Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filsafat sangat penting karena harus dipertimbangkan dalam mengambil
keputusan tentang setiap aspek kurikulum. Untuk setiap keputusan harus ada
dasarnya. Filsafat adalah cara berpikir yang sedalam-dalamnya, yakni sampai
akarnya tentang hakikat sesuatu.
Ada orang yang berpendapat bahwa guru tak perlu mempelajari filsafat,
karena sangat abstrak dank arena itu tidak praktis dan tidak ada manfaatnya
bagi pekerjaannya. Pendirian itu terlampau picik, karena apa yang dilakukan
guru harus didasarkan pada apa yang dipercayai, diyakininya sebagai benar dan
baik. Filsafat itu antara lain menentukan kepercayaan kita tentang: apakah
hakikat manusia, khususnya hakikat anak dan sifat-sifatnya, apakah sumber
kebenaran dan nilai-nilai yang hendaknya menjadi pegangan hidup kita,
tentang apakah yang baik, apakah hidup yang baik, apakah yang sebaiknya
diajarkan kepada anak-didik, apakah peranan sekolah dalam masyarakat,
apakah peranan guru dalam proses belajar mengajar, dan lain-lain.
BAB II

ISI

Filsafat berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu dari kata philos dan
sophia. Philos, artinya cinta yang mendalam, dan sophia adalah kearifan atau
kebijaksanaan. Dengan demikian, filsafat secara harfiah dapat diartikan sebagai
cinta yang mendalam akan kearifan. Secara populer filsafat sering diartikan
sebagai pandangan hidup suatu masyarakat atau pendirian hidup bagi individu
(Wina Sanjanya, 2008: 42)

Kurikulum 2013 dikembangkan berdasarkan ketentuan yuridis yang


mewajibkan adanya pengembangan kurikulum baru, landasan filosofis, dan
landasan empiris. Landasan yuridis merupakan ketentuan hukum yang
dijadikan dasar untuk pengembangan kurikulum dan yang mengharuskan
adanya pengembangan kurikulum baru. Landasan filosofis adalah landasan
yang mengarahkan kurikulum kepada manusia apa yang akan dihasilkan
kurikulum. Landasan teoritis memberikan dasar-dasar teoritis pengembangan
kurikulum sebagai dokumen dan proses. Landasan empiris memberikan arahan
berdasarkan pelaksanaan kurikulum yang sedang berlaku di lapangan. Dalam
makalah ini kita membahas mengenai landasan filosofis.

Secara singkat, kurikulum adalah untuk membangun kehidupan bangsa


masa kini dan masa yang akan datang, yang dikembangkan dari warisan nilai
dan prestasi bangsa di masa lalu, serta kemudian diwariskan serta
dikembangkan untuk kehidupan masa depan. Ketiga dimensi kehidupan bangsa
(masa lalu-masa sekarang-masa yang akan datang) menjadi landasan filosofis
pengembangan kurikulum. Pewarisan nilai dan prestasi bangsa di masa lampau
memberikan dasar bagi kehidupan bangsa dan individu sebagai anggota
masyarakat, modal yang digunakan dan dikembangkan untuk membangun
kualitas kehidupan bangsa dan individu yang diperlukan bagi kehidupan masa
kini, dan keberlanjutan kehidupan bangsa dan warga negara di masa
mendatang. Dengan tiga dimensi kehidupan tersebut, kurikulum selalu
menempatkan peserta didik dalam lingkungan sosial-budayanya,
mengembangkan kehidupan individu peserta didik sebagai warga negara yang
tidak kehilangan kepribadian dan kualitas untuk kehidupan masa kini yang
lebih baik, dan membangun kehidupan masa depan yang lebih baik lagi.

Pada pengembangan kurikulum 2013, Pancasila sebagai falsafah bangsa


dan negara menjadi sumber utama dan penentu arah yang akan dicapai dalam
kurikulum. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah nilai-nilai dasar
yang dikembangkan dalam kurikulum. Cara pandang bangsa Indonesia yang
tercantum dalam rumusan Pancasila menjadi pedoman dalam pengembangan
kualitas bangsa Indonesia (Abdul Majid dan Chaerul Rochman, 2014: 11).

Berdasarkan Pancasila, kurikulum yang dikembangkan atas dasar filosofi


adalah sebagai berikut.

a. Kurikulum berakar pada budaya dan bangsa Indonesia (Dewantara, 1936).


