 3/4 gram.

*Karbohidrat
50-60 persen dari total kebutuhan kalori sehari. Bila kebutuhan kalori sehari 800 kkal, maka 50%-nya = 400 : 4 = 100 gram.

*Lemak
20 persen dari total kalori. Bila kebutuhan kalori sehari 800 kkal, maka 20%-nya = 160 : 40 = 40 gram.
(Soekirman, 2000)

Kebutuhan gizi pada balita :


Beda orang dewasa dengan balita
*Gula & Garam
Jika anak sudah berusia di atas 1 tahun, batasi penggunaannya. Konsumsi garam untuk balita tidak lebih dari 1/6 jumlah maksimum
orang dewasa sehari atau kurang dari 1 gram. Porsi makan anak juga berbeda dengan orang dewasa. Anak membutuhkan makanan
sumber energi yang lengkap gizi dalam jumlah lebih kecil namun sering.
*Kebutuhan Energi & Nutrisi
Bahan makanan sumber energi seperti karbohidrat, protein, lemak serta vitamin, mineral dan serat wajib dikonsumsi anak setiap
hari.
*Susu Pertumbuhan
Susu sebagai salah satu sumber kalsium, juga penting dikonsumsi balita. Sedikitnya balita butuh 350 ml/12 oz per hari.
*Asupan makanan sehari untuk anak harus mengandung 10-15% kalori, 20-35% lemak, dan sisanya karbohidrat. Setiap kg berat
badan anak memerlukan asupan energi sebanyak 100 kkal.
*Asupan lemak juga perlu ditingkatkan karena struktur utama pembentuk otak adalah lemak. Lemak tersebut dapat diperoleh antara
lain dari minyak dan margarin.
(Moersintowati, 2008)

Tabel 7. Kebutuhan Gizi Remaja dan Dewasa


Uraian Perempuan Laki laki

13- 15 th 16 19 th 20 - 45 th 13 - 15 th 16 - 19 th 20 - 45 th

Energi (kcal) 2100 2000 2200 2400 2500 2800

Protein (g) 62 51 48 64 66 55

Kalsium (mg) 700 600 600 700 600 500

Besi (mg) 19 25 26 17 23 13

Vit. A (RE) 500 500 500 600 700 700

Vit. E (mg) 8 8 8 10 10 10

Vit B1 (mg) 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,2

Vit C (mg) 60 60 60 60 60 60

Folat (mg) 130 150 150 125 165 170

3. Fisiologi Tumbuh Kembang Anak


Tahun Pertama (Bayi)
Pada tahun pertama kehidupan ditandai dengan pertumbuhan fisik, maturasi, kemampuan yang semakin terasah, dan reorganisasi
psikologis. Parameter pertumbuhan fisik adalah berat badan, tinggi badan, dan ukuran lingkar kepala. Pada usia 0-2 bulan, bayi mengalami
Prima Eriawan Putra 1102012212 21

pertumbuhan yang luar biasa. Perkembangan fisik bayi baru lahir dapat menurun 10% dibawah berat badan lahir dalam satu minggu
pertama sebagai hasil pengeluaran cairan ekstravaskular dan intake yang terbatas. Pertambahan berat badan bayi dalam satu bulan pertama
sebanyak 30 gr. Pergerakan tangan dan kaki sangat besar dan tidak terkontrol.

Bayi usia 6-12 bulan dapat mencapai posisi duduk, meningkatnya mobilitas, dan kemampuan-kemampuan baru untuk mengeksplorasi
dunia disekitarnya. Perkembangan fisik ditandai dengan penambahan berat badan tiga kali lipat, panjang badan bertambah 50%, lingkar
kepala bertambah 10 cm. Kemampuan duduk dicapai pada usia 6-7 bulan. Beberapa bayi sudah dapat berjalan pada usia 1 tahun.
Pertumbuhan gigi di sentral mandibular sudah tumbuh. Perkembangan kognitif bayi usia 6 bulan suka memasukkan benda apa saja yang
dipegangnya ke mulut. Perkembangan emosional terdapat korespondensi respon objektif di sosial dan perkembangan komunikatif.
Terdapat stranger anxiety. Bayi usia 7 bulan dapat mengenal komunikasi nonverbal, ekspresi emosional, mengenal vocal tone dan
ekspresi wajah. Sekitar usia 9 bulan dapat membagi emosi dengan yang lain, misalnya membagi mainan yang dibelikan orang tua dengan
anak lainnya (Kliegman, 2007).

