E. Pengobatan
1. Strategi Pengobatan Pasien TB MDR
Pada dasarnya strategi pengobatan pasien TB MDR mengacu kepada
strategi DOTS, yaitu:
a. Semua pasien yang sudah terbukti sebagai TB MDR ataupun resistan
Rifampisin berdasarkan pemeriksaan uji kepekaan M. Tuberculosis
baik dengan tes cepat maupun metode konvensional dapat mengakses
pengobatan TB MDR yang baku dan bermutu.
b. Paduan OAT untuk pasien TB MDR adalah paduan standar yang
mengandung OAT lini kedua dan lini pertama.
c. Paduan OAT tersebut dapat disesuaikan bila terjadi perubahan hasil uji
kepekaan M. tuberculosis dengan paduan baru yang ditetapkan oleh
TAK.
Bila diagnosis TB MDR telah ditegakkan, maka sebelum memulai
pengobatan harus dilakukan persiapan awal termasuk melakukan beberapa
pemeriksaan penunjang.
2. Persiapan awal sebelum memulai pengobatan TB MDR
Persiapan awal sebelum memulai pengobatan TB MDR meliputi beberapa
hal yaitu:
Anamnesis ulang untuk memastikan kemungkinan terdapatnya riwayat
dan kecenderungan alergi obat tertentu, riwayat penyakit terdahulu
seperti hepatitis, diabetes mellitus, gangguan ginjal, gangguan
kejiwaan, kejang, kesemutan sebagai gejala kelainan saraf tepi
(neuropati perifer) dll.
Pemeriksaan:penimbangan berat badan, fungsi penglihatan, fungsi
pendengaran.
Pemeriksaan kondisi kejiwaan. Pemeriksaan ini berguna untuk
menetapkan strategi konseling dan harus dilaksanakan sebelum,
selama dan setelah pengobatan pasien selesai. Bila perlu bandingkan
dengan pemeriksaan sebelumnya saat pasien berstatus sebagai pasien
terduga TB MDR.
Memastikan data dasar pasien terisi dengan benar dan terekam dalam
sistem pencatatan yang digunakan (eTB manager dan pencatatan
manual)
Kunjungan rumah dilakukan oleh petugas fasyankes wilayah untuk
memastikan alamat yang jelas dan kesiapan keluarga untuk
mendukung pengobatan melalui kerjasama jejaring eksternal.
Pemeriksaan baseline penunjang.
Pemeriksaan penunjang sebelum memulai pengobatan TB MDR meliputi:
1) Pemeriksaan darah lengkap
2) Pemeriksaan kimia darah:
Faal ginjal: ureum, kreatinin Faal hati: SCOT, SGPT.
Serum elektrolit (Kalium, Natrium, Chlorida) As am Urat
Gula Darah(Sewaktu dan 2 jam sesudah makan)
3) Pemeriksaan Thyroid stimulating hormon (TSH)
4) Tes kehamilan untuk perempuan usia subur
5) Fototoraks.
6) Tes pendengaran (pemeriksanaan audiometri)
7) Pemeriksaan EKG
8) Tes HIV (bila status HIV belum diketahui)
3. PenetapanPasien TB MDR yang akan Diobati.
Penetapan pasien TB MDR yang akan diobati dilaksanakan oleh Tim Ahli
Klinis (TAK) di FasyankesRujukan TB MDR.
Tabel 4 : Kriteria untuk penetapan pasien TB MDR yang akan diobati.
Kriteria Keteraagan
1. Kasus TBRR/TB MDR Pasien terbukti TB MDR berdasarkan
basil pemeriksaanuji kepekaan yang
dilakukan oleh laboratorium yang
tersertifikasi.
Pasien yang terbukti Resistan terhadap
rifampisin berdasarkan pemeriksaan
genotipik (tes cepat) atau pemeriksaan
fenotipik (uji kepekaan konvensional).
2. Penduduk dengan alamat yang Dinyatakan dengan Kartu Tanda
jelas Penduduk (KTP) atau dokumen
pendukung lain dari otoritas setempat
3. Bersedia menjalani program Pasien dan keluarga menandatangani
pengobatan dengan informed consent setelah mendapat
menandatangani informed penjelasan yang cukup dari TAK
consentserta bersedia untuk
datang setiap hari ke
fasyankes TB MDR
Pada prinsipnya semua pasien TB RR/TB MDR harus mendapatkan
pengobatan dengan mempertimbangkan kondisi klinis awal. Tidak ada
kriteria klinis tertentu yang menyebabkan pasien TB RR/TB MDR harus
dieksklusi dari pengobatan. Kondisi pada tabel 5 adalah kondisi khusus
yang harus diperhatikan oleh TAK sebelum memulai pengobatan TB
RR/TB MDR. Penetapan untuk mulai pengobatan pada pasien TBRR/TB
MDR dengan kondisi khusus tersebut diputuskan oleh TAK dengan
masukan dari tim terapeutik.
Tabel 5 : Pasien TB MDR dengan kondisi khusus
1) Penyakit penyerta yang berat Kondisi berat karena penyakit utama atas
(ginjal, hati, epilepsi dan dasar riwayat dan pemeriksaan
psikosis) laboratorium
2) Kelainan fungsi hati Kenaikan SGOT/SGPT > 3 kali nilai
normal atau terbukti menderita penyakit
hati kronik
3) Kelainan fungsi ginjal kadar kreatinin > 2,2 mg/dl
4) Ibu Hamil Wanita dalam keadaan hamil
4. Pengobatan TB MDR
a. Jenis OAT untuk pengobatan TB MDR.
