Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perjalanan sejarah umat manusia telah memasuki apa yang disebut zaman
Postmodern. Namun demikian nampaknya belum ada kesepakatan tentang konsep
Postmodern tersebut. Dalam studi Postmodernisme mengisyaratkan adanya dua hal. Pertama,
Postmodernisme dipandang sebagai keadaan sejarah setelah zaman Modern. Dalam
pengertian ini era modern telah dianggap berakhir dan dilanjutkan dengan zaman berikutnya,
yaitu Postmodern. Kedua, Postmodernisme dianggap sebagai gerakan intelektual yang
mengkritik dan mendekonstruksi paradigma pemikiran pada zaman modern.
Sebagaimana diketahui bahwa modernisme yang sangat mengagungkan kekuatan
rasionalitas, mengusung pandangan hidup saintifik, sekularisme, rasionalisme, empirisisme,
cara befikir dikotomis, pragamatisme, penafian kebenaran metafisis meskipun telah
menghasilkan berbagai sains modern dan teknologi akan tetapi telah menyisakan problem
serius, yakni membawa manusia pada absolutisme, alienasi serta cenderung represif. Oleh
karenanya Postmodern muncul sebagai gugatan atas worldview zaman modern yang bersifat
absolut dan represif ini. Postmodern membawa dan mewacanakan Pluralisme, relativisme
dan penolakan terhadap kebenaran tunggal seperti yang terjadi di zaman modern.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah yang berupa:
1. Bagaimakah sejarah Postmodernisme?
2. Siapakah para tokoh dan teori dasar postmodernisme?
C. Tujuan
1. Untuk memahami sejarah postmodernisme
2. Untuk mengetahui para tokoh dan teori dasar postmodernisme
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam upaya pemetaan wilayah Postmodernisme, menurut Amin Abdullah ada tiga
fenomena dasar yang menjadi tulang pungung arus pemikiran postmodernsme yang ia
istilahkan dengan ciri-ciri strukur fundamental pemikiran Postmodernisme, yaitu:
1. Dekonstruktifisme
Hampir semua bangunan atau konstruksi dasar keilmuan yang telah mapan dalam
era modern, baik dalam bidang sosiologi, psikologi, antropologi, sejarah, bahkan juga dalam
ilmu-ilmu kealaman yang selama ini dianggap baku yang biasa disebut dengan grand
theory- ternyata dipertanyakan ulang oleh alur pemikiran Postmodernisme. Hal itu terjadi
karena grand theory tersebut dianggap terlalu skematis dan terlalu menyederhanakan
persoalan yang sesungguhnya serta dianggap menutup munculnya teori-teori lain yang
barangkali jauh lebih dapat membantu memahami realitas dan pemecahan masalah. Jadi
klaim adanya teori-teory yang baku, standar, yang tidak dapat diganggu gugat, itulah yang
ditentang oleh para pemikir Postmodernisme.
Para protagonis pemikiran Postmodernisme tidak meyakini validitas
konstruksibangunan keilmuan yang baku , yang standar yang telah disusun oleh
genarasi modernis. Standar itu dilihatnya terlalu kaku dan terlalu skematis sehingga tidak
cocok untuk melihat realitas yang jauh lebih rumit. Dalam teori sosiologi modern, para
ilmuan cenderung untuk melihat gejala keagamaan sebagai wilayah pengalaman yang amat
sangat bersifat individu. Pengalaman keagamaan itu tidak terkait dan harus dipisahkan dari
kenyataan yang hidup dalam realitas social yang ada.
Era Postmodernisme ingin melihat suatu fenomena social, fenomena keberagamaan,
realitas fisika apa adanya, tanpa harus terkurung oleh anggapan dasar atau teori baku dan
standar yang diciptakan pada masa modernisme. Maka konstruksi bangunan atau bangunan
keilmuan yang telah dibangun susah payah oleh generasi modernisme ingin diubah,
diperbaiki, dan disempurnakan oleh para pemikir postmodernis. dalam istilah Amin Abdullah
dikenal dengan deconstructionism yakni upaya mempertanyakan ulang teori-teori yang
sudah mapan yang telah dibangun oleh pola pikir modernisme, untuk kemudian dicari dan
disusun teori yang lebih relevan dalam memahami kenyataan masyarakat, realitas
keberagamaan, dan realitas alam yang berkembang saat ini.[5]
2. Relativisme
Thomas S. Kuhn adalah salah seorang pemikir yang men-dobrak keyakinan para
ilmuan yang bersifat positivistik. Pemikiran positivisme memang lebih menggarisbawahi
validitas hukum-hukum alam dan social yang bersifat universal yang dibangun oleh rasio.