Tabel 8. Pencapaian perkembangan hingga usia 2 tahun (Kliegman, 2011)

Usia 0-2 Bulan


Perkembangan Fisik
Terjadi pergerakan extremitas, namun gerakan tersebut tidak terkontrol. Pola gerakannya antara lain membuka dan menutup tangan. Bayi
dapat tersenyum secara involunter. Matanya terlihat seperti mencari sesuatu dan mulai dapat memutar kepalanya. Pada awalnya, durasi
tidur pada siang hari dan malam hari sama. Maturasi neurologis berperan dalam konsolidasi periode tidur hingga 5-6 jam pada malam hari.

Perkembangan Kognitif
Bayi dapat membedakan corak, warna, dan konsonan. Selain itu, bayi juga dapat mengenali ekspresi wajah (misalnya senyuman). Bayi
tampak terus menerus mencari stimuli. Fenomena ini terjadi karena adanya integrasi dari input sensorik dengan sistem saraf pusat. Hal-
hal yang dapat membantu perkembangan kognisi bayi antara lain dengan memberikan aktivitas yang merangsang visual, taktil, olfaktori,
dan stimuli auditori.

Perkembangan Emosional
Prima Eriawan Putra 1102012212 22

Menangis umumnya mengalami puncak pada usia 6 minggu (bayi dapat menangis hingga 3 jam per hari), dan berkurang menjadi 1 jam
per hari pada usia 3 bulan.

Tabel 9. Pola Perilaku Anak pada Usia Hingga 1 Tahun (Kliegman, 2011)

Usia 2-6 Bulan


Perkembangan Fisik
Pada usia 4 bulan, berat badannya naik 2 kali lipat. Gerakan-gerakan spontan telah meningkat kualitasnya, dari yang sebelumnya
merupakan gerakan-gerakan besar, berubah menjadi gerakan yang lebih kecil dan sirkuler, seringkali disebut fidgety. Tidak adanya fidgety
dapat meningkatkan risiko abnormalitas neurologis. Ketika bayi mampu menahan tangannya saat duduk, bayi dapat melihat ke benda di
sekitarnya, dan sudah bisa mengambil makanan dari sendok. Pada saat yang bersamaan, maturasi dari mata menyebabkan persepsi yang
lebih dalam.

Perkembangan Kognitif
Prima Eriawan Putra 1102012212 23

Bayi pada usia 2-6 bulan sudah mampu mengeksplorasi tubuhnya sendiri, misalnya dengan memperhatikan tangannya, mengeluarkan
suara-suara vokalisasi, memegang telinga, pipi, dan genital. Eksplorasi ini menunjukkan pemahaman bayi bahwa penggunaan otot secara
volunter menghasilkan gerakan yang diharapkan dan juga sensasi visual yang diharapkan.

Perkembangan Emosional
Bayi sudah mulai menunjukkan rasa marah, senang, tertarik, takut, dan terkejut dengan ekspresi di wajahnya. Apabila bayi diajak untuk
bermain (yang melibatkan imitasi wajah, bernyanyi, dan permainan tangan), dapat terjadi peningkatan perkembangan sosial. Bayi dapat
menunjukkan rasa sedih dan kehilangan energi apabila orangtua terus menerus tidak ada di sisinya.

Usia 6-12 Bulan


Perkembangan Fisik
Pada ulang tahun pertamanya, berat badan telah meningkat 3 kali lipat, tingginya telah meningkat 50%, dan diameter kepala telah
meningkat 10 cm. Beberapa bayi mulai dapat merangkak serta mencoba berdiri pada usia 8 bulan. Beberapa sudah mulai berjalan pada
usia 1 tahun. Perkembangan motorik ini terkait dengan myelinisasi cerebellum.

Perkembangan Kognitif
Bayi usia 6 bulan mampu mengendalikan tangannya, dan mulai belajar memanipulasi benda. Pada awalnya, semuanya akan dia masukkan
ke dalam mulut. Setelah fase tersebut, benda-benda akan diangkat, dilihat, dipindahkan dari tangan satu ke tangan lainnya, dijatuhkan, dan
diemut. Satu hal yang menjadi pencapaian penting pada usia 9 bulan adalah object permanence, yaitu mengerti bahwa benda akan terus
menerus ada, meskipun tidak terlihat.

