Anda di halaman 1dari 13

AKUNTABILITAS PEMERINTAH DAERAH: KASUS PROVINSI ACEH,

INDONESIA

Abstrak

Pemerintah Indonesia telah memperkenalkan berbagai inisiatif untuk mendorong


akuntabilitas dari pemerintah daerah. Namun, banyak pemerintah daerah di Indonesia masih
menderita skandal keuangan. Kekhawatiran akan kurangnya akuntabilitas, salah urus sumber
daya, dan inefisiensi dan ketidakefektifan lembaga pemerintah berulang kali disuarakan oleh
media dan pengawas korupsi.

Persoalan ini lebih penting di Provinsi Aceh mengingat status otonomi khusus yang
telah menyebabkan penyaluran dana secara besar-besaran di wilayahnya. Namun, lembaga
pemerintah daerah saat ini tidak memiliki kapasitas dan kemampuan untuk mengelola sumber
keuangan mereka secara efektif. Korupsi masih menjadi masalah utama pemerintah daerah
Aceh. Masalah akuntabilitas ini, khususnya berkaitan dengan kurangnya perencanaan dan
penganggaran keuangan dan juga kekurangan dalam sistem pelaporan keuangan, dibahas
dalam makalah ini. Beberapa rekomendasi tentang bagaimana memperbaiki tata kelola dan
akuntabilitas pemerintah daerah di Aceh juga disediakan.

Kata kunci: akuntabilitas, perencanaan keuangan, penganggaran, Aceh, Indonesia

1. PENDAHULUAN
Dalam dua dekade terakhir, pertanggungjawaban lembaga pemerintah semakin
kompleks dan menarik banyak minat baik dari para peneliti akademis maupun masyarakat
umum. Isu-isu seperti skandal keuangan dan salah urus sumber daya menyangkut
pemangku kepentingan, karena institusi pemerintah dianggap agen publik yang bertugas
memastikan berfungsinya organisasi pemerintah dengan baik. Kegiatan lembaga
pemerintah diteliti oleh banyak aktor dan pemangku kepentingan (Peter 2006).
Akibatnya, banyak pemerintah di seluruh dunia memberikan perhatian serius
terhadap isu pertanggungjawaban, dan transparansi agensinya dalam menanggapi tekanan
dari warga negara. Namun, kurangnya penegakan hukum atau hukuman yang ketat atas
pelanggaran membuat organisasi publik menderita rendahnya tingkat efisiensi, korupsi
dan banyak masalah lainnya (Saleh dan Nabiha 2011).
Dalam konteks Indonesia, khususnya provinsi Aceh, isu ini perlu mendapat
perhatian lebih. Penandatanganan kesepakatan damai di Helsinki pada bulan Agustus
2005 antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Independen Aceh menyebabkan status
otonomi khusus dan penyuntikan sumber daya keuangan yang besar untuk wilayah Aceh.
Akibatnya, pemerintah daerah di Aceh mulai menerima sumber keuangan yang belum
pernah terjadi sebelumnya dari pemerintah pusat Indonesia. Sebuah studi yang dilakukan
oleh Bank Dunia (2006) menunjukkan bahwa institusi pemerintah daerah di Aceh boleh
dibilang tidak memiliki kapasitas untuk mengelola dan menghabiskan sumber daya secara
efektif. Korupsi merupakan masalah besar di dalam pemerintahan daerah (Barron dan
Clark 2006). Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di 39 kota di Indonesia yang
meneliti kepuasan masyarakat dengan pemerintah daerah, dicatat bahwa "mayoritas
responden kecewa dengan komitmen pemerintah daerah mereka untuk memberantas
korupsi dan melaporkan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme" (Chene 2009, hal.4 )
Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk memeriksa tata kelola dan akuntabilitas
pemerintah daerah daerah ini. Tujuan makalah ini adalah untuk membahas masalah
pertanggungjawaban dan tata kelola pemerintah daerah di Indonesia, khususnya di
provinsi Aceh, Indonesia.
