Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Ginjal merupakan organ genitouri yang paling sering mengalami trauma.1 Sekitar

10-20% pasien trauma terdapat keterlibatan dengan sistem genitouri dan 45% dari

taruma genitouri adalah trauma ginjal. Sekitar 20-30% pasien dengan trauma ginjal

berkaitan dengan cedera pada abdomen.2 Kejadian penyakit ini merupakan terbanyak

ketiga setelah hepar dan lien pada trauma tumpul abdomen. Trauma ginjal termasuk

trauma parenkim ginjal, pelvis renalis, dan pedikel. Sekitar 85-90% trauma ginjal

terjadi akibat trauma tumpul yang biasanya diakibatkan oleh kecelakaan lalulintas.3

Ratio perbadingan kejadian trauma ginjal pada laki-laki dan perempuan adalah 3:1.4

Ekimosis pada panggul dan patahnya iga dapat menjadi tanda adanya suatu trauma

pada ginjal.1 Pada umumnya ringan dan dapat sembuh secara spontan dengan

pengobatan konservatif. Pada pasien hemodinamik yang tidak stabil akibat

perdarahan perirenal meluas secara progresif diperlukan tindakan intervensi bedah.3

1
BAB II
ISI
(TRAUMA GINJAL)

A. DEFINISI

Trauma didefinisikan sebagai perlukaan yang disebabkan oleh kekuatan dari

luar dengan berbagai mekanisme. Berdasarkan mekanismenya secara garis besar

trauma dibedakan menjadi 2 yaitu trauma tumpul dan trauma penetrasi.1 Trauma

ginjal adalah perlukaan yang mengenai parenkim ginjal, pelvis renalis, dan atau

pedikel yang disebabkan oleh rudapaksa eksternal.3

B. ETIOLOGI

Ada 3 penyebab utama dari trauma ginjal yaitu trauma tajam, trauma tumpul,

dan trauma iatrogenik.3,5 Trauma tajam dan trauma iatrogenik masuk kedalam

ketegori trauma penetrasi.2

1. Trauma tajam

Trauma tajam seperti tembakan dan tikaman merupakan 10 20 %

penyebab trauma pada ginjal di Indonesia. Baik luka tikam atau tusuk pada

abdomen bagian atas atau pinggang maupun luka tembak pada abdomen yang

disertai hematuria merupakan tanda pasti cedera pada ginjal.3,5

2. Trauma tumpul

Trauma tumpul merupakan penyebab utama dari trauma ginjal. Sekitar 90-

95% trauma ginjal diakibatkan oleh tauma tumpul.4,5 Dengan lajunya

2
pembangunan, penambahan ruas jalan dan jumlah kendaraan, kejadian

trauma akibat kecelakaan lalu lintas juga semakin meningkat.

Trauma tumpul ginjal dapat bersifat langsung maupun tidak

langsung. Trauma langsung biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas,

olah raga, kerja atau perkelahian.3,5 Trauma ginjal yang serius biasanya

menyertai trauma berat yang juga mengenai organ-organ lain, keterlibatan

multiorgan terjadi pada 75% kasus trauma tumpul.6 Trauma tidak langsung

misalnya jatuh dari ketinggian yang menyebabkan pergerakan ginjal secara

tiba tiba di dalam rongga peritoneum. Kejadian ini dapat menyebabkan avulsi

pedikel ginjal atau robekan tunika intima arteri renalis yang menimbulkan

trombosis.5

3. Trauma iatrogenik

Trauma iatrogenik pada ginjal dapat disebabkan oleh tindakan operasi atau

radiologi intervensi, dimana di dalamnya termasuk retrograde pyelography,

percutaneous nephrostomy dan percutaneous lithotripsy. Dengan semakin

meningkatnya popularitas dari teknik-teknik di atas, insidens trauma

iatrogenik semakin meningkat, tetapi kemudian menurun setelah

diperkenalkan ESWL. Biopsi ginjal juga dapat menyebabkan trauma ginjal.3,5

Selain penyebab-penyebab diatas, beberapa faktor yang menjadi faktor

predisposisi untuk suatu trauma ginjal adalah kondisi ginjal sebelumnya seperti

tumor pada ginjal, hidronefrosis (berkaitan dengan trauma iatrogenik), anak-anak

3
(pada anak-anak lemak perinefrik relatif lebih sedikit dibandingkan dengan orang

