Anda di halaman 1dari 62

BAB IV

PENATALAKSANAAN PASIEN TB RESISTAN OBAT

A. Penemuan Pasien TB Resistan Obat


Penemuan pasien TB resistan obat adalah suatu rangkaian kegiatan yang
dimulai dengan penemuan terduga TB resistan obat menggunakan alur penemuan
baku, dilanjutkan proses penegakan diagnosis TB resistan obat dengan
pemeriksaan dahak, selanjutnya didukung juga dengan kegiatan edukasi pada
pasien dan keluarganya supaya penyakit dapat dicegah penularannya kepada
orang lain.
Semua kegiatan yang dilakukan dalam kegiatan penemuan pasien TB
resistan obatharus dicatat dalam buku rujukan terdugaTB Resistan obat, formulir
rujukan terdugaTB Resistan obat dan buku register terdugaTB (TB 06) sesuai
dengan fungsi fasyankes.
1. Kategori Resistansi Terhadap Obat Anti TB (OAT)
Resistansi kuman M.tuberculosis terhadap OAT adalah keadaan dimana
kuman sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan OAT.
Terdapat 5 kategori resistansi terhadap obat anti TB, yaitu:
a. Monoresistance: resistan terhadap salah satu OAT, misalnya resistan
isoniazid (H)
b. Polyresistance: resistan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi
isoniazid (H) dan rifampisin (R), misalnya resistan isoniazid dan
etambutol (HE), rifampisin etambutol (RE), isoniazidetambutoldan
streptomisin (HES), rifampisin etambutol dan streptomisin (RES).
c. Multi Drug Resistance(MDR): resistan terhadap isoniazid dan
rifampisin, dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain, misalnya
resistan HR, HRE, HRES.
d. ExtensivelyDrug Resistance (XDR)
TB MDR disertai resistansi terhadap salah salah satu obat golongan
fiuorokuinolondan salah satu dari OAT injeksi lini kedua
(kapreomisin, kanamisin dan amikasin).
e. TB Resistan Rifampisin (TB RR)
Resistan terhadap rifampisin (monoresistan, poliresistan, TB MDR, TB
XDR) yang terdeteksi menggunakan metode fenotip atau genotip
dengan atau tanpa resistan OAT lainnya.
2. Kriteria Terduga TB Resistan Obat
Pada dasarnya, terduga TB resistanobat adalah pasien yang mempunyai
gejala TB dengan satu atari lebih kriteria dibawah ini yaitu:
1) Pasien TB gagal pengobatan Kategori 2
2) Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan
pengobatan
3) Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar
serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua minimal
selama 1 bulan
4) Pasien TB pengobatan kategori lyang gagal
5) Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi
6) Pasien TB kasus kambuh (relaps), kategori 1 dan kategori 2
7) Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai
berobat/default)
8) TerdugaTB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB
MDR
9) Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons secara klinis maupun
bakteriologis terhadap pemberian OAT (bila penegakan diagnosis awal
tidak menggunakan GeneXpert)
Pasien dengan salah satu atau lebih dari 9 kriteria di atas merupakan
pasien dengan dugaan kuat atau risiko tinggi terhadap MDR TB, dan harus
segera dilanjutkan dengan penegakan diagnosis, Pasien yang memenuhi
salah satu kriteria terduga TB resistan obat harus segera dirujuk secara
sistematik ke fasyankes Rujukan TB MDR untuk dilakukan pemeriksaan
metode cepat (rapid test) dan dilanjutkan pemeriksaan dahak rnikroskopis
Iangsung, biakan dan uji kepekaan M.tuberculosis di laboratorium
rujukanTB MDR.
Untuk mempermudah pemahaman di lapangan, rnaka semua pasien TB
yang mempunyai riwayat pengobatan TB sebeiumnya (pasien TB gagal
baik kategori i atau kategori 2, loss to follow up, dan relaps/kambuh) harus
diperiksa dengan GeneXpertterlebih dahulu sebelum memulai pengobatan
TB kategori-2. Jika tidak memungkinkan sekaiigus dilakukan pemeriksaan
GeneXpert, maka pemberian OAT kategori-2 diberikan sambil menunggu
hasil pemeriksaan GeneXpert. Jika hasil pemeriksaan GeneXpert
memberikan hasil TB RR, maka paduan OAT Iangsung diganti dengan
OAT MDR. Demikian juga untuk pasien TB yang tidak mengalami
konversi, harus segera diperiksa GeneXpertnya, sambil meneruskan
pengobatan tahap lanjutan. Paduan OAT akan diganti dengan OAT MDR
jika hasil GeneXpert adalah TB RR,
Selain 9 kriteria di atas, kasus TB MDR bisa berasal dari kasus baru,
utamanya pada kelompok-kelompok tertentu, seperti pasien TB pada
ODHA (termasuk pada populasi kunci HIV) dan pasien TB pada populasi
rentan lainnya (TB pada ibu hamil, TB Anak, TB DM, TB pada kasus
malnutrisi, gangguan sistern kekebalan tubuh), pasien TB BTA (+) baru,
Pasien TB BTA negatif dengan riwayat pengobatan TB sebekimnya, TB
Ekstraparu, dan Iain-lain. Dalam pelaksanaannya, kegiatan ini harus
ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi setempat dengan
mempertimbangkan situasi epidemiologi setempat berkoordinasi dengan
Program Nasional Pengendalian TB.
3. Mekanisme rujukan pasien terduga TB Resistan Obat
Rujukan terduga TB Resistan obat dapat berupa rujukan pasien dimana
pasien terduga TB resistan obat langsung datang ke fasyankes Rujukan TB
MDR dan laboratorium rujukan atau berupa rujukan spesimen
dahakdimana spesimen dahak terduga TB MDR dirujuk ke fasyankes
Rujukan TB MDR atau ke Laboratorium Rujukan. Mekanismemerujuk
pasien atau spesimen dahak ke fasyankes rujukan dan laboratorium
rujukan TB MDR dapat dilihat dalam lampiran 5 tentang mekanisme
rujukan pasien terduga TB resistan obat.
Gambar 1. Alur Rujukan TerdugaTB resistan obat dan Formulir yang Digunakan

B. Penegakan Diagnosis TB Resistan Obat


1. Strategi Diagnosis TB Resistan Obat
Diagnosis TB Resistan obat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan uji
kepekaanobat dengan metode standar yang tersedia di Indonesia. Uji
kepekaan obat ini bertujuan untuk menentukan ada atau tidaknya resistensi
M.tb terhadap OAT.
Guna menjamin kualitas hasil pemeriksaan, uji kepekaan obat tersebut
harusdilakukan di laboratorium rujukan yang telah tersertifikasi atau lulus
uji pemantapan mutu oleh laboratorium supranasional TB sehingga
laboratorium rujukan ini mampu melakukan pemeriksaan biakan,
identifikasi kuman dan uji kepekaan obat sesuai standar internasional.
Pemeriksaan laboratorium untuk uji kepekaan M. tuberculosis diiakukan
dengan metode standar yang tersedia di Indonesia yaitu metode
konvensional dan metode tes cepat (rapid test).
a. Metode konvensional
- Menggunakan media padat (Lowenstein Jensen/LJ) atau media cair
(MGIT).
- Digunakan untuk uji kepekaan terhadap OAT lini pertama dan
OAT lini kedua
b. Tes Cepat (Rapid Test).
- MenggunakanXpert MTB/RIF atau lebih dikenal dengan
GeneXpert.
Merupakan tes amplifikasi asam nukleat secara otomatis
sebagai sarana deteksi TB dan uji kepekaan untuk rifampisin,
Hasil pemeriksaan dapat diketahui dalam waktu kurang lebih 2
jam.
Digunakan untuk uji kepekaan terhadap Rifampisin
- Menggunakan Line probe assay (LPA):
Dikenal sebagai Hain test/Genotype MTB DR plus
Hasil pemeriksaan dapat diperoleh dalam waktu kurang lebih
24 - 48 jam tergantung ketersediaan sarana dan sumber daya
yang ada.
Digunakan untuk uji kepekaan terhadap Rifampisin dan
Isoniasid
2. Alur Diagnosis TB Resistant Obat
Diagnosis TB Resistan Obat dipastikan berdasarkan uji kepekaan
M.tuberculosis baik menggunakan metode konvensional dengan
menggunakan media padat atau media cair, maupun menggunakan metode
tes cepat (rapid test) dengan GeneXpert atau dengan LPA.
Dengan tersedianya alat diagnosis TB Resistan Obat dengan metode cepat
menggunakan GeneXpert, maka alur diagnosis TB Resistan obat yang
berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut:
Gambar 2. Alur Diagnosis TB Resistan Obat

Keterangan dan Tindak lanjut setelah penegakan diagnosis:


a. Pasien terduga TB resistan obat akan mengumpulkan 3 spesimen
dahak, 1 (satu) spesimen dahak untuk pemeriksaan GeneXpert
(sewaktu pertama atau pagi) dan 2 spesimen dahak (sewaktu-
pagi/pagi-sewaktuj untuk pemeriksaan sediaan apus sputum BTA,
pemeriksaan biakan dan uji kepekaan.
b. Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb negatif, lakukan investigasi
terhadap kemungkinan lain. Bila pasien sedang dalam pengobatan TB,
lanjutkan pengobatan TB sampai selesai. Pada pasien dengan hasil
Mtb negatif, tetapi secara Minis terdapat kecurigaan kuat terhadap TB
MDR (misalnya pasien gagal pengobatan kategori-2), ulangi
pemeriksaan GeneXpert 1 (satu) kali dengan menggunakan spesimen
dahak yang memenuhi kualitas pemeriksaan. Jika terdapat perbedaan
hasil, maka hasil pemeriksaan yang terakhir yang menjadi acuan
tindakan selanjutnya.
c. Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb Sensitif Rifampisin, mulai atau
lanjutkan tatalaksana pengobatan TB kategori-1 atau kategori-2,
sesuai dengan riwayat pengobatan sebelumnya.
d. Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb Resistan Rifampisin, mulai
pengobatan standar TB MDR. Pasien akan dicatat sebagai pasien TB
RR. Lanjutkan dengan pemeriksaan biakan dan identifikasi kuman
Mtb.
e. Jika hasil pemeriksaan biakan teridentifikasi kuman positif
Mycobacterium tuberculosis (Mtb tumbuh), lanjutkan dengan
pemeriksaan uji kepekaan lini pertama dan lini kedua sekaligus. Jika
laboratorium rujukan mempunyai fasilitas pemeriksaan uji kepekaan
lini-1 dan lini-2, maka lakukan uji kepekaan lini-1 dan lini-2 sekaligus
(bersamaan), Jika laboratorium rujukan hanya mempunyai
kemampuan untuk melakukan uji kepekaan lini-1 saja, maka uji
kepekaan dilakukan secara bertahap. Uji kepekaan tidak bertujuan
untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan GeneXpert, tetapi untuk
mengetahui pola resistensi kuman TB lainnya.
f. Jika terdapat perbedaan hasil antara pemeriksaan GeneXpert dengan
hasil pemeriksaan uji kepekaan, maka hasil pemeriksaan dengan
GeneXpert menjadi dasar penegakan diagnosis.
g. Pasien dengan basil uji kepekaan menunjukkan TB MDR (hasil uji
kepekaan menunjukkan adanya tambahan resistan terhadap INH),
catat sebagai pasien TB MDR, dan lanjutkan pengobatan TB MDR-
nya.
h. Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukkan hasil XDR (hasil uji
kepekaan menunjukkan adanya resistan terhadap ofloksasin dan
Kanamisin/Amikasin), sesuaikan paduan pengobatan pasien (ganti
paduan pengobatan TB MDR standar menjadi paduan pengobatan TB
XDR), dan catat sebagai pasien TB XDR.
Catatan:
Untuk pasien yang mempunyai risiko TB MDR rendah (diluar 9 kriteria
terduga TB Resistan obat), jika pemeriksaan GeneXpert memberikan hasil
Rifampisin Resistan, ulangi pemeriksaan GeneXpert 1 (satu) kali lagi
dengan spesimen dahak yang baru. Jika terdapat perbedaan hasil
pemeriksaan, maka hasi) pemeriksaan yang terakhir yang dijadikan acuan
untuk tindak lanjut berikutnya
Fasyankes yang terlibat dalam pelaksanaanMTPTRO akan merujuk
terduga TB Resistan obat ke fasyankes Ruj ukan TB MDR untuk
selanjutnya akan dirujukkelaboratorium rujukan TB MDR. Rujukan
terduga TB resistan obat dapat berupa rujukan pasien atau rujukan
spesimen. Jika yang dirujuk adalah spesimen dahak terduga TB Resistan
obat, maka fasyankes akan mengirimkan data dasar ke fasyankes Rujukan
TB MDR dan mengirimkan spesimen dahak ke laboratorium rujukan TB
MDR. Dalam hal ini, proses pengiriman dahak dari fasyankes ke
laboratorium rujukan TB MDRharus memperhatikan tatacara
pengumpulan dan pengemasan spesimen dahak yang benar seperti yang
terdapat pada lampiran 1 tentang pengumpulan dan pengiriman dahak ke
laboratorium Ruiukan TB MDR.