Berdasarkan filosofi ini, kurikulum memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk belajar dari budaya setempat dan nasional tentang
berbagai nilai yang penting dan memberikan kesempatan untuk
berpartisipasi dalam mengembangkan nilai-nilai budaya setempat dan
nasional menjadi nilai budaya yang digunakan dalam kehidupan sehari-
hari.
b. Kurikulum dikembangkan berdasarkan filosofis eksperimentalisme yang
mengatakan bahwa proses pendidikan adalah upaya untuk mendekatkan
apa yang dipelajari di sekolah dengan apa yang terjadi di masyarakat.
c. Filosofis rekonstruksi sosial yang memberikan dasar bagi pengembangan
kurikulum untuk menempatkan peserta didik sebagai subjek yang peduli
pada lingkungan sosial, alam, dan lingkungan budaya.
d. Filosofis esensialisme dan perennialisme yang menempatkan kemampuan
intelektual dan berpikir rasional sebagai aspek penting yang harus menjadi
kepedulian kurikulum untuk dikembangkan. Manusia yang cerdas dan
intelektual adalah manusia yang terdidik dan sekolah harus menjadi centre
for excellence, di mana kurikulum mempunyai tugas untuk
mengembangkan potensi manusia dan aspek intelektual dan rasional.
e. Filosofis eksistensialis dan romantic naturalism, yaitu aliran filosofi yang
memandang proses pendidikan adalah untuk mengembangkan rasa
kemanusiaan yang tinggi, kemampuan berinteraksi dengan sesame dalam
mengangkat harkat kemanusiaan dan kebebasan berinteraksi dan berkreasi
(Nasution, 2011: 23-25).

Sebagai suatu landasan fundamental, filsafat memegang peranan penting


dalam proses pengembangan kurikulum. Ada empat fungsi filsafat dalam
proses pengembangan kurikulum. Pertama, filsafat dapat menentukan arah dan
tujuan pendidikan. Dengan filsafat sebagai pandangan hidup atau value system,
maka dapat ditentukan mau dibawa ke mana siswa yang kita didik itu. Kedua,
filsafat dapat menentukan isi atau meteri pelajaran yang harus diberikan sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai. Ketiga, filsafat dapat menentukan strategi
atau cara pencapaian tujuan. Filsafat sebagai sistem nilai dapat dijadikan
pedoman dalam merancang kegiatan pembelajaran. Keempat, melalui filsafat
dapat ditentukan bagaimana menentukan tolak ukur keberhasilan proses
pendidikan (Wina Sanjanya, 2008: 43).

a. Filsafat dan Tujuan Pendidikan


Dalam arti luas, pendidikan dapat diartikan sebagai proses pengembangan
semua aspek kepribadian manusia, baik aspek pengetahuan, nilai dan sikap,
maupun keterampilan. Hummel (1977), mengemukakan ada tiga hal yang
harus diperhatikan dalam mengembangkan tujuan pendidikan:
1. Autonomy. Gives individuals and groups the maximum awareness,
knowledge and ability so that they can manage their personal and
collective life to the greates possible extent.
2. Equity. Enable all citizens to participate in cultural and economic life by
coffering them an equal basic education.
3. Survival. Permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage
over the generation, but also guide education towards mutual
understanding and towards what has become a worldwide realizations of
common destiny (Wina Sanjanya, 2008: 43-44)

Tujuan pendidikan harus mengandung ketiga hal di atas. Pertama,


autonomy, artinya member kesadaran, pengetahuan dan kemampuan yang
prima kepada setiap individu dan kelompok untuk dapat mandiri dan hidup
bersama dalam kehidupan yang lebih baik. Kedua, equity, artinya pendidikan
harus dapat memberi kesempatan kepada seluruh warga masyarakat untuk
dapat berpartisipasi dalam kebudayaan dan ekonomi. Ketiga, survival, artinya
pendidikan bukan saja harus dapat menjamin terjadinya pewarisan dan
memperkaya kebudayaan dari generasi ke generasi akan tetapi juga harus
memberikan pemahaman akan saling ketergantungan antara manusia.

Pengebangan ketiga aspek itu diarahkan agar kehidupan manusia lebih


baik, lebih bermakna, bertanggung jawab, lebih bermartabat dan lebih beradab,
sehingga pada gilirannya setiap manusia terdidik dapat mempertahankan,
mengembangkan, bahkan kalau perlu dapat mengubah kebudayaan yang
dianggapnya tidak relevan dengan pandangan hidup atau nilai-nilai yang
dimilikinya.

Filsafat sebagai sistem nilai (value system) harus menjadi dasar dalam
menentukan tujuan pendidikan. Artinya, pandangan hidup atau sistem nilai
yang dianggap baik oleh suatu masyarakat akan tercermin dalam tujuan
pendidikan yang harus dicapai.

