Anda di halaman 1dari 11

RAHMAN CONTRA THE HISTORIANS

Fazlur Rahman says that the non-Muslim historical approach has its utility, but it has little to do
with any understanding of the Quran and its ideas - on the contrary, it tends to cloud and
distort that content. (1979a:131) The concern with content, is for Fazlur Rahman, precisely the
extraction of those timeless ethical principles, which remains an interpretative exercise to be
attempted after filtering out the historical instantiations of the Quran. This interpretive
exercise is solely the prerogative of believing Muslims. Why is this the case?

Fazlur Rahman mengatakan bahwa pendekatan sejarah non-Muslim dianggap perlu, tetapi
memiliki 'sedikit kontribusi untuk melakukan pemahaman terhadap Al-Qur'an dan ide-idenya.
sebaliknya, cenderung samar-samar dan merubah kandungannya.': 131) perhatian terhadap
konten menurut Fazlur Rahman, tepatnya terhadap ekstraksi prinsip-prinsip etika, dimana
alquran kembali diinterpretatif untuk dicoba setelah membuang sejarah instan dari Al-Qur'an.
Latihan penafsiran ini adalah semata2 merupakan hak prerogatif dari Muslim yang beriman.
Mengapa ini terjadi?

In looking at religions, one is attempting to understand a phenomenon that consists in values,


convictions and feelings that involve the utmost depths of the human mind. Of course religions
have observable expressions and institutionalised manifestations, but it is the meaning of these
that is at issue.

Dalam melihat semua agama, satu cara untuk mencoba memahami fenomena yang terdiri atas
nilai-nilai, keyakinan dan perasaan yang melibatkan semaksimal mungkin kedalaman pikiran
manusia. Agama tentunya memiliki ekspresi yang dapat diamati dan manifestasi yang
dilembagakan, dan inilah yang menjadi issue/ permasalahan.

Must the outsiders attitude not necessarily be empathic and participatory? Fazlur Rahman
wants to make a distinction between the meaning of a proposition that can be understood to
be universally true, even if it is reported to one who has no had direct experience of it; and the
understanding of the meaning of a proposition which may not be universally understood.

Seharusnya sikap orang luar belum tentu empati dan partisipatif? Fazlur Rahman ingin
membuat perbedaan antara makna proposisi yang dapat dipahami secara universal, bahkan jika
itu disampaikan kepada orang yang tidak memiliki pengalaman langsung tsb; dan pemahaman
tentang makna proposisi yang mungkin tidak dapat dipahami secara universal.
As will become clear later on, it is essential for Fazlur Rahmans whole system of ethical
historicism to allow for the possibility of understanding other minds and their textual traces,
even if a enquirer does not share the religious convictions of those whom he studies. For a
meaning to be understood, then it has to become meaningful to someone, so that it ceases to
be purely impersonal. In one sense, something can be meaningful even in an antagonistic way.
In other words, a Muslim and a non-Muslim can temporarily comprehend one another, but can
a real understanding emerge from such a temporary identification?

Yang akan menjadi jelas nanti, adalah penting untuk keseluruhan sistem Fazlur Rahman dari
'historisisme etis' untuk membolehkan kemungkinan pemahaman pikiran lain dan jejak tekstual
mereka, bahkan jika seorang Enquirer yang tidak berbagi keyakinan agama dari mereka yang
dia pelajari. Untuk mengerti sebuah arti, maka itu harus berarti bagi seseorang, sehingga itu
tidak lagi menjadi murni impersonal. Di satu sisi, sesuatu dapat menjadi berarti bahkan dengan
cara antagonis. Dengan kata lain, seorang Muslim dan non-Muslim dapat memahami satu sama
lain, tetapi dapatkah pemahaman yang nyata muncul dari identifikasi sementara seperti itu?