C. Pemeriksaan Laboratorium Untuk TB Resistan Obat


Laboratorium rujukan TB MDR mempunyai peranan yang sangat penting
dalam kegiatan MTPTRO.Laboratorium rujukan TB MDR adalah laboratorium
yang sudah tersertifikasi oleh laboratorium supranasiona!. Sampai akhir tahun
2013 terdapat 8 laboratorium yang telah tersertifikasi untuk melakukan
pemeriksaan biakan dan uji kepekaan lini-1 maupun lini-2 dan secara rutin
mengikuti PME yang dilaksanakan oleh laboratorium supra nasional Indonesia
(1MVS Adelaide, Australia) dan Laboratorium Rujukan Nasional untuk biakan
dan uji kepekaan yaitu BBLK Surabaya.Pengembangan kapasitas laboratorium
untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan terus diupayakan.Guna menghindari
beban kerja yang terlalu banyak pada laboratorium rujukan, maka saat ini
pemilihan tempat rujukan untuk pemeriksaan laboratorium TB MDR di atur oleh
Kementerian Kesehatan RI.
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan di Laboratorium rujukan TB
MDR adalah:
1. Pemeriksaan mikroskopis:
Pemeriksaan mikroskopis BTA dengan pewarnaan Ziehl Neelsen yang
dilaksanakan untuk:
Pemeriksaan pendahuluan pada terdugaTB Resistan obat, dan
dilanjutkan dengan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan
M.tuberculosis.
Pemeriksaan dahak lanjutan (follow-up) dalam waktu-waktu tertentu
selama masa pengobatan, dan dilanjutkan dengan pemeriksaan biakan
untuk memastikan bahwa M.tuberculosis sudah tidak ada lagi.
2. Biakan dan identifikasi kumanM. Tuberculosis
Biakan dan identifikasi kumanM. tuberculosis dapat dilakukan pada media
padat (LJ) maupun media cair (MGIT).Masing-masing metode tersebut
memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Biakan menggunakan
media padat relatif lebih murah dibanding media cair tetapi memerlukan
waktu yang lebih lama yaitu 3-8 minggu.Sebaliknya bila menggunakan
media cair hasil biakan sudah dapat diketahui dalam waktu 1-2 minggu
tetapi memerlukan biaya yang lebih mahal.
Kualitas proses biakan dan identifikasi kumanM. tuberculosis yang
dilakukan di laboratorium sangat menentukan hasil pemeriksaan. Proses
yang tidak mengikuti prosedur tetap termasuk pembuatan media dan
pelaksanaan biakan dapat mempengaruhi hasil biakan misalnya: proses
dekontaminasi yang berlebihan atau tidak cukup, kualitas media yang tidak
baik, cara inokulasi kuman dan suhu inkubasi yang tidak tepat.
Kesalahan laboratorium seperti kesalahan pemberian identifikasi (label)
dan kontaminasi silang diantara spesimen dapat mengakibatkan hasil
positif palsu atau negatif palsu. Mengacu kepada semua hal tersebut diatas,
maka hasil pemeriksaan laboratorium harus selalu dikaitkan dengan
kondisi klinis pasien; bilamana perlu pemeriksaan laboratorium dapat
diulang.
Hasil pemeriksaan biakan dengan media padat dicatat sesuai dengan
pertumbuhan koloni mengikuti standar nasional sebagai berikut:
Pembacaan Pencaiatan
>500 koloni 4+
200 - 500 koloni 3+
100-200 koloni 2+
20-100 koloni 1+
1-19 koloni Jumlah koloni
Tidak ada pertumbuhan Negatif

Pencatatan hasil biakan dilakukan sebagai berikut:


- Bila menggunakan media cair: tulis pos bila positif dan neg
bila negatif
- Bila menggunakan media padattulis gradasi koloni kuman (negatif,
angka 1-19, l+,2+, dst)
- Hasil pemeriksaan dicatat di formulirTB.06, TB.05, TB.04, TB.03
MDR dan TB.01 MDR.
- Pencatatan ini dapat digunakan oleh TAK sebagai acuan dalam
mendiagnosis dan menilai kemajuan pengobatan pasien TB MDR.
3. Uji kepekaan M. tuberculosis terhadap OAT:
Saat ini uji kepekaan terhadap M. tuberculosis dapat dilakukan dengan
cara konvensional dan tes cepat. Ketepatan uji kepekaan M. tuberculosis
yang dilakukan dalam kondisi optimum bergantung kepada jenis obat yang
diuji. Uji kepekaan untuk OAT lini pertama dilakukan untuk rifampisin
(R),isoniazid (H) dan, etambutol (E). Untuk OAT lini kedua,uji kepekaan
dilakukan untuk Amikasin (Am), Kanamisin (Km)dan Oiloksasin (Ofl).
Data tentang tingkat kepercayaan dan keterulangan untuk OAT lini kedua
yang lain masih sangat terbatas bahkan ada yang belum dapat dilakukan.
Kedepan jenis OAT yang dilakukan uji kepekaan bisa berubah sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan laboratorium yang tersedia.
Alur Rujukan Pelayanan Laboratorium Biakan dan Uji Kepekaan
Dalam kegiatan MTPTRO, laboratorium rujukan IB MDR melakukan
pemeriksaan mikroskopis dahak, biakan dan uii kepekaan lini-1 dan lini-
2segera setelah hasil pemeriksaan GeneXpert memberikan hasil TB
Resistan Rifampisin. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui pola
resistensi kuman TB terhadap beberapa obat anti TB, dan sebagai baseline
pemeriksaan. Pemantauan pengobatan pasien TB RR/TB MDR dilakukan
setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 (dua) bulan pada fase lanjutan
dengan melakukan pemeriksaan mikroskopis dahak dan biakan,
Tergantung dengan sarana dan kemampuan yang ada, alur rujukan
laboratorium untuk biakan dan uji kepekaan disesuaikan dengan
kemampuan laboratorium, yaitu:
- Jika laboratorium rujukan mempunyai fasilitas pemeriksaan uji
kepekaan lini-1 dan lini-2, maka uji kepekaan lini-1 dan lini-2
dilakukan bersamaan.
- Jika laboratorium rujukan hanya mempunyai kemampuan untuk
melakukan uji kepekaan lini-1 saja, maka uji kepekaan dilakukan
secara bertahap. Lakukan pemeriksaan lini 1 terlebih dahulu, dan
kemudian laboratorium tersebut mengirimkan 2 tabung isolat kultur
yang tumbuh berumur 2-3 minggu ke laboratorium rujukan yang
mampu melakukan uji kepekaan lini-2.
- Jika di provinsi hanya tersedia laboratorium dengan kemampuan
biakan, maka untuk keperluan diagnosis (baseline), pemeriksaan
biakan dilakukan di laboratorium tersebut. Pada saat biakan sudah
tumbuh berumur 2-3 minggu, isolat dikirimkan ke laboratorium uji
kepekaan lini-1 dan lini-2. Laboratorium biakan wajib menyimpan
stok isolat yang dikirimkan.
Alur rujukan pelayanan laboratorium rujukan ditetapkan oleh Kementerian
Kesehatan.Alur rujukan tersebut dibentuk selain untuk meningkatkan
kemampuan laboratorium biakan, pemantauan kemajuan pengobatan
pasien TB MDR dengan pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan cepat
tanpa harus merujuk ke laboratorium di luar provinsi. Rentang waktu
pemeriksaan tidak akan bertambah lama, apabila aturan pengiriman isolat
ditepati, sehingga di laboratorium rujukan uji kepekaan tidak dilakukan
sub-kultur.
Tatacara tentang penerimaan contoh uji dahak di laboratorium dan tentang
pengiriman isolat biakan Mtb ke laboratorium rujukan uji kepekaan
terdapat di lampiran 2 dan lampiran 3.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk uji kepekaanM.
tuberculosis:
- Laboratorium yang melakukan diagnosis TBMDR harus sudah
tersertifikasi (quality assured) oleh laboratorium supranasional atau
oleh laboratorium rujukan TB nasional (LRN).
- Terdapatnya jejaring laboratorium TB secara nasional dan juga dengan
laboratorium supra nasional.Jejaring laboratorium TB ini untuk
menjamin kemudahan mendapatkan saran atau masukan tentang
rancang bangun laboratorium, alur dan proses pengerjaan dahak,
keamanan laboratorium, pemeliharaan alat dan pemantapan mutu
eksternal.
- Strategi pelayanan laboratorium untuk mendukung kegiatan MTPTRO
harus dilakukan secara sistematis dan mempertimbangkan ketersediaan
uji kepekaan OAT lini kedua.
- Pada saat ini uji kepekaan M. tuberculosis rutin terhadap OAT
kelompok 4 (etionamid, protionamid, sikloserin, terizidon, PAS) dan
OAT kelompok 5 (clofazimin, linezolid, amoksilin-klavulanat,
tiosetason, klaritromisin, imipenem) belum tersedia di laboratorium
rujukan.

D. Klasifikasi dan Tipe Pasien TB Resistan Obat.


Klasifikasi pasien TB Resistan obatmengikuti klasifikasi baku untuk
pasien TB, yaitu:
a. Klasifikasi berdasarkan lokasi penyakit:
- Paru:
Apabila kelainan ada di'dalam parenkim paru.
- Ekstra Paru:
Apabila kelainan ada pada organ di luar parenkim parudibuktikan
dengan hasil pemeriksaan bakteriologis resistan obat untuk sampel
perneriksaan yang diambil di luai parenkim paru.
Catatan: Bila dijumpai kelainan di paru maupun di luar paru maka pasien
di registrasi sebagai pasien TB RR/TB MDR dengan klasifikasi TB RR/TB
MDR Paru.
b. Pasien TB RR/TB MDR diregistrasi sesuai dengan klasifikasi pasien
berdasar riwayat pengobatan sebelumnya, sebagai berikut:

Tabel 3. Klasifikasi Pasien TB RR/TB MDR berdasar riwayat pengobatan


sebelumnya

a. Pasien Baru: Pasien yang belum pernah mendapat pengobatan


dengan OAT atau pernah di obati menggunakan
OAT kurang dari 1 bulan
b. Pengobatan ulangan: Pasien yang mendapatkan pengobatan ulang:
Kasus Gagal Pengobatan kategori 1
Yaitu pasien rnemperoleh pengobatan dengan
paduan kategori 1 dengan hasil pemeriksaan
dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
Kasus Gagal Pengobatan kategori 2:
Yaitu pasien rnemperoleh pengobatan ulangan
dengan paduan kategori 2 yang hasil
pemeriksaan dahaknya positif atau kembali
menjadi positif pada bulan ke lima atau lebih
selama pengobatan. Hal ini ditunjang dengan
rekam medis dan atau riwayat pengobatan TB
sebelumnya.
Kasus Kambuh (relaps):
Yaitu pasien TB yang sebelumnya pernah
mendapatkan pengobatan TB dan telah
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali sebagai kasus TB rekuren
berdasarkan hasil konnrmasi pemeriksaan
bakteriologis dari pemeriksaan dahak
mikroskopis,ataubiakan atau tes cepat.
Pasien kembali setelah loss to follow-up (lalai
berobat/ default):
Yaitu pasien yang kembali berobat setelah loss
to follow-up/berhenti berobat paling sedikit 2
bulan dengan pengobatan kategori-1 atau
kategori-2 serta hasil pemeriksaan bakteriologis
menunjukkan hasilterkonfirmasi.
Pernah diobati tidak diketahui hasilnya:
Yaitu pasien yang telah mendapatkan
pengobatan TB > 1 bulan tetapi hasil
pengobatannya tidak diketahui atau
terdokumentasi
c. Lain-lain : Pasien TB yang riwayat pengobatan sebelumnya
tidak jelas atau tidak dapat dipastikan