dewasa), dan trauma abdomen lainnya.2

C. ANATOMI GINJAL

Ginjal terletak di retroperitoneal sebelah dorsal cavum abdominale. Ginjal kiri

bagian atas setinggi vertebra lumbal I dan bagian bawah setinggi vertebra lumbal

IV. Pada posisi berdiri letak ginjal kanan lebih rendah dibandingkan ginjal kiri.

Struktur ginjal dibagi dua yaitu korteks (sebelah luar) dan medulla sebelah

dalam. Korteks terdiri dari corpusculi renalis, tubuli contorti, permulaan tubulus

collectus, sedangkan medulla terdiri dari bangunan berbentuk piramid yang

disebut dengan piramid renalis, ujung piramid akan menjadi calyx minor,

beberapa calyx minor bergabung menjadi calyx major, beberapa calyx major

bergabung menjadi pelvis renalis dan berlanjut sebagai ureter.3

Gambar 1. Anatomi dan vaskularisasi ginjal.3

4
Vaskularisasi ginjal terdiri dari arteri renalis yang berasal dari cabang aorta

abdominalis, arteri segmentalis yang memperdarahi satu segmen ginjal, arteri

segmentalis bercabang menjadi arteri interlobaris dan arteri arcuata. Arteri arcuata

akan bercabang menjadi arteri interlobularis dan arteri interlobularis akan

bercabang-cabang menjadi arteriol aferen.3

D. KLASIFIKASI

Sistem klasifikasi trauma ginjal yang paling sering digunakan adalah menurut

the American Association for the Surgery of Trauma (AAST) sedangkan CT

abdomen atau eksplorasi langsung digunakan untuk menentukan jenis lukanya.4,7

Tabel 1. Klasifikasi trauma ginjal menurut AAST.4,7


Grade Tipe Deskripsi luka
Kontusio Hematuria (gross/mikroskopik), pemeriksaan
urologik normal
I
Hematoma Hematoma subkapsular non-expanding tanpa
laserasi parenkim
Hematoma Hematoma perirenal non-expanding yang
terbatas pada retroperineum
II
Laserasi Kedalaman laserasi korteks parenkim < 1 cm
tanpa extravasasi urin
Laserasi Kedalaman laserasi korteks parenkim > 1 cm
III
tanpa extravasasi urin
Laserasi Laserasi parenkim meluas ke koreks, medulla,
dan sistem pengumpul
IV
Vaskuler Injuri pada arteri atau vena renalis utama
dengan adanya hemoragik
Laserasi Kerusakan lengkap pada ginjal
V
Vaskuler Avulsi hilum renalis, devaskularisasi ginjal