Fazlur Rahman thinks this is impossible in the final analysis. (1985b:192) What is possible is
not a religious experience but a quasi-scientific (intellectual) knowledge of a religious
experience where the normativeness or authority of the experience vanishes, but something of
its direct effect upon the experiencing subject (including the latters report of it can be
preserved and made accessible to others. The experience as a living and integral whole,
therefore, cannot be conveyed by a historian or a social scientist; such scholars nonetheless can
appreciate it intellectually and convey it so that it becomes a part of scientific knowledge.
(1985b:194)

Fazlur Rahman berpikir bahwa ini adalah kemustahilan dalam analisis akhir (1985b:192) Apa
yang mungkin adalah yang bukan pengalaman religious tapi sebuah pengetahuan (intelektual)
kuasi-ilmiah dari pengalaman religious dimana normatif atau otoritas dari pengalaman
menghilang (lenyap), tetapi sesuatu dari efek langsung dari pengalaman subjek (termasuk
laporan yang terakhir dari itu dapat dipertahankan dan diakses kepada orang lain. Pengalaman
sebagai sebuah kehidupan dan keseluruhan integral, oleh karena itu, tidak dapat disampaikan
oleh seorang sejarawan atau ilmuwan sosial; seperti ulama yang tetap bisa menghargainya
secara intelektual dan menyampaikan hal itu sehingga menjadi bagian dari pengetahuan ilmiah
(1985b: 194).

Pure cognition does not mean cognition of historical facts to the exclusion of values; on the
contrary my central occupation is precisely with values their meaning and interpretation. [my
italics] (1982:4) One need not be a believer to have cognition of historical values. Fazlur
Rahman distinguishes between historical values, and those which are properly moral. Moral
values have a higher ontological status than their disclosure at a certain point in history which
does not limit their meaning or practical application to that moment. Historical values exhaust
their life within their particular socio-economic context; but the transcendence and extra-
historical nature of moral values allow them to overflow the date of their first articulation in
terms of relevant application.

Kognisi murni 'tidak berarti kognisi dari fakta-fakta sejarah dengan mengesampingkan nilai-
nilai; sebaliknya pendudukan pusat saya justru dengan nilai-nilai makna dan interpretasi
mereka. [Saya miring] '(1982: 4) Seseorang tidak perlu menjadi orang yang percaya untuk
memiliki kognisi nilai sejarah. Fazlur Rahman membedakan antara nilai-nilai sejarah, dan orang-
orang yang benar moral. Nilai-nilai moral memiliki status ontologis lebih tinggi dari
pengungkapan mereka pada titik tertentu dalam sejarah yang tidak membatasi makna atau
aplikasi praktis untuk saat itu. Nilai-nilai historis menyelesaikan kehidupan mereka dalam
konteks sosial-ekonomi khusus mereka; tapi transendensi dan alam ekstra-historis dari nilai-
nilai moral memungkinkan mereka memenuhi/ membanjiri tanggal dari artikulasi pertama
mereka dalam hal aplikasi yang relevan.

The definition of ijtihad that Fazlur Rahman accepts means it is possible that a text can be
generalized into a set of principles, and that these principles can be formulated as new sets of
rules. It implies that the tradition in question can be judged according to the normative
meanings under which the tradition arose. In other words, that some form of orthodoxy is
possible. Tradition or precedent can be studied with adequate historical objectivity and
separated not only from the present but also from the normative factors that are supposed to
have generated it. (1982:8)

Definisi ijtihad yang Fazlur Rahman terima adalah adanya kemungkinan bahwa sebuah teks
dapat digeneralisasi menjadi seperangkat prinsip, dan bahwa prinsip-prinsip ini dapat
dirumuskan sebagai aturan baru. Ini menyiratkan bahwa tradisi tersebut dapat dinilai sesuai
dengan makna normatif di mana tradisi muncul. Dengan kata lain, bahwa beberapa bentuk
ortodoksi adalah mungkin. Tradisi atau adat dapat dipelajari secara memadai dengan
objektivitas sejarah dan dipisahkan tidak hanya untuk saat ini tetapi juga dari faktor normatif
yang seharusnya telah dihasilkan itu. "(1982: 8)

So it is not surprising that Fazlur Rahman goes on to defend those modernist theorists who
insist that one must find out the meaning intended by the mind that wrote the text under
study. A reversal of the original creative process is possible whereby the forms we try to
understand and interpret now are led back to the creative mind whose original contents they
were, not as isolated items, but as a coherent whole, and made to live again in the mind of the
understanding subject. (loc.cit)