Pengobatan pasien TB MDR dan TB RR menggunakan paduan OAT
MDR yang terdiri dari OAT lini kedua dan lini pertama, yang dibagi
dalam 5 kelompok berdasar potensi dan efikasinya, yaitu:
Tabel 6. Pengelompokan OAT
Golongan Jenis Obat
Kemungkinan
Efek
No OAT Tindakan
samping
Penyebab
Kelainan Z,Eto.PAS,E,Lf - Hentikan semua OAT, rujuk segera
fungsi hati x pasien ke fasyankesRujukan TB MDR
- Pasien dirawat inapkan untuk penilaian
lanjutan jika gejala menjadi lebih berat,
- Periksa serum darah untuk kadar enzim
hati.
- Singkirkan kemungkinan penyebab lain,
selain hepatitis, Lakukan anamnesis
uiang tentang riwayat hepatitis
sebelumnya.
- TAK akan mempertimbangkan untuk
menghentikan obat yang paling mungkin
menjadi penyebab.
- Mulai kembali dengan obat lainnya,
apabila dimulai dengan OAT yang
bersitat hepatotoksik, pantau fungsi hati.
2 Kelainan Km, Cm - Pasien berisiko tinggi yaitu pasien
fungsi ginjal dengan diabetes melitus atau riwayat
gangguan ginjal harus dipantau gejala
dan tanda gangguan ginjal: edema,
penurunan produksi urin, malaise, sesak
nafas dan renjatan.
- Rujuk ke fasyankes Rujukan TB MDR
bila ditemukan gejala yang mengarah ke
gangguan ginjal.
- TAK bersama ahli nefrologi atau ahli
penyakit dalam akan menetapkan
penatalaksanaannya,
- Jika terdapat gangguan ringan (kadar
kreatinin 1,5-2.2 mg/dl), hentikan
kanamisin sampai kadar kreatinin
menurun. TAK dengan rekomendasi ahli
nefrologi akan menetapkan kapan
suntikan akan kembali diberikan.
- Untuk kasus sedang dan berat (kadar
kreatinin > 2.2 mg; dl), hentikan semua
obat dan lakukan perhitungan GFR
(Glomerular filtration rate).
- Jika GFR atau klirens kreatinin
(creatinin clearance) < 30 ml/menit atau
pasien mendapat hemodialisa maka
lakukan penyesuaian dosis OAT sesuai
tabel penyesuaian dosis.
- Bila setelah penyesuaian dosis kadar
kreatinin tetap tinggi maka hentikan
pemberian kanamisin, pemberian
kapreomisin mungkin membantu.
3 Perdarahan PAS, Etc, Z - Hentikan perdarahan lambung.
lambung - Hentikan pemberian OAT sampai 7
(tujuh) hari setelah perdarahan lambung
terkendali.
- Dapat dipertimbangkan untuk mengganti
OAT penyebab dengan OAT lain selama
standar pengobatan TB MDR dapat
terpenuhi.
4 Gangguan Cm, Km - Merupakan gangguan elektrolit berat
Elektrolit yang ditandai dengan hipokalemia,
berat (Bartter hipokalsemia dan hipomagnesemia dan
like alkalosis hipoklorik metabolik secara
syndrome) bersamaan dan mendadak.
- Disebabkan oleh gangguan fungsi
tubulus ginjal akibat pengaruh
nefrotoksik OAT suntikan.
- Lakukan penggantian elektrolit sesuai
pedoman.
- Berikan amilorid atau spironolakton
untuk mengurangi sekresi elektrolit.
5 Gangguan Km. Cm - Periksa data baseline untuk memastikan
pendengaran bahwa gangguan pendengaran
disebabkan oleh OAT atau sebagai
pemburukan gangguan pendengaran
yang sudah ada sebelumnya.
- Rujuk pasien segera ke fasyankes
rujukan TB MDR untuk diperiksa
penyebabnya dan di konsulkan kepada
TAK.
- Apabila penanganannya terlambat maka
gangguan pendengaran sampai dengan
tuli dapat menetap.
- Evaluasi kehilangan pendengaran dan
singkirkan sebab lain seperti infeksi
telinga, sumbatan dalam telinga, trauma,
dll.
- Periksa kembali pasien setiap minggu
atau jika pendengaran semakin buruk
selama beberapa minggu berikutnya
hentikan kanamisin.
6 Gangguan E - Gangguan penglihatan berupa kesulitan
penglihatan membedakan warna merah dan hijau.
Meskipun gejala ringan etambutol harus
dihentikan segera. Obat lain diteruskan
sambil dirujuk ke fasyankes Rujukan.
- TAK akan meminta rekomendasi kepada
ahli mata jika gejala tetap terjadi
meskipun etambutol sudah dihentikan.
- Arninoglikosida juga dapat
menyebabkan gangguan penglihatan
yang reversibel: silau pada cahaya yang
terang dan kesulitan melihat.