5
Gambar 2. Klasifikasi trauma ginjal menurut AAST.5

E. MEKANISME TRAUMA

1. Mekanisme trauma ginjal akibat trauma tumpul

Trauma tumpul langsung (direk) terjadi ketika adanya rudapaksa dari luar

yang menekan ginjal yang terletak diantara os costae 12 anterior dan vertebra

lumbalis. Akibat kekuatan ini, costae 12 akan menekan kearah ginjal dan

menyebabkan perlukaan pada ginjal. Mekanisme ini dapat ditemukan pada

kasus-kasus trauma olahraga. Mekanisme direk lainnya adalah ketika adanya

rudapaksa yang menekan kearah abdomen anterior tepat dibawah kubah

costae dan otot-otot paravertebral. Mekanisme kedua ini sering ditemukan

pada kasus-kasus tabrak lari atau trauma akibat tidak menggunakan sabuk

pengaman atau menabrak tiang.8

Trauma tumpul tidak langsung (indirek) terjadi ketika suatu kekuatan

deselerasi mengenai pedikel (sebagai hasil saat terjatuh dari suatu ketinggian

dan mendarat dengan pantat terlebih dahulu).8

6
Gambar 3. Mekanisme trauma tumpul direk pada
ginjal. Suatu kekuatan eksternal (F1) akan menekan
ginjal (K) diantara costae 12 dan kolumna vertebralis,
atau kekuatan (F2) menekan ginjal yang melawan
otot-otot paravertebral ( m. quadratus lomborum (QL)
atau m. psoas mayor (P) ).8

2. Mekanisme trauma ginjal akibat trauma penetrasi

Trauma penetrasi berkisar 10% dari total kasus trauma ginjal dan hampir

selalu disebabkan oleh luka tusuk/tikam atau luka tembak, beberapa kasus

jarang dapat disebabkan oleh prosedur medis atau biopsi. Mekanisme lesi

terdiri dari kerusakan langsung pada parenkim ginjal, sistem ekskretori,

struktur vaskuler, dan peritoneum. Cedera penetrasi sering berkaitan dengan

keadaan nonsteril, yang meningkatkan risiko pertumbuhan bakteri didalam

hematoma atau kebocoran urin yang mungkin memerlukan pembedahan

debridemen atau bahkan nefrektomi.9

Luka tembak memiliki mekanisme cedera yang spesifik yang dikenal

dengan efek ledakan blast effect, yang membentuk cavitas didalam jaringan

dan mungkin menyebabkan nekrosis tertunda pada jaringan sehat sebelumnya.