2. KONSEP PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA
UU Pemda No 32/2004 menetapkan bahwa pemerintah daerah terdiri dari badan
eksekutif dan DPRD. Badan pelaksana terdiri dari Kepala Daerah dan Aparatur Daerah,
yaitu sekretariat daerah, instansi pemerintah (dinas dan dinas teknis). Kantor dan unit
teknis ini berbeda antar daerah di Indonesia karena tergantung pada kebutuhan masing-
masing daerah. Di Indonesia, pemerintah daerah berwenang menentukan jumlah instansi
lokal berdasarkan apa yang dibutuhkan. Memiliki kewenangan untuk semua sektor
pembangunan di daerah. DPRD, sebagai badan legislatif dengan anggota dari berbagai
partai politik, terpisah dari badan eksekutif. Badan legislatif setempat memiliki
kewenangan untuk menetapkan peraturan daerah, anggaran daerah dan anggaran belanja,
melakukan penyelidikan, mengungkapkan pendapat dan pertimbangan, serta
memfasilitasi dan menindaklanjuti aspirasi warga negara (UNESCAP 2013, hal.11).
Di bawah undang-undang pemusatan yang baru dari tahun 2004, pemerintah pusat
memiliki wewenang atas enam bidang fungsional utama, termasuk politik internasional,
keadilan, moneter dan fiskal, pertahanan, keamanan nasional, dan agama (Takeshi 2006,
Savitri 2011). Dengan demikian, pemerintah daerah di Indonesia bukan sub unit atau di
bawah komando langsung pemerintah nasional dan departemen pemerintah pusat tidak
lagi memiliki kantor perwakilan (kanwil) di daerah (McCarthy 2004).
Struktur pemerintahan daerah sebagai berikut pola pemerintahan nasional yang
terbagi dalam tingkat pemerintahan provinsi dan kabupaten / kota. Baik pemerintah
provinsi maupun kabupaten / kota diberi otonomi dan masing-masing memiliki sistem
pemerintahan sendiri dan badan legislatif (UNESCAP, 2013, hal 6). Struktur
pemerintahan umum di Indonesia digambarkan pada Gambar 1.
Ada beberapa penelitian yang telah mengidentifikasi banyak masalah otonomi
daerah. Media juga telah semakin banyak melaporkan kasus korupsi, intimidasi, dan
money politics di wilayah tersebut, sehingga menimbulkan kepala daerah yang kuat yang
dikenal sebagai raja kecil (raja kecil). Namun, dilihat dari perspektif pemerintah daerah,
desentralisasi telah membawa berbagai manfaat. Dengan otonomi yang lebih besar,
pemerintah daerah bebas melakukan apa yang mereka anggap sesuai (Takeshi 2006, hal
141). Bank Dunia (2001) seperti yang dikutip oleh (McCarthy, 2004, hal.8), juga
mengemukakan bahwa "dalam kondisi yang tepat, desentralisasi meningkatkan efisiensi
pemerintah dan responsif terhadap kebutuhan lokal, meningkatkan akuntabilitas institusi
publik". Oleh karena itu, sangat penting bagi semua pemerintah daerah untuk mengatasi
kesenjangan antara teori dan praktik desentralisasi, untuk menjamin keberhasilan
pelaksanaan manfaat dari desentralisasi.
2.1. Otonomi Lebih Besar bagi Pemerintah Daerah Aceh
Untuk alasan politik, sistem pemerintahan daerah tidak bisa dilaksanakan secara
merata di seluruh wilayah di Indonesia. Provinsi Aceh telah memperoleh otonomi
yang lebih besar sebagai bagian dari kesepakatan untuk resolusi konflik dengan
pemerintah pusat. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
untuk Provinsi Aceh diundangkan pada tanggal 9 Agustus 2001. Otonomi khusus ini
diberikan untuk mengatasi keluhan politik, ekonomi dan budaya masyarakat Aceh.
Undang-undang tersebut memindahkan tingkat kekuatan dan sumber daya yang
belum pernah terjadi sebelumnya dari pemerintah pusat ke provinsi tersebut. Hal ini
juga memberi Aceh bagian pendapatan yang lebih besar dari sumber daya alamnya,
membiarkan lebih banyak kebebasan untuk mengelola urusan dalam negeri, dan
memberi pihak berwenang kemampuan untuk mendesain ulang pemerintah daerah
sesuai dengan konteks lokal dan memberikan wewenang atas masalah agama
(Gukguk 2006; Crouch 2009 ) Namun, undang-undang ini tidak pernah dilaksanakan
sepenuhnya di Aceh, (Barron dan Clark 2006, hal.4) yang mengakibatkan kelanjutan
konflik.
Pada tahun 2005, pemerintah Indonesia dan gerakan independen Aceh
menandatangani sebuah kesepakatan damai yang menyebabkan penyelesaian konflik.