7 Gangguan Cs - Jangan membiarkan pasien sendirian,
psikotik apabila akan dirujuk ke fasyankes
(Suicidal Rujukan harus didampingi.
tendency) - Hentikan sementara OAT yang dicurigai
sebagai penyebab gejala psikotik,
sebelum pasien dirujuk ke fasyankes
Rujukan TB MDR. Berikan haloperidol
5 mg p.o
- Pasien harus ditangani oleh TAK
melibatkan seorang dokter ahli jiwa, bila
ada keinginan untuk bunuh diri atau
membunuh, hentikan siklcserin selama
1-4 minggu sampai gejala terkendali
dengan obat-obat anti-psikotik.
- Berikan pengobatan anti-psikotik dan
konseling.
- Bila gejala psikotik telah mereda, mulai
kembali sikloserin dalam dosis uji.
- Berikan piridoksin sampai 200 mg/ hari.
- Bila kondisi teratasi lanjutkan
pengobatan TB MDR bersamaan dengan
obat anti-psikotik.
8 Kejang Cs, Lfx - Hentikan sementara pemberian OAT
yang dicurigai sebagai penyebab kejang.
- Berikan obat anti kejang, misalnya
fenitoin 3-5 mg/ hari/kg BB atau berikan
diazepam iv 10 mg (bolus perlahan)
serta bila perlu naikkan dosis vitamin B6
s/d 200 mg/ hari.
- Penanganan pasien dengan kejang harus
dibawah pengamatan dan penilaian TAK
di fasyankes Rujukan TB MDR.
- Upayakan untuk mencari tahu riwayat
atau kemungkinan penyebab kejang
lainnya (meningitis, ensefalitis,
pemakaian obat, alkohol atau trauma
kepala).
- Apabila kejang terjadi pertama kali maka
laniutkan pengobatan TB MDR tanpa
pemberian sikloserin selama 1-2 minggu.
Setelah itu sikloserin dapat dberikan
kembali dengan dosis uji (lihat tabel).
- Piridoksin (vit B6) dapat diberikan
sampai dengan 200 mg per hari.
- Berikan profilaksis kejang yaitu fenitoin
3-5 mg/kg/hari. Jika menggunakan
fenitoin dan pirazinamid bersama-sama,
pantau fungsi hati, hentikan pirazinamid
jika hasil faal hati abnormal.
- Pengobatan protilaksis kejang dapat
dilanjutkan sampai pengobatan TB MDR
selesai atau lengkap
9 Tendinitis Lfx dosis tinggi - Singkirkan penyebab lain seperti gout,
arthritis rematoid, skleroderma sistemik
dan trauma.
- Untuk meringankan gejala maka
istirahatkan daerah yang terkena, berikan
termoterapi panas/dingindan berikan
GAINS (aspirin, ibuprofen).
- Suntikan kortikosteroid pada daerah
yang meradang akan membantu.
- Bila sampai terjadi ruptur tendon maka
dilakukan tindakan pembedahan
10 Syok Km, Cm - Segera rujuk pasien ke fasyankes
Anafilaktik Rujukan TB MDR.
- Berikan pengobatan segera seperti
tersebut dibawah ini, sambil dirujuk ke
Fasyankes Rujukan TB MDR:
1. Adrenalin 0,2 - 0,5 ml, 1: 1000 SC,
ulangi jika perlu.
2. Pasang infus cairan IV jika perlu.
3. Beri kortikosteroid yang tersedia
misalnya hidrokortison 100 mg im
atari deksametason 10 mg iv, ulangi
jika perlu,
11 Reaksi alergi Semua OAT - Berikan segera pengobatan seperti
toksik yang digunakan dibawah ini, sanibil dirujuk kefasyankes
menveluruh Rujukan TB MDR, segera:
dan SJS 1. Berikan CTM untuk gatal-gatal
2. Berikan parasetamol bila demam.
3. Berikan prednisolon 60 mg per hari
atau suntikan deksametason 4 mg 3
kali sehari jika tidak ada prednisolon
4. Ranitidin 150 mg 2x sehari atau 300
mg pada malam hari
- Di fasyankes Rujukan TB MDR:
1. Berikan antibiotik jika ada tanda-
tanda infeksi kulit,
2. Lanjutkan semua pengobatan alergi
sampai ada perbaikan, tappering off
kortikosteroid jika digunakan sampai
2 minggu.
3. Pengobatan jangan terlalu cepat
dimulai kembali. Tunggu sampai
perbaikan klinis.TAK merancang
paduan pengobatan selanjutnya tanpa
mengikutsertakan OAT yang diduga
sebagai penyebab.
- Pengobatan dimulai secara bertahap
dengan dosis terbagi terutama bila
dicurigai efek samping terkait dengan
dosis obat. Dosis total perhari tidak
boleh dikurangi (harus sesuai berat
badan) kecuali bila ada data
bioavaibilitas obat (terapeutic drug
monitoring). Dosis yang digunakan
disebut dosis uji yang diberikan selama
15 hari.
12 Hipotiroid PAS, Eto - Gejala dan tandanya adalah kulit kering,
kelelahan, kelemahan dan tidak tahan
terhadap dingin.
- Penatalaksanaan dilakukan di RS
Rujukan oleh TAK bersama seorang ahli
endokrinologi atau ahli penyakit dalam.
- Diagnosis hipotiroid ditegakkan berdasar
peningkatan kadar TSH (kadar normal <
10 mU/1).
- Ahli endokrin memberikan rekomen-dasi
pengobatan dengan levotiroksin/
natiroksin serta evaluasinya.
Tabel 10. Dosis uji dosis untuk memulai kembali pengobatan OAT MDR.