7
Kerusakan jaringan akibat peluru (kavitas/lubang permanen) dan keterlibatan

jaringan sekitar (lubang temporer) merupakan mekanisme luka. Ukuran

lubang temporer bergantung pada velositas peluru dan jumlah kolagen dan

elastin pada jaringan.9 Semakin tinggi velocitas peluru akan menyebabkan

kerusakan yang lebih besar karena akan mentransmisikan energi yang besar

ke jaringan, akibatnya lubang temporer akan lebih luas dan perlahan-lahan

akan kolaps.7

F. DIAGNOSIS

1. Anamnesis

Pada sebagian besar pasien (80-90%) dengan trauma ginjal langsung akan

mengatakan adanya riwayat pukulan/rudapaksa pada pinggul dan mengeluh

nyeri pinggang, yang kemudian diikuti dengan hematuria gros.8 Namun pada

kasus cedera pedikel, atau avulsi ureteropelvic junction dapat pula tidak

ditemukan adnya hematuria.9 Hematuria merupakan tanda kardinal dari

trauma ginjal, dapat bersifat masif atau sedikit, tetapi besarnya trauma tidak

dapat diukur dengan volume hematuria atau tanda-tanda luka.5 Tidak terlepas

dari mekanisme traumanya, maka setiap pasien dengan dugaan trauma ginjal

perlu ditanyakan tentang penyebab traumanya, jika disebabkan oleh

kecelakaan bermotor maka perlu ditanyakan berapa kecepatan kendaraan dan

apakah pasien seorang penumpang atau pejalan kaki.7

8
2. Pemeriksaan fisik

Pada inspeksi dapat menunjukkan adanya abrasi kulit atau memar pada

abdomen bagian atas, pinggang, atau daerah dibawah thoraks, luka masuk dan

luka keluar, ekimosis didaerah pinggul, serta hilangnya kontur pinggang. Pada

palpasi dapat ditemukan adanya rigiditas dinding abdominal anterior dan

nyeri tekan lokal di pinggang, mungkin pula disertai dengan fraktur costae

bagian bawah (krepitasi positif). Jika ditemukan adanya fraktur costae maka

perlu diperhatikan keadaan paru apakah terjadi pnuemothoraks atau

hematothoraks. Adanya pendataran kontur pinggang dan teraba massa ginjal

yang terpalpasi mengindikasikan adanya hematoma perinefrik dengan atau

tanpa ekstravasasi urin. Pada beberapa kasus, saat auskultasi dapat ditemukan

adanya ileus paralitik. Ileus paralitik berkaitan dengan kasus perdarahan atau

efusi retroperitoneal. Berbagai derajat syok hipovolemik dapat pula hadir dan

merupakan keadaan sekunder yang berkaitan dengan cedera (perdarahan

retroperitoneal). Semua pasien yang datang dengan dugaan trauma ginjal

harus diperhatikan tanda-tanda vital untuk kepentingan resusitasi (stabilisasi

hemodinamik).5,7,8,10

3. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan urinalisis, hematokrit dan kadar kreatinin merupakan tes

yang penting untuk mengevaluasi trauma ginjal. Hematuria, baik

mikroskopik maupun gros, sering hadir pada kasus ini, namun tidak cukup

9
sensitif dan spesifik untuk membandingkan antara cedera minor dan

mayor.7 Sebaiknya, spesimen urin yang diambil berasal dari urin awal

didalam kateter. Urinalisis yang menunjukkan adanya > 5 sel darah

merah/lapangan pandang besar, dipstik urin positif, atau hematuria gros

patut untuk dicurigai adanya suatu trauma ginjal.10

Pemeriksaan serial kadar hematokrit harus dilakukan untuk

mengevaluasi ada tidaknya kehilangan darah persisten yang mungkin saja

pada akhirnya membutuhkan donor darah. Pemeriksaan panel metabolik

dasar seperti level kreatinin 1 jam setelah trauma bermanfaat untuk

mengetahui fungsi ginjal sebelum terjadinya trauma. Adanya peningkatan

level kreatinin menunjukkan suatu keadaan patologis ginjal

sebelumnya.7,10

b. Pemeriksaan imaging

Indikasi dilakukan evaluasi radiografik yaitu hematuria gros,

hematuria mikroskopik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik < 90

mmHg), atau trauma tumpul dengan cedera lainnya yang diketahui

berkaitan dengan cedera ginjal (deselarasi cepat, jatuh dari ketinggian,

kontisio langsung atau hematoma pinggul, fraktur costae bawah atau

vertebra torakolumbal). Pasien dugaan trauma ginjal dengan bukti luka

masuk dan keluar harus dilakukan pemeriksaan imaging tanpa

memperhatikan derajat hematuria.7,9

10
1) Pemeriksaan ultrasound (US)

Ultrasound menyediakan suatu pemeriksaan yang cepat, non-

invasif, serta murah untuk mendeteksi kumpulan cairan peritoneal

tanpa terpapar radiasi. Penilaian terfokus dengan sonografi untuk

trauma (Focused assessment with sonography for trauma, FAST)

dapat dengan cepat menilai hemoperineum dan hemoperikardium.

Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya laserasi, namun tidak dapat

secara akurat menilai kedalaman dan luasnya, serta tidak dapat

memberikan informasi fungsional tentang ekskresi atau kebocoran

urin. Pemeriksaan US berguna untuk follow up rutin lesi parenkim

atau hematoma di ICU dan untuk evaluasi serial cedara stabil guna

melihat resolusi urinoma dan hematoma retroperitoneal.7

2) Pemeriksaan pielografi intravena (IVP)

Walaupun IVP merupakan suatu modalitas yang sensitif, namun

secara luas telah digantikan oleh CT scan. Pemeriksaan ini

direkomendasikan ketika hanya IVP saja modalitas yang tersedia.

Pielografi intravena dapat digunakan untuk menentukan ada tidaknya

dari satu atau kedua ginjal, menegaskan keterlibatan parenkim, dan

sistem pengumpul. Penemuan yang paling signifikan adalah non-

fungsi dan ekstravasasi. Non-fungsi merupakan suatu tanda dari

trauma ekstensif terhadap ginjal, cedera pedikel (avulsi vaskuler atau

trombosis), atau kerusakan ginjal berat (shattered kidney).