Oleh karena itu, kesepakatan Perdamaian menyediakan otonomi Aceh dan mencakup
berbagai hal, mulai dari masalah administratif hingga masalah politik dan fiskal dan
Pemerintah Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol daerahnya sendiri, untuk
membentuk partai politik lokal, dan hak yang cukup besar dalam ekonomi dan fiskal.
Aceh mendapat manfaat lebih besar dari sumber daya alamnya, karena kesepakatan
tersebut memberi provinsi ini pendapatan yang lebih besar; ia mempertahankan 70%
pendapatan dari sumber daya alam dan juga peningkatan dana hibah secara umum,
yang berada di Indonesia disebut "dana alokasi umum (DAU)" (Bank Dunia 2006,
UNDP 2012). Pemerintah Aceh juga dapat menetapkan tingkat suku bunga yang
berbeda dari bank sentral Indonesia.
Kesepakatan damai dan undang-undang berikutnya tentang pemerintahan Aceh
(UUPA), UU No.11/2006 memiliki dampak yang cukup besar terhadap sifat
hubungan antara pemerintah pusat di Jakarta dan pemerintah daerah Aceh, karena
telah menyebabkan pengalihan kekuasaan dan keuangan sumber daya untuk Wilayah
Aceh. Otoritas yang luas, tentu saja, telah membiarkan pemerintah daerah Aceh
melakukan kegiatan pembangunan mereka tanpa banyak campur tangan pemerintah
pusat. Ini sangat bertentangan dengan Era Soeharto (1966-1998), di mana kekuasaan
terkonsentrasi di Jakarta dan pemerintah pusat mengendalikan hampir semua aspek
ekonomi nasional dan kehidupan politik. Hal itu menyebabkan ketidakpuasan
masyarakat sekitar, terutama dari daerah yang kaya akan sumber daya alam, seperti
Aceh.
Dengan demikian, provinsi Aceh mendapat manfaat dari desentralisasi di
Indonesia (Bank Dunia 2006; dan UNDP 2012). Apalagi, kesepakatan damai telah
menghasilkan otonomi yang lebih besar untuk wilayah Aceh dibandingkan dengan
provinsi lainnya di Indonesia. Hal ini juga telah menghasilkan reformasi yang luas di
pemerintahan daerah selama dekade terakhir dan mengubah akuntabilitas politik lebih
banyak ke Aceh.
2.2. Akuntabilitas Politik Lokal
Kesepakatan Helsinki mengubah pemerintah daerah Aceh menjadi "model
pertanggungjawaban politik lokal". Oleh karena itu, kepala daerah Aceh dipilih
langsung oleh masyarakat dan bertanggung jawab kepada DPRD. Melalui reformasi
baru ini, Aceh diberi kebebasan politik dan administratif penuh (Kaidonis dan
Moerman 2007). Pemerintah daerah Aceh tidak lagi diminta untuk melaporkan proses
alokasi sumber daya dan implementasinya kepada pemerintah pusat. DPRD berhak
menyetujui dan menolak anggaran serta laporan pertanggungjawaban Gubernur, yaitu
kepala daerah (Venning 2009).
Namun, serupa dengan daerah lain di Indonesia, pemerintah daerah Aceh
bergantung dan bertanggung jawab kepada pemerintah pusat, karena ada kasus di
mana pemerintah pusat melalui kementerian lini-nya menyediakan barang dan jasa
publik tertentu di wilayah ini (Savitri 2011) Demikian pula ini telah diuraikan oleh
Venning (2009 hal.7) dan telah ditunjukkan sebagai berikut:
"Meskipun pemerintah daerah memiliki kekuatan dan otoritas yang cukup besar di
banyak negara terpusat, pemerintah daerah tetap bertanggung jawab kepada
pemerintah pusat untuk mematuhi prioritas, kebijakan dan undang-undangnya".
Pemerintah pusat Indonesia sampai batas tertentu masih bertanggung jawab untuk
memastikan bahwa warga negara dapat mengakses barang dan jasa publik dengan
kuantitas dan kualitas yang dapat diterima di manapun di negara ini. Dengan
demikian, fungsi pemerintahan sebenarnya masih tumpang tindih, karena penyediaan
barang dan jasa publik sebenarnya dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah. Hal
ini tentunya bermanfaat bagi masyarakat dalam hal ketersediaan barang dan jasa
publik, namun situasi ini dapat semakin membingungkan penerapan fungsi
akuntabilitas yang harus dipertanggungjawabkan oleh pemerintah daerah, dan ini
dapat membahayakan tujuan desentralisasi, layanan publik dan akuntabilitas yang
lebih baik ( Savitri 2011).