Manivestasi pemikiran Postmodernisme dalam hal realitas budaya (nilai-nilai,
kepercayaan agama, tradisi, budaya dan lainnya) tergambar dalam teori-teori yang
dikembangkan oleh disiplin antropologi. Dalam pandangan antropolog, tidak ada budaya
yang sama dan sebangun antara satu dengan yang lain. Seperti budaya Amerika jelas berbeda
dengan budaya Indonesia. Maka nilai-nilai budaya jelas sangat beraneka ragam sesuai dengan
latarbelakang sejarah, geografis, demografis dan lain sebagainya. Dari sinilah nampak, bahwa
nilai-nilai budaya bersifat relatif, dalam arti antara satu budaya dengan budaya yang lain tidak
dapat disamakan seperti hitungan matematis. Dan hal ini sesuai dengan alur pemikiran
postmdernisme yaitu bahwa wilayah budaya, bahasa, cara berpikir dan agama sangat
ditentukan oleh tata nilai dan adat kebiasaan masing-masing.
Dari sinilah nampak jelas, bahwa para pemikir Postmodernisme menganggap bahwa
segala sesuatu itu sifatnya relative dan tidak boleh absolut, karna harus mempertimbangkan
situasi dan kondisi yang ada. Namun konsepsi relativisme ini ditentang oleh Seyyed Hoessein
Nasr, seorang pemikir kontempor. Baginya tidak ada relativisme yang absolut lantaran hal itu
akan menghilangkan normativitas ajaran agama. Tetapi juga tidak ada pengertian absolut
yang benar-benar absolut, selagi nilai-nilai yang absolute itu dikurung oleh historisitas
keanusiaan itu sendiri.[6]
3. Pluralisme
Akumulasi dari ciri pemikiran Postmodernisme yaitu pluralisme. Era pluralisme
sebenarnya sudah diketahui oleh banyak bangsa sejak dahulu kala, namun gambaran era
pluralisme saat itu belum dipahami sepeti era sekarang,Hasil teknologi modern dalam bidang
transportasi dan komunikasi menjadikan era pluralisme budaya dan agam telah semakin
dihayati dan dipahami oleh banyak orang dimanapun mereka berada. Adanya pluralitas
budaya, agama, keluarga, ras, ekonomi, social, suku, pendidikan, ilmu pengetahuan, militer,
bangsa, negara, dan politik merupakan sebuah realitas. Dan berkaitan dengan paradigma
tunggal seperti yang dikedepankan oleh pendekatan kebudayaan barat modernis, develop,
mentalis, baik dalam segi keilmuan, maupun lainnya telah dipertanyakan keabsahannya oleh
pemangku budaya-budaya di luar budaya modern. Maka dalam konteks keindonesiaan
khususnya, dari ketiga ciri pemikiran Postmodernisme, nampaknya fenomena pluralisme
lebih dapat diresapi oleh sebagian besar masyarakat.[7]
a. Ciri Postmodernisme
Dalam analisa sosio-historis, kaitan antara Postmodernisme dan Islam sampai sejauh
ini sedikit sekali mendapat perhatian. Diantara yang sedikit itu adalah karya Akbar S. Ahmed
Postmodernisme bahaya dan Harapan Bagi Islam. Dalam analisanya terdapat cirri-ciri
Postmodernisme yang sangat menonjol, diantaranya sebagai berikut:[15]
1. Berusaha memahami era posmodernis berarti mengasumsikan pertanyaan tentang,
hilangnya kepercayaan pada proyek modernitas; memudarnya kepercayaan keapada agama
yang bersifat transenden dan semakin diterimanya semangat pluralism.
2. Meledaknya industri media massa, dimana kekuatan media massa menjelma bagaikan
agama, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional,
dan tanpa disadari telah diatur oleh media massa, seperti televise dan sinema yang menjadi
instrument kut dakam memproyeksikan kultur dominant dari peradaban global.
3. Munculnya radikaisme etnis dan keagamaan yang diduga sebagai reaksi atau alternatif
ketika orang semakin semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan
filsafatyang dinilai gagal memenuhi janjinyauntuk mebebaskan manusia.
4. Munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta ketertarikan
romantisme dengan masa lalu.
5. semakin menguatnya wilayah perkotaan sebagai sentral kebudayaan
6. semakin terbukanya peluang bagi kelas-kelas untuk mengemukakan pendapat dengan
bebas, karena demokrasi adalah syarat mutlak bagi perkembangan era posmodernisme
7. semakin terbukanya peluangakan berkembangnya eklektisme dan percampuran berbagai
wacana.
8. ide tentang bahasa sederhana terkadang terlewatkan oleh ahli posmodernis, meskipun
mereka mengklaim dapat menjangkaunya.
BAB III
KESIMPULAN
Dari data yang telah diungkapkan diatas, bisa ditarik kesimpulan bahwa :
1. Gambaran tentang Postmodernise jika dipahami sebagai mode pemikiran, maka akan
ditemukan adanya karakteristik yang diantaranya:
a. Dekonstruktif
b. Relativisme
c. Pluralisme
Abdullah, Amin, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Ahmed, Akbar S., Postmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam terj. M. Sirozi, Bandung:
Mizan, 1993
Arifin, Syamsul, et.all. Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan. Yogyakarta: SIPRESS,
1996.