Jadi tidak mengherankan bahwa Fazlur Rahman melanjutkan untuk mempertahankan teori
modernis yang bersikeras bahwa seseorang harus mengetahui makna yang dimaksudkan oleh
pikiran yang menulis teks yang diteliti. Sebuah pembalikan dari proses kreatif asli adalah
mungkin dimana 'bentuk-bentuk yang kita coba untuk pahami dan tafsirkan sekarang dipimpin
kembali ke pikiran kreatif yang isinya asli, item2 yg tidak terisolasi, tetapi sebagai satu kesatuan
yang utuh, dan dibuat untuk hidup kembali pada pikiran pemahaman subjek. '(loc.cit)

But this is not the product of the mind only, one must consider the historical conditions to
which it responded. Crucially, Fazlur Rahmans radicalism, in Islamic terms, is to insist that the
Quran is literally Gods response through Muhammads mind to an historic situation. (loc.cit.)

Tapi ini bukanlah hanya sebatas produk dari pikiran saja, kita harus mempertimbangkan kondisi
sejarah di mana ia merespon. Secara krusial, radikalisme Fazlur Rahman, dalam istilah Islam,
adalah untuk menegaskan bahwa Al-Qur'an adalah 'harfiah respon Tuhan melalui pikiran
Muhammad untuk sebuah situasi sejarah. "(Loc.cit.)

If the Quran was the literal word of God, which came to be the predominant interpretation
among Muslims, and Muhammad was merely the passive recipient, then one could not discern
abstract ethical principles behind the revelation of verses in particular circumstances. Instead,
one would fall into a kind of slavishly literal attempt to recreate the society of the Prophet, no
matter how misguided and inadequate such an endeavour would be. Fazlur Rahmans
conception places all scholarly Muslims in a position of equality with regard to the Quran,
whose ethical principles must be instantiated in their particular epoch through the effort of
ijtihad.

Jika Al Qur'an adalah firman Tuhan secara harfiah, yang datang untuk menjadi interpretasi
dominan di kalangan umat Islam, dan Muhammad hanyalah penerima pasif, maka seseorang
tidak bisa melihat prinsip-prinsip etika abstrak dibalik wahyu dari ayat-ayat dalam keadaan
tertentu. Sebaliknya, orang akan jatuh ke dalam upaya perendahan diri literal untuk kembali
menciptakan masyarakat Nabi, tidak peduli seberapa sesat dan tidak memadai layaknya usaha
yang akan dilakukan. konsepsi Fazlur Rahman menempatkan semua ilmuan Muslim dalam
posisi yang setara dalam sesuai dengan Al-Qur'an, yang mana prinsip-prinsip etika harus dipakai
di zaman tertentu melalui upaya ijtihad.

Fazlur Rahman has to protect this position against two lines of attack, and it is contestable as to
whether he succeeds. The first is that of Hans Georg Gadamer, who attacks the view that one
can know other minds truly as mere psychologism. He is sceptical about Gadamers view that
context of ideas is merely mental: for while their occurrence is in a mind, their intentio or
meaning is referred outside the mind. (1982:9)

Fazlur Rahman harus melindungi posisi ini terhadap dua baris serangan, dan itu bisa dibantah
apakah ia berhasil. Yang pertama adalah dari Hans Georg Gadamer, yang menyerang
pandangan bahwa seseorang dapat mengetahui pikiran orang lain secara benar seperti
layaknya seorang pisikolog. Dia meragukan pandangan Gadamer bahwa konteks ide hanyalah
pada jiwa: 'untuk sementara peristiwa yang terjadi pada mereka terdapat dalam suatu pikiran,
maksud atau maknanya disebut di luar pikiran.' (1982: 9)

Gadamer wants due acknowledgement of what he views as being predetermined i.e. because
the experiencing subject is preconditioned it follows one cannot really understand the past on
its own terms. Effective history, for Gadamer, is not only the historical influences upon the
object of study but also all the other influences that make up the observer, or the experiencing
subject.