Pendapatan lokal Aceh terdiri dari pendapatan asli daerah (pajak dan retribusi),
pembagian pendapatan sumber daya alam, pembagian hasil bagi hasil, hibah tujuan
umum, Dana Alokasi Umum (DAU) dan dana alokasi khusus, Dana Alokasi Khusus
(DAK) / serta otonomi khusus dana (UU No33 / 2004). Dana Alokasi Umum (DAU)
dirancang untuk menyamakan kapasitas fiskal pemerintah daerah untuk membiayai
kebutuhan pengeluaran mereka. Oleh karena itu, tujuan dari hibah tujuan umum
adalah untuk membayar gaji dan tunjangan pegawai negeri dan mengurangi
ketidakseimbangan fiskal yang diciptakan oleh bagi hasil. Padahal, dana alokasi
khusus, Dana Alokasi Khusus (DAK) digunakan terutama untuk membiayai investasi
modal fisik, bantuan darurat, dan membantu pengeluaran terkait dengan prioritas
nasional (Kaidonis dan Moerman 2007). Kecuali untuk pendapatan asli daerah (pajak
dan retribusi), pendapatan diatur dalam UU No 33/2004 tentang keseimbangan fiskal
antara pemerintah pusat dan daerah dan UU No 11/2006 tentang pemerintah Aceh.
Penting untuk dicatat bahwa hanya pemerintah daerah Aceh dan Papua yang
memiliki dana otonomi khusus dalam struktur pendapatan mereka sebagai hasil dari
pendapatan lebih besar dari sumber daya alam (khususnya minyak dan gas) yang
diberikan ke provinsi ini (lihat, UNDP 2012). Pengecualian ini hanya berlaku untuk
kedua wilayah di Indonesia. Pemerintah daerah Aceh memiliki hak untuk
memperoleh tambahan pendapatan hingga 2% dari alokasi DAU nasional selama 15
tahun mulai tahun 2008 sampai tahun 2022, dan 1% dari tahun 2023 sampai 2028
(Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU No 11/2006) . Gambar 2 diagramatik
menggambarkan aliran dana di Aceh.
Pemerintah pusat Indonesia hanya berwenang memantau dan mengevaluasi
pelaksanaan hibah alokasi yang spesifik. Pemerintah daerah di Aceh harus
menunjukkan akuntabilitas pelaksanaan hibah ini kepada kementerian dan
kementerian keuangan masing-masing. Jenis pendapatan lainnya berada di bawah
pemerintah daerah "otoritas penuh dalam hal alokasi dan pencairan sumber keuangan.
Dengan demikian, pemerintah pusat berkewajiban untuk mengalokasikan dana,
namun tidak berwenang dalam memantau atau mengevaluasi pengeluaran dana
tersebut (Brojonegoro 2003 hal 294).
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini didasarkan pada pendekatan kualitatif dimana data dikumpulkan
melalui sumber literatur dan wawancara semi struktur dengan informan kunci seperti
auditor internal dan eksternal pemerintah, akademisi dan mantan penasihat pemerintah
untuk wilayah Aceh. Tujuan dari wawancara tersebut adalah untuk mendapatkan
pemahaman mendalam mengenai pandangan umum mereka tentang pemerintah daerah
Aceh, khususnya mengenai masalah tata kelola dan akuntabilitas.
Makalah ini disusun sebagai berikut: Bagian 2 menyajikan metode yang
digunakan, sedangkan bagian selanjutnya membahas makna dan konsep pemerintah
daerah dalam konteks Indonesia. Makalah ini kemudian dilanjutkan dengan diskusi
tentang otonomi yang lebih besar untuk pemerintah daerah dan pertanggungjawaban
politik lokal di Aceh. Bagian 4 membahas masalah pertanggungjawaban akuntabilitas di
pemerintah daerah Aceh. Bagian 5 memberikan rekomendasi dan kesimpulan dari
makalah ini.
4. TEMUAN PENELITIAN MASALAH-MASALAH AKUNTABILITAS
TERHADAP PEMERINTAH DAERAH ACEH
Ada beberapa masalah akuntabilitas akuntabilitas pemerintah daerah di Aceh,
seperti kurangnya perencanaan dan penganggaran keuangan, rendahnya kualitas
pelaporan keuangan dan kurangnya transparansi dan akuntabilitas.