11
Ekstravasasi dari media kontras juga mengindikasikan suatu derajat

yang berat dari trauma, melibatkan kapsul, parenkim, dan sistem

pengumpul. Beberapa tanda yang kurang terpercaya antara lain

ekskresi tertunda, pengisian inkomplit, distorsi calyx, menggelapnya

bayangan ginjal. Sensitivitas IVP juga tinggi (> 92%) untuk semua

derajat keparahan trauma.7

3) One shot intra-operative IVP

Pada pasien tidak stabil, dibawah laparotomi emergensi,

pemeriksaan ini dapat memperlihatkan luas cedera ginjal dan

mengkonfirmasi fungsi ginjal kotralateral. Teknik ini terdiri dari

injeksi bolus intravena 2 mL/kg kontras diikuti dengan foto polos

tunggal yang diambil 10 menit setelah injeksi. Penelitian menunjukkan

bahwa pemeriksaan ini aman, efisien, dan kualitas tinggi pada

sebagian besar kasus.7,10

4) CT scan

Pemeriksaan ini merupakan metode terbaik untuk penilaian pasien

stabil dengan trauma ginjal. CT scan lebih sensitif dan spesifik

dibandingkan IVP, US atau angiografi, sejak pemeriksaan ini dapat

memberikan informasi akurat tentang lokasi cedera, dengan mudah

mendeteksi kontusio dan segmen yang melemah, memvisualisasikan

keseluruhan retroperitoneum dan semua yang berkaitan dengan

hematoma, termasuk pula struktur abdomen dan pelvis lainnya.

12
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan detail anatomi superior, termasuk

kedalaman dan lokasi laserasi dan adanya keitan dengan cedera

abdomen, dan menetapkan hadirnya dan lokasi dari ginjal

kontralateral. Pemeriksaan CT ini sangat berguna untuk menilai cedera

ginjal traumatik dengan abnormalitas ginjal yang sudah ada

sebelumnya.6,7

Gambar 4. Ekstravasasi urin dari sistem pengumpul pada seorang anak usia 9 tahun
yang mengalami trauma tumpul abdomen. (a) pemeriksaan CT scan nefrografik
kontras yang menunjukkan adanya hematoma perinefrik yang besar (H). terjadi
perubahan posisi kolon desendens (C) ke arah anterior hematoma. Terjadi
penebalan ginjal (tanda panah) dan fascia laterocoronal (tanda panah balik). (b) fase
ekskretori CT menunjukkan adanya ekstravasasi luas dari kontras dan urin yang
tercampur dengan hematoma, penemuan ini menunjukkan adanya laserasi yang
merusak integritias sistem pengumpul.6

Kontras intravena harus diberikan untuk mengevaluasi ginjal.

Kontras yang berkurang setelah dilakukan penambahan pada ginjal

yang cedera menjadi tanda suatu cedera pedikel. Pada beberapa kasus

dimana tidak ditemukan penemuan yang khas ini, hematoma parahilar

central meningkatkan kemungkinan cedera pedikel. Cedera vena

renalis sulit untuk didiagnosis dengan berbagai pemeriksaan

radiografik, tetapi adanya hematoma yang besar pada pemeriksaan ini,

13
dari arah medial ginjal dan terjadi perpindahan vaskuler, harus

dicurigai adanya cedera vena.7

5) Pemeriksaan MRI

Walaupun MRI sensitif dalam mengevaluasi trauma tumpul,

pemeriksaan ini tidak menjadi pilihan pertama pada paisen dengan

trauma tumpul karena membutuhkan waktu yang lebih lama dan akses

pasien yang terbatas selama MRI. Pemeriksaan ini dipilih jika tidak

tersedianya CT, pada pasien-pasien dengan alergi iodine, atau pada

kasus-kasus yang sangat jarang dimana penemuan CT yang samar-

samar.7

6) Angiografi

Walaupun kurang spesifik, membutuhkan waktu yang lebih lama,

dan lebih incasif dibandingkan CT, pemeriksaan ini lebih spesifik

untuk menunjukkan lokasi yang jelas dan derajat cedera vaskuler.