Gadamer ingin mengakui pandangannya sebagai antisipasi, yaitu karena pengalaman subjek
merupakan prasyarat untuk mengikuti seseorang tidak bisa memahami masa lalu pada
istilahnya sendiri. sejarah yang efektif, menurut Gadamer, tidak hanya pengaruh sejarah pada
objek penelitian tetapi juga semua pengaruh lain yang membentuk pengamat, atau subjek
mengalami.

So any possibility of knowing the past truly by a sort of objective historical consciousness is
overcome by this preconditioning. An individual is much more likely to be influenced by family,
society and state than by ephemeral inklings where one can stand beyond ones own historical
horizons with the perspective of God. Therefore there is no distinction between history and
dogmatics.

Jadi kemungkinan untuk mengetahui masa lalu dengan benar dengan cara kesadaran historis
yang obyektif diatasi dengan pengkondisian ini. Seorang individu jauh lebih mungkin
dipengaruhi oleh keluarga, masyarakat dan negara daripada prasangka2 singkat di mana
seseorang dapat berdiri di atas cakrawala sejarah sendiri dengan 'perspektif Allah'. Oleh karena
itu tidak ada perbedaan antara sejarah dan dogmatika.

For Fazlur Rahman, this will not do. It is obvious that human traditions have changed over time
but not as a series of disjunctures into which is read a fictive continuity. Continuity in an
intellectual tradition is real because it is a manifestation of a well-recorded historical
consciousness, played out between commentators over the centuries. Any critique of, or
purposeful change in, a tradition does involve self-awareness to the extent that there is
consciousness of what is being criticized or rejected. (1982:10) It not fair to conclude that
these responses were pre- determined to the extent that Gadamer advocates.

Bagi Fazlur Rahman, ini tidak akan dilakukan. Hal ini jelas bahwa tradisi manusia telah berubah
dari waktu ke waktu tetapi tidak sebagai rangkaian terpisah ke yang membaca kontinuitas fiktif.
Kontinuitas dalam tradisi intelektual adalah nyata karena merupakan manifestasi dari
kesadaran historis yang direkam, dimainkan antara komentator selama berabad-abad. Setiap
kritik, atau perubahan dalam tujuan, tradisi tidak melibatkan kesadaran diri yang jauh bahwa
(1982: 10) 'ada kesadaran dari apa yang sedang dikritik atau ditolak. "Ini tidak adil untuk
menyimpulkan bahwa tanggapan tersebut pra- ditentukan sejauh pendukung Gadamer.

It is still possible to separate an objective grasp of the past with a subjective response to that
past which involves values that are a product of ones present conditioning. Fazlur Rahman
wants to distinguish history and dogmatics, as well as to defend their effectiveness in
maintaining a real historical consciousness. When questions are asked, history, by definition
and as an ideal, is concerned with historical facts and not with values, whereas at first sight
dogmatics looks mainly at values.

Hal ini masih mungkin untuk memisahkan suatu pemahaman objektif terhadap tujuan masa lalu
dengan respon subjektif untuk yang terakhir yang melibatkan nilai-nilai yang merupakan produk
pendingin kehadiran seseorang. Fazlur Rahman ingin membedakan sejarah dan dogmatika,
serta untuk mempertahankan efektivitas mereka dalam menjaga kesadaran historis yang nyata.
Ketika pertanyaan diminta, sejarah, menurut definisi dan sebagai ideal, berkaitan dengan fakta-
fakta sejarah, bukan dengan nilai-nilai, sedangkan pada pandangan pertama dogmatika terlihat
terutama pada nilai.

But often dogmatic questioning involved rational enquiry, in other words, it facilitated the
discovery that certain parts of tradition contradicted more basic parts. So even in dogmatics, a
second-order historical consciousness is present in that historical distance is bridged by reason
which spans the past and the present. The endeavour of ijtihad is a continuous obligation that
requires change in tradition to restore its normative element, and tradition is never immune
from such questioning.