E. Pengobatan
1. Strategi Pengobatan Pasien TB MDR
Pada dasarnya strategi pengobatan pasien TB MDR mengacu kepada
strategi DOTS, yaitu:
a. Semua pasien yang sudah terbukti sebagai TB MDR ataupun resistan
Rifampisin berdasarkan pemeriksaan uji kepekaan M. Tuberculosis
baik dengan tes cepat maupun metode konvensional dapat mengakses
pengobatan TB MDR yang baku dan bermutu.
b. Paduan OAT untuk pasien TB MDR adalah paduan standar yang
mengandung OAT lini kedua dan lini pertama.
c. Paduan OAT tersebut dapat disesuaikan bila terjadi perubahan hasil uji
kepekaan M. tuberculosis dengan paduan baru yang ditetapkan oleh
TAK.
Bila diagnosis TB MDR telah ditegakkan, maka sebelum memulai
pengobatan harus dilakukan persiapan awal termasuk melakukan beberapa
pemeriksaan penunjang.
2. Persiapan awal sebelum memulai pengobatan TB MDR
Persiapan awal sebelum memulai pengobatan TB MDR meliputi beberapa
hal yaitu:
Anamnesis ulang untuk memastikan kemungkinan terdapatnya riwayat
dan kecenderungan alergi obat tertentu, riwayat penyakit terdahulu
seperti hepatitis, diabetes mellitus, gangguan ginjal, gangguan
kejiwaan, kejang, kesemutan sebagai gejala kelainan saraf tepi
(neuropati perifer) dll.
Pemeriksaan:penimbangan berat badan, fungsi penglihatan, fungsi
pendengaran.
Pemeriksaan kondisi kejiwaan. Pemeriksaan ini berguna untuk
menetapkan strategi konseling dan harus dilaksanakan sebelum,
selama dan setelah pengobatan pasien selesai. Bila perlu bandingkan
dengan pemeriksaan sebelumnya saat pasien berstatus sebagai pasien
terduga TB MDR.
Memastikan data dasar pasien terisi dengan benar dan terekam dalam
sistem pencatatan yang digunakan (eTB manager dan pencatatan
manual)
Kunjungan rumah dilakukan oleh petugas fasyankes wilayah untuk
memastikan alamat yang jelas dan kesiapan keluarga untuk
mendukung pengobatan melalui kerjasama jejaring eksternal.
Pemeriksaan baseline penunjang.
Pemeriksaan penunjang sebelum memulai pengobatan TB MDR meliputi:
1) Pemeriksaan darah lengkap
2) Pemeriksaan kimia darah:
Faal ginjal: ureum, kreatinin Faal hati: SCOT, SGPT.
Serum elektrolit (Kalium, Natrium, Chlorida) As am Urat
Gula Darah(Sewaktu dan 2 jam sesudah makan)
3) Pemeriksaan Thyroid stimulating hormon (TSH)
4) Tes kehamilan untuk perempuan usia subur
5) Fototoraks.
6) Tes pendengaran (pemeriksanaan audiometri)
7) Pemeriksaan EKG
8) Tes HIV (bila status HIV belum diketahui)
3. PenetapanPasien TB MDR yang akan Diobati.
Penetapan pasien TB MDR yang akan diobati dilaksanakan oleh Tim Ahli
Klinis (TAK) di FasyankesRujukan TB MDR.
Tabel 4 : Kriteria untuk penetapan pasien TB MDR yang akan diobati.
Kriteria Keteraagan
1. Kasus TBRR/TB MDR Pasien terbukti TB MDR berdasarkan
basil pemeriksaanuji kepekaan yang
dilakukan oleh laboratorium yang
tersertifikasi.
Pasien yang terbukti Resistan terhadap
rifampisin berdasarkan pemeriksaan
genotipik (tes cepat) atau pemeriksaan
fenotipik (uji kepekaan konvensional).
2. Penduduk dengan alamat yang Dinyatakan dengan Kartu Tanda
jelas Penduduk (KTP) atau dokumen
pendukung lain dari otoritas setempat
3. Bersedia menjalani program Pasien dan keluarga menandatangani
pengobatan dengan informed consent setelah mendapat
menandatangani informed penjelasan yang cukup dari TAK
consentserta bersedia untuk
datang setiap hari ke
fasyankes TB MDR
Pada prinsipnya semua pasien TB RR/TB MDR harus mendapatkan
pengobatan dengan mempertimbangkan kondisi klinis awal. Tidak ada
kriteria klinis tertentu yang menyebabkan pasien TB RR/TB MDR harus
dieksklusi dari pengobatan. Kondisi pada tabel 5 adalah kondisi khusus
yang harus diperhatikan oleh TAK sebelum memulai pengobatan TB
RR/TB MDR. Penetapan untuk mulai pengobatan pada pasien TBRR/TB
MDR dengan kondisi khusus tersebut diputuskan oleh TAK dengan
masukan dari tim terapeutik.
Tabel 5 : Pasien TB MDR dengan kondisi khusus
1) Penyakit penyerta yang berat Kondisi berat karena penyakit utama atas
(ginjal, hati, epilepsi dan dasar riwayat dan pemeriksaan
psikosis) laboratorium
2) Kelainan fungsi hati Kenaikan SGOT/SGPT > 3 kali nilai
normal atau terbukti menderita penyakit
hati kronik
3) Kelainan fungsi ginjal kadar kreatinin > 2,2 mg/dl
4) Ibu Hamil Wanita dalam keadaan hamil

4. Pengobatan TB MDR
a. Jenis OAT untuk pengobatan TB MDR.
Pengobatan pasien TB MDR dan TB RR menggunakan paduan OAT
MDR yang terdiri dari OAT lini kedua dan lini pertama, yang dibagi
dalam 5 kelompok berdasar potensi dan efikasinya, yaitu:
Tabel 6. Pengelompokan OAT
Golongan Jenis Obat

Golongan-i Obat Lin; Pertama Isoniazid (H)


Rifampisin (R)
Pirazinamid (Z)
Pirazinamid (Z)
Streptomisin (S)
Golongan-2 Obat suntik lini kedua Kanamisin (Km)
Amikasin (Am)
Kapreomisin(Cm)
Golongan-3 Golongan Florokuinolon Levofloksasin (Lfx)
Moksifioksasin(Mfx) .
Ofloksasin (Ofx)
Golongan-4 Obat bakteriostatik lini Etionamid (Eto)
kedua Protionamid (Pto)
Sikloserin (Cs)
Terizidon (Trd)
Para amino salisilat (PAS)
Golongan-5 Obat yang belum terbukti Clofazimin (Cfz)
efikasi-nya dan belum Linezolid (Lzd)
direkomendasikan oleh Amoksilin/ Asam
WHO untuk pengobatan Klavulanat(Amx/Clv)
standarTB RR/TB MDR Klaritromisin (Clr)
Imipenem (Ipm).

b. Paduan pengobatan TB MDR di Indonesia


Pilihan paduan OAT MDR saat ini adalah paduan standar(standardized
treatment), yang pada permulaan pengobatan akan diberikan sama
kepada semua pasien TB MDR,
1) Paduan standarOAT MDR yang diberikan adalah :

Km - Eto - Lfx - Cs - Z-(E) / Eto - Lfx - Cs - Z-(E)

2) Paduan OAT MDRstandar diberikan pada pasien yang sudah


terkonfirmasi TB RR/MDRsecara laboratoris.
3) Bila ada riwayat penggunaan paduan OAT yang dicurigai telah ada
resistensi, misalnya pasien sudah pernah mendapat fluorokuinolon
pada pengobatan TB sebelumnya maka diberikan levofloksasin
dosis tinggi.
4) Paduan OAT MDR standar akan disesuaikan paduan atau dosisnya
jika:
a) Terdapat tambahan resistensi terhadap OAT lainnya
berdasarkan hasil uji kepekaan. Contoh:
- Etambutol tidak diberikan jika terbukti sudah resistan
- Apabila pasien terbukti resistan terhadap Kanamisin maka
Kanamisin diganti dengan Kapreomisin
b) Terjadi efek samping berat dan obat penyebab sudah diketahui,
maka obat bisa diganti bila tersedia obat pengganti, contoh:
- Apabila pasien mengalami efek samping gangguan
kejiwaan karena sikloserin maka sikloserin dapat diganti
dengan PAS.
- Apabila pasien mengalami gangguan pendengaran karena
kanamisin, maka kanamisin dapat diganti dengan
kapreomisin
c) Dosis atau frekuensi disesuaikan bila:
- terjadi perubahan kelompok berat badan
- terjadi efek samping berat dan obat pengganti tidak tersedia
5) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin, maka paduan
standar adalah sebagai berikut:

Cm - Lfx - Eto -Cs -Z - (E) / Lfx - Eto - Cs -Z - (E)

6) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap fluorokuinolon maka


paduan standar adalah sebagai berikut:

Km - Mb - Eto -Cs - PAS - Z - (E) / Mfx - Eto - Cs - PAS - Z - (E)

7) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin dan


fluorokuinolon (TB XDR) maka paduan standar adalah sebagai
berikut:

Cm - Mix - Eto -Cs - PAS - Z - (E) / Mfx - Eto - Cs - PAS - Z - (E)


8) Status HIV pasien TBMDRtidak mempengaruhi paduan
pengobatan TB MDR.
9) Penetapan paduan pengobatan pasien TB MDRmerupakan
kewenangan TAK.
c. Dosis OAT MDR
Dosis OAT MDR ditetapkan oleh TAK dan diberikan berdasarkan
kelompok berat badan pasien.
Tabel 7. Perhitungan dosis OAT MDR

Berat Badan (BB)


OAT
< 33 kg 33-50 kg 51-70 kg >70kg
Pirazinamid 20-30 mg/kg/hari 750-1500 mg 1500-1750 1750-2000
mg mg
Kanamisin 15-20 mg/kg/hari 500-750 mg 1000 mg 1000 mg

Etambutol 20-30 mg/kg/hari 800-1200 mg 1200-1600 1600-2000


mg mg
Kapreomisin 15-20mg/kg/hari 500-750 mg 1000 mg 1000 mg

Levofloksasin 7,5-10 mg/kg/hari 750 mg 750 mg 750-1000mg


(dosis standar)
Levofloksasin 1000 mg 1000 mg 1000 mg 1000 mg
(dosis tinggi)
Aoksifloksasin 7,5-10 mg/kg/hari 400 mg 400 mg 400 mg

Sikloserin 15-20 mg/kg/hari 500 mg 750 mg 750-1000mg

Etionamid 15-20 mg/kg/hari 500 mg 750 mg 750-1000mg

PAS 150 mg/kg/hari 8g 8g 8g

d. Lama dan cara pemberian pengobatan TB MDR


- Lama pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan paling sedikit 18
bulan setelah terjadi konversi biakan
- Pengobatan dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap awal dan tahap
lanjutan.Tahap awal adalah tahap pengobatan dengan
menggunakan obat suntikan (kanamisin atau kapreomisin) yang
diberikan sekurang-kurangnya selama 6 bulan atau 4 bulan setelah
terjadi konversi biakan. Tahap lanjutan adalah tahap pengobatan
setelah selesai pengobatan tahap awal dan pemberian suntikan
dihentikan.
- Satuan bulan yang dimaksud adalah bulan sesuai dosis bukan bulan
kalender. Satu bulan pengobatan adalah bila pasien mendapatkan
28 dosis pengobatan (1 bulan = 4 minggu = 28 hari).
- Pemberian obat oral selama pericde pengobatan tahap awal dan
tahap lanjutan menganut prinsip DOT = Directly Observed
Treatment dengan PMO diutamakan adalah tenaga kesehatan atau
kader kesehatan terlatih.
- Obat suntikan harus diberikan oleh petugas kesehatan.
Cara pemberian obat:
Tahap awal: suntikan diberikan 5 hari seminggu (Senin-Jumat),
obat per-oral ditelan 7 hari seminggu (setiap hari, Senin-
Minggu) didepan PMO. Jumlah obat oral yang diberikan dan
ditelan minimal 168 dosis dan suntikan minimal 120 dosis.
Tahap lanjutan: Obat per oral ditelan selama 6 (enam) hari
dalam seminggu (Senin-Sabtu, hari Minggu pasien tidak
minum obat) didepan PMO. Obat suntikan sudah tidak
diberikan pada tahap
- Cara menentukan lama pengobatan.
Tahap awal, lama pengobatannya adalah:a + 4 bulan, a =
bulan pertama tercapai konversi biakan.Lama tahap awal
minimal 6 bulan. Bila hasil biakan bulan ke-8 pasien tidak
konversi maka pengobatan dinyatakan gagal.
Tahap lanjutan, lama pengobatan tahap lanjutan adalah total
lama pengobatan dikurangi dengan lama pengobatan tahap
awal, dimana total lama pengobatan adalah: a + 18 bulan, a =
bulan pertama tercapai konversi biakan.
Contoh
Hasil pemeriksaan dahak dan biakan pasien A
Bulan ke Hasil BTA Hasil Biakan
1 1+ Mtb
2 Neg Mtb
3 Neg Mtb
4 Neg Neg
5 Neg Neg
Tercapai konversi pada bulan ke-4 dan ke-5 (selisih 30 hari
berturutan). Jadi Lama tahap awal adalah = 4 + 4 = 8 bulan, dan
total lama pengobatan diperkirakan 4+18 = 22 bulan.
Pasien A menjalani tahap awal selama 8 bulan dan total lama
pengobatan adalah 22 bulan, jadi lama tahap lanjutan adalah 22-8 =
14 bulan.
- Pada pengobatan TB MDR dimungkinkan terjadinya pemberian
obat dengan dosis naik bertahap (ramping dose/incremental dose)
yang bertujuan untuk meminimalisasi kejadian efek samping obat.
Tanggal pertama pengobatan adalah hari pertama pasien bisa
mendapatkan obat dengan dosis penuh. Lama pemberian ramping
dose tidak lebih dari 1 (satu) minggu.
- Piridoksin (vit. B6) ditambahkan pada pasien yang mendapat
sikloserin dengan dosis 50 mg untuk setiap 253 mg sikloserin.
- Berdasar sifat farmakokinetiknya pirazinamid, etambutol dan
fluoroquinolon diberikan sebagai dosis tunggai. Sedangkan
etionamid, sikloserin dan PAS (obat golongan 4) dapat diberikan
sebagai dosis terbagi untuk mengurangi efek samping jika terjadi
efek samping yang berat atau pada kasus TB MDR/HIV.
- Indikasi perpanjangan pengobatan sampai dengan 24 bulan
berdasarkan terdapatnya kasus kronik dengan kerusakan paru yang
luas.
e. Pengobatan ajuvan pada TB MDR
Pengobatan ajuvan bisa diberikan jika diperlukan:
1) Nutrisi tambahan :
- Pengobatan TB MDR pada pasien dengan status gizi kurang,
keberhasilan pengobatannya cenderung meningkat jika
diberikan nutrisi tambahan berupa protein, vitamin dan mineral
(vit A, Zn, Fe, Ca, dll).
- Pemberian mineral tidak boleh bersamaan dengan
fluorokuinolon karena akan mengganggu absorbsi obat,
pemberian masing-masing obat dengan jarak paling sedikit 2
jam sebelum atau sesudah pemberian fluorokuinolon.
2) Kortikosteroid.
- Kortikosteroid diberikan pada pasien TB MDR dengan
gangguan respirasi berat, gangguan susunan saraf pusat atau
perikarditis. Kortikosteroid juga digunakan pada pasien dengan
penyakit obstruksi kronik eksaserbasi.