Angiografi dapat menegaskan adanya laserasi, ekstravasasi dan cedera

pedikel. Pemeriksaan ini juga merupakan pilihan untuk mengevaluasi

cedera vena. Indikasi lain dilakukan pemeriksaan ini adalah avulsi

total pembuluh darah, trombosis arteri renalis, dan kontusio berat yang

menyebabkan spasme vaskuler mayor.7

7) Radionuclide scans

Pemeriksaan ini secara umum digunakan atau dibutuhkan hanya

pada pasien trauma yang alergi terhadap material kontras.7

14
Selain klasifikasi trauma ginjal menurut AAST, adapula klasifikasi

radiologik untuk cedera ginjal yang dibagi kedalam 4 kategori (tabel

dibawah).6

Tabel 2. Klasifikasi radiologik cedera ginjal.6


Kategori Deskripsi
I Cedera minor (kontusio ginjal, hematoma subkapsular dan
inrarenal, laserasi minor dengan hematoma perinefrik terbatas
tanpa perluasan ke sistem pengumpul atau medulla, infark
kortikal subsegmental kecil)
II Cedera mayor (laserasi ginjal mayor hingga korteks meluas ke
medulla atau sistem pengumpul dengan atau tanpa ekstravasasi
urin, infark ginjal segmental)
III Cedera katastrofik (besar/luas) (laserasi ginjal multipel, cedera
vaskuler melibatkan pedikel ginjal)
IV Cedera uteropelvic junction (avulsi/transseksi komplit,
laserasi/incomplete tear

G. TATALAKSANA

Tatalaksana trauma ginjal dibagi menjadi 2 yaitu manajemen non-operatif dan

manajemen operatif.7

1. Manajemen non-operatif 7

a. Trauma tumpul

Manajemen non-operatif telah menjadi pilihan untuk hampir semua kasus

cedera ginjal. Pada pasien stabil, diartikan sebagai terapi suportif dengan

bedrest dan observasi. Manajemen konservatif primer berkaitan dengan

tingkat nefrektomi yang lebih rendah, tanpa adanya peningkatan

morbiditas jangka segera maupun jangka panjang. Semua cedera derajat I

dan II dapat diatasi secara non-operatif, baik akibat trauma tumpul

maupun penetrasi. Terapi cedera derajat III masih kontroversial, namun

15
penelitian terkini mendukung dilakukan terapi konservatif. Sebagian besar

pasien dengan cedera derajat IV dan V dilakukan eksplorasi dan

nefrektomi, walaupun beberapa menunjukkan bahwa masih dapat diatasi

dengan terapi konservatif. Pasien yang didiagnosis dengan ekstravasasi

urin pada cedera soliter dapat diatasi tanpa intervensi mayor dan tingkat

resolusi mencapai > 90%. Cedera arteri utama unilateral akan membaik

dengan manajemen non-operatif pada pasien yang secara hemodinamik

stabil, perbaikan dengan pembedahan dicadangkan untuk cedera arteri

bilateral atau cedera yang melibatkan suatu ginjal fungsional soliter.

Manajemen konservatif disarankan sebagai terapi pada trombosis arteri

tumpul komplit unilateral.

b. Trauma penetrasi

Luka penetrasi mulanya dilakukan pendekatan secara peembedahan.

