Anda di halaman 1dari 5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Soil-Transmitted Helminth

STH (Soil Transmitted Helminth) adalah cacing golongan Nematoda yang

memerlukan tanah untuk perkembangan bentuk infektif. Di Indonesia golongan

cacing ini sangat penting dan yang menyebabkan masalah kesehatan pada

masyarakat adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides) penyakitnya disebut

Ascariasis, cacing cambuk (Trichuris trichiura) penyakitnya disebut Trichuriasis,

Strongyloides stercoralis penyakitnya disebut Strongiloidiasis dan cacing tambang

(Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) penyakitnya disebut

Ankilostomasis dan Nekatoriasis. Lima infeksi STH tersebut paling sering

ditemukan di daerah iklim hangat dan lembab yang memiliki sanitasi dan

lingkungan buruk. STH hidup di usus dan telurnya akan keluar melalui tinja hospes.

Jika hospes berdefekasi di luar (taman, lapangan, sungai) atau jika tinja

mengandung telur yang dibuahi, maka telur tersebut akan tersimpan dalam tanah

dan telur menjadi infeksius jika matang (Adi, 2013).

2.1.1 Cacing gelang (A. lumbricoides)

Cacing gelang merupakan cacing yang hidup dan tersebar di daerah tropis

dan sub tropis dengan kelembaban udara yang tinggi. Cacing gelang dewasa

habitatnya terdapat di usus halus manusia dan stadium larvanya mengalami

migrasi ke paru-paru. Cacing dewasa berbentuk silindris memanjang berwarna


krem keputihan dengan panjang dapat mencapai 40 cm. Ukuran cacing betina 20-

35 cm dengan diameter 3-6 mm, dan cacing jantan 15-31 cm dengan diameter 2-4

mm. Umur yang normal dari cacing dewasa adalah 12 bulan, paling lama bisa

lebih dari 24 bulan. Cacing betina dapat memproduksi lebih dari 200.000 telur

sehari terdiri dari telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi. Dalam kondisi

yang memungkinkan telur dapat tetap bertahan hidup selama bertahun-tahun

(Pacifico, 2001).

Telur cacing yang telah dibuahi yang keluar bersama tinja penderita, di

dalam tanah yang lembab dan suhu yang optimal akan berkembang menjadi telur

yang infektif (mengandung larva cacing) dalam waktu 2-3 minggu. Infeksi terjadi

dengan masuknya telur cacing yang infektif ke dalam mulut, di dalam usus halus

bagian atas dinding telur akan pecah sehingga larva dapat keluar untuk selanjutnya

menembus dinding usus halus dan masuk ke vena porta hati. Bersama aliran darah

vena, larva akan beredar menuju jantung, paru-paru, lalu menembus dinding kapiler

masuk ke dalam alveoli. Masa migrasi ini berlangsung sekitar 15 hari. Dari alveoli

larva cacing menuju bronki, trakea, dan laring, untuk selanjutnya masuk ke faring,

esofagus, turun ke lambung akhirnya sampai ke usus halus. Sesudah berganti kulit,

larva akan tumbuh menjadi cacing dewasa. Dua bulan sejak infeksi (tertelan telur

yang infektif), seekor cacing betina mulai mampu bertelur (Soedarto, 2008).

2.1.2 Cacing cambuk (T. trichiura)

Cacing dewasa berbentuk cambuk, dengan bagian anterior yang merupakan

tiga perlima panjang tubuh berbentuk langsing seperti tali cambuk, sedangkan dua
perlima bagian tubuh posterior lebih tebal mirip pegangan cambuk. Cacing jantan

panjangnya sekitar 4 cm, dengan bagian ekor melengkung ke arah ventral,

mempunyai satu spikulum yang terselubung refraktil. Cacing betina panjangnya 5

cm dengan bagian caudal membulat tumpul seperti koma. Telur berwarna coklat

mirip biji melon, berukuran sekitar 50x25 mikron, mempunyai dua kutub jernih

yang menonjol (Pacifico, 2001).

Infeksi terjadi jika manusia tertelan telur yang infektif sesudah telur

mengalami pematangan di tanah dalam waktu 2-3 minggu. Di dalam usus halus

dinding telur pecah dan larva cacing keluar menuju sekum lalu berkembang

menjadi cacing dewasa. Cacing dewasa melekat pada mukosa usus halus terutama

di daerah sekum dan kolon dengan membenamkan kepalanya di dalam dinding

usus. Satu bulan sejak masuknya telur infektif ke dalam mulut, cacing dewasa yang

terjadi sudah mulai mampu bertelur. Cacing dewasa dapat hidup beberapa tahun di

dalam usus manusia (Serra, 2011).

2.1.3 Cacing tambang (A.duodenale dan N.americanus)

Cacing dewasa berbentuk silindris berwarna putih keabuan. Cacing betina

panjangnya 9-13 mm dan cacing jantan panjangnya 5-11 mm, mempunyai bursa

kopulatriks di ujung posterior tubuhnya. Morfologi telurnya mirip antara satu

spesies dengan lainnya. Telur berbentuk lonjong tidak berwarna, berukuran 65x40

mikron. Dinding telur tipis, tembus sinar, dan berisi embrio (Soedarto, 2008).

Dalam siklus hidupnya cacing tambang mempunyai dua stadium larva, yaitu

larva rhabditiform panjang sekitar 250 mikron, dan larva langsing dengan panjang
tubuhnybersama tinja penderita, dalam waktu 2 hari akan tumbuh di tanah menjadi

larva rhabditiform minggu akan berkembang menjadi larva tahan di tanah selama 7

hari pada manusia, memasuki pembuluh darah dan limfe, beredar di dalam aliran

darah, masuk ke dalam jantung kanan, lalu masuk ke dalam kapiler paru. Larva

menembus dinding kapiler masuk ke bronki, trakea, laring, dan faring, akhirnya

tertelan masuk ke filariform A.duodenale esofagus larva berganti kulit untuk yang

ketiga kalinya. Migrasi ini berlangsung sekitar 10 hari. Dari kulit untuk yang

keempat kalinya, lalu tumbuh menjadi cacing dewasa. Dalam siklus hidupnya

cacing tambang mempunyai dua stadium larva, rhabditiform (tidak infektif), bentuk

tubuhnya agak gemuk dengan panjang sekitar 250 mikron, dan larva filariform

(infektif) yang berbentuk langsing dengan panjang tubuhnya sekitar 600 mikron.

Telur yang keluar bersama tinja penderita, dalam waktu 2 hari akan tumbuh di tanah

menjadi rhabditiform. Sesudah berganti kulit sebanyak 2 kali, dalam waktu satu

minggu akan berkembang menjadi larva filariform. Larva filariform tahan di tanah

selama 7-8 minggu. Jika larva filariform menembus kulit manusia, memasuki

pembuluh darah dan limfe, beredar di dalam aliran darah, masuk ke dalam jantung

kanan, lalu masuk ke dalam kapiler paru. Larva menembus dinding kapiler masuk

ke dalam alveoli, kemudian migrasi ke bronki, trakea, laring, dan faring, akhirnya

tertelan masuk ke filariform A.duodenale jika tertelan juga dapat menyebabkan

infeksi. larva berganti kulit untuk yang ketiga kalinya. Migrasi ini berlangsung

sekitar 10 hari. Dari esofagus larva masuk ke usus halus, berganti kulit untuk yang

keempat kalinya, lalu tumbuh menjadi cacing dewasa. Dalam waktu satu bulan

cacing betina sudah mampu bertelur (Pacifico, 2001).

Anda mungkin juga menyukai