Hari pertama
Hari ke-
Hari Nama obat (beri obat dalam dosis Hari ke- tiga
dua
terpisah pagi & sore)
Hari ke 1 -3 Sikloserin 250 mg (125 mg + 125 mg) 500mg Dosis penuh
Hari ke 4-6 Levofloksasin 200mg(100mg+100mg) 400 mg Dosis penuh
Hari ke 7-9 Kanamisin 250 mg (125 mg + 125 mg) 500 mg Dosis penuh
Hari ke 10-12 Etionamid 250 mg (125 mg + 125 mg) 500 mg Dosis penuh
Hari ke 13-15 Pirazinamid 400 mg (200 mg + 200 mg) 800 mg Dosis penuh
Tabel 11. Perubahan dan penyesuaian dosis OAT pada gangguan ginjal
Perubahan Perubahan
Obat Dosis yang dianjurkan dan frekuensi
frekuensi? dosis?
Z Ya Ya 25-35 mg/kg/dosis, 3 x/minggu
E Ya Tidak 15-25 mg/kg/dosis, 3 x/minggu
Llx Ya Tidak 750-1000 mg/dosis, 3x/minggu
Cs Ya Ya 250 mg sekali sehari, atau 500 mg/dosis
3 x/minggu
Eto Tidak Ya 250 - 500 mg/dosis harian
Km Ya Ya 12 - 15 mg/kg/dosis, 2 - 3x1 minggu
PAS Tidak 2 x 4 gr sehari
Tabel 12. Perubahan dan penyesuaian dosis OAT pada gangguan ginjal
Kadar
Jumlah KCL
Kalium Banyaknya KCL Waktu untuk pemeriksaan
(meq/)
(meq/L)
> 4,0 Tidak Tidak 1 bulan (ketika masih mendapat
kanamisin)
3,7 - 4,0 Tidak Tidak 1 bulan (ketika masih mendapat
kanamisin)
3,4 - 3,6 20- 40 40 mmol 1 bulan (ketika masih mendapat
kanamisin)
3,0 - 3,3 60 60 mmol 2 mingguan
2,7 - 2,9 80 60 mmol + 400 mg/ 1 mingguan
hari selama 3 minggu
2,4-2,6 80- 120 80 mmol + 400. Teliti selang 1 - 6 hari
mg/hari selama 3
minggu
2,0 - 2,3 60 meq IV + 80 mmol + 400 mg/ Pertimbangkan rawat inap setelah
80 meq PO hari selama 3 minggu pemantauan 24 jam dengan infus
< 2,0 60 meq IV + 100 mmol + 400 mg/
80 meq PO hari selama 3 minggu
K. Pengobatan TB MDR Pada Keadaan Khusus
Beberapa keadaan khusus tertentu dapat dialami oleh pasien setelah dan
selama mendapatkan pengobatan TB MDR sehingga pasien perlu mendapatkan
penanganan yang spesilik sesuai dengan kondisinya dan pengobatan TB MDR nya
tetap dapat diteruskan sampai selesai. Beberapa kondisi tersebut antara lain
adalah:
1. Pengobatan TB MDR pada perempuan usia subur
a. Semua pasien TB MDR usia subur yang akan mendapat pengobatan
dengan OAT MDR, harus melakukan tes kehamilan terlebih dahulu.
b. Bila ternyata pasien tersebut tidak hamil, pasien dianjurkan memakai
kontrasepsi fisik selama masa pengobatan untuk mencegah kehamilan.
2. Pengobatan TB MDR pada ibu hamil
a. Kehamilan bukan kontraindikasi untuk pengobatan TB MDR. Banyak
bukti menunjukkan bahwa OAT lini kedua relatif aman bagi ibu hamil
kecuali golongan aminoglikosida (kanamisin). Semua OAT yang
dipakai dalam paduan standar TB MDR di Indonesia mempunyai kelas
keamanan tingkat B (etambutol) dan tingkat C (Pirazinamid, kuinolon,
kapreomisin, sikloserin, etionamid, PAS). Hanya obat golongan
aminoglokosida (kanamisin)yang memiliki kelas keamanan tingkat D
setara dengan Streptomisin dan Amikasin.
b. Bila pasien dalam kondisi hamil sebelum pengobatan TB MDR
dimulai maka alternatif obat injeksi yang dipakai adalah kapreomisin.
Kanamisin tidak direkomendasikan karena bisa menimbulkan efek
teratogenik pada fetus. Diperkirakan 10% dari fetus akan mengalami
gangguan organogenesis terutama pada organ vestibuler bila
mendapatkan kanamisin pada trimester pertama kehamilan. Fakta yang
ada saat ini menunjukkan bahwa pemakaian kapreomisin tidak
menimbulkan efek teratogenik sebagaimana kanamisin dan sudah biasa
dipakai di negara-negara lain yang menjalankan MTPTRO. Menunda
pengobatan sampai pasien melewati trimester pertama kehamilan tidak
direkomendasikan pada pasien hamil dengan keadaan klinis buruk, lesi
luas dan pasien HIV positif.
c. Bila pasien hamil pada tahap awal maka suntikan kanamisin
dihentikan, sebagai alternatif pasien diberikan kapreomisin sebagai
pengganti. Kapreomisin berasal dari golongan polipeptida yang
berbeda dengan kanamisin yang terbukti memiliki efek terapi setara
tetapi tanpa efek teratogenik seperti yang dijumpai pada obat golongan
aminoglikosida. Profil keamanan kapreomisin ada di kelas C yang
sama dengan OAT lini pertama seperti rifampisin dan INH. Perlu
dilakukan informed consent ulang bahwa obat yang diberikan sekarang
berbeda dengan yang awalnya diberikan serta diberikan informasi yang
cukup apa akibatnya bila obat injeksi tidak diberikan sama sekali.
d. Bila pada pasien hamil terjadi morning sickness maka diupayakan
pemberian obat pada siang hari.
e. Pada wanita hamil dosis vitamin B6 maksimum yang bisa diberikan
adalah 50-100mg perhari. Dosis yang lebih tinggi dari 150mg akan
mengganggu penyerapan kuinolon dan menimbulkan gangguan kejang
dan neurologis pada bayi baru lahir.