Manajemen non-operatif selektif dari luka tikam abdomen secara umum

diterima. Pasien yang hadir dengan perdarahan persisten menjadi indikasi

tama eksplorasi dan rekonstruksi. Pada semua kasus cedera berat,

manajemen non-operatif dilakukan hanya pada pasien dengan

hemodinamik yang stabil. Cedera akibat luka tembak harus dieksplorasi

hanya jika terdapat keterlibatan hilum atau berkaitan dengan perdarahan

lanjutan, cedera ureter, atau laserasi pelvis renalis. Luka tembak dengan

velocitas rendah dan luka tikam minor mungkin diatasi secara konservatif

dengan hasil yang baik. Kerusakan jaringan yang luas akibat luka tembak

16
velositias tinggi seringsekali membutuhkan penanganan nefrektomi.

Manajemen non-operatif dari trauma penetrasi pada pasien-pasien yang

stabil dengan hasil yang baik berkisar 50% pada luka tikam/tusuk/tajam,

dan mencapai 40% pada luka tembak. Jika lokasi dari penetrasi oleh luka

tikam/tusuk/tajam berada di posterior dari linea axilaris anterior, sekitar

88% dari cedera ginjal dapat diatasi secara non-operatif.

2. Manajemen operatif 7

a. Indikasi untuk eksplorasi ginjal

Kebutuhan eksplorasi ginjal dapat diprediksi berdasarkan

pertimbangan tipe cedera, kebutuhan transfusi, level BUN dan kreatinin,

serta derajat cedera. Indikasi utama dilakukan eksplorasi ginjal yaitu

instabilitas hemodinamik yang berlanjut, yang tidak berespon setelah

resusitasi agresif. Indikasi lain meliputi adanya perluasan atau hematoma

perirenal pulsatil, yang teridentifikasi pada laparotomi eksplorasi untuk

cera terkait. Ekstravasasi persisten atau urinoma biasanya terasi baik

dengan teknik endourologik.

Sebelumnya, cedera vaskuler derajat V menjadi indikasi absolut untuk

eksplorasi. Faktor lainnya yang meningkatkan risiko dilakukan intervensi

pembedahan yaitu ukuran hematoma perirenal > 3,5 cm, adanya

ekstravasasi kontras intravaskuler, dan cedera derajat IV-V. Total Injury

severity score adalah 16 dan cedera derajat IV menjadi faktor prediktif

17
untuk suatu operasi, sedangkan ISS > 16 dan GCS < 8 secara signifikan

berkaitan dengan mortalitas yang lebih besar.

b. Penemuan operatif dan rekonstruksi

Tujuan dari eksplorasi pada pasien trauma ginjal adalah untuk

mengontrol perdarahan dan menyelamatkan ginjal. Sebagian besar kasus

menyarankan pendekatan transperitoneal untuk pembedahan. Hematoma

stabil yang terdeteksi selama eksplorasi yang berkaitan dengan cedera

tidak perlu dibuka. Ekspansi hematoma atau hematoma sentral

mengindikasikan cedera pada pedikel, aorta, atau vena cava dan

berpotensi mengancam nyawa. Pada kasus-kasus dengan disrupsi tunika

intima arteri unilateral, perbaikan dapat ditunda, terutama pada kasus-

kasus dengan ginjal kontralateral yang normal, akan tetapi iskemia yang

berkepanjangan dapat menyebabkan kerusakan yang tidak dapat

diperbaiki dan kehilangan ginjal. Ureteral stenting atau diversi nefrostomi

harus secara kuat dipertimbangkan setelah rekonstruksi tertunda karena

meningkatkan risiko ekstravasasi urin post operatif.

Rekonstruksi ginjal merupakan yang paling mungkin dikerjakan pada

hampir semua kasus. Tingkat keseluruhan pasien yang dilakukan

nefrektomi selama eksplorasi sekitar 13%, biasanya pada pasien-pasien

dengan cedera penetrasi dan tingkat permintaan transfusi yang lebih

tinggi, instabilitas hemodinamik, dan ISS yang lebih tinggi. Pada luka

tembak dengan velositias tinggi, rekonstruksi menjadi lebih sulit dan lebih

18
sering diperlukan nefrektomi. Renorafi merupakan teknik rekonstruktif

tersering. Nefrektomi parsial dilakukan ketika terdeteksi jaringan mati.