Hanafi, Hassan, Membumikan Tafsir Revolusioner, terj. Yudian Wahyudi dkk, Yogyakarta: Titian
Ilahi Press, tt.
Hanafi, Hassan, Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, Jakarta: Paramadina, 2000.
Hidayat, Komarudin, Melampaui Nama-nama; Islam dan Postmodernisme, Kalam, Jurnal
Kebudayaan edisi 1 (1994).
Hum, Makhrus Munajat, M., Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004.
Kamal, Zainul, Islam Negara dan Civil society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer,
Kumpulan Karangan, Jakarta: Paramadina, 2005.
Nata, Abuddin , Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Nazir, Muhammad, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.
Rahmat, Jalaluddin. Islam Aktual: Refleksi-Sosial Seorang Cendekiawan Muslim. Bandung: Mizan,
1998
Shimogaki, Kazuo, Kiri Islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme, terj. M. Imam Aziz dkk.,
Yogyakarta: LKiS, 1993.
Suyoto dkk. Postmodernisme dan Masa depan Peradapan, Yogjakarta: Penerbit Aditya Media, 1994.
Sihabuddin, Postmodernisme dalam Islam dan Respon Masyarakat Muslim AKADEMIKA,
Vol.10.No.2 Maret 2002, Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Siswanto, Andi. Menyangkal Totalisme dan Fungsionalisme: Postmodernisme dalam arsitektur dan
Desain Kota, Kalam, Jurnal Kebudayaan edisi 1 (1994).
[14] Makhrus Munajat, M. Hum, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Logung
Pustaka, 2004), hlm. 113.
[19] Syamsul
Arifin, et.all., Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan (Yogyakarta:
SIPRESS, 1996), hlm.152-153
Resume Buku FILSAFAT DAN TEORI HUKUM POST MODERN ( Dr. Munir Fuady, S.H, M.H, LL.M )
Guna Memenuhi Tugas Terstruktur I
Disusun Oleh :
LOVETYA
Universitas Brawijaya
Fakultas Hukum
Malang
2008
BAB I
Dunia Hukum Sedang Bergejolak
Dunia akan kacau seandainya hukum tidak ada, tidak berfungsi atau kurang berfungsi. Ini adalah suatu kebenaran
yang telah terbukti dan diakui bahkan sebelum manusia mengenal peradaban sekalipun. Mengapa masyarakat Amerika
Serikat sampai membenarkan pengiriman putra-putra bangsanya untuk bergerilya dan mempertaruhkan nyawanya di hutan
tropis dan rawa rawa dalarn Perang Vietnam pada awal dekade 1960-an? Mengapa kerusakan lingkungan terjadi di mana-
mana? Dan yang lebih penting lagi, mengapa semua masalah tersebut dan luluh lantak seperti itu terjadi pada abad ke-20 ini,
di mana ilmu pengetahuan dan teknologi sedang mengkiaim dirinya berada di puncak kemajuannya di atas menara gading
itu? Semua ini memperlihatkan.dengan jelas betapa ilmu hukum dan ilmu sosial serta ilmu budaya sudah gagal dan lumpuh
sehingga sudah tidak dapat menjalankan fungsinya lagi sebagai pelindung dan pemanfaat terhadap peradaban dan eksistensi
manusia di bumi ini.
Karena itu, dalam bidang ilmu nonsains, bahkan juga kemudian dalam ilmu sains itu sendiri, terdapat gejolak
gejolak dalam bentuk pembangkangan, yang semakin lama tensinya semakin tinggi. Gejolak tersebut yang kemudian
mengkristal menjadi protes yand akhirnya melahirkan aliran baru dengan cara pandang baru terhadap dunia, manusia, dan
masyarakat dbngan berbagai atributnya itu. Karena sains juga mempunyai watak anarkis, maka pada awal mulanya setiap
pembangkangan dianggap sebagai konsekuensi dari perkembangan sains sehingga pembangkangan tersebut dianggap wajar-
wajar saja.
Science is an essentially anarchistic enterprise: Theoretical anarchism is more humanitarian and more likely to encourage
progress than its law-and-order alternatives (Paul Feyerabend, 1982: 17).
Bagi para penganut ajaran postmodem, perbedaan merupakan inti dari segala kebenaran. Karena itu, mereka
tidak mempercayai kepada hal-hal yang universal, harmonis, konsisten, dan transendental. Tidak ada musyawarah-
musyawarahan dalarn mencari kebenaran dan menghadapi realitas. Yang ada hanyalah perbedaan-perbedaan, dan perbedaan-
perbedaan tersebut harus selalu dihormati.