3. Pengobatan TB MDR pada ibu menyusui
a. Pasien yang sedang menyusui tetap mendapat pengobatan TB MDR
penuh.
b. Sebagian besar OAT akan ditemukan kadarnya dalam ASI dengan
konsentrasi kecil sehingga pasien TB MDR yang sedang dalam masa
menyusui tetap dianjurkan untuk memberikan ASI kepada bayinya.
ASI tampung dan susu formula menjadi pilihan lain yang bisa dipilih.
c. Jikapasien tersebut masih BTA positif, upayakan pencegahan dan
pengendalian infeksi dengan memisahkan bayinya untuk sementara
waktu sampai BTA nya menjadi negatif atau pasien menggunakan
masker N95 selama berdekatan dengan bayinya dan diupayakan
dilakukan di ruang dengan ventilasi yang baik .
4. Pengobatan TB MDR pada pasien yang sedang memakai kontrasepsi
hormonal
a. Kontraindikasi penggunaan kontrasepsi oral hanya pada paduan yang
mengandung rifampisin,
b. Disarankan untuk minum OAT tidak bersamaan waktunya dengan
kontrasepsi oral.
5. Pengobatan pasien TB MDR dengan diabetes mellitus
a. Diabetes mellitus dapat memperkuat efek samping OAT terutama
gangguan ginjal dan neuropati perifer.
b. Obat Anti Diabetika (OAD) tidak merupakan kontraindikasi seiama
masa pengobatan TB MDR tetapi biasanya memerlukan dosis OAD
yang lebih tinggi sehingga perlu penanganan khusus. Apabila pasien
minum etionamid maka kadar insulin darah lebih sulit dikontrol, untuk
itu perlu konsultasi dengan ahli penyakit dalam.
c. Kadar Kalium darah dan serum kreatinin harus dipantau setiap miriggu
seiama bulan pertama dan selanjutnya minimal sekali dalam 1 bulan
selama tahap awa),
6. Pengobatan pasien TB MDR dengan gangguan ginjal
a. Pemberian OAT TB MDR pada pasien dengan gangguan ginjal harus
dilakukan dengan hati-hati, sebaiknya pirazinamid dan etambutol tidak
diberikan.
b. Kadar Kalium dan kreatinin harus dipantau, setiap minggu seiama
bulan pertama dan selanjutnya minimal sekali sebulan seiama tahap
awal.
c. Bila terjadi gangguan ginjal, pemberian obat, dosis dan atau interval
antar dosis harus dis.esuaikan dengan tabel.
7. Pengobatan pasien TB MDR dengan gangguan hati
a. OAT lini kedua kurang toksik terhadap hati dibanding OAT lini
pertama.
b. Pasien TB MDR dengan riwayat penyakit hati dapat diberikan
pengobatan TB MDR (kecuali pada penyakit hati kronik).
c. Reaksi hepatotoksik lebih sering terjadi pada pasien dengan riwayat
gangguan hati sehingga harus lebih diawasi.
d. Pirazinamid tidak boleh diberikan kepada pasien dengan penyakit hati
kronik.
e. Pemantauan kadar enzim hati secara ketat dianjurkan dan jika kadar
enzim meningkat, OAT harus dihentikan dan dilaporkan kepada TAK.
f. Untuk mengobati pasien TB MDR seiama terjadinya hepatitis akut,
kombinasi empat OAT yang bersifat tidak hepatotoksik merupakan
pilihan yang paling aman.
8. Pengobatan pasien TB MDR dengan kejang.
a. Anamnesis ulang apakah ada riwayat kejang sebelumnya.
b. Pastikan kejang bisa dikendalikan.
c. Jika kejang tidak terkendali, konsul dengan ahli syaraf sebelum mulai
pengobatan dan selama pengobatan.
d. Pasien dengan gangguan kejang yang aktif dan tidak terkontrol dengan
pengobatan kejang, penggunaan sikloserin harus dihindari.
9. Pengobatan pasien TB MDR dengan gangguan jiwa
a. Pasien dengan riwayat gangguan jiwa harus dievaluasi kondisi
kesehatan jiwanya sebelum memulai pengobatan.
b. Keadaan yang memacu timbulnya depresi dan kecemasan pada
pengobatan TB MDR sering berkaitan dengan penyakit kronikyang
diderita pasien dan keadaan sosio-ekonomi pasien yang kurang baik.
c. Pada pasien dengan gangguan psikiatris, diperlukan pemantauan ketat
jika diberi sikloserin.
d. Dalam mengobati pasien TB MDR dengan gangguan jiwa, harus
melibatkan ahli jiwa.