Perkembangan Emosional
Apabila bayi telah mengenal object permanence, maka akan terjadi perubahan kualitatif dari perkembangan sosial dan komunikasi. Bayi
dapat mencari-cari orangtuanya ketika didekati oleh orang yang tidak dikenal, dan dapat menangis. Hal ini disebut stranger anxiety. Pada
usia 8-10 bulan, mulai terucap suku kata seperti ba da ma yang mengikuti bahasa natifnya (bahasa aslinya).

Gambar 5. Durasi Kebutuhan Tidur Anak (Kliegman, 2011)

Usia 12 - 18 Bulan
Prima Eriawan Putra 1102012212 24

Perkembangan Fisik
Balita memiliki kaki yang pendek namun torso yang panjang, dengan lordosis lumbal dan abdomen yang menonjol. Balita mulai berjalan
tanpa bantuan pada usia 1 tahun, namun beberapa tidak dapat jalan hingga usia 15 bulan.

Perkembangan Kognitif
Saat balita semakin bereksplorasi dengan lingkungan sekitarnya, terjadi peningkatan kemampuan dexterity (kemampuan untuk
mengambil, menggenggam, dan melepas benda), serta peningkatan kemampuan mobilitas. Balita semakin memanipulasi benda untuk
menciptakan efek yang menarik, misalnya saja dengan menumpuk-numpuk balok.

Perkembangan Emosional
Ketika balita mulai bisa berjalan, mereka cenderung mengalami mood yang mduah berubah. Balita yang terlalu dikekang oleh orangtuanya
dan dihindarkan dari eksplorasi aktif akan merasa ragu-ragu, malu, marah, dan merasa tidak aman.

Perkembangan Linguistik
Bahasa reseptif mendominasi bahasa ekspresif. Pada saat balita mulai bisa berbicara kata-kata pertamanya pada usia 12 bulan, mereka
biasanya merespon perintah-perintah sederhana dengan tepat. Misalnya saja ketika diberikan perintah tidak atau dadah (selamat tinggal)
atau berikan saya. Pada usia 15 bulan, balita dapat merangkai 4-6 kata secara tepat. (, 2011)

Usia 18-24 Bulan


Perkembangan Fisik
Terjadi peningkatan keseimbangan dan agilitas (ditandai dengan mulai berlari-lari serta naik turun tangga). Saat usia 24 bulan, tinggi badan
balita telah mencapai 1/2 tinggi orang dewasa. Pembesaran kepala mulai melambat.

Perkembangan Kognitif
Pada usia sekitar 18 bulan, terjadi beberapa perubahan kognitif sebagai akhir dari periode sensorik-motorik. Object permanence semakin
kuat. Efek sebab akibat semakin dimengerti, dan balita mulai menunjukkan fleksibilitas dalam pemecahan masalah (misalnya
menggunakan tongkat/batang untuk mengambil benda yang tidak bisa diraihnya dengan tangan).

Perkembangan Emosional
Terjadi separation anxiety pada balita usia 18 bulan: balita tidak bisa berada jauh-jauh dari orangtuanya, dan umumnya terjadi pada saat
tidur di malam hari. Balita pada umur 18 bulan juga sudah mengenal self-conscious. Balita yang melihat bayangan dirinya di cermin,
akan mulai mengeksplorasi bagian tubuhnya; misalnya memegang-megang kulit hidungnya apabila ada kotoran di daerah tersebut.

Perkembangan Linguistik
Pada periode ini, perkembangan yang paling penting adalah perkembangan linguistik. Balita mulai bisa menamai benda-benda di
sekitarnya. Pada usia 18 bulan, kosakata balita adalah sekitar 10-15 kata, dan pada usia 2 tahun, kosakatanya bertambah banyak menjadi
50-100. Apabila balita sudah mengenal lebih dari 50 kata, maka mereka akan menggabung2kan kata tersebut untuk membentuk kalimat
sederhana. Meningkatnya verbal language merupakan tanda berakhirnya periode sensorik-motorik. (Kliegman, 2011)

4. Agama

DAFTAR PUSTAKA
Prima Eriawan Putra 1102012212 25

Bickley, Lynn S., and Peter G. Szilagyi. Bates' Guide to Physical Examination and History-taking. 11th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer
Health/Lippincott Williams & Wilkins, 2013.

Kliegman, Robert. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: Saunders, 2011.

Sadock, Benjamin J., and Harold I. Kaplan. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/clinical Psychiatry. 11th ed.
Philadelphia: Wolter Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins, 2010. Print.

Anda mungkin juga menyukai