Aliran postmodern ini masuk pula ke dalam bidang hukum, yang bersama-sama dengan paham terakhir di bidang
hukum, saat itu, yaitu paham realisme hukum serta bersama pula dengan paham kritis radikal seperti aliran Frankfurt di
Eropa, mereka bersama-sama mempolakan suatu aliran baru dalam bidang hukum, yang tentu saja radikal, yaitu yang
disebut dengan aliran hukurn kritis (critical legal studies). Seorang pelopor utama dari aliran critical legal studies, yaitu
Roberto Mangabeira Unger menyatakan bahwa:
the critical legal studies movement has undermined the central ideas of modem legal though and put another conception of
law in their place
(Roberto Mangabeira Unger, 1986: 1).
Dalam berbagai bidang ilmu terdapat berbagai variasi terhadap visi dan perkembangan aliran terakhirnya di abad
kedua puluh itu. Ada yang secara langsung melawan paham sebelumnya berupa paham positivisme yang sangat dipengaruhi
oleh pola pikir ilmiah rasional berdasarkan ilmu dan teknologi. Aliran-aliran hukum yang sangat dipengaruhi oleh ilmu
pengetahuan dengan cara berpikir dengan menggunakan rasio yang abstrak-silogisme sebagaimana yang dilakukan paharn
positivisme dari Agust Gornte, ajaran hukum. murni dan grundnorm dari Hans Kelsen dari Jerman, ataulbun ajaran hukum
alam, bahkan ajaran-ajaran seperti dari Durkheirn, Von Jhering, Max Weber, dan Gustav Radbruch sebelumnya sudah
dilabrak habis oleh aliran realisme hukum pada, sekitar dekade 1930-an. Jadi, tidak benar jika ilmu hukum selalu bersifat
konservatif dan cenderung mempertahankan status quo sebagaimana yang dituding oleh banyak orang.
Aliran realisme hukum ini melakukan pembangkangan terhadap teori dan konsep hukum yang ada dengan
mengajukan banyak pertanyaan penting terhadap hukum. Hanya saja, eksistensi kehidupan aliran. realisme hukum tersebut
kemuthan memang dalarn keadaan megap-megap dan dunia hukum menjadi semakin redup setelah meninggalnya para
pelopor dari aliran realisme hukum itu, terutama dengan meninggalnya Karl Llewellyn, Joreme Frank, dan Felix Cohen.
Akan tetapi, kemudian dunia hukum kembali bersinar lagi, terutama dengan munculnya aliran baru pada akhir
abad ke~20 yang disebut dengan critical legal studies.
Aliran critical legal studies merupakah suatu aliran yang bersikap anti liberal, antiobiektivisme, antiformalisme,
dan antikemapanan dalam teori dan filsafat hukum, yang dengan dipengaruhi oleh pola pikir postmodem, neomarxism, dan
realisme hukum, secara radikal mendobrak paham hukum yang sudah ada sebelumnya, yang menggugat kenetralan dan
keobjektifan peran dari hukum, hakim, dan penegak hukum lainnya terutama dalam hal keberpihakan hukum dan penegak
hukum terhadap golongan yang kuat/mayoritas/berkuasa/kaya dalam rangka mempertahankan hegemoninya, atau
keberpihakan hukum terhadap politik dan ideologi tertentu, di mana aliran critical legal studies ini dengan menolak unsur
kebenaran objektif dari ilmu pengetahuan hukum, dan menolak-pula kepercayaan terhadap unsur keadilan, ketertiban, dan
kepastian hukum yang objektif, mereka mengubah haluan hukurn untuk kernudian digunakan sebagai alat untuk
menciptakan emansipasi dalam dunia politik, ekonomi, dan sosial budaya.
Modernisme mengakibatkan militerisme. Karena unsur religius dan moral tidak berdaya, manusia cenderung
menggunakan kekuatan kekuasaan sehingga perang crengan senjata canggih, kekerasan, ataupun militerisme tidak terelakan.
Meskipun penggunaan agama secara fundamentalis juga dapat mengakibatkan hat yang sama afas nama perjuangan
menegakkan agama secara kaku.
Sebagai konsekuensi penggunaan kekuasaan secara koersif, maka timbullah kembali paham tribalisme, yang hanya
mementingkan suku atau kelompoknya sendri.
(I. Bambang Sugiharto, 1996:30).
Perkembangan dunia modern yang sarat dengan ilmu dan teknologi dan dengan cara berpikir yang sekuler dan
kapital liberalisme, ternyata telah membawa petaka berupa kehancuran planet bumi sekaligus merupakan ancaman
terhadap kehidupan dan peradaban manusia. Karena itu, di mana-mana dewasa ini semangat menyelesaikan segala persoalan
manusia dengan mengikutsertakan pertimbangan spiritual sudah mulai bergema lagi. Faktor agama yang suclah lama tidur
lelap karena dipandang hanya sebagai candu yang meninabobokan masyarakat, diundang untuk turun tangan kembali. Jika
pada masa-masa lalu ternyata agama dapat bersikap aktif dan komunikatif, dengan adaptasi-adaptasi tertentu, diharapkan
tentunya agama tersebut dapat memainkan perannya kembali.