Namun seringkali pertanyaan dogmatis yang terlibat penyelidikan rasional, dengan kata lain, itu
difasilitasi penemuan bahwa bagian-bagian tertentu dari tradisi bertentangan bagian yang lebih
mendasar. Jadi bahkan dalam dogmatika, perintah kedua kesadaran sejarah hadir dalam jarak
sejarah dijembatani dengan alasan yang meliputi masa lalu dan masa kini. usaha ijtihad
merupakan kewajiban yang berkesinambungan yang memerlukan perubahan dalam tradisi
untuk mengembalikan unsur normatif, dan tradisi tidak pernah kebal dari pertanyaan tersebut.
A second line of attack which Fazlur Rahman rebuts is scepticism about the historical veracity of
Muslim tradition especially with respect to the Quran, which is most trenchantly discussed in
relation to the work of John Wansbrough. One should not bracket Fazlur Rahman with those
who categorised all Western studies of the Quran as examples of pernicious orientalism.

Sebuah garis kedua dari serangan yang menyangkal Fazlur Rahman adalah skeptisisme (ragu)
tentang kebenaran sejarah tradisi Muslim terutama berkenaan dengan Al-Qur'an, yang paling
tajam dibahas dalam kaitannya dengan karya John Wansbrough. Kita tidak harus mengurung
Fazlur Rahman dengan mereka yang dikategorikan semua studi barat tentang Qur'an sebagai
contoh orientalisme yang merusak.

In fact, at present, Muslims, generally speaking, lack the necessary psychological and,
consequently scholarly equipment (1979a:132) for a rigorous enquiry into the formation and
canonisation of the Quran, a task which could only be carried out in Western institutions. Older
studies that largely took the tafsir tradition at face value, like that of N'ldeke-Schwallys
Geschichte des Qorans, was the approach that Fazlur Rahman praised as the most sober and
reliable. (1979a:131)

kenyataannya, 'saat ini, umat Islam, secara umum, kekurangan psikologis yang diperlukan dan,
akibatnya peralatan ilmiah' (1979a: 132) untuk penelitian ketat dalam pembentukan dan
Normativasi Qur'an, sebuah tugas yang hanya bisa dilakukan di lembaga-lembaga Barat. Studi
yang lebih tua yang sebagian besar mengambil tradisi tafsir pada nilai nominal, seperti yang dari
N'ldeke-Schwally ini Geschichte des Qorans, adalah pendekatan yang Fazlur Rahman dipuji
sebagai (1979a: 131) 'paling sederhana dan dapat diandalkan. "

Fazlur Rahman rejects what he terms the literary criticism of a more modern school. His most
general criticism is theoretical in nature. It is platitudinous, in his view, to state that unless the
phrase in history has some mystical sense, then all religions are in history. The Semitic
traditions are held to be historical religions because in them God intervenes in human events to
fulfil purposes. Historical enquiry can establish whether are not these religions have, in actual
fact, made such claims about the intervention of God in human history, and at what time such
claims were first made. However, such historical enquiry is not concerned with trying to prove
whether God intervened or where believers just claimed he did.

Fazlur Rahman menolak apa yang ia sebut dengan 'kritik sastra' dari sebuah sekolah yang lebih
modern. Kritik yang paling umum nya adalah teoritis di alam. Hal ini platitudinous, dalam
pandangannya, untuk menyatakan bahwa kecuali frase dalam sejarah memiliki arti mistis, maka
semua agama dalam sejarah. Tradisi Semit yang dianggap agama sejarah karena di dalamnya
Allah campur tangan dalam peristiwa manusia untuk memenuhi tujuan. penyelidikan sejarah
dapat menetapkan apakah tidak agama ini telah, dalam kenyataannya, membuat klaim seperti
tentang campur tangan Tuhan dalam sejarah manusia, dan pada waktu apa klaim seperti
pertama kali dibuat. Namun, penyelidikan sejarah tersebut tidak peduli dengan mencoba untuk
membuktikan apakah Tuhan campur tangan atau di mana orang-orang percaya hanya
mengklaim dia lakukan.

Fazlur Rahman makes a distinction between a religious view of history and a historical view of
religion, which he thinks is confused in the literary-analytic method i.e. after rejecting the
claims of religions, one should not go on to reject historical enquiry itself. Whatever one thinks
of claims made on behalf of religions, such claims should be historically investigated. What I
understand this to be is a phenomenological position i.e. that religious texts are best
understood through the internal premises upon which they are based, but only in the context
of their explicit historical background. Literary criticism ignores the obvious historical context in
favour of what Fazlur Rahman sees as a fairly arbitrary selection of Quranic motifs, which could
only be credible if one is prepared to read in between the lines, and accept too many
arguments e silentio.