4.1. Kurangnya Perencanaan dan Penganggaran Keuangan
Sumber keuangan merupakan salah satu elemen terpenting yang diperlukan untuk
memastikan proses pembangunan di negara manapun. Karena itu, sumber daya harus
dialokasikan secara optimal dan efisien melalui proses anggaran agar dapat mencapai
distribusi sumber daya yang efisien. Anggaran adalah pernyataan publik mengenai
pendapatan dan pengeluaran pemerintah yang diharapkan dalam jangka waktu
tertentu dan dibahas dan disetujui oleh legislator terpilih di pemerintah nasional,
provinsi, kota dan daerah (Robinson 2004) dan merupakan bagian penting dari
hubungan antara warga negara dan pemerintah. Oleh karena itu, pengelolaan anggaran
yang memuaskan merupakan tantangan utama dan memerlukan perhatian segera bagi
pemerintah daerah Aceh sehingga menjamin pengalokasian sumber daya yang efisien
dan efektif sehingga dapat memperbaiki kondisi ekonomi warganya.
Proses penganggaran tunduk pada pedoman dan perintah prosedural sebagaimana
dirumuskan dalam peraturan pemerintah. Proses anggaran dimulai pada bulan Januari
tahun sebelumnya ketika pemerintah daerah mulai merumuskan rencana kerja daerah
sebagai dasar kebijakan APBD. Pemerintah provinsi menyajikan kebijakan umum
anggaran kepada DPRD pada pertengahan Juni. Selama minggu pertama bulan
Oktober, pemerintah daerah mengajukan draf anggaran ke DPRD. Setidaknya satu
bulan sebelum dimulainya tahun anggaran, DPRD dan pemerintah daerah harus
menyetujui usulan anggaran tersebut. Gambar 3 mengacu pada diagram dalam
memahami proses penyusunan anggaran dengan lebih jelas.
Namun, penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa sistem pengelolaan anggaran
pemerintah daerah Aceh tidak berjalan dengan baik (UNDP 2012). Siklus dan
pengelolaan anggaran tidak sesuai dengan waktu atau periode yang ditetapkan oleh
undang-undang dan peraturan. Sebagai seorang akademisi dari Universitas Syiah
Kuala di Aceh berkomentar, "Kami memiliki peraturan, kami memiliki siklus
anggaran, tapi kami selalu melanggar peraturan." (Wawancara 1, 2013).
Pandangannya konsisten dengan temuan survei terhadap 41 pemerintah daerah di
Indonesia yang dilakukan oleh Fitra and Asia Foundation (2008 hal.9) yang
menyatakan bahwa "beberapa pemerintah daerah masih tidak mematuhi administrasi
proses perencanaan dan penganggaran sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang
dan peraturan; Misalnya, anggaran tidak diwariskan tepat waktu, dan isi dokumen
anggaran tidak memadai ".
Pada tahun 2010, misalnya, pemerintah Aceh adalah pemerintah provinsi yang
paling lamban untuk menyerahkan anggaran, yang akibatnya secara serius menunda
pengaturan untuk mendapatkan persetujuan anggaran. Pada tahun 2011, pemerintah
provinsi Aceh kembali gagal memenuhi tenggat waktu yang diperpanjang. Sebagai
konsekuensinya, pemerintah pusat menjatuhkan sanksi kepada pemerintah Aceh.
Jelas, keterlambatan penyampaian dan persetujuan anggaran sering terjadi di Aceh
dalam beberapa tahun terakhir di tingkat provinsi dan kabupaten. Dengan demikian,
sejumlah besar dana yang dianggarkan tidak dapat dihabiskan pada akhir tahun
anggaran. Masalahnya masih ada, karena tidak ada yang merasa bertanggung jawab
atau bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang tidak memuaskan ini.
Meskipun pemerintah daerah telah menjadi subyek reformasi administrasi yang
terus berlanjut, masih ada kekurangan perencanaan keuangan di pemerintah daerah,
sebagaimana dijelaskan oleh orang yang diwawancarai yang sebelumnya terlibat
sebagai staf khusus untuk Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh. Dia
mengeluhkan kurangnya integrasi antara proses perencanaan dan implementasinya:
Dari pengalaman saya, tidak ada fokus pada perencanaan, yang pertama, rencana,
tentu saja, kami siapkan, kami tuliskan, tapi tidak ada kaitan antara rencana, dan
pelaksanaan anggarannya. Sepertinya saya sama sekali tidak terhubung (Wawancara
1, 2013).