F. Inisiasi Pengobatan dan Penentuan Tempat Memulai Pengobatan


Dasar strategi pengobatan untuk MTPTRO adaiah pengobatan rawat jalan
(ambulatoir) sejak av/al yang diawasi secara langsung oleh PMO. Sebelum pasien
memulai pengobatan, TAK menetapkan fasyankes dimana pasien akan memulai
pengobatan. Pasien dapat memulai pengobatan di fasyankes rujukan/sub rujukan
atau memulai pengobatan di fasyankes satelit.
a. Inisiasi Pengobatan di Fasyankes Rujukan/Sub rujukan
Pada awal memulai pengobatan TAK akan menetapkan apakah pasien
memerlukan rawat inap atau tidak.
Rawat Inap:
Bila diperlukan, rawat inap dilakukan selama maksimal 2 minggu.
Kriteria pasien yang memerlukan rawat inap:
- Tanda ada gangguan kejiwaan
- Pneumonia
- Pneumotoraks
- Abses paru
- Efusi pleura
- Kelainan hati berat
- Gangguan hormon tiroid
- Insufisiensi ginjal
- Gangguan elektrolit
- Malnutrisi berat
- Diabetes melitus
- Gangguan gastrointestinal berat yang mempengaruhi absorbsi obat
- Underlying disease lain yang memerlukan rawat inap.
Rawat Jalan:
TAK menentukan kelayakan pasien menjalani rawat jalan sejak awal
berdasarkan:
- Keadaan umum pasien cukup baik.
- Tidak dijumpai kondisi klinis yang memerlukan rawat inap atau
kondisi penyulit telah dapat tertangani.
- Pasien sudah mengetahui cara minum obat dan jadual suntikan sesuai
dengan pedoman pengobatan TB MDR.
b. Inisiasi pengobatan di Fasyankes Satelit
Pasien dapat memulai pengobatan sejak awal di tasyankes satelit jika
tasyankes satelit yang ditunjuk sudah pernah melakukan tatalaksana
pengobatan TB MDR sebelumnya dan mendapat persetujuan dari
TAK.HaThal yang harus diperhatikan bila pasien diobati di fasyankes
satelit:
- Seminggu sekali pasien diupayakan bertemu dokter di Fasyankes
Satelit untuk berkonsultasi dan pemeriksaan fisis.
- Pasien yang diobati di Fasyankes Satelit berkonsultasi dengan dokter
di Fasyankes Rujukan/Sub Rujukan minimal sekali dalam sebulan
(jadual kedatangan disesuaikan dengan jadual pemeriksaan dahakatau
pemeriksaan laboratorium lain).
- Dokter tasyankes satelit wajib memastikan pasien dirujuk ke fasyankes
rujukan/sub rujukan TB MDR untuk pemeriksaan dahak follow upl
(satu) bulan sekali pada tahap awal dan 2 (bulan) sekali pada tahap
lanjutan. TAKdi fasvankes Rujukan/Sub Rujukan TB MDR mengirim
sampe! dahak ke laboratorium rujukan. Pasien mungkin juga dirujuk
untuk pemeriksaan laboratorium penunjang untuk pemeriksaan rutin
lain yang diperlukan.
G. Melanjutkan pengobatan TB MDR di fasyankes satelit (Desentralisasi)
Rujukan lanjutan pengobatan pasien TB MDR ke fasyankes satelit harus
dilakukan sesegera mungkin,mengingat fasyankes Rujukan/Sub Rujukan
keniungkinan tidak dapat melayani pasien dengan optimal setiap hari dalam
jumlah banyak dikarenakan keterbatasan tempat, waktu dan sumber daya.Selain
itu, rujukan melanjutkan pengobatan TB MDR di fasyankes terdekat juga akan
memberikan kemudahan bagi pasien karena pasien dapat mengakses pengobatan
di tempat yang lebih dekat dengan tempat tinggalnya.
Secara umum, pasien TB MDR yang tidak memiliki efek samping obat
yang berat atau penyakit penyerta yang tidak terkontrol dapat dirujuk dan
melanjutkan pengobatannya di fasyankes terdekat yang telah ditunjuk dan
disiapkan sebagai fasyankes satelit TB MDR oleh Dinas Kesehatan Kab/Kota
setempat. Tatacara mengenai proses desentraliasi pengobatan pasien beserta hal-
hal penting yang perlu dipersiapkan untuk memastikan pasien melanjutkan
pengobatannya sampai selesai dapat dilihat pada lampiran 4 tentang proses
desentralisasi pasien TB MDR ke fasyankes satelit TB MDR.

H. Pengelolaan pasien yang menolak memulai pengobatan TB MDR


Bila seorangpasien TB RR/TB MDR menolak untuk memulai pengobatan,
semua upaya harus dilakukan untuk meyakinkan pasien, termasuk melibatkan
keluarga pasien, Jika pasien terus menolak memulai pengobatan, konseling
tentang pengendalian infeksi bagi keluarga dan pemantauan secara berkala perlu
dilakukan. Jika pasien datang kembali danbersedia untuk memulai pengobatan,
pasien dapat segera diregister dan dimulai pengobatannya. Pemeriksaan baseline
mikroskopisdahak dan biakan perlu diulang kembali jika pemeriksaan baseline
sebelumnya sudah dilakukan lebih dari 30 hari.
I. Konseling dan dukungan psikososiai kepada pasien dan keluarga pasien
Kegiatan pemberian konseling, edukasi kesehatan, dan motivasi kepada
pasien TB Resistan obat dan anggota keluarga mereka tentang penyakit dan
tentang perlunya pengobatan secara teratur sampai selesai adalah sangat penting.
Kegiatan ini diberikan kepada semua pasien dan anggota keluarga di setiap tingkat
fasyankes, mulai dari fasyankes satelit sampai kepada fasyankes Rujukan dan
dimulai sejak awal yaitu sebelum pasien didiagnosis sebagai TB MDR dan
dilakukan secara terus menerus pada setiap kunjungan pasien ke fasyankes.
Dukungan psikososiai kepada pasien TB Resistan Obat sangat diperlukan
untuk keberhasilan pengobatan. Dukungan dapat dilakukan dalam bentuk
pertemuan pasien secara berkala yang difasilitasi oleh petugas kesehatan, baik
dalam bentuk pertemuan kelompok pasien yang bertujuan untuk menumbuhkan
ikatan antara sesama pasien sejak tahap awal pengobatan dan pertemuan umum
dengan melibatkan tokoh agama, psikolog atau kelompok pendukung pasien
lainnya yang dapat berasal dari organisasi masyarakat atau LSM yang dapat
menumbuhkan semangat dan motivasi pasien untuk menyelesaikan
pengobatannya. Dukungan psikososiai dapat juga berupa pemberian dukungan
untuk mengatasi masalah transportasi selama masa pengobatan TB MDR,
pengurangan stigma di lingkungan masyarakat sekitarmya, dsb.

J. Penanganan Efek Samping


Pemantauan terjadinya efek samping sangat penting pada pengobatan
pasien TB MDR karena dalam paduan OAT MDR terdapat OAT lini kedua yang
memiliki efek samping yang lebih banyak dibandingkan dengan OAT lini
pertama.
Semua OAT yang digunakan untuk pengobatan pasien TB MDR
mcmpunyai kemungkinan untuk timbul efek samping baik ringan, sedang,
maupun berat. Biia muncul efek samping pengobatan, kemungkinan pasien akan
menghentikan pengobatan tanpa memberitahukanTAK atau petugas fasyankes
(default) sehingga KIE mengenai gejala efek samping pengobatan harus dilakukan
sebelum pasien memulai pengobatan TB MDR. Selain itu, penanganan efek
samping yang baik dan adekuat adalah kunci keberhasilan pengobatan TB MDR.
1. Pemantauan efek samping selama pengobatan.
a. Deteksi dini efek samping selama pengobatan sangat penting karena
semakin cepat ditemukan dan ditangani maka prognosis akan lebih
baik, Untuk itu,pemantauan efek samping pengobatan harus dilakukan
setiap hari.
b. Efek samping OAT berhubungan dengan dosis yang diberikan.
c. Gejala efek samping pengobatan harus diketahui petugas kesehatan
yang menangani pasien dan juga oleh pasien serta keluarganya.
d. Semua efek samping pengobatan yang dialami pasien harus tercatat
dalam formuiir efek samping pengobatan.
2. Tempat penatalaksanaan efek samping
a. Fasyankes TB MDR menjadi tempat penatalaksanaan efek samping
pengobatan tergantung pada berat atau ringannya gejala.
b. Dokter fasyankes satelit TB MDR akan menangani efek samping
ringan sampai sedang serta melaporkannya kefasyankes rujukan TB
MDR.
c. Pasien dengan efek samping berat dan pasien yang tidak menunjukkan
perbaikan setelah penanganan efek samping ringan atau sedang harus
segera dirujuk ke fasyankesrujukan TB MDR.
3. Beberapa efek samping OAT MDR dan penatalaksanaannya
Tabel 8. Efek samping ringan dan sedangyang sering muncul.
No Efek Kemungkinan Tindakan
samping OAT
Penyebab
1 Reaksi kulit Z, E,Eto, PAS, - Lanjutkan pengobatan OAT.
alergi ringan Km, Cm - Berikan Antihistamin p.o atau
hidrokortison krim
- Minta pasien untuk kembali bila gejala
tidak hilang atau menjadi bertambah
berat
Reaksi kulit Z, E,Eto, PAS, - Hentikan semua OAT dan segera rujuk
alergi sedang Km, Cm ke RS Rujukan.
dengan/tanpa - Jika pasien dengan demam berikan
demam parasetamol (0.5 - 1 g, tiap 4-6 jam).
- Berikan kortikosteroid suntikan yang
tersedia misalnya hidrokortison 100 mg
im atau deksametason 10 mg iv, dan
dilanjutkan dengan preparat oral
prednison atau deksametason sesuai
indikasi.
2 Neuropati Cs, Km, Eto, - Pengobatan TB MDR tetap dilanjutkan.
perifer Lfx - Tingkatkan dosis piridoksin sampai
dengan 200 mg perhari.
- Rujuklah ke ahli neurologi bila terjadi
gejala neuropati berat (nyeri, sulit
berjalan), hentikan semua pengobatan
selama 1-2 minggu.
- Dapat diobati dulu dengan amitriptilin
dosis rendah pada malam hari dan
OAINS. Bila gejala neuropati mereda
atau hilang OAT dapat dimulai kembali
dengan dosis uji
- Hindari pemakaian alkohol dan rokok
karena akan memperberat gejala
neuropati.
3 Mual muntah Eto, PAS, Z, E, - Pengobatan tetap dilanjutkan.
ringan Ltx. - Pantau pasien untuk mengetahui berat
ringannyanya keluhan.
- Singkirkan sebab lain seperti gangguan
hati, ciiare karena infeksi, pemakaian
alkohol atau merokok atau obat-obatan
lainnya.
- Berikan domperidon 10 mg 30 menit
sebelum minum OAT.
- Untuk rehidrasi, berikan infus cairan IV
jika perlu.
- Jika berat, rujuk ke fayankesRujukan TB
MDR
Mual muntah Eto, PAS, Z, E, - Rawat inap untuk penilaian lanjutan jika
berat Lfx. gejala berat
- jika mual dan muntah tidak dapat diatasi
hentikan etionamid sampai gejala
berkurang atau menghilang kemudian
dapat ditelan kembali.
- Jika gejala timbul kembali setelah
etionamid kembali ditelan, hentikan
semua pengobatan selama 1 (satu)
minggu dan mulai kembali pengobatan
seperti dijadualkan untuk memulai OAT
TB MDR dengan dosis uji yaitu dosis
terbagi.
- Jika muntah terus menerus beberapa
hari, lakukan pemeriksaan fungsi hati,
kadar kalium dan kadar kreatinin.
- Berikan suplemen kalium jika kadar
kalium rendah atau muntah berlanjut
beberapa hari.
Bila muntah terjadi bukan diawal terapi,
muntah dapat merupakan tanda
kekurangan kalium pada pasien yang
mendapat suntikan kanamisin.
4 Anoreksia Z, Eto, Lfx - Perbaikan gizi melalui pemberian nutrisi
tambahan
- Konsultasi kejiwaan untuk
menghilangkan dampak psikis dan
depresi
- KIE mengenai pengaturan diet, aktifitas
fisis dan istirahat cukup.
Diare PAS - Rehidrasi oral sampai dengan rehidrasi
intravena bila muncul tanda dehidrasi
berat.
- Penggantian elektrolit bila perlu
- Pemberian loperamid, norit
- Pengaturan diet, menghindari makanan
yang bisa memicu diare.
- Pengurangan dosis PAS selama masih
memenuhi dosis terapi
6 Nyeri kepala Eto, Cs - Pemberian analgesik bila perlu (aspirin,
parasetamol, ibuprofen).
- Hindari OAINS (obat anti inflamasi non
steroid) pada pasien dengan gastritis
berat dan hemoptisis.
- Tingkatkan pemberian piridoksin
menjadi 300 mg bila pasien mendapai
Cs.
- Bila tidak berkurang maka
pertimbangkan konsultasi ke ahli jiwa
untuk mengurangi faktor emosi yang
mungkin berpengaruh.
- Pemberian paduan parasetamol dengan
kodein atau amitriptilin bila nyeri kepala
menetap.
7 Vertigo Km, Cm, Eto - Pemberian antihistamin-anti vertigo:
betahistin metsilat
- Konsultasi dengan ahli neurologi bila
keluhan semakin berat
- Pemberian OAT suntik 1 jam setelah
OAT oral dan memberikan etionamid
dalam dosis terbagi bila memungkinkan.
8 Artralgia Z, Lfx - Pengobatan TB MDR dapat dilanjutkan.
- Pengobatan dengan OAINS akan
membantu demikian juga latihan/
fisioterapi dan pemijatan.
- Lakukan pemeriksaan asam urat, bila
kadar asam urat tinggi berikan
alopurinol.
- Gejala dapat berkurang dengan
perjalanan waktu meskipun tanpa
penanganan khusus.
- Bila gejala tidak hilang dan mengganggu
maka pasien dirujuk ke fasyankes
- Rujukan TB MDR untuk mendapatkan
rekomendasi penanganan oleh TAK
bersama ahli rematologi atau ahli
penyakit dalam. Salah satu kemungkinan
adalah pirazinamid perlu diganti.
9 Gangguan Lfx, Moxi - Berikan OAT golongan kuinolon pada
Tidur pagi hari atau jauh dari waktu tidur
pasien
- Lakukan konseling mengenai pola tidur
yang baik Pemberian diazepam
10 Gangguan Km, Cm - Gejala hipokalemi dapat berupa
elektrolit kelelahan, nyeri otot, kejang,
ringan: baal/numbness, kelemahan tungkai
Hipokalemi bawah, perubahan perilaku atau bingung
- Hipokalemia (kadar < 3,5 meq/L) dapat
disebabkan oleh:
Efek langsung aminoglikosida pada
tubulus ginjal.
Muntah dan diare.
- Obati bila ada muntah dan diare.
- Berikan tambahan kalium peroral sesuai
keterangan tabel.
- Jika kadar kalium kurang dari 2,3 meq/1
pasien mungkin memerlukan infus IV
penggantian dan harus di rujuk untuk
dirawat inap di fasyankes Rujukan TB
MDR.
- Hentikan pemberian kanamisin selama
beberapa hari jika kadar kalium kurang
dari 2.3 meq/L, laporkan kepada TAK ad
hoc.
- Berikan infus cairan KCL: paling banyak
10 mmol/jam Hati-hati pemberian
bersamaan dengan levofloksasin karena
dapat saling mempengaruhi.
11 Depresi Cs, Lfx, Eto - Lakukan konseling kelompok atau
perorangan. Penyakit kronik dapat
merupakan fakor risiko depresi.
- Rujuk ke Pusat Rujukan TB MDR jika
gejala menjadi berat dan tidak dapat
diatasi di fasyankes satelit/RS Sub
Rujukan TB MDR.
- TAK bersama dokter ahli jiwa akan
menganalisa lebih lanjut dan bila
diperlukan akan mulai pengobatan anti
depresi.
- Pilihan anti depresan yang dianjurkan
adalah amitriptilin atau golongan SSRI
(Serotonin Selective Re-Uptake
Inhibitor) misalnya Sertraline/Fluoxetine
- Selain penanganan depresi, TAK akan
merevisi susunan paduan OAT yang
digunakan atau menyesuaikan dosis
paduan OAT.
- Gejala depresi dapat berfluktuasi selama
pengobatan dan dapat membaik dengan
berhasilnya pengobatan.
- Riwayat depresi sebelumnya bukan
merupakan kontra indikasi bagi
penggunaan obat tetapi berisiko
terjadinya depresi selama pengobatan.
12 Perubahan Cs - Sama dengan penanganan depresi.
perilaku - Pilihan obat adalah haioperidol
- Pemberian 50mg B6 setiap 250mg Cs
Gastritis PAS, Eto - Antasida golongan Mg(OH )2
- H2 antagonis (Ranitidin)
Nyeri di Km, Cm - Suntikan diberikan di tempat yang
tempat bergantian
suntikan - Pengenceran obat dan cara penyuntikan
yang benar
- Berikan kompres dingin pada tempat
suntikan
Metalic taste Etc - Pemberian KIE bahwa efek samping
tidak berbahaya