Fazlur Rahman membuat perbedaan antara pandangan agama sejarah dan pandangan sejarah
agama2, yang menurutnya bingung dalam metode sastra-analitik yaitu setelah menolak klaim
agama, seseorang tidak harus pergi untuk menolak penyelidikan sejarah itu sendiri. Apa pun
pandangan orang klaim yang dibuat atas nama agama, klaim tersebut harus historis diselidiki.
Apa yang saya mengerti ini menjadi adalah posisi fenomenologis yaitu bahwa teks-teks
keagamaan paling baik dipahami melalui tempat intern atas mana mereka didasarkan, tetapi
hanya dalam konteks latar belakang sejarah eksplisit mereka. kritik sastra mengabaikan konteks
sejarah yang jelas dalam mendukung apa yang Fazlur Rahman melihat sebagai pilihan yang
cukup sewenang-wenang motif Qur'an, yang hanya bisa dipercaya jika kita siap untuk membaca
di antara baris, dan menerima terlalu banyak argumen e silentio.

Fazlur Rahman attacks the literary criticism of Wansbrough, and his Canadian advocate,
Andrew Rippin on a number of specific objections. These are listed from the general to the
more particular. First, the insight that Muslim tradition is the product of a literary tradition is
founded upon the studies of Schacht and Goldziher.

Fazlur Rahman menyerang 'kritik sastra' dari Wansbrough, dan advokat dari Kanada, Andrew
Rippin pada sejumlah keberatan tertentu. Ini tercantum dari umum ke yang lebih khusus.
Pertama, wawasan bahwa tradisi Muslim adalah produk dari tradisi sastra didirikan pada studi
dari Schacht dan Goldziher.

This makes little sense. Firstly, their method is historical, and therefore does not logically
support the literary method. Secondly, the Goldziher/Schacht thesis is read by Fazlur Rahman
as only proving that certain Hadiths originated after other Hadiths, not that the whole corpus
was suspect. Second, it seems to Fazlur Rahman that a historical method is efficacious enough
critically, without looking to replace this with non-historical methods. Once one has given up on
a historical approach, then it is no longer possible to make any sense out of the Quran. One has
to appeal to Wansbroughs notions of different background traditions rather than the
chronological Meccan and Medinan periods to understand differences within the Quran.

Ini masuk akal. Pertama, metode mereka adalah sejarah, dan karena itu tidak logis mendukung
metode sastra. Kedua, tesis Goldziher / Schacht dibaca oleh Fazlur Rahman karena hanya
membuktikan bahwa hadis tertentu berasal setelah hadis lain, tidak seluruh corpus adalah
tersangka. Kedua, tampaknya Fazlur Rahman bahwa metode sejarah berkhasiat cukup kritis,
tanpa melihat mengganti ini dengan metode non-historis. Setelah satu telah menyerah pada
pendekatan historis, maka tidak mungkin lagi untuk masuk akal dari Al-Qur'an. Kita harus
menarik gagasan Wansbrough untuk tradisi latar belakang yang berbeda daripada kronologis
periode Mekah dan Medinah untuk memahami perbedaan dalam Al Qur'an.

what basis can one accept Wansbroughs Quranic motifs retribution, sign, exile and covenant
as the major themes, when one might more naturally reply the five pillars, social justice and
jihad? A concomitant third point is that this relies upon an unreasonable number of
conspiracies. Not only do we not know who has arranged for the Quran to appear to have a
divine origin, but also that the original four themes have been hidden by the five pillars, now
commonly accepted. Fourth, Wansbrough mentions the allusive character of the Quran i.e.
that it assumes knowledge of Jewish prophetic literature.