Disamping kurangnya integrasi antara perencanaan dan pelaksanaan;
keterlambatan dalam finalisasi anggaran tersebut disebabkan oleh campur tangan
berbagai pihak, eksekutif, politisi dan juga legislatif saat ia berkomentar lebih lanjut:
Saya pikir masalah terbesarnya (budget management) adalah proses itu sendiri.
Seperti yang saya katakan sebelumnya, ada campur tangan dari banyak kelompok,
legislatif, eksekutif dan partai politik lainnya selama proses penganggaran
menyebabkan penundaan persetujuan anggaran (Wawancara 1, 2013).
Disamping kurangnya integrasi antara perencanaan dan pelaksanaan serta campur
tangan berbagai pihak; Masalahnya juga diperburuk karena minimnya kapasitas dan
kemampuan petugas publik. Akibatnya, kurangnya transparansi dan akuntabilitas
penggunaan dana publik. Makanya, meski ada peraturan pemerintah yang
membutuhkan perencanaan dan penganggaran keuangan yang baik, kenyataannya
peraturan ini tidak dipatuhi. Seperti yang dijelaskan oleh akademisi lain dari
Universitas Syiah Kuala, Aceh, Indonesia yang terlibat dalam berbagai kegiatan
pemerintahan daerah.
Nah, mereka seharusnya mematuhi peraturan dalam mengelola dana
pembangunan, namun dalam banyak kasus, transparansi dan akuntabilitas kurang
dalam pengelolaan dana publik. Mulai dari awal proses perencanaan dan pelaporan
tidak transparan. Orang yang salah dalam beberapa kasus mengelola anggaran,
mereka tidak memiliki kapasitas untuk benar-benar merencanakan, melaksanakan,
melaksanakan, dan juga melaporkan anggaran dengan benar sesuai peraturan
(Wawancara 2 2013).
Demikian pula, sebuah penelitian yang dilakukan oleh UNDP (2012) menemukan
bahwa proses pengelolaan anggaran yang tidak memuaskan di Aceh disebabkan oleh
faktor-faktor berikut:
a. Berbagai masalah kelembagaan, di berbagai tingkat dengan pemerintah, yang
menghambat efektivitas manajemen secara keseluruhan, apakah ini termasuk
kurangnya dorongan dari pimpinan, kurangnya keahlian teknis atau hubungan
antagonis antara pemerintah daerah dan parlemen daerah.
b. Penundaan yang ditandai, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten, dalam
persetujuan dan penggunaan anggaran dalam beberapa tahun terakhir.
c. Kepentingan politik dan kontrol birokrasi yang berlebihan yang telah sangat
membatasi fleksibilitas manajerial (UNDP 2012).
Mereka juga menemukan bahwa ini bukan masalah secara khusus di provinsi
Aceh, namun telah menjadi masalah di berbagai wilayah di Indonesia dalam beberapa
tahun terakhir di semua tingkat pemerintahan. Untuk mengatasi masalah ini,
pemerintah Aceh telah melakukan beberapa upaya untuk memperbaiki proses
perencanaan keuangan. Misalnya, mantan gubernur Aceh membentuk unit anggaran
khusus yang diberi nama "Unit Percepatan dan Pengendalian Keuangan" untuk
mengatasi masalah tersebut.
Namun, pengelolaan anggaran di Aceh masih tetap bermasalah karena proses
perumusan dan persetujuan anggaran tahunan masih terlalu birokratis dan memakan
waktu (UNDP 2012). Meskipun demikian, pemerintah daerah yang terpilih saat ini,
terutama di tingkat provinsi telah melakukan banyak kemajuan sebagaimana
dibuktikan dengan pemberian penghargaan pada perencanaan anggaran yang diterima
oleh pemerintah Aceh dari pemerintah pusat (Serambi Indonesia 2013).
4.2. Rendahnya Kualitas Pelaporan Keuangan dan Kurangnya Transparansi dan
Akuntabilitas
Pemerintah berkewajiban memberi pertanggungjawaban atas pelaksanaan
tugasnya. Dalam konteks pemerintah daerah Aceh dan bagian-bagian lain di Indonesia,
kewajiban ini tertanam dalam pedoman pelaporan evaluasi kinerja lembaga pemerintah
(LAKIP). LAKIP mewajibkan pemerintah daerah untuk menyampaikan laporan
pertanggungjawaban kinerja pada akhir setiap tahun anggaran. Anggaran tahunan dan
pengeluaran pendapatan yang disepakati harus dilaporkan ke legislatif dan masyarakat
luas yang dapat, berdasarkan informasi yang diberikan, melakukan evaluasi terhadap
kinerja pemerintah daerah.