Tabel 9, Efek samping berat

Kemungkinan
Efek
No OAT Tindakan
samping
Penyebab
Kelainan Z,Eto.PAS,E,Lf - Hentikan semua OAT, rujuk segera
fungsi hati x pasien ke fasyankesRujukan TB MDR
- Pasien dirawat inapkan untuk penilaian
lanjutan jika gejala menjadi lebih berat,
- Periksa serum darah untuk kadar enzim
hati.
- Singkirkan kemungkinan penyebab lain,
selain hepatitis, Lakukan anamnesis
uiang tentang riwayat hepatitis
sebelumnya.
- TAK akan mempertimbangkan untuk
menghentikan obat yang paling mungkin
menjadi penyebab.
- Mulai kembali dengan obat lainnya,
apabila dimulai dengan OAT yang
bersitat hepatotoksik, pantau fungsi hati.
2 Kelainan Km, Cm - Pasien berisiko tinggi yaitu pasien
fungsi ginjal dengan diabetes melitus atau riwayat
gangguan ginjal harus dipantau gejala
dan tanda gangguan ginjal: edema,
penurunan produksi urin, malaise, sesak
nafas dan renjatan.
- Rujuk ke fasyankes Rujukan TB MDR
bila ditemukan gejala yang mengarah ke
gangguan ginjal.
- TAK bersama ahli nefrologi atau ahli
penyakit dalam akan menetapkan
penatalaksanaannya,
- Jika terdapat gangguan ringan (kadar
kreatinin 1,5-2.2 mg/dl), hentikan
kanamisin sampai kadar kreatinin
menurun. TAK dengan rekomendasi ahli
nefrologi akan menetapkan kapan
suntikan akan kembali diberikan.
- Untuk kasus sedang dan berat (kadar
kreatinin > 2.2 mg; dl), hentikan semua
obat dan lakukan perhitungan GFR
(Glomerular filtration rate).
- Jika GFR atau klirens kreatinin
(creatinin clearance) < 30 ml/menit atau
pasien mendapat hemodialisa maka
lakukan penyesuaian dosis OAT sesuai
tabel penyesuaian dosis.
- Bila setelah penyesuaian dosis kadar
kreatinin tetap tinggi maka hentikan
pemberian kanamisin, pemberian
kapreomisin mungkin membantu.
3 Perdarahan PAS, Etc, Z - Hentikan perdarahan lambung.
lambung - Hentikan pemberian OAT sampai 7
(tujuh) hari setelah perdarahan lambung
terkendali.
- Dapat dipertimbangkan untuk mengganti
OAT penyebab dengan OAT lain selama
standar pengobatan TB MDR dapat
terpenuhi.
4 Gangguan Cm, Km - Merupakan gangguan elektrolit berat
Elektrolit yang ditandai dengan hipokalemia,
berat (Bartter hipokalsemia dan hipomagnesemia dan
like alkalosis hipoklorik metabolik secara
syndrome) bersamaan dan mendadak.
- Disebabkan oleh gangguan fungsi
tubulus ginjal akibat pengaruh
nefrotoksik OAT suntikan.
- Lakukan penggantian elektrolit sesuai
pedoman.
- Berikan amilorid atau spironolakton
untuk mengurangi sekresi elektrolit.
5 Gangguan Km. Cm - Periksa data baseline untuk memastikan
pendengaran bahwa gangguan pendengaran
disebabkan oleh OAT atau sebagai
pemburukan gangguan pendengaran
yang sudah ada sebelumnya.
- Rujuk pasien segera ke fasyankes
rujukan TB MDR untuk diperiksa
penyebabnya dan di konsulkan kepada
TAK.
- Apabila penanganannya terlambat maka
gangguan pendengaran sampai dengan
tuli dapat menetap.
- Evaluasi kehilangan pendengaran dan
singkirkan sebab lain seperti infeksi
telinga, sumbatan dalam telinga, trauma,
dll.
- Periksa kembali pasien setiap minggu
atau jika pendengaran semakin buruk
selama beberapa minggu berikutnya
hentikan kanamisin.
6 Gangguan E - Gangguan penglihatan berupa kesulitan
penglihatan membedakan warna merah dan hijau.
Meskipun gejala ringan etambutol harus
dihentikan segera. Obat lain diteruskan
sambil dirujuk ke fasyankes Rujukan.
- TAK akan meminta rekomendasi kepada
ahli mata jika gejala tetap terjadi
meskipun etambutol sudah dihentikan.
- Arninoglikosida juga dapat
menyebabkan gangguan penglihatan
yang reversibel: silau pada cahaya yang
terang dan kesulitan melihat.
7 Gangguan Cs - Jangan membiarkan pasien sendirian,
psikotik apabila akan dirujuk ke fasyankes
(Suicidal Rujukan harus didampingi.
tendency) - Hentikan sementara OAT yang dicurigai
sebagai penyebab gejala psikotik,
sebelum pasien dirujuk ke fasyankes
Rujukan TB MDR. Berikan haloperidol
5 mg p.o
- Pasien harus ditangani oleh TAK
melibatkan seorang dokter ahli jiwa, bila
ada keinginan untuk bunuh diri atau
membunuh, hentikan siklcserin selama
1-4 minggu sampai gejala terkendali
dengan obat-obat anti-psikotik.
- Berikan pengobatan anti-psikotik dan
konseling.
- Bila gejala psikotik telah mereda, mulai
kembali sikloserin dalam dosis uji.
- Berikan piridoksin sampai 200 mg/ hari.
- Bila kondisi teratasi lanjutkan
pengobatan TB MDR bersamaan dengan
obat anti-psikotik.
8 Kejang Cs, Lfx - Hentikan sementara pemberian OAT
yang dicurigai sebagai penyebab kejang.
- Berikan obat anti kejang, misalnya
fenitoin 3-5 mg/ hari/kg BB atau berikan
diazepam iv 10 mg (bolus perlahan)
serta bila perlu naikkan dosis vitamin B6
s/d 200 mg/ hari.
- Penanganan pasien dengan kejang harus
dibawah pengamatan dan penilaian TAK
di fasyankes Rujukan TB MDR.
- Upayakan untuk mencari tahu riwayat
atau kemungkinan penyebab kejang
lainnya (meningitis, ensefalitis,
pemakaian obat, alkohol atau trauma
kepala).
- Apabila kejang terjadi pertama kali maka
laniutkan pengobatan TB MDR tanpa
pemberian sikloserin selama 1-2 minggu.
Setelah itu sikloserin dapat dberikan
kembali dengan dosis uji (lihat tabel).
- Piridoksin (vit B6) dapat diberikan
sampai dengan 200 mg per hari.
- Berikan profilaksis kejang yaitu fenitoin
3-5 mg/kg/hari. Jika menggunakan
fenitoin dan pirazinamid bersama-sama,
pantau fungsi hati, hentikan pirazinamid
jika hasil faal hati abnormal.
- Pengobatan protilaksis kejang dapat
dilanjutkan sampai pengobatan TB MDR
selesai atau lengkap
9 Tendinitis Lfx dosis tinggi - Singkirkan penyebab lain seperti gout,
arthritis rematoid, skleroderma sistemik
dan trauma.
- Untuk meringankan gejala maka
istirahatkan daerah yang terkena, berikan
termoterapi panas/dingindan berikan
GAINS (aspirin, ibuprofen).
- Suntikan kortikosteroid pada daerah
yang meradang akan membantu.
- Bila sampai terjadi ruptur tendon maka
dilakukan tindakan pembedahan
10 Syok Km, Cm - Segera rujuk pasien ke fasyankes
Anafilaktik Rujukan TB MDR.
- Berikan pengobatan segera seperti
tersebut dibawah ini, sambil dirujuk ke
Fasyankes Rujukan TB MDR:
1. Adrenalin 0,2 - 0,5 ml, 1: 1000 SC,
ulangi jika perlu.
2. Pasang infus cairan IV jika perlu.
3. Beri kortikosteroid yang tersedia
misalnya hidrokortison 100 mg im
atari deksametason 10 mg iv, ulangi
jika perlu,
11 Reaksi alergi Semua OAT - Berikan segera pengobatan seperti
toksik yang digunakan dibawah ini, sanibil dirujuk kefasyankes
menveluruh Rujukan TB MDR, segera:
dan SJS 1. Berikan CTM untuk gatal-gatal
2. Berikan parasetamol bila demam.
3. Berikan prednisolon 60 mg per hari
atau suntikan deksametason 4 mg 3
kali sehari jika tidak ada prednisolon
4. Ranitidin 150 mg 2x sehari atau 300
mg pada malam hari
- Di fasyankes Rujukan TB MDR:
1. Berikan antibiotik jika ada tanda-
tanda infeksi kulit,
2. Lanjutkan semua pengobatan alergi
sampai ada perbaikan, tappering off
kortikosteroid jika digunakan sampai
2 minggu.
3. Pengobatan jangan terlalu cepat
dimulai kembali. Tunggu sampai
perbaikan klinis.TAK merancang
paduan pengobatan selanjutnya tanpa
mengikutsertakan OAT yang diduga
sebagai penyebab.
- Pengobatan dimulai secara bertahap
dengan dosis terbagi terutama bila
dicurigai efek samping terkait dengan
dosis obat. Dosis total perhari tidak
boleh dikurangi (harus sesuai berat
badan) kecuali bila ada data
bioavaibilitas obat (terapeutic drug
monitoring). Dosis yang digunakan
disebut dosis uji yang diberikan selama
15 hari.
12 Hipotiroid PAS, Eto - Gejala dan tandanya adalah kulit kering,
kelelahan, kelemahan dan tidak tahan
terhadap dingin.
- Penatalaksanaan dilakukan di RS
Rujukan oleh TAK bersama seorang ahli
endokrinologi atau ahli penyakit dalam.
- Diagnosis hipotiroid ditegakkan berdasar
peningkatan kadar TSH (kadar normal <
10 mU/1).
- Ahli endokrin memberikan rekomen-dasi
pengobatan dengan levotiroksin/
natiroksin serta evaluasinya.