Relativisme
Merupakan suatu paham yang mengajarkan bahwa semua putusan terhadap nilai bersifat relatif terhadap perspektif
dan tujuan yang terbatas. Jadi, tidak ada tempat berpijak yang secara objektif menentukan bahwa sesuatu itu secara normatif
benar atau tidak.sekarang zaman postmodern telah datang, yang akan menjungkirbalikkan hampir semua asumsi dan pola
pikir zaman modern yang terkesan congkak (arogan) tersebut.
Postmodern merupakan penolakan yang radikal terhadap pernikiran modern. Sebagaimana diketahui bahwa paham
falsafah modern ini dibentuk oleh Immanuel Kant, Rene Descartes, dan David Hume. Meskipun harus diakui bahwa
pemikiran pada era modern tersebut telah juga melakukan lompatan-lompatan, terutama dengan berkembangnya secara pesat
ilmu pengetahuan dan teknologi, yang menggantikan konsep pramode prailmiah yang sangat menekankan pada kepercayaan,
mitos, takhayul, cerita-cerita primitif, dan hal-hal yang tidak logis lainnya.
BAB II
Sketsa Post Modern : Porak Porandanya Pengetahuan
Istilah postmodern sekarang sangat sering digunakan, tetapi lebih sering lagi disalahgunakan. Sangat sulit
mendefinisikan postmodern dalam satu atau dua kalimat saja karena postmodern pada hakikatnya berisikan aneka ragam,
saling berserakan, dan sering kali isinya saling bertolak belakang, bahkan terkesan seperti kapal pecah sehingga suatu
definisi untuk itu memang tidak dibutuhkan. Itulah dia watak postmodem, suatu ungkapan sangat populer, tetapi tanpa
definisi yang jelas.
Di samping itu, bagi kaum postmodem, perbedaan merupakan inti dari segala kebenaran. Karena itu,
merekatidak mempercayai pada hal-hal yang universal, harmonis, dan konsisten. Tidak ada musyawarah musyawarahan
dalarn mencari kebenaran dan menghadapi realitas. Yang ada hanyalah perbedaan-perbedaan, dan perbedaan-perbedaan
tersebut harus selalu dihormati.
Kaum postmodern percaya bahwa tidak ada suatu yang transenden dalam realitas. Nietzsche mengatakan bahwa
Tuhan sudah mati. Menurut paharn postmodem, realitas yang sama dapat ditafsirkan secara berbeda beda oleh pihak yang
berbeda beda. Karena itu, tidak mengherankan jika Jacques Derrida, seorang pelopor aliran postmodem, mengajak manusia
untuk berhenti mencari kebenaran (sebagaimana yang dilakukan oleh kaurn pencerahan), bahkan seyogianya kita membuang
pengertian kebenaran tersebut. Tidak ada kebenaran yang absolut, universal, dan permanen. Yang ada hanyalah kebenaran
menurut suatu komunitas tertentu saja. Yang diperlukan bukanlah usaha mencari kebenaran, melainkan yang diperlukan
adalah percakapan dan penafsiran yang terus menerus terhadap suatu realitas, tanpa perlu memikirkan suatu kebenaran
yang objektif.
Paham postmodem juga menolak teori korespondensi, yang menyatakan bahwa suatu kebenaran baru ada jika
adanya hubungan yang selaras antara. statement yang diucapkan dan realitas/fakta. Menurut teori korespondensi:
Jika Anda berkata ada sebuah roti apel di lemari es, saya perlu melihat ke dalam lemari es itu untuk membuktikan apakah
perkataan Anda benar.
(Stanley J. Gren-i, 2001: 69).
Oleh kaum realis, teori korespondensi ini dianggap berlaku universal dimana-mana. Menurut kaum realis, pikiran
manusia, dapat mengetahui suatu realitas secara, utuh sehingga. dunia dapat digambarkan secara. utuh, lengkap, dan tepat
termasuk menggambarkan rahasia alam semesta, melalui ilmu pengetahuan. Dan kesemuanya itu dapat digambarkan dengan
suatu bahasa. yang tepat. Dengan demikian, menurut kaurn postmodem, bahasa. berfungsi sebagai permainan catur, yang
memiliki aturan bagaimana seharusnya, suatu pion digerakkan. Jacli, bahasa. ticlak dapat begitu saja clihubungkan dengan
suatu realitas karena bahasa ticlak menggambarkan realitas secara tepat clan objektif, tetapi bahasa hanya menggambarkan
dunia. dengah berbagai cara. bergantung konteks dan keinginan yang menggunakan bahasa. tersebut.