L. Pemantauan Kemajuan Pengobatan
Selama menjalani pengobatan, pasien TB MDR harus dipantau secara
ketat untuk menilai kemajuan terhadappengobatan yang diberikan dan
mengidentifikasi efek samping sejak dini. Gejala TB (baiuk, berdahak, demam
dan BB menurun) pada umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama
pengobatan. Pemeriksaan apusan dan biakan dahak merupakan pemantauan utama
yang wajib dilakukan. Pemeriksaan apusan dahak dan biakan dilakukan setiap
bulan pada tahap awal dan setiap 2 bulan sekali pada tahap lanjutan. Konversi
apusan dahak dan biakan merupakan indikator utamauntuk menilai kemajuan
pengobatan. Defmisi terjadinya konversi biakan adalah jika pemeriksaan biakan 2
(dua) kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hash negatif.
Dalam hal ini tanggal konversi adalah tanggal pengambilan dahakpertama untuk
biakan yang hasilnya negatif. Tanggal ini digunakan untuk menentukan lamanya
pengobatan tahap awal dan lama pengobatan selanjutnya.
Selain pemeriksaan apusan dan biakan dahak, dilakukan juga beberapa
pemantauan penunjang lainnya selama pengobatan TB MDR,antara lain:
- Pemantauan terhadap munculnya efek samping obat. Pemantauan efek
samping obat dilakukansetiap hari oleh PMO selama mendampingi pasien
menelan obat.
- Pemantauan berat badan dan keluhan atau gejala klinis. Pemantauan
dilakukan setiap bulan oleh dokter di fasyankes TB MDR.
- Foto toraks dilakukan setiap 6 bulan atau bila terjadi komplikasi (batuk
darah masif, kecurigaan pneumotoraks, dil).
- Kreatinin serum dan kaiium serum dilakukan setiap bulan selama
mendapat obat suntikan.
- Thyroid Stimulating Hormon (TSH) dilakukan pada bulan ke 6
pengobatan dan diulangi setiap 6 bulan atau bila muncul gejala
hipotiroidisme.
- Enzim hati (SGOT, SGPT) dilakukan setiap 3 bulan atau bila timbul gejala
drug induced hepatitis (DIH),
- Tes kehamilan dilakukan bila ada indikasi.
Secara rinci jenis-jenis pemantauan yang perlu dilakukan pada pasien TB
MDR terdapat pada tabel 13. Pemantauan pengobatan TB MDR.
Tabel 13. Pemantauan pengobatan TB MDR
Bulan Pengobatan
Pemantauan
1 2 3 4 5 6 8 10 12 14 16 18 20 22
Evaluasi Utama
Pemeriksaan apusan dahak dan Setiap bulan pada tahap awal, setiap 2 bulan pada tahap lanjutan
biakan dahak
Evaluasi Penunjang
Evaluasi klinis (termasuk BB)
Uji kepekaan obat Berdasarkan indikasi
Foto toraks
Ureum, Kreatinin 1 3 minggu selama
suntikan
Elektrolit (Na, Kaiium, CI)
EKG
Thyroid stimulating hormon (TSH)
Enzim hepar (SGOT, SGPT) Evaluasi secara periodic
Tes kehamilan Berdasarkan indikasi
Darah Lengkap Berdasarkan indikasi
Audiometri Berdasarkan indikasi
Kadar Gula Darah Berdasarkan indikasi
Asam Urat Berdasarkan indikasi
Test HIV Dengan atau faktor risiko
Lama Lama
Pasien Pengobatan Tindak Lanjut
Mangkir Sebelumnya
< 4 minggu Berapapun 1. Melakukan konseling intensif kepada pasien dan
lamanya keluarga.
2. Melanjutkan pengobatan sesuai paduan
sebelumnya.
4-8 minggu < 4 minggu 1. Melakukan konseling intensif kepada pasien dan
keluarga.
2. Pengobatan diulangi dari permulaan dengan
paduan OAT yang sama.
> 4 minggu 1. Melakukan konseling intensif kepada pasien dan
keluarga,
2. Lakukan pemeriksaan biakan sebelum memulai
pengobatan, disarankan menggunakan metode
cair (iMGIT) yang lebih cepat.
3. Sambil menunggu hasil biakan, pengobatan TB
MDR dilanjutkan dengan paduan OAT yang
sama dengan yang didapatkan pasien selama
tahap intensif.
4. Bila hasil konversi biakan bisa dipastikan maka
pemberian injeksi bisa dihentikan.
5. Ada keterangan bahwa pasien pernah mangkir
di TB 01 MDR,
6. Lakukan evaluasi pengobatan bila sampai 4
bulan kemudian bila tidak di dapatkan konversi
biakan
> 8 mmggu > 4 minggu 1. Kartu pengobatan TB 01 MDR ditutup, pasien
dinyatakan sebagai pasien putus berobat (lost to
follow up).
2. Pasien mendapatkau KIE ulang yang
menekankan kepatuhan pengobatan.
3. Pasien ditatalaksana sebagai terduga TB MDR
dari awal.
4. Lakukan pemeriksaan tes cepat,
5. Dilakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan
untuk OAT lini kedua.
6. Pengobatan bisa dimulai dari awal dengan
paduan OAT yang sama tanpa menunggu hasil
uji kepekaan,
7. Tipe pasien tetap sama seperti saat awal
pengobatan sebelumnya.