Laporan keuangan yang tepat telah menjadi komponen kunci di mana akuntabilitas
diharapkan dan dapat ditunjukkan. Melalui laporan keuangan, pemangku kepentingan
dapat melakukan penilaian kinerja organisasi. Penting untuk dicatat bahwa
pengungkapan semua kegiatan harus dipublikasikan dan tidak dalam kerahasiaan atau
dengan kedok kerahasiaan. Ketiadaan transparansi biasanya berakibat pada
penyalahgunaan dana publik (Owe chi dan Namara 2012).
Di Aceh, kurangnya pelaporan keuangan oleh pemerintah daerah. Seperti yang
dijelaskan oleh auditor di "National Auditing Agency", banyak pejabat pemerintah
daerah di Aceh tidak dapat menghasilkan laporan keuangan secara tepat waktu. Selain
keterlambatan penyampaian laporan keuangan, petugas publik juga gagal memberikan
laporan yang sesuai dengan standar dan peraturan akuntansi (Interviewee 3 2013).
Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa untuk tahun fiskal 2012, hanya tujuh
dari 24 laporan keuangan pemerintah kabupaten dan kota diberi pendapat wajar tanpa
pengecualian oleh auditor. Yang lebih mengkhawatirkan, pemerintah provinsi telah
berhasil menyampaikan laporan keuangan mereka tepat waktu mulai tahun 2012.
Namun, mereka belum mendapat pendapat wajar tanpa pengecualian. Meskipun
berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan kinerja dan akuntabilitas sektor publik
di Indonesia, namun isu kurangnya akuntabilitas masih ada. Kekhawatiran tentang
kurangnya akuntabilitas juga diajukan oleh auditor internal pemerintah yang mencatat
bahwa "pertanggungjawaban di pemerintahan daerah Aceh saat ini belum dilaksanakan
dengan baik." (Wawancara 4, 2013).
Namun demikian, ada kesepakatan di antara mereka yang diwawancarai bahwa
tingkat pertanggungjawaban di pemerintah daerah di Aceh telah meningkat pesat,
terutama di tingkat provinsi, setelah diperkenalkannya manajemen keuangan terpadu.
Ini karena sistem baru ini telah jauh meningkatkan keandalan informasi keuangan dan
mempercepat penyampaian laporan keuangan.
5. REKOMENDASI DAN KESIMPULAN
Pemerintah daerah Aceh telah mengalami reformasi politik dan administratif yang
signifikan karena pemerintah daerah otonomi lebih besar dibandingkan dengan daerah
lain. Undang-undang tentang Pemerintahan Aceh (LOGA), UU No 11/2006, secara
drastis telah mengubah hubungan nasional dan sub nasional dengan mengalihkan sumber
daya dan keuangan ke wilayah Aceh. Reformasi ini telah mengubah akuntabilitas
pemerintah daerah Aceh menjadi "model akuntabilitas politik lokal".
Namun, isu kurangnya akuntabilitas dan tingkat efisiensi yang rendah masih
berulang kali disuarakan oleh media dan pengawas korupsi. Isu ini lebih penting
mengingat Aceh termasuk provinsi terkaya di Indonesia; Secara per kapita Aceh berada di
antara tiga wilayah teratas di Indonesia setelah Papua dan Kalimantan Timur. Namun,
pada saat yang sama tetap menjadi provinsi termiskin keempat di Indonesia. Ini jelas
menunjukkan praktik pengelolaan keuangan dan akuntabilitas yang buruk oleh
pemerintah. Juga dipertanyakan apakah pemerintah daerah berkomitmen untuk
meningkatkan akuntabilitasnya, meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan
program, serta memberikan transparansi yang lebih baik dalam masalah keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut, telah ditunjukkan bahwa pemerintah daerah
Aceh terus mengalami tingkat efisiensi dan korupsi yang rendah. Tuduhan penyuapan dan
korupsi sering diajukan terhadap pihak berwenang setempat sebagaimana ditunjukkan
dari temuan penelitian yang dilakukan oleh Fitra, Forum untuk Transparansi Anggaran
(2012), yang menempatkan provinsi Aceh sebagai negara kedua yang paling korup di
Indonesia setelah Jakarta (Aceh National Post 2012).