Dengan demikian, aliran critical legal studies, yang antara lain merupakan refleksi aliran postmodem ke dalam
bidang hukum mencoba memberikan suatu jawaban atau minimal merupakan suatu kritikan terhadap kenyataan bahwa
hukum pada akhir abad ke-20 memang timpang, baik dari segi tataran teoritis, filsafat, maupun dalam tataran praktisnya. Di
samping itu, dengan pendekatan secara induktif, bergerak dari kenyataan hukum yang diterapkan dalam masyarakat,
menyebabkan para pemikir hukum pada akhir abad ke-20 terpaksa harus mengakui beberapa premis hukum baru, yang
memporak-porandakan premis hukum yang lama.
BAB III
Pengaruh Dari Realisme Hukum
The life of the law has not been logic, it has been experience the law can not dealt with as if it contained only the axioms
and corollaries of a book of mathematics.,
(Oliver Wendell Holmes)
Karena masuknya ilmu-ilmu positif ke dalam bidang hukum menjadikan hukum seperti kerangka-kerangka yang
mati dan tidak berjiwa, maka keadilan yang sebenarnya merupakan tujuan utama bagi hukum, semakin jauh dan kenyataan.
Unsur-unsur antropologis sama sekali diabaikan. Nilai-nilai, termasuk nilai keadilan, kebenaran, perlindungan, rasa sayang,
empati, dan. lain-lain tidak pernah lagi dipertimbangkan oleh hukum. Hakim dipaksa menjadi semacam robot-robot. Dari
sini timbul gagasan untuk menggantikan hakim dengan mesin-mesin komputer saja.
BAB IV
Critical Legal Studies :
Latar Belakang dan Perkembangan
BAB VI
Critical Legal Studies Tentang
Kekuasaan dan Masyarakat
Bagaimanapun juga, hukum mengatur kepentingan masyarakat. Karena itu, tentu saja, peranan hukum dalammasyarakat
yang teratur seharusnya cukup penting. Tidak bisa dibayangkan betapa kaeaunya masyarakat jika hukurn tidak berperan.
Masyarakat tanpa hukum akan merupakan segerombolan serigala, di mana yang kuat akan memangsa yang lemah,
sebagaimana pernah disetir oleh ahli pikir terkemuka, yaitu Thomas Hobbes beberapa ratus tahun yang silam. Homo Homini
Lupus. Dan, yang kalah bersaing dan fidak bisa beradaptasi dengan perkembangan alam akan tersisih dan dibiarkan tersisih,
sebagaimana disebut oleh Charles Darwin dalam teori seleksi alamnya (natural selection), di mana yang kuat yang akan
survive (the fittest of survival). Karena itu, intervensi hukurn untuk mengatur kekuasaan dan masyarakat merupakan conditio
sine qua non (syarat mutlak), Dalam hal ini, hukum akan bertugas untuk mengatur dan membatasi bagaimana kekuasaan
manusia tersebut dijalankan sehingga tidak menggilas oranglain yang tidak punya kekuasaan.
BAB VII
Critical Legal Studies Menurut Roberto Unger
PENDAHULUAN
Istilah Postmodernisme sangat membingungkan, bahkan meragukan. Asal usulnya
adalah dari wilayah seni : Musik, seni rupa, roman dan novel, drama, fotrografi, arsitektur.
Dan dari situ merembet menjadi istilah mode yang dipakai oleh beberapa wakil dari beberapa
ilmu. Dan akhirnya istilah itu oleh filosof Prancis, Jean-Francois Lyotard, dimasukkan ke
dalam kawasan filsafat dan sejak itu diperjualbelikan sebagai sebuah isme baru.
Istilah Postmodernisme membingungkan karena memberikan kesan bahwa kita
berhadapan dengan sebuah aliran atau paham tertentu, seperti Marxisme, eksistensialisme,
kritisisme, idealisme, dan lain-lain. Padahal para pemakai label itu biasanya tidak berbicara
tentang postmodernisme, melainkan tentang pemikiran pascamodern. Misalnya Rorty
atau Derrida, amat beraneka ragam cara pemikirannya. Di Indonesia, sesuai kebiasaan, kita
malah malas mengungkapkan seluruh kata postmodernisme dan menggantikannya dengan
posmo. Sesuai dengan gaya berfikir mitologis dan parsial dimana yang penting simbolnya
saja, bukan apa yang sebenarnya dimaksud.
Padahal pemikiran posmo itu ada banyak dan tidak ada kesatuan paham. Namun
benar juga, ada sesuatu yang mempersatukan pendekatan-pendekatan itu, atau lebih tepatnya
ada dalam filsafat modern salah satu kecenderungan yang muncul dalam bentuk-bentuk
berbeda, namun ada kesamaan wujudnya, dan barangkali itulah kesamaan segala macam gaya
berfikir yang ditemukan unsur posmo- nya itu.
Dapat dikatakan bahwa postmodernisme lebih merupakan sebuah suasana, sebuah
naluri, sebuah kecenderungan daripada sebuah pemikiran eksplisit. Kecenderungan itu lalu
memang mendapat ekspresi melalui pelbagai sarana konseptual yang sangat berbeda satu
sama lian. Adalah jasa istilah postmodernisme bahwa dengan demikian kita memperoleh
sebuah payung konseptual untuk melihat kesamaan di antara mereka itu yang umumnya
justru mencolok ketidaksanaannya.