Atas dasar apa bisa satu menerima Wansbrough ini Alquran motif retribusi, tanda, pengasingan
dan perjanjian sebagai tema utama, ketika salah satu mungkin lebih alami membalas lima pilar,
keadilan sosial dan jihad? Titik ketiga bersamaan adalah bahwa ini bergantung pada jumlah
yang tidak masuk akal konspirasi. Bukan hanya kita tidak tahu siapa yang telah diatur untuk Al-
Qur'an muncul untuk memiliki asal-usul ilahi, tetapi juga bahwa asli empat tema yang telah
disembunyikan oleh lima pilar, sekarang umum diterima. Keempat, Wansbrough menyebutkan
karakter sindiran dari Al-Qur'an yaitu bahwa mengasumsikan pengetahuan sastra profetik
Yahudi.

But the Quran also only alludes to authentically Arabian prophets and history, so what can be
assumed of the audience? For Fazlur Rahman, the Quran is divine commentary on the
Prophets milieu, which included general Semitic influences, and on his struggle. Fazlur Rahman
is not convinced by his antagonists observation that the three separate citations of the story of
Shu`ayb constitute three separate traditions, brought together in the same text.

Tetapi Al-Qur'an juga hanya menyinggung nabi otentik Arab dan sejarah, sehingga apa yang
dapat diasumsikan dari penonton? Untuk Fazlur Rahman, Al-Qur'an adalah komentar ilahi di
lingkungan Nabi, yang termasuk pengaruh Semit umum, dan perjuangannya. Fazlur Rahman
tidak yakin dengan pengamatan antagonis nya bahwa tiga kutipan yang terpisah dari kisah
Shu`ayb merupakan tiga tradisi terpisah, dibawa bersama dalam teks yang sama.

Within a chronological framework, one can understand these to be the anxious exhortation of a
preacher to his people to desist from committing commercial fraud, by citing the story of a
previous prophet. But because Wansbrough has abandoned history as such, he can give no
explanation as to why these should be regarded as three separate traditions, or what were the
sources of these traditions. In other words, it is speculation. Fifth, despite Wansbroughs
sweeping scepticism regarding Muslim tradition, he accepts it where it suits him, for instance
where he refers to the visit of the Muslim delegation to the Nagus. (1984:88-89)

Dalam kerangka kronologis, seseorang dapat memahami ini menjadi nasihat cemas dari
seorang pengkhotbah kepada orang-orang untuk berhenti dari melakukan penipuan komersial,
dengan mengutip kisah nabi sebelumnya. Tetapi karena Wansbrough telah ditinggalkan sejarah
seperti itu, ia tidak bisa memberi penjelasan mengapa ini harus dianggap sebagai tiga tradisi
yang terpisah, atau apa yang menjadi sumber dari tradisi ini. Dengan kata lain, itu adalah
spekulasi. Kelima, meskipun skeptisisme menyapu Wansbrough mengenai tradisi Muslim, ia
menerima di tempat yang cocok untuk dia, misalnya di mana ia mengacu pada kunjungan
delegasi Muslim ke Nagus. (1984: 88-89)

Some of the mistake-spotting that Fazlur Rahman has made is quite substantial in that it
succeeds in pointing out internal inconsistencies in use of evidence, fidelity to the Quran and
reliance upon a massive falsification of Muslim tradition. However, one might quibble that a
positive appreciation of modern literary techniques would have been useful, given the fact that
many of these tools are hardly new to Muslim exegetes (the outstanding example being al-
Zamakshari); but perhaps have been further refined in useful ways in the past 100 years.

Beberapa kesalahan-bercak yang Fazlur Rahman lakukan cukup besar dalam hal itu berhasil
menunjukkan inkonsistensi internal penggunaan bukti, kesetiaan kepada Alquran dan
ketergantungan pada pemalsuan besar tradisi Muslim. Namun, salah satu mungkin berdalih
bahwa apresiasi positif dari teknik sastra modern yang akan berguna, mengingat fakta bahwa
banyak dari alat ini hampir tidak baru untuk mufasir Muslim (contoh luar biasa menjadi al-
Zamakshari); tapi mungkin telah lebih disempurnakan dengan cara yang berguna dalam 100
tahun terakhir.

RAHMAN KONTRA THE SEJARAWAN

Anda mungkin juga menyukai