Tabel 10. Dosis uji dosis untuk memulai kembali pengobatan OAT MDR.
Hari pertama
Hari ke-
Hari Nama obat (beri obat dalam dosis Hari ke- tiga
dua
terpisah pagi & sore)
Hari ke 1 -3 Sikloserin 250 mg (125 mg + 125 mg) 500mg Dosis penuh
Hari ke 4-6 Levofloksasin 200mg(100mg+100mg) 400 mg Dosis penuh
Hari ke 7-9 Kanamisin 250 mg (125 mg + 125 mg) 500 mg Dosis penuh
Hari ke 10-12 Etionamid 250 mg (125 mg + 125 mg) 500 mg Dosis penuh
Hari ke 13-15 Pirazinamid 400 mg (200 mg + 200 mg) 800 mg Dosis penuh
Tabel 11. Perubahan dan penyesuaian dosis OAT pada gangguan ginjal

Perubahan Perubahan
Obat Dosis yang dianjurkan dan frekuensi
frekuensi? dosis?
Z Ya Ya 25-35 mg/kg/dosis, 3 x/minggu
E Ya Tidak 15-25 mg/kg/dosis, 3 x/minggu
Llx Ya Tidak 750-1000 mg/dosis, 3x/minggu
Cs Ya Ya 250 mg sekali sehari, atau 500 mg/dosis
3 x/minggu
Eto Tidak Ya 250 - 500 mg/dosis harian
Km Ya Ya 12 - 15 mg/kg/dosis, 2 - 3x1 minggu
PAS Tidak 2 x 4 gr sehari

Tabel 12. Perubahan dan penyesuaian dosis OAT pada gangguan ginjal
Kadar
Jumlah KCL
Kalium Banyaknya KCL Waktu untuk pemeriksaan
(meq/)
(meq/L)
> 4,0 Tidak Tidak 1 bulan (ketika masih mendapat
kanamisin)
3,7 - 4,0 Tidak Tidak 1 bulan (ketika masih mendapat
kanamisin)
3,4 - 3,6 20- 40 40 mmol 1 bulan (ketika masih mendapat
kanamisin)
3,0 - 3,3 60 60 mmol 2 mingguan
2,7 - 2,9 80 60 mmol + 400 mg/ 1 mingguan
hari selama 3 minggu
2,4-2,6 80- 120 80 mmol + 400. Teliti selang 1 - 6 hari
mg/hari selama 3
minggu
2,0 - 2,3 60 meq IV + 80 mmol + 400 mg/ Pertimbangkan rawat inap setelah
80 meq PO hari selama 3 minggu pemantauan 24 jam dengan infus
< 2,0 60 meq IV + 100 mmol + 400 mg/
80 meq PO hari selama 3 minggu
K. Pengobatan TB MDR Pada Keadaan Khusus
Beberapa keadaan khusus tertentu dapat dialami oleh pasien setelah dan
selama mendapatkan pengobatan TB MDR sehingga pasien perlu mendapatkan
penanganan yang spesilik sesuai dengan kondisinya dan pengobatan TB MDR nya
tetap dapat diteruskan sampai selesai. Beberapa kondisi tersebut antara lain
adalah:
1. Pengobatan TB MDR pada perempuan usia subur
a. Semua pasien TB MDR usia subur yang akan mendapat pengobatan
dengan OAT MDR, harus melakukan tes kehamilan terlebih dahulu.
b. Bila ternyata pasien tersebut tidak hamil, pasien dianjurkan memakai
kontrasepsi fisik selama masa pengobatan untuk mencegah kehamilan.
2. Pengobatan TB MDR pada ibu hamil
a. Kehamilan bukan kontraindikasi untuk pengobatan TB MDR. Banyak
bukti menunjukkan bahwa OAT lini kedua relatif aman bagi ibu hamil
kecuali golongan aminoglikosida (kanamisin). Semua OAT yang
dipakai dalam paduan standar TB MDR di Indonesia mempunyai kelas
keamanan tingkat B (etambutol) dan tingkat C (Pirazinamid, kuinolon,
kapreomisin, sikloserin, etionamid, PAS). Hanya obat golongan
aminoglokosida (kanamisin)yang memiliki kelas keamanan tingkat D
setara dengan Streptomisin dan Amikasin.
b. Bila pasien dalam kondisi hamil sebelum pengobatan TB MDR
dimulai maka alternatif obat injeksi yang dipakai adalah kapreomisin.
Kanamisin tidak direkomendasikan karena bisa menimbulkan efek
teratogenik pada fetus. Diperkirakan 10% dari fetus akan mengalami
gangguan organogenesis terutama pada organ vestibuler bila
mendapatkan kanamisin pada trimester pertama kehamilan. Fakta yang
ada saat ini menunjukkan bahwa pemakaian kapreomisin tidak
menimbulkan efek teratogenik sebagaimana kanamisin dan sudah biasa
dipakai di negara-negara lain yang menjalankan MTPTRO. Menunda
pengobatan sampai pasien melewati trimester pertama kehamilan tidak
direkomendasikan pada pasien hamil dengan keadaan klinis buruk, lesi
luas dan pasien HIV positif.
c. Bila pasien hamil pada tahap awal maka suntikan kanamisin
dihentikan, sebagai alternatif pasien diberikan kapreomisin sebagai
pengganti. Kapreomisin berasal dari golongan polipeptida yang
berbeda dengan kanamisin yang terbukti memiliki efek terapi setara
tetapi tanpa efek teratogenik seperti yang dijumpai pada obat golongan
aminoglikosida. Profil keamanan kapreomisin ada di kelas C yang
sama dengan OAT lini pertama seperti rifampisin dan INH. Perlu
dilakukan informed consent ulang bahwa obat yang diberikan sekarang
berbeda dengan yang awalnya diberikan serta diberikan informasi yang
cukup apa akibatnya bila obat injeksi tidak diberikan sama sekali.
d. Bila pada pasien hamil terjadi morning sickness maka diupayakan
pemberian obat pada siang hari.
e. Pada wanita hamil dosis vitamin B6 maksimum yang bisa diberikan
adalah 50-100mg perhari. Dosis yang lebih tinggi dari 150mg akan
mengganggu penyerapan kuinolon dan menimbulkan gangguan kejang
dan neurologis pada bayi baru lahir.
3. Pengobatan TB MDR pada ibu menyusui
a. Pasien yang sedang menyusui tetap mendapat pengobatan TB MDR
penuh.
b. Sebagian besar OAT akan ditemukan kadarnya dalam ASI dengan
konsentrasi kecil sehingga pasien TB MDR yang sedang dalam masa
menyusui tetap dianjurkan untuk memberikan ASI kepada bayinya.
ASI tampung dan susu formula menjadi pilihan lain yang bisa dipilih.
c. Jikapasien tersebut masih BTA positif, upayakan pencegahan dan
pengendalian infeksi dengan memisahkan bayinya untuk sementara
waktu sampai BTA nya menjadi negatif atau pasien menggunakan
masker N95 selama berdekatan dengan bayinya dan diupayakan
dilakukan di ruang dengan ventilasi yang baik .
4. Pengobatan TB MDR pada pasien yang sedang memakai kontrasepsi
hormonal
a. Kontraindikasi penggunaan kontrasepsi oral hanya pada paduan yang
mengandung rifampisin,
b. Disarankan untuk minum OAT tidak bersamaan waktunya dengan
kontrasepsi oral.
5. Pengobatan pasien TB MDR dengan diabetes mellitus
a. Diabetes mellitus dapat memperkuat efek samping OAT terutama
gangguan ginjal dan neuropati perifer.
b. Obat Anti Diabetika (OAD) tidak merupakan kontraindikasi seiama
masa pengobatan TB MDR tetapi biasanya memerlukan dosis OAD
yang lebih tinggi sehingga perlu penanganan khusus. Apabila pasien
minum etionamid maka kadar insulin darah lebih sulit dikontrol, untuk
itu perlu konsultasi dengan ahli penyakit dalam.
c. Kadar Kalium darah dan serum kreatinin harus dipantau setiap miriggu
seiama bulan pertama dan selanjutnya minimal sekali dalam 1 bulan
selama tahap awa),
6. Pengobatan pasien TB MDR dengan gangguan ginjal
a. Pemberian OAT TB MDR pada pasien dengan gangguan ginjal harus
dilakukan dengan hati-hati, sebaiknya pirazinamid dan etambutol tidak
diberikan.
b. Kadar Kalium dan kreatinin harus dipantau, setiap minggu seiama
bulan pertama dan selanjutnya minimal sekali sebulan seiama tahap
awal.
c. Bila terjadi gangguan ginjal, pemberian obat, dosis dan atau interval
antar dosis harus dis.esuaikan dengan tabel.
7. Pengobatan pasien TB MDR dengan gangguan hati
a. OAT lini kedua kurang toksik terhadap hati dibanding OAT lini
pertama.
b. Pasien TB MDR dengan riwayat penyakit hati dapat diberikan
pengobatan TB MDR (kecuali pada penyakit hati kronik).
c. Reaksi hepatotoksik lebih sering terjadi pada pasien dengan riwayat
gangguan hati sehingga harus lebih diawasi.
d. Pirazinamid tidak boleh diberikan kepada pasien dengan penyakit hati
kronik.
e. Pemantauan kadar enzim hati secara ketat dianjurkan dan jika kadar
enzim meningkat, OAT harus dihentikan dan dilaporkan kepada TAK.
f. Untuk mengobati pasien TB MDR seiama terjadinya hepatitis akut,
kombinasi empat OAT yang bersifat tidak hepatotoksik merupakan
pilihan yang paling aman.
8. Pengobatan pasien TB MDR dengan kejang.
a. Anamnesis ulang apakah ada riwayat kejang sebelumnya.
b. Pastikan kejang bisa dikendalikan.
c. Jika kejang tidak terkendali, konsul dengan ahli syaraf sebelum mulai
pengobatan dan selama pengobatan.
d. Pasien dengan gangguan kejang yang aktif dan tidak terkontrol dengan
pengobatan kejang, penggunaan sikloserin harus dihindari.
9. Pengobatan pasien TB MDR dengan gangguan jiwa
a. Pasien dengan riwayat gangguan jiwa harus dievaluasi kondisi
kesehatan jiwanya sebelum memulai pengobatan.
b. Keadaan yang memacu timbulnya depresi dan kecemasan pada
pengobatan TB MDR sering berkaitan dengan penyakit kronikyang
diderita pasien dan keadaan sosio-ekonomi pasien yang kurang baik.
c. Pada pasien dengan gangguan psikiatris, diperlukan pemantauan ketat
jika diberi sikloserin.
d. Dalam mengobati pasien TB MDR dengan gangguan jiwa, harus
melibatkan ahli jiwa.
L. Pemantauan Kemajuan Pengobatan
Selama menjalani pengobatan, pasien TB MDR harus dipantau secara
ketat untuk menilai kemajuan terhadappengobatan yang diberikan dan
mengidentifikasi efek samping sejak dini. Gejala TB (baiuk, berdahak, demam
dan BB menurun) pada umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama
pengobatan. Pemeriksaan apusan dan biakan dahak merupakan pemantauan utama
yang wajib dilakukan. Pemeriksaan apusan dahak dan biakan dilakukan setiap
bulan pada tahap awal dan setiap 2 bulan sekali pada tahap lanjutan. Konversi
apusan dahak dan biakan merupakan indikator utamauntuk menilai kemajuan
pengobatan. Defmisi terjadinya konversi biakan adalah jika pemeriksaan biakan 2
(dua) kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hash negatif.
Dalam hal ini tanggal konversi adalah tanggal pengambilan dahakpertama untuk
biakan yang hasilnya negatif. Tanggal ini digunakan untuk menentukan lamanya
pengobatan tahap awal dan lama pengobatan selanjutnya.
Selain pemeriksaan apusan dan biakan dahak, dilakukan juga beberapa
pemantauan penunjang lainnya selama pengobatan TB MDR,antara lain:
- Pemantauan terhadap munculnya efek samping obat. Pemantauan efek
samping obat dilakukansetiap hari oleh PMO selama mendampingi pasien
menelan obat.
- Pemantauan berat badan dan keluhan atau gejala klinis. Pemantauan
dilakukan setiap bulan oleh dokter di fasyankes TB MDR.
- Foto toraks dilakukan setiap 6 bulan atau bila terjadi komplikasi (batuk
darah masif, kecurigaan pneumotoraks, dil).
- Kreatinin serum dan kaiium serum dilakukan setiap bulan selama
mendapat obat suntikan.
- Thyroid Stimulating Hormon (TSH) dilakukan pada bulan ke 6
pengobatan dan diulangi setiap 6 bulan atau bila muncul gejala
hipotiroidisme.
- Enzim hati (SGOT, SGPT) dilakukan setiap 3 bulan atau bila timbul gejala
drug induced hepatitis (DIH),
- Tes kehamilan dilakukan bila ada indikasi.
Secara rinci jenis-jenis pemantauan yang perlu dilakukan pada pasien TB
MDR terdapat pada tabel 13. Pemantauan pengobatan TB MDR.
Tabel 13. Pemantauan pengobatan TB MDR
Bulan Pengobatan
Pemantauan
1 2 3 4 5 6 8 10 12 14 16 18 20 22
Evaluasi Utama
Pemeriksaan apusan dahak dan Setiap bulan pada tahap awal, setiap 2 bulan pada tahap lanjutan
biakan dahak
Evaluasi Penunjang
Evaluasi klinis (termasuk BB)
Uji kepekaan obat Berdasarkan indikasi
Foto toraks
Ureum, Kreatinin 1 3 minggu selama
suntikan
Elektrolit (Na, Kaiium, CI)
EKG
Thyroid stimulating hormon (TSH)
Enzim hepar (SGOT, SGPT) Evaluasi secara periodic
Tes kehamilan Berdasarkan indikasi
Darah Lengkap Berdasarkan indikasi
Audiometri Berdasarkan indikasi
Kadar Gula Darah Berdasarkan indikasi
Asam Urat Berdasarkan indikasi
Test HIV Dengan atau faktor risiko