Meskipun pemerintah Aceh telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan
kinerja dan akuntabilitas, namun prosesnya tetap bermasalah dan belum mencapai tujuan
yang diharapkan, di bidang pengelolaan anggaran serta ketepatan waktu dan kualitas
pelaporan keuangan. Proses siklus anggaran telah dikembangkan di atas kertas daripada
dipraktekkan sepenuhnya. Proses perencanaan dan penganggaran keuangan perlu
ditingkatkan jauh. Ada penundaan tahunan dalam penyerahan dan persetujuan anggaran,
kurangnya kesesuaian dengan praktik dan pedoman akuntansi yang tepat, dan kurangnya
pengungkapan semua aktivitas. Ini berarti bahwa praktik akuntabilitas pemerintah daerah
tidak memenuhi standar sebagaimana ditetapkan dan disyaratkan oleh peraturan
pemerintah. Namun, perlu dicatat bahwa perencanaan dan penganggaran keuangan
bermasalah juga disebabkan oleh campur tangan berbagai pihak termasuk legislatif,
DPRD dan juga politisi. Hal ini, yang dikombinasikan dengan kurangnya kapasitas dan
kemampuan petugas publik, telah menimbulkan masalah bermasalah karena kurangnya
akuntabilitas dan tata pemerintahan yang baik dalam pengelolaan dana publik di Aceh.
Penting untuk dicatat bahwa akuntabilitas di sektor publik bukanlah hal yang
mudah, namun rumit dan bergantung pada banyak isu seperti tingkat standar profesional
dan moral, nilai dan sikap pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas pengelolaan
publik. dana. Mencapai pengelolaan keuangan publik yang baik dan akuntabel merupakan
hasil dari faktor kompleks dan saling terkait.
Untuk meningkatkan tingkat pertanggungjawaban pemerintah di semua tingkat
pemerintahan daerah, penekanan kuat pada penilaian kinerja pemerintah melalui fokus
pada pendekatan berorientasi hasil perlu diperkuat. Oleh karena itu, konsep indikator
kinerja utama (KPI) harus dilaksanakan dan disebarluaskan ke seluruh pegawai negeri.
Fokus pada KPI sampai batas tertentu, jika diterapkan dengan benar, dapat mengarah
pada lebih fokus pada pendekatan berorientasi hasil yang dapat menghasilkan nilai bagi
uang sistem pengiriman publik. Selain itu, juga penting untuk mencerahkan petugas
pemerintah di berbagai tingkat pemerintahan daerah mengenai peraturan dan peraturan
yang terkait dan untuk menanamkan nilai etika serta meningkatkan profesionalisme
mereka. Oleh karena itu, internalisasi nilai etika sangat penting dalam rangka
meningkatkan tingkat pertanggungjawaban pemerintah. Kepatuhan terhadap nilai-nilai
agama dan moral serta persyaratan profesional penting dalam hubungan
pertanggungjawaban. Hal ini sesuai dengan pandangan Robert dan Scapen (1985), di
mana akuntabilitas sebagai tatanan moral melibatkan sistem hak dan kewajiban timbal
balik. Ini berarti bahwa pemerintah daerah terikat bukan hanya dengan cara yang sempit
dan dapat diperhitungkan, namun lebih luas daripada yang umumnya dipahami dan harus
melayani tujuan moral atau spiritual organisasi. Dengan demikian, pelatihan etika sangat
dibutuhkan oleh manajer publik di Aceh.
Selain itu, penggunaan tindakan berbasis hasil dapat membantu meningkatkan
akuntabilitas karena petugas publik bertanggung jawab atas hasil kegiatan mereka. Oleh
karena itu, ada kebutuhan pemerintah daerah Aceh untuk mengukur dan memantau
pengelolaan dana publik untuk memastikan tercapainya tujuan dari berbagai program dan
kegiatan. Peningkatan peran auditor dan pengadilan diperlukan untuk memastikan
implementasi kebijakan pemerintah yang tepat. Selanjutnya, kepala pemerintah daerah
harus memastikan bahwa prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik dipraktekkan.
Selain itu, juga sangat penting untuk menjaga kualitas demokrasi di daerah. Jika
kebebasan dasar seperti akses terhadap informasi dan kebebasan berekspresi tidak ada,
atau jika kritik terhadap tindakan pemerintah diperlakukan sebagai dasar pelecehan, maka
tekanan dari pemangku kepentingan eksternal terutama masyarakat akan sangat terhambat
dan akibatnya akan berdampak pada dorongan untuk lebih baik. akuntabilitas dan tata
kelola pemerintahan daerah di Aceh.

Anda mungkin juga menyukai