Penggunaan agen-agen hemostatik pada rekonstruksi juga bermanfaat.

Pada semua kasus, drainase retroperitoneum ipsilateral direkomendasikan

guna menyediakan suatu saluran untuk berbagai kebocoran urin temporer.

Gambar 5. Alur evaluasi trauma tumpul ginjal pada pasien dewasa. 11

19
Gambar 6. Alur evaluasi trauma penetrasi ginjal pada pasien dewasa.7

H. KOMPLIKASI7

Komplikasi dini terjadi < 1 bulan setelah cedera, dapat berupa perdarahan,

infeksi, abses perinefrik, sepsis, fistula urinari, hipertensi, ekstravasasi urin dan

urinoma. Komplikasi tertunda meliputi perdarahan, hidronefrosis, pembentukan

batu, pielonefritis kronis, hipertensi, AVF, hidronefrosis dan pseudoaneurisma.

Hipertensi dapat terjadi baik secara akut akibat kompresi eksternal dari hematoma

perirenal, maupun secara kronik akibat pembetukan jaringan parut kompresif.

Komplikasi post-prosedur meliputi infeksi, sepsis, fisulta urinari, dan infark

ginjal. Perkembangan pseudoaneurisma merupakan komplikasi jarang yang

mengikuti trauma tumpul.

20
BAB III
KESIMPULAN

Trauma ginjal adalah perlukaan yang mengenai parenkim ginjal, pelvis renalis,

dan atau pedikel yang disebabkan oleh rudapaksa eksternal (trauma tumpul, trauma

tajam, maupun trauma iatrogenik). Penegakan diagnosis didasarkan pada evaluasi

klinis dan radiografik dengan manajemen terapi baik secara konservatif maupun

operatif.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Morey AF, Brandes S, Amstrong JH, Breyer BN, Erickson BA, Wessells H, et al.

Urotrauma: American Urological Association guidelines. AUA. 2014.p.6-7.

2. Harbison H, Liebermann G. Renal trauma. Harvard Medical School. 2002.p.4-5.

3. Rizal A, Sudarmanta. Embolisasi arteri renal pada trauma ginjal. Bagian

Radiologi FK UGM. 2015.hal.2,7,8,9,20.

4. B Diaz, S Pello-Fernandez, JV Baldissera, R Blanco, C Perez, L Ruger, et al.

Major kidney trauma and concervatitive management: case report and follow up.

Austin J Nephrol Hypertens. 2015;2(2):1-3.

5. Hardi R, Rizki H. Trauma traktus urinarius. FK Trisakti. 2014.hal.2-3,5-6.

6. Kawashima A, Sandler CM, Corl FM, West C, Tamm EP, Fishman EK. Imaging

of renal trauma: a comprehensive review. RadioGraphics. 2001;21:557-74.

7. Summerton DJ, Djakovic N, Kitrey ND, Kuehhas FE, Lumen N, Sharma Dm, et

al. Guidelines on urological trauma. European Association of Urology.

2014.p.7,10-17.

8. Terry T. Trauma of the upper urinary tract. BMJ. 1990;301:485-8.

9. Alonso RC, Nacenta SB, Martinez PD, Guerrero AS, Fuentes CG. Kidney in

danger: CT findings of blunt and penetrating renal trauma. RadioGraphics.

2009;29:2033-53.

22
10. Chouchan JD, Winer AG, Johnson C, Weiss JP, Hyacinthe LM. Contemporary

evaluation and management of renal trauma. The Canadian Journal of Urology.

2016;23(2):8191-7.

11. Indradiputra IMU, Hartono T. Tatalaksana konservatif pasien dewasa dengan

trauma tumpul ginjal derajat IV terisolasi. CDK. 2016;43(2):123-6.

23

Anda mungkin juga menyukai