M. Evaluasi Hasil Akhir Pengobatan TB MDR


1. Sembuh.
- Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai pedoman
pengobatan TB MDR tanpa bukti terdapat kegagalan, dan
- Hasil biakan selama tahap lanjutan menunjukkan hasil negatif minimal
3 kali berturut-turut dengan jarak pemeriksaan antar biakan minimal 30
hari
2. Pengobatan lengkap.
Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai pedoman pengobatan
TB MDR tetapi tidak memenuhi definisi sembuh maupun gagal.
3. Meninggal.
Pasien meninggal karena sebab apapun selama masa pengobatan TB
MDR.
4. Gagal.
Pengobatan TB MDR dihentikan atau membutuhkan perubahan paduan
pengobatan TB MDR secara permanen terhadap 2 (dua) atau lebih OAT
MDR; yang disebabkan oleh salah satu dari beberapa kondisi di bawah ini
yaitu:
- Tidak terjadi konversi sampai dengan dengan akhir bulan ke-8
pengobatan tahap awal
- Terjadi reversi pada tahaplanjutan, yaitu biakan dahak kembali
menjadi positif pada 2 (dua) kali pemeriksaan berturut-turut setelah
sebelumnya tercapai konversi biakan
- Terbukti terjadi resistansi tambahan terhadap obat TB MDR golongan
fluorokuinolon atau obat injeksi lini kedua
- Terjadi efek samping obat yang berat yang mengharuskan pengobatan
dihentikan secara permanen.
5. Lost to follow-up.
Pasien terputus pengobatannya selama dua bulan berturut-turut atau lebih.
6. Tidak dievaluasi.
Pasien yang tidak atau belummempunyaihasil akhir pengobatanpada saat
pelaporan karena pengobatan masih berlangsung atau pasien tidak
diketahui hasil akhir pengobatannya karena pindah ke fasyankes di daerah
lain.

N. Evaluasi Lanjutan Setelah Pasien Sembuh atau Pengobatan Lengkap


Meskipun pasien telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
pemantauan serta evaluasi terhadap pasien tetap dilakukan. Hal-hal yang
dilakukan dalam tahap ini antara lain:
a. Fasyankes Rujukan/Sub Rujukan TB MDR membuat jadual kunjungan
untuk evaluasi pasca pengobatan.
b. Evaluasi dilakukan setiap 6 bulan sekali selama 2 tahun kecuali timbul
gejala dan keluhan TB seperti batuk, produksi dahak, demam, penurunan
berat badan dan tidak ada nafsu makan maka pasien segera datang ke
FasyankesRujukan.
c. Memberikan edukasi kepada pasien untuk mengikuti jadual kunjungan
yang telah ditentukan.
d. Pemeriksaan yang dilakukan adalah anamnesis lengkap, pemeriksaan fisis,
pemeriksaan dahak, biakan dan foto toraks.
e. Pemeriksaan dilakukan untuk melihat atau memastikan terdapatnva
kekambuhan.
f. Memberikan edukasi kepada pasien untuk menjalankan PHBS seperti olah
raga teratur, tidak merokok, konsumsi makan an bergizi, istirahat dan tidak
mengkonsumsi alkohol.
O. Tatalaksana Pasien Putus Berobat dan Gagal
1. Tatalaksana Pasien Putus Berobat
Pada dasarnya harus diupayakan agar pasien TB MDR tidak putus berobat.
Jikapasien TB MDR putus berobat, tindak lanjut yang dilakukan harus
mempertimbangkan beberapa hal yaitu:
1. Berapa lama pengobatan yang telah dijalani.
2. Berapa lama Pasien mangkir/ putus berobat.
3. Hasil pemeriksaan tes cepat, biakan dan uji kepekaan.
Pasien TB MDR putus berobat, bila akan melanjutkan pengobatannya
kembali harus diajukan ke TAK untuk mendapatkan rekomendasi tindakan
selanjutnya. Tindak lanjut pasien TB MDR putus berobat secara garis
besar seperti tersebut dalam Tabel dibawah ini.
Tabel 14 ; Tatalaksana pasien yang kembali setelah lalai pada pengobatan
dengan OATMDR

Lama Lama
Pasien Pengobatan Tindak Lanjut
Mangkir Sebelumnya
< 4 minggu Berapapun 1. Melakukan konseling intensif kepada pasien dan
lamanya keluarga.
2. Melanjutkan pengobatan sesuai paduan
sebelumnya.
4-8 minggu < 4 minggu 1. Melakukan konseling intensif kepada pasien dan
keluarga.
2. Pengobatan diulangi dari permulaan dengan
paduan OAT yang sama.
> 4 minggu 1. Melakukan konseling intensif kepada pasien dan
keluarga,
2. Lakukan pemeriksaan biakan sebelum memulai
pengobatan, disarankan menggunakan metode
cair (iMGIT) yang lebih cepat.
3. Sambil menunggu hasil biakan, pengobatan TB
MDR dilanjutkan dengan paduan OAT yang
sama dengan yang didapatkan pasien selama
tahap intensif.
4. Bila hasil konversi biakan bisa dipastikan maka
pemberian injeksi bisa dihentikan.
5. Ada keterangan bahwa pasien pernah mangkir
di TB 01 MDR,
6. Lakukan evaluasi pengobatan bila sampai 4
bulan kemudian bila tidak di dapatkan konversi
biakan
> 8 mmggu > 4 minggu 1. Kartu pengobatan TB 01 MDR ditutup, pasien
dinyatakan sebagai pasien putus berobat (lost to
follow up).
2. Pasien mendapatkau KIE ulang yang
menekankan kepatuhan pengobatan.
3. Pasien ditatalaksana sebagai terduga TB MDR
dari awal.
4. Lakukan pemeriksaan tes cepat,
5. Dilakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan
untuk OAT lini kedua.
6. Pengobatan bisa dimulai dari awal dengan
paduan OAT yang sama tanpa menunggu hasil
uji kepekaan,
7. Tipe pasien tetap sama seperti saat awal
pengobatan sebelumnya.
8. Penyesuaian paduan dimungkinkan bila hasil uji
kepekaan lini kedua sudah keluar dengan hasil
resistensi OAT bertambah.
> 8 minggu > 4 minggu 1. Kartu pengobatan TB 01 MDR ditutup, pasien
dinyatakan sebagai pasien putus berobat (lost to
follow up).
2. Pasien mendapatkan KIE ulang yang
menekankan kepatuhan pengobatan.
3. Pasien ditatalaksana sebagai terduga TB MDR
dari awal.
4. Lakukan pemeriksaan konfirmasi dengan tes
cepat.
5. Bila hasil tes cepat positif Mtb, lakukan
pemeriksaan biakan dan uji kepekaan untuk
OAT lini kedua.
6. Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan
OAT sesuai dengan hasil uji kepekaan.
7. Tipe pasien adalah pasien yang kembali berobat
setelah putus berobat (lost to follow up) dari
pengobatan dengan OAT lini kedua.
8. Penyesuaian paduan dimungkinkan bila hasil uji
kepekaan lini kedua sudah keluar.
9. Bila kondisi pasien buruk maka pasien bisa
diobati dengan pengobatan standar TB MDR
tanpa menunggu hasil uji kepekaan ulangan,
paduan OAT menggunakan obat goiongan
injeksi, kuinolon dan OAT yang berbeda dan
diperkirakan masih sensitif.

Catatan:
a. Pemeriksaan tes cepat dilakukan di fasyankes rujukan.
b. Pemeriksaan biakan dan uji kepekaan dilakukan di laboratorium yang
teiah disertifikasi.
c. Keputusan pengobatan kembali pasien TB MDR yang berobat tidak
teratur diambil oleh TAK sesuai SPO yang telah ditetapkan. Keputusan
tidak boleh berdasar keputusan perorangan oleh dokter yang
menangani pasien.
2. Tatalaksana Pasien yang Hasil Biakan Tetap Positif Setelah Pengobatan
Bulan Keempat dan Pasien yang Berisiko Terjadi Gagal Pengobatan
Hasil biakan masih tetap positif setelah pengobatan bulan ke-4 belum
merupakan indikasi pasti kearah kegagalan pengobatan, namun
peningkatan pemantauan kepada pasien ini sangatlah penting.
Beberapa kondisi pasien dengan risiko gagal pengobatan, yaitu:
a. Pasien yang tidak menunjukkan perbaikan klinis setelah 4 bulan
pengobatan.
b. Pasien yang secara klinis, bakteriologis dan radiologis menunjukkan
penyakitnya masih aktif progresif atau kondisi klinis kembali
memburuk setelah pengobatan bulan ke-4.
Hasil biakan masih tetap positif setelah pengobatan bulan ke empat
merupakan indikasi kearah kegagalan pengobatan TB MDR, sehingga
evaluasi menyeluruh mengenai proses pengobatan yang telah dijalani dan
peningkatan pemantauan kepada pasien sangat penting dilakukan,
Langkah yang harus dilakukan oleh TAK di fasyankes rujukan terhadap
kondisi tersebut adalah sebagai berikut:
1) Menelaah kartu pengobatan pasien (TB.01 MDR) untuk menilai
kepatuhan pengobatan.
2) Melakukan konfirmasi apakah pasien sudah menelan semua obat yang
diberikan, dengan melakukan wawancara ulang pada pasien.
3) Menelaah ulang paduan pengobatan dan menghubungkannya dengan
riwayat pengobatan, kontak dengan pasien TB MDR dan laporan hasil
uji kepekaan. Bila paduan tersebut tidak adekuat maka sebaiknya
ditetapkan paduan yang baru.
4) Menelaah ulang hasil pemeriksaan BTA apusan dahak dan biakan
dengan melihat gradasi hasil pemeriksaan fjika menggunakan metode
padat). Respon terhadap pengobatan juga bisa dilihat dari perubahan
gradasi hasil BTA dan biakan, tetapi hasil pemeriksaan tersebut harus
tetap dibandingkan dengan kondisi klinis dan radiologis pasien.
5) Melakukan uji kepekaan ulang untuk OAT lini kedua untuk
mengetahui apakah ada resistensi tambahan terhadap OAT lini kedua.
6) Pasien dengan hasil pemeriksaan apusan dahak dan biakan negatif
tetapi terdapat perburukan klinis mungkin diakibatkan oleh penyakit
lain selain TB MDR.
7) Menelaah ulang adanya penyakit lain yang dapat menurunkan absorpsi
obat (seperti: diare kronik) atau penurunan sistem imunitas (misalnya:
infeksi HIV).
8) Perubahan paduan pengobatan ditetapkan oleh tim ahli klinis, dengan
masukan dari tim terapeutik jika diperlukan. Efektivitas pengobatan ini
baru dapat dinilai setelah 3-4 bulan yaitu dengan melihat konversi
biakan.
9) Penatalaksanaan dilakukan seoptimal mungkin, termasuk
pertimbangan tindakan operasi jika memungkinkan.
Keputusan untuk menghentikan pengobatan TE MDR akibat gagal
pengobaan membutuhkan bukti pendukung medis sebelum akhirnya
memutuskan pengobatan dihentikan. Data bakteriologis merupakan bukti
yang paling kuat untuk menetapkan kegagalan dan pemeriksaan biakan
lebih dibutuhkan dibanding pemeriksaan dahak mikroskopis.
3. Tatalaksana Pasien dengan hasil biakan berubah dari negatif menjadi
positif
Pemeriksaan bakteriologis (mikroskopis dan biakan) merupakan metode
pemantauan yang paling tepat untuk memonitor keberhasilan pengobatan.
Program nasional menetapkan pemeriksaan follow up setiap bulan selama
tahap awal dan setiap dua bulan untuk tahap lanjutan.
Sesuai dengan ketentuan maka bila dijumpai reversi yaitu kondisi dimana
pemeriksaan biakan pada tahap lanjutan 2 (dua) kali berturut-turut hasilnya
positit. Jika pasien dengan reversi.maka pengobatan dinyatakan gagal.
Meskipun demikian sering dijumpai hasil pemeriksaan biakan yang
membingungkan bagi klinisi di layanan karena terjadi pada pasien-pasien
yang sebelumnya sudah negatif ataupun tercapai konversi. Hal tersebut
akan semakin membingungkan bila hasil positif tersebut tidak sesuai
dengan kondisi klinis pasien. Meskipun dilakukan di laboratorium yang
memenuhi syarat tetapi kemungkinan terjadi kontaminasi maupun positif
palsu masih bisa terjadi.
Langkah-langkah yang harus dilakukan:
1) Lakukan evaluasi kepatuhan dan keteraturan pengobatan.
2) Lakukan telaah klinis termasuk dengan melihat hasil follow up
radiologis.
3) Membandingkan hasil biakan dengan hasil pemeriksaan BTA. Bila
terjadi reversi biakan biasanya juga akan didapatkan reversi BTA
terlebih dahulu.
4) Melihat hitung jumlah koloni dari hasil biakan positif (dimungkinkan
bila pemeriksaan biakan menggunakan metode padat). Bila
menggunakan pada metode cair maka bisa dilihat dari proxy waktu
yang diperlukan untuk menjadi positif, semakin eepat hasil positif
keluar menggambarkan jumlah bakteri yang ada. Jumlah koloni yang
kecil (scanty) biasanya mengarah pada kontaminasi.
5) Menymgkirkan kemungkinan kontaminasi dengan cara mengambil
kembali minimal dua sampel dahak untuk diperiksa BTA dan biakan,
meskipun hal tersebut di luar jadwal yang ditentukan. Bila didapati
hasil negatif maka yang terjadi adalah kontaminasi dan hasil positif
sebelumnya bisa diabaikan.
6) Bila pemeriksaan menghasilkan hasil biakan positif dengan jumlah
hitung koloni sama atau lebih tinggi maka telah terjadi reversi pada
pasien bersangkutan. Bila hal ini terjadi pada tahap lanjutan maka
pengobatan dinyatakan gagal. Bila terjadi pada tahap awal maka masih
dimungkinkan melanjutkan pengobatan sesuai hasil uji kepekaan
ulangan.
4. Penghentian Pengobatan Sebelum Waktunya
a. Indikasi Untuk Menghentikan Pengobatan Sebelum Waktunya
Pengobatan TB MDR dapat dipertimbangkan untuk dihentikan oleh
TAK sebeium waktunya apabila memenuhi kriteria:
- Pasien dinyatakan lost to follow up dimana pasien telah berhenti
berobat seiama 2 bulan berturut-turut atau lebih
- Pengobatan dinyatakan gagal, yaitu kondisi dimana pengobatan
dihentikan atau membutuhkan perubahan paduan pengobatan TB
MDR yaitu 2 obat TB MDR yang disebabkan oleh salah satu dari
beberapa kondisi di bawah ini yaitu:
1) Tidak terjadi konversi sampai dengan akhir bulan ke-8
pengobatan
2) Terjadi reversi pada fase lanjutan (setelah sebelumnya
konversi)
3) Terbukti terjadi resistansi tambahan terhadap obat TB MDR
golongan kuinolon atau obat injeksi lini kedua
4) Terjadi efek samping obat yang berat
Jika pasien datang kembali setelah dihentikan pengobatannya,
pengobatan dapat dipertimbangkan kembali oleh TAK dengan cara
memperlakukan pasien ini sebagai pasien terduga TB MDR dari awal
dan membuka kartu pengobatan TB 01 MDR dari awal kembali.
b. Pertimbangan untuk menghentikan pengobatan:
1) Pertimbangan klinis.
Secara klinis, meneruskan pengobatan hanya akan menambah
penderitaan pasien karena efek samping dan tidak ada respons
terhadap pengobatan (gagal).
2) Pertimbangan kesehatan masyarakat (public health).
Meneruskan pengobatan yang cenderung gagal akan menimbulkan
terjadinya TB XDR.
5. Tindakan Suportif Pada Pasien Yang Dihentikan Pengobatannya
a. Obat penghilang rasa nyeri dapat diberikan parasetamol atau
kombinasi kodein dengan parasetamol.
b. Terapi oksigen untuk pasien dengan sesak napas.
c. Tambahan nutrisi, makanan diberikan dalam porsi kecil dengan
frekuensi sering. Apabila terjadi mual-muntah dapat diberikan obat-
obatan untuk menghilangkan gejala tersebut.
d. Kunjungan petugas kesehatan dilakukan secara teratur.
e. Meneruskan pengobatan tambahan lainnya.
f. Rawat inap atau klinik perawatan jika diperlukan.
g. Pendidikan kesehatan terutama untuk melakukan pengendalian infeksi
di lingkungannya.
BAB VI
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI (PPI)