8. Penyesuaian paduan dimungkinkan bila hasil uji
kepekaan lini kedua sudah keluar dengan hasil
resistensi OAT bertambah.
> 8 minggu > 4 minggu 1. Kartu pengobatan TB 01 MDR ditutup, pasien
dinyatakan sebagai pasien putus berobat (lost to
follow up).
2. Pasien mendapatkan KIE ulang yang
menekankan kepatuhan pengobatan.
3. Pasien ditatalaksana sebagai terduga TB MDR
dari awal.
4. Lakukan pemeriksaan konfirmasi dengan tes
cepat.
5. Bila hasil tes cepat positif Mtb, lakukan
pemeriksaan biakan dan uji kepekaan untuk
OAT lini kedua.
6. Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan
OAT sesuai dengan hasil uji kepekaan.
7. Tipe pasien adalah pasien yang kembali berobat
setelah putus berobat (lost to follow up) dari
pengobatan dengan OAT lini kedua.
8. Penyesuaian paduan dimungkinkan bila hasil uji
kepekaan lini kedua sudah keluar.
9. Bila kondisi pasien buruk maka pasien bisa
diobati dengan pengobatan standar TB MDR
tanpa menunggu hasil uji kepekaan ulangan,
paduan OAT menggunakan obat goiongan
injeksi, kuinolon dan OAT yang berbeda dan
diperkirakan masih sensitif.
Catatan:
a. Pemeriksaan tes cepat dilakukan di fasyankes rujukan.
b. Pemeriksaan biakan dan uji kepekaan dilakukan di laboratorium yang
teiah disertifikasi.
c. Keputusan pengobatan kembali pasien TB MDR yang berobat tidak
teratur diambil oleh TAK sesuai SPO yang telah ditetapkan. Keputusan
tidak boleh berdasar keputusan perorangan oleh dokter yang
menangani pasien.
2. Tatalaksana Pasien yang Hasil Biakan Tetap Positif Setelah Pengobatan
Bulan Keempat dan Pasien yang Berisiko Terjadi Gagal Pengobatan
Hasil biakan masih tetap positif setelah pengobatan bulan ke-4 belum
merupakan indikasi pasti kearah kegagalan pengobatan, namun
peningkatan pemantauan kepada pasien ini sangatlah penting.
Beberapa kondisi pasien dengan risiko gagal pengobatan, yaitu:
a. Pasien yang tidak menunjukkan perbaikan klinis setelah 4 bulan
pengobatan.
b. Pasien yang secara klinis, bakteriologis dan radiologis menunjukkan
penyakitnya masih aktif progresif atau kondisi klinis kembali
memburuk setelah pengobatan bulan ke-4.
Hasil biakan masih tetap positif setelah pengobatan bulan ke empat
merupakan indikasi kearah kegagalan pengobatan TB MDR, sehingga
evaluasi menyeluruh mengenai proses pengobatan yang telah dijalani dan
peningkatan pemantauan kepada pasien sangat penting dilakukan,
Langkah yang harus dilakukan oleh TAK di fasyankes rujukan terhadap
kondisi tersebut adalah sebagai berikut:
1) Menelaah kartu pengobatan pasien (TB.01 MDR) untuk menilai
kepatuhan pengobatan.
2) Melakukan konfirmasi apakah pasien sudah menelan semua obat yang
diberikan, dengan melakukan wawancara ulang pada pasien.
3) Menelaah ulang paduan pengobatan dan menghubungkannya dengan
riwayat pengobatan, kontak dengan pasien TB MDR dan laporan hasil
uji kepekaan. Bila paduan tersebut tidak adekuat maka sebaiknya
ditetapkan paduan yang baru.
4) Menelaah ulang hasil pemeriksaan BTA apusan dahak dan biakan
dengan melihat gradasi hasil pemeriksaan fjika menggunakan metode
padat). Respon terhadap pengobatan juga bisa dilihat dari perubahan
gradasi hasil BTA dan biakan, tetapi hasil pemeriksaan tersebut harus
tetap dibandingkan dengan kondisi klinis dan radiologis pasien.
5) Melakukan uji kepekaan ulang untuk OAT lini kedua untuk
mengetahui apakah ada resistensi tambahan terhadap OAT lini kedua.
6) Pasien dengan hasil pemeriksaan apusan dahak dan biakan negatif
tetapi terdapat perburukan klinis mungkin diakibatkan oleh penyakit
lain selain TB MDR.
7) Menelaah ulang adanya penyakit lain yang dapat menurunkan absorpsi
obat (seperti: diare kronik) atau penurunan sistem imunitas (misalnya:
infeksi HIV).
8) Perubahan paduan pengobatan ditetapkan oleh tim ahli klinis, dengan
masukan dari tim terapeutik jika diperlukan. Efektivitas pengobatan ini
baru dapat dinilai setelah 3-4 bulan yaitu dengan melihat konversi
biakan.
9) Penatalaksanaan dilakukan seoptimal mungkin, termasuk
pertimbangan tindakan operasi jika memungkinkan.
Keputusan untuk menghentikan pengobatan TE MDR akibat gagal
pengobaan membutuhkan bukti pendukung medis sebelum akhirnya
memutuskan pengobatan dihentikan. Data bakteriologis merupakan bukti
yang paling kuat untuk menetapkan kegagalan dan pemeriksaan biakan
lebih dibutuhkan dibanding pemeriksaan dahak mikroskopis.