Kurikulum pada hakikatnya berfungsi untuk mempersiapkan anggota


masyarakat yang dapat mempertahankan, mengembangkan dan dapat hidup
dalam sistem nilai masyarakatnya sendiri, oleh sebab itu dalam proses
pengembangan kurikulum harus mencerminkan sistem nilai masyarakat.

Di Indonesia, sistem nilai yang berlaku adalah Pancasila, oleh sebab itu
membentuk manusia yang Pancasilais merupakan tujuan dan arah dari segala
ikhtiar berbagai level dan jenis pendidikan. Dengan demikian, isi kurikulum
yang disusun harus memuat dan mencerminkan nilai-nilai Pancasila.
Nilai-nilai atau norma yang diakui sebagai pandangan hidup suatu bangsa,
seperti Pancasila bagi bangsa Indonesia, bukan hanya harus menjiwai isi
kurikulum yang berlaku, akan tetapi harus mewarnai filsafat dan tujuan
lembaga sekolah serta merembes ke dalam praktik pendidikan oleh duru di
dalam kelas. Dalam melaksanakan kegiatan serta pengambilan berbagai
keputusan guru haruslah mencerminkan nilai-nilai itu. Itulah sebabnya,
walaupun setiap guru dapat saja memiliki norma atau sistem nilai yang
dianggapnya baik, akan tetapi nilai-nilai itu jangan sampai bertentangan
dengan norma-norma masyarakat, yaitu Pancasila.

b. Filsafat sebagai Proses Berpikir


Filsafat sering diartikan sebagai cara berpikir. Namun, apakah setiap
berpikir dapat dikatakan berfilsafat? Tentu tidak. Berpikir filosofis adalah
berpikir yang memiliki ciri-ciri tertentu. Sidi Gazalba, seperti dikutip Uyoh
Sadilloh (2004) mengemukakan ciri-ciri berpikir filosofis sebagai berpikir yang
radikal, sistematis, dan universal. Berpikir yang radikal (radical thinking),
yaitu berpikir sampai ke akar-akarnya, tidak tanggung-tanggung, sampai pada
konsekuensi terakhir. Berpikir itu tidak separuh-separuh, tidak berhenti di
jalan, tetapi terus sampai ke ujungnya. Berpikir sistematis adalah berpikir logis
yang bergerak selangkah demi selangkah dengan penuh kesadaran dengan
urutan yang bertanggung jawab dan saling berhubungan yang teratur. Berpikir
universal, artinya tidak berpikir secara khusus, yang hanya terbatas kepada
bagian-bagian tertentu, melainkan mencakup keseluruhan secara sistematis dan
logis sampai ke akar-akarnya. Orang yang berfilsafat adalah orang yang
berpikir secara mendalam tentang masalah secara menyeluruh sebagai upaya
mencari dan menemukan kebenaran (Wina Sanjanya, 2008: 44-45)

Pentingnya filsafat bagi pendidikan nyata bila kita ketahui besar


manfaatnya bagi kurikulum, yakni:

1. Filsafat pendidikan menentukan arah ke mana anak-anak harus dibimbing.


Sekolah ialah suatu lembaga yang didirikan oleh masyarakat untuk
mendidik anak menjadi manusia dan warga negara yang dicita-citakan
oleh masyarakat itu. Jadi filsafat menentukan tujuan pendidikan.
2. Dengan adanya tujuan pendidikan ada gambaran yang jelas tentang hasil
pendidikan yang harus dicapai, manusia yang bagaimana yang harus
dibentuk.
3. Filsafat juga menentukan cara dan proses yang harus dijalankan untuk
mencapai tujuan itu.
4. Filsafat member kebulatan kepada usaha pendidikan, sehingga tidak lepas-
lepas. Dengan demikian terdapat kontinuitas dalam perkembangan anak.
5. Tujuan pendidikan memberi petunjuk apa yang harus dinilai dan hingga
mana tujuan itu telah tercapai.
6. Tujuan pendidikan member motivasi dalam proses belajar mengajar, bila
jelas diketahui apa yang ingin dicapai (Nasution, 2011: 28).
BAB III

SIMPULAN

Kurikulum sebagai suatu rancangan dalam pendidikan memiliki


posisi yang strategis, karena seluruh kegiatan pendidikan bermuara kepada
kurikulum. Begitu pentingnya kurikulum sebagaimana kegiatan
pendidikan, maka di dalam penyususnannya memerlukan landasan atau
fondasi yang kuat, melalui pemikiran dan penelitian secara mendalam
terutama dalam lamdasan filsafat kurikulum.
DAFTAR PUSTAKA

Nasution, S. 2011. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Majid, Abdul & Chaerul Rochman. 2014. Pendekatan Ilmiah dalam Implementasi
Kurikulum 2013. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sanjaya, Wina. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Kencana

Anda mungkin juga menyukai