Untuk menghindari kebingungan yang lebih lanjut, maka penulis akan membahas
postmodernisme secara lebih gamblang dalam pembahasan makalah ini. Setidaknya ada tiga
unsur atau elemen yang akan dibahas lebih rinci dalam pembahasan nanti. Yang pertama
adalah mengenai sejarah ataupun konsep dasar dari postmodernisme itu sendiri. Yang kedua
adalah mengenai ciri atau indikator daripada postmodernisme. Serta yang ketiga adalah
mengenani fenomena faktual yang terkait dengan postmodernisme.
PEMBAHASAN
B. INDIKATOR POSTMODERNISME
Akbar S. Ahmed dalam bukunya Posmodernisme dan Islam menyebutkan delapan
karakter sosiologis postmodernisme yang menonjol, yaitu :
Satu, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas;
memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi); dan
diterimanya pandangan pluralisme relativisme kebenaran. Dua, meledaknya industri media
massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem indera, organ dan saraf kita, yang pada
urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah
menjelma bagaikan agama atau tuhan sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi
ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa,
semisal program televisi. Tiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini
muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap
kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk
membebaskan manusia, tetapi sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan. Empat, munculnya
kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan rasionalisme
dengan masa lalu. Lima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat
kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi
menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat negara maju sebagai titik
pusat yang menentukan gerak pada lingkaran pinggir. Enam, semakin terbukanya peluang
bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas.
Dengan kata lain, era postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi.
Tujuh, era postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya
eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas,
sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara
eksklusif. Delapan, bahasa yang digunakan dalam waacana postmodernisme seringkali
mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut era
postmodernisme banyak mengandung paradoks.
Sedangkan menurut Pauline Rosenau mengatakan bahwa, postmodernisme
menganggap modernisme telah gagal dalam beberapa hal penting antara lain :
Pertama, modernisme gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan dramatis sebagaimana
diinginkan para pedukung fanatiknya. Kedua, ilmu pengetahuan modern tidak mampu
melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas seperti tampak
pada preferensi-preferensi yang seringkali mendahului hasil penelitian. Ketiga, ada semacam
kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern. Keempat, ada
semacam keyakinan yang sesungguhnya tidak berdasar, bahwa ilmu pengetahuan modern
mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia dan lingkungannya. Ternyata
keyakinan ini keliru manakala kita menyaksikan bahwa kelaparan, kemiskinan, dan
kerusakan lingkungan terus terjadi menyertai perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi.
Dan Kelima, ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisik
eksistensi manusia karena terlalu menekankan pada atribut fisik individu.
Postmodernisme muncul untuk meluruskan kembali interpretasi sejarah yang
dianggap otoriter. Untuk itu postmodernisme menghimbau agar kita semua berusaha keras
untuk mengakui adanya identitas lain (the other) yang berada di luar wacana hegemoni.
Postmodernisme mencoba mengingatkan kita untuk tidak terjerumus pada kesalahan
fatal dengan menawarkan pemahaman perkembangan kapitalisme dalam kerangka genealogi
(pengakuan bahwa proses sejarah tidak pernah melalui jalur tunggal, tetapi mempunyai
banyak sentral)
Postmodernisme mengajak kaum kapitalis untuk tidak hanya memikirkan hal-hal
yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas dan keuntungan saja, tetapi juga melihat
pada hal-hal yang berada pada alur vulgar material yang selama ini dianggap sebagai
penyakit dan obyek pelecehan saja.
Postmodernisme sebagai suatu gerakan budaya sesungguhnya merupakan sebuah oto-
kritik dalam filsafat Barat yang mengajak kita untuk melakukan perombakan filosofis secara
total untuk tidak lagi melihat hubungan antar paradigma maupun antar wacana sebagai suatu
dialektika seperti yang diajarkan Hegel. Postmodernisme menyangkal bahwa kemunculan
suatu wacana baru pasti meniadakan wavana sebelumnya. Sebaliknya gerakan baru ini
mengajak kita untuk melihat hubungan antar wacana sebagai hubungan dialogis yang
saling memperkuat satu sama lain.
Berkaitan dengan kapitalisme dunia misalnya, Postmodenisme menyatakan bahwa
krisis yang terjadi saat ini adalah akibat keteledoran ekonomi modern dalam beberapa hal,
yaitu:
PENUTUP
Menurut Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam
istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas
masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung
mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas: akumulasi pengalaman
peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa,
kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti
karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme,
egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal
dan rasionalitas.
Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan
pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Seperti Baudrillard
(1990:72) yang memahami gerakan atau impulsi yang besar, dengan kekuatan positif, efektif
dan atraktif mereka (modernis) telah sirna. Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan
penjelasan yang sangat terbatas (lokal naratif) atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun,
hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang
mereka terapkan. Sebagaimana yang akan kita lihat, setidaknya beberapa postmodernis
menciptakan narasi besar sendiri. Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis
Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang
menyifatkan posisi tersebut.