Tujuan PPI TB MDR adalah untuk mengurangi penularan TB MDR dan


melindungi petugas kesehatan, pengunjung dan pasien dari penularan TB MDR.
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi TB MDR merupakan bagian dari kegiatan
PPi secara umum di fasyankes. Pencegahan dan Pengendalian Inteksi TB MDR
merupakan keharusan untuk dilaksana-kan di fasyankesTB MDR. Tidak boleh
dilupakan adalah PPI di lingkungan pasien TB MDR, misalnya lingkungan kontak
erat pasien di rumah dan tempat kerja.
Pelaksanaan PPI TB MDR merupakan bagian dari program kerja kegiatan
PPI di fasyankes. Pengorganisasian kegiatan PPI TB MDR di Rumah Sakit
dilakukan oleh Komite PPI, di Puskesmas dilakukan oleh koordinator PPI yang
ditunjuk oleh Kepala Puskesmas. Komite PPI di RS dan koordinator PPI
bertanggungjawab untuk menerapkan PPI yang meliputi perencanaan, pembinaan,
pendidikan dan pelatihan serta monitoring evaluasi
Tindakan PPI secara umum meliputi :
a. Kewaspadaan standar
Hand hygiene (kebersihan pribadi, termasukkebersihan tangan),
pemakaian alat pelindung diri (APD), etika batuk dan higiene respirasi,
pencegahan tusukan jarum atau benda tajam, pencucian dan disinfeksi alat
medis, penatalaksanaan limbah, penata laksanaan linen, misalnya sarung
bantal, seprei, jas praktek dll.
b. Kewaspadaan berdasarkan penularan lewat udara atau transmisi airborne.
Untuk PPI TB, difokuskan kepada kewaspadaan ini.
Pilar Pencegahan dan Pengendalian Infeksi adalah :
a. Pengendalian Manajerial.
b. Pengendalian Administratif
c. Pengendalian Lingkungan.
d. Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD).
A. Pengendalian Manajerial untuk TB MDR
Untuk menurunkan risiko penularan TB MDR di fasyankes diperlukan
kebijakan PPI TB MDR yang dimulai dari aspek manajerial berupa komitmen dan
kepemimpinan untuk kegiatan pengendalian infeksi di fasyankes. Tujuan
pengendalian manajerial adalah untuk menjamin tersedianya sumberdaya terlatih
yang diperlukan untuk pelaksanaan PPI. Kegiatan pengendalian manajerial
meliputi pembuatan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring serta
evaluasi pada semua aspek PPI TB MDR. Pelaksanaan kegiatan PPI TB MDR
meliputi penyediaan sarana dan prasarana, penyusunan prosedur tetap (protap),
pendidikan dan pelatihan petugas. Kegiatan monitoring dan evaluasi untuk PPI
TB meliputi tingkat ketersediaan sarana. kepatuhan terhadap pelaksanaan
prosedur PPI dan surveilens gejala dan tanda TB pada petugas.

B. Pengendalian Administratif untuk PPI TB MDR


Tujuan pengendalian administratif adalah untuk melindungi petugas
kesehatan, pengunjung dan pasien dari penularan TB-MDR dan untuk menjamin
tersedianya sumberdaya yang diperlukan untuk pelaksanaan PPI.
Prosedur pengendalian administratif dibedakan sesuai dengan jenis
fasyankes yaitu :
1. Prosedur Fasyankes Rujukan/Sub RujukanTB MDR :
a. Rawat Jalan
- Identifikasi cepat suspek TB/TB-MDR
- Penyuluhan pasien mengenai etika batuk/higiene respirasi
(menutup tangan ketika batuk atau bersin, memakai masker dan
mencuci tangan setelah batuk atau bersin)
- Pemisahan pasien dan suspek TB/TB-MDR dengan pasien lain
tempat yang berventilasi baik
- Memberikan prioritas pelayanan kepada suspek dan pasien TB/TB
MDR
b. Rawat inap
- Tempatkan pasien di kamar kewaspadaan berdasar transmisi
airborne yang berventilasi baik (12ACH) dan terpisah dari pasien
lain.
- 1 (satu) kamar untuk 1 (satu) pasien, jika tidak memungkinkan
lakukan kohorting
- Petugas kesehatan memakai masker respirator partikulat bi]
memberikan pelayanan medis kepada pasien dan pastikan
sealchecked fit tested
- Batasi aktivitas pasien, penyuluhan etika batuk, higiene respirasi
dan pakai masker jika keluar ruangan
- Cuci tangan sebelum dan setelah memberikan pelayanan
- Pengaturan anggota keluarga yang merawat pasien dan pengunjung
2. Prosedur fasyankes satelit TB MDR
Pada dasarnya PPI fasyankes satelit TB MDR sama dengan fasyankes
Rujukan/ Sub RujukanTB MDR, hanya menyesuaikan dengan situasi
fasyankes satelit yang pada dasarnya lebih sederhana dari fasyankes
Rujukan/Sub RujukanTB MDR.
3. Prosedur Laboratorium
- Prosedur laboratorium mengutamakan keselamatan kerja melalui
pengaturan biosafety
- Pengaturan cara menginduksi pengeluaran dahak, penatalaksanaan
bahan infeksius, pembuangan dan penatalaksanaan limbah infeksius
dan non infeksius.
- Menerapkan kewaspadaan standar dan kewaspadaan berdasar transmisi
airborne.
- Kesemuanya tertulis dalam prosedur tetap yang hams dipatuhi dan
diilaksanakan oleh setiap petugas laboratorium tanpa mengurangi mutu
pemeriksaan.
C. Pengendalian Lingkungan
Tujuan dari pengendalian lingkungan adalah untuk mengurangi
konsentrasi droplet nuclei di udara dan mengurangi keberadaan benda-benda yang
terkontaminasi sesuai dengan epidemiologi infeksi.
Lokasi di poli rawat jalan, kamar pasien TB MDR dan laboratorium.
Langkah dari pengendalian lingkungan adalah :
1. Ruangan untuk kewaspadaan berdasarkan transmisi airborne: Ruangan dengan
ventilasi alami atau mekanis dengan pergantian udara (12 ACH) dengan
sistem pembuangan udara keluar atau penggunaan penyaring udara (Hepa
Filter) sebelum masuk ke sirkuiasi udara area lain di RS.
2. Sinar Ultra Violet (UV)
3. Kebersihan dan desinfektasi (Cleaning and disinfection)

D. Alat Pelindung Diri (APD)


Alat pelindung diri bertujuan untuk melindungi petugas kesehatan,
pengunjung dan pasien dari penularan TB MDR dengan pemakaian APD yang
tepat. Sasaran APD adalah petugas kesehatan, pasien dan pengunjung. Jenis-jenis
APD yang sering dipakai Masker respirator N95 untuk petugas dan masker bedah
bagi pasien. Prosedur Fit test bagi petugas sebelum menggunakan respirator
merupakan keharusan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI, Petunjuk Teknis Penatalaksanaan Pasien TB MDR, Jakarta, 2009.


2. Depkes RI, Pedoman Penanggulangan TB Nasional, Jakarta, 2008.
3. Tropical Diseases Foundation, Module B - Management of Drug Resistant
Tuberculosis, Philippines, 2008.
4. WHO, Guidelines for Programmatic Management of Drugs-Resistant
Tuberculosis: Emergency Update 2008: Case Finding Strategy, p 19-35.
5. SPO pemeriksaan mikroskopis, Kemenkes 2012
6. WHO, Definitions and Reporting Framework for Tuberculosis - 2013
Revision, Switzerland, 2013.
7. Tropical Diseases Foundation, Management of Drug Resistant Tuberculosis,
Training for Health Staff in the Philippines, Module-C, Treatment Cases of
MDR TB, PMDT Training for Indonesian Trainees, Manila 23 November - 15
December 2008.
8. WHO, Guidelines for Programmatic Management of Drugs-Resistant
Tuberculosis: Emergency Update 2008: Case Finding Strategy p 19-35.
9. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Tuberkulsosi di Rumah Sakit,
2010
10. World Health Organization. Guidelines for prevention of tuberculosis in
heatlh care facilities, congregate settings and households, WHO 2009
11. World Health Organization. Guidelines for prevention of tuberculosis in
health care facilities in resources-limited settings. Gevena, world health
organization, 1999.
12. Natural Ventilation for Infection Control in Health-Care Settings, World
Health Organization 2009
13. WHO policy on TB Infection Control in Health Care Facilities, Congregate
settings and Households, Max Meis, TBCAP Infection Control Program
Officer KNCV, Netherlands
14. Tuberculosis Infection Control The National Performance Review (now the
National Partnership for Reinventing
15. Pedoman Pencegahan dan pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas
Kesehatan lainnya
16. Pedoman manajerial Pencegahan dan pengendalian Infeksi di Rumah Sakit
17. Instrumen penilaian Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit
18. Natural Ventilation guideline, SEARO Regional Publication No. 41 WPRO
Pegional Publication
19. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2012, WHO 2012.
20. Kementerian Kesehatan RI, Pedoman Nasional Penanggulangan TB, Jakarta,
2011.
21. Kementerian Kesehatan RI, Pedoman Manajemen Terpadu Pengendalian
Tuberkulosis Resistan Obat, Jakarta, 2013.
22. Kementerian Kesehatan RI, Rencana Aksi Nasional Logistik, Jakarta 2011.
23. Kementerian Kesehatan RI, Panduan Pengelolaan Logistik Program
Pengendalian Tuberkulosis, Jakarta, 2013.
24. Phliliphines, Management Drugs and Suplies for MDR IB, Manila, 2008.
25. WHO, Good Distribution Practice (GDP) for Pharmaceutical Products,
Switzerland, 2005
26. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 364/Menkes/SK/V/2009 tentang
Pedoman Penangulangan Tuberkulosis
27. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 13 Tahun 2013 tentang Pedoman
Manajemen Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resistan Obat
28. Tropical Disease Foundation. Module E - Ensuring Continuation of
Treatment, Philippines, 2008.
29. Modul D - Management of Drug Resistant Tuberculosis, TDF, Philppines
30. Ref. Poster Etika Batuk Departemen Kesehatan Malaysia
31. TOT Course KNCV-TBCAP, SLD, 2008
32. Konsil Kedokteran Indonesia. Komunikasi Efektif Dokter-Pasien, Jakarta,
2006
33. Hardjana, A.M. Komunikasi Intrapersonal & Interpersonal. Kanisius, Jakarta,
2003

Anda mungkin juga menyukai