3. Tatalaksana Pasien dengan hasil biakan berubah dari negatif menjadi
positif
Pemeriksaan bakteriologis (mikroskopis dan biakan) merupakan metode
pemantauan yang paling tepat untuk memonitor keberhasilan pengobatan.
Program nasional menetapkan pemeriksaan follow up setiap bulan selama
tahap awal dan setiap dua bulan untuk tahap lanjutan.
Sesuai dengan ketentuan maka bila dijumpai reversi yaitu kondisi dimana
pemeriksaan biakan pada tahap lanjutan 2 (dua) kali berturut-turut hasilnya
positit. Jika pasien dengan reversi.maka pengobatan dinyatakan gagal.
Meskipun demikian sering dijumpai hasil pemeriksaan biakan yang
membingungkan bagi klinisi di layanan karena terjadi pada pasien-pasien
yang sebelumnya sudah negatif ataupun tercapai konversi. Hal tersebut
akan semakin membingungkan bila hasil positif tersebut tidak sesuai
dengan kondisi klinis pasien. Meskipun dilakukan di laboratorium yang
memenuhi syarat tetapi kemungkinan terjadi kontaminasi maupun positif
palsu masih bisa terjadi.
Langkah-langkah yang harus dilakukan:
1) Lakukan evaluasi kepatuhan dan keteraturan pengobatan.
2) Lakukan telaah klinis termasuk dengan melihat hasil follow up
radiologis.
3) Membandingkan hasil biakan dengan hasil pemeriksaan BTA. Bila
terjadi reversi biakan biasanya juga akan didapatkan reversi BTA
terlebih dahulu.
4) Melihat hitung jumlah koloni dari hasil biakan positif (dimungkinkan
bila pemeriksaan biakan menggunakan metode padat). Bila
menggunakan pada metode cair maka bisa dilihat dari proxy waktu
yang diperlukan untuk menjadi positif, semakin eepat hasil positif
keluar menggambarkan jumlah bakteri yang ada. Jumlah koloni yang
kecil (scanty) biasanya mengarah pada kontaminasi.
5) Menymgkirkan kemungkinan kontaminasi dengan cara mengambil
kembali minimal dua sampel dahak untuk diperiksa BTA dan biakan,
meskipun hal tersebut di luar jadwal yang ditentukan. Bila didapati
hasil negatif maka yang terjadi adalah kontaminasi dan hasil positif
sebelumnya bisa diabaikan.
6) Bila pemeriksaan menghasilkan hasil biakan positif dengan jumlah
hitung koloni sama atau lebih tinggi maka telah terjadi reversi pada
pasien bersangkutan. Bila hal ini terjadi pada tahap lanjutan maka
pengobatan dinyatakan gagal. Bila terjadi pada tahap awal maka masih
dimungkinkan melanjutkan pengobatan sesuai hasil uji kepekaan
ulangan.
4. Penghentian Pengobatan Sebelum Waktunya
a. Indikasi Untuk Menghentikan Pengobatan Sebelum Waktunya
Pengobatan TB MDR dapat dipertimbangkan untuk dihentikan oleh
TAK sebeium waktunya apabila memenuhi kriteria:
- Pasien dinyatakan lost to follow up dimana pasien telah berhenti
berobat seiama 2 bulan berturut-turut atau lebih
- Pengobatan dinyatakan gagal, yaitu kondisi dimana pengobatan
dihentikan atau membutuhkan perubahan paduan pengobatan TB
MDR yaitu 2 obat TB MDR yang disebabkan oleh salah satu dari
beberapa kondisi di bawah ini yaitu:
1) Tidak terjadi konversi sampai dengan akhir bulan ke-8
pengobatan
2) Terjadi reversi pada fase lanjutan (setelah sebelumnya
konversi)
3) Terbukti terjadi resistansi tambahan terhadap obat TB MDR
golongan kuinolon atau obat injeksi lini kedua
4) Terjadi efek samping obat yang berat
Jika pasien datang kembali setelah dihentikan pengobatannya,
pengobatan dapat dipertimbangkan kembali oleh TAK dengan cara
memperlakukan pasien ini sebagai pasien terduga TB MDR dari awal
dan membuka kartu pengobatan TB 01 MDR dari awal kembali.
b. Pertimbangan untuk menghentikan pengobatan:
1) Pertimbangan klinis.
Secara klinis, meneruskan pengobatan hanya akan menambah
penderitaan pasien karena efek samping dan tidak ada respons
terhadap pengobatan (gagal).
2) Pertimbangan kesehatan masyarakat (public health).
Meneruskan pengobatan yang cenderung gagal akan menimbulkan
terjadinya TB XDR.
5. Tindakan Suportif Pada Pasien Yang Dihentikan Pengobatannya
a. Obat penghilang rasa nyeri dapat diberikan parasetamol atau
kombinasi kodein dengan parasetamol.
b. Terapi oksigen untuk pasien dengan sesak napas.
c. Tambahan nutrisi, makanan diberikan dalam porsi kecil dengan
frekuensi sering. Apabila terjadi mual-muntah dapat diberikan obat-
obatan untuk menghilangkan gejala tersebut.
d. Kunjungan petugas kesehatan dilakukan secara teratur.
e. Meneruskan pengobatan tambahan lainnya.
f. Rawat inap atau klinik perawatan jika diperlukan.
g. Pendidikan kesehatan terutama untuk melakukan pengendalian infeksi
di lingkungannya.
BAB VI
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI (PPI)