Ketiga, pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar
pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal,
kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan
pengalaman mistik. Seperti yang terlihat, dalam hal ini Jean Baudrillard (1988) benar,
terutama pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic exchange).
Keempat, teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan
batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan
teori, image dan realitas. Kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung
mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa yang lain mungkin
melakukan hal yang sama. Contohnya Baudrillard (1988) menguraikan teori sosial dalam
bentuk fiksi, fiksi sains, puisi dan sebagainya.
Kelima, banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti
dan bernalar (Nuyen, 1992:6). Tujuan pengarang postmodern acapkali mengejutkan dan
mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan
argumentatif. Hal itu juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis.
Akhirnya, postmodern bukannya memfokuskan pada inti (core) masyarakat modern,
namun teoritisi postmodern mengkhususkan perhatian mereka pada bagian tepi (periphery).
Seperti dijelaskan oleh Rosenau (1992:8) bahwa perihal apa yang telah diambil begitu saja
(taken for granted), apa yang telah diabaikan, daerah-daerah resistensi, kealpaan,
ketidakrasionalan, ketidaksignifikansian, penindasan, batas garis, klasik, kerahasiaan,
ketradisionalan, kesintingan, penolakan, ketidakesensian, kemarjinalan, keperiferian,
ketiadaan, kelemahan, kediaman, kecelakaan, pembubaran, diskualifikasi, penundaan,
ketidakikutan. Dari beberapa pendapat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa teoritisi
postmodern menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) daripada
persatuan (unity).
Secara lebih umum, Bauman (1992:31) menetapkan kebudayaan postmodern antara
lain: pluralistis, berjalan di bawah perubahan yang konstan, kurang dalam segi otoritas yang
mengikat secara universal, melibatkan sebuah tingkatan hierarkis, didominasi oleh media dan
pesan-pesannya, kurang dalam hal kenyataan mutlak karena segala yang ada adalah tanda-
tanda, dan didominasi oleh pemirsa. Lebih lanjut Bauman (1992:98) menjelaskan bahwa
postmodernitas berarti pembebasan yang pasti dari kecenderungan modern khusus untuk
mengatasi ambivalensi dari mempropagandakan kejelasan tunggal akan keseragaman.
Postmodernitas adalah modernitas yang telah mengakui ketidakmungkinan terjadinya proyek
yang direncanakan semula. Postmodernitas adalah modernitas yang berdamai dengan
kemustahilannya dan memutuskan, tentang baik dan buruknya, untuk hidup dengannya.
Praktik modern berlanjut sekarang, meskipun sama sekali tanpa objektif (ambivalensi) yang
pernah memicunya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa postmodernitas mengkhawatirkan namun
demikian masih menggembirakan. Atau dengan kata lain, postmodernitas penuh dengan
sebuah inomic-tercerabut antara kesempatan yang ia buka dan ancaman-ancaman yang
bersembunyi dibalik setiap kesempatan. Juga kebanyakan kaum postmodernis memiliki,
sebagaimana kita akan ketahui, sebuah pandangan yang jauh lebih pesimistis atas masyarakat
postmodern. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran Jameson (1989) bahwa masyarakat
postmodern tersusun atas lima elemen utama, antara lain: (1) masyarakat postmodern
dibedakan oleh superfisialitas dan kedangkalannya; (2) ada sebuah pengurangan atas emosi
atau pengaruh dalam dunia postmodern; (3) ada sebuah kehilangan historisitas, akibatnya
dunia postmodern disifatkan dengan pastiche; (4) bukannya teknologi-teknologi produktif,
malahan dunia postmodern dilambangkan oleh teknologi-teknologi reproduktif dan; (5) ada
sistem kapitalis multinasional.
DAFTAR PUSTAKA
Agger, Ben. 2003. Teori Sosial kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Kreasi Wacana: Yogyakarta
Ahmed, Akbar S. 1992. Postmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam. Mizan: Bandung
Jones, Pip. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-Modernisme.
Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
Ritzer, George. 2004. Teori Sosial Postmodern. Juxtapose bekerjasama dengan Kreasi Wacana:
Yogyakarta
Santoso, Listiyono. 2009. Postmodernisme: Kritik atas Epistemologi Modern (dalam Epistemologi
Kiri). Ar Ruzz Media Cetakan Ke-VI
http://librarianship-umir.blogspot.com/2010/08/pendekatan-postmodernisme-dalam.html#uds-search-
results diakses pada tanggal 27 Agustus 2010
http://umum.kompasiana.com/2009/07/07/postmodernisme-101/ diakses pada tanggal 27 Agustus 2010
http://learning-of.slametwidodo.com/?s=modernisme diakses pada tanggal 27 Agustus 2010