Anda di halaman 1dari 7

Pendahuluan

Secara yuridis formal, penjatuhan vonis hukuman mati di Indonesia tetap akan eksis dan dibenarkan
sepanjang aturan-aturan yang mengaturnya masih diberlakukan. Beberapa aturan hukuman mati
tersebut terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),

UU Nomor 22 Tahun tentang Narkotika, UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, UU Nomor 15
Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia, termasuk dalam draf RUU Intelijen Negara, dan RUU Rahasia Negara. Dengan demikian,
hukuman mati semakin ekstra permanen dalam tata peraturan perundang-undangan di Indonesia,
terlebih yang medukung penerapan hukuman mati tersebut merupakan kelompok dominan yang
menguasai wacana politik dan hukum sekaligus berdalih pada hukum Islam yang mengatur tentang
hukuman mati.

Perdebatan Demokratisasi Hukum Mati

Dalam perspektif hukum Islam, pidana mati setidaknya dinyatakan dalam tiga bentuk pemidanaan, yaitu
hd ( hudd ) yang berat hukumannya telah ditentukan syara dan sebagai hak Allah, qishsh yang
memberikan hukuman sesuai dengan kadar perbuatannya, dan tazr yang hukumannya tidak
ditentukan syar Pada sisi yang lain, gugatan terhadap hukuman mati semakin kencang karena
mendasarkan argumentasinya pada perspektif HAM yang menyatakan hak atas hidup bersifat absolut,
tidak boleh dicabut oleh siapapun. Terlebih hukuman mati yang semula mendasarkan pada filosofi teori
deterrent effect, yaitu penghukuman sebagai bentuk pembalasan dan pemberi rasa takut,justru tidak
berjalan efektif karena semakin tidak takutnya masyarakat untuk

*Muhammad Zafrullah Khan, Islam and Human Rights(Islamabad: Islam International Publication Ltd,
1988), 74.

melakukan tindak kriminal, korupsi, terorisme, penyalahgunaan narkoba, dan peembunuhan


berencana. Adanya gugatan terhadap penerapan hukuman mati pada dasarnya didasarkan pada
pemikiran berikut:

Pertama, hukuman mati dianggap tidak mampu memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat modern
karena menyerahkan keputusan hidup mati seseorang ke tangan hakim yang sangat mungkin terjadi
kesalahan.

Kedua , hukuman mati dalam konteks negara modern dianggap tidak efektif sebagai salah satu upaya
pencegahan tindak criminal.
Ketiga , hukuman mati dianggap melanggar nilai-nilai HAM sekaligus menutup kesempatan untuk
memperbaiki diri. Hukuman mati yang masih berlaku di Indonesia berangkat dari adanya serangkaian
proses demokratisasi hukum.Oleh karenanya hukuman mati dipandang sebagai produk dari adanya
relasi konstitusi dan politik hukum yang didasari atas karakteristik HAM Indonesia.Sebelum ditetapkan
sebagai Undang-Undang, sebuah peraturan harus melalui adanya proses penyusunan naskah akademik
peraturan, yaitu konsep awal yang menggambarkan tentang garis besar perundang-undangan yang akan
dibuat. Naskah akademik tersebut juga dimaksudkan untuk menguraikan secara mendalam berbagai
aspek yang berkaitan dengan sebuah rancangan peraturan sehingga dapat mudah difahami pokok-
pokok fikiran yang menjadi bahan dan dasar sebuah rancangan peraturan. Keberadaan naskah akademik
inilah yang menjadikan adanya acces acountabelities dan responsibelities (keterbukaan dan tanggung
jawab) yang melembaga termasuk kontrol sosial dari masyarakat, baik melalui lembaga swadaya,
individu, kelompok, pers, masyarakat hukum, dan komponen masyarakat lainnya. Hal ini mengandung
makna bahwa proses berdemokrasi juga

* Mahkamah konstitusi berpendapat bahwa semua hak yang ada dalam konstitusi keberlakuannya
dapat dibatasi termasuk hak hidup, karena hak hidup tidak bersifat mutlak. Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007, 413-414..

diberlakukan terutama dalam proses legislasi, dan inilah makna demokratisasi hukum. Sebuah peraturan
hukum atau konstitusi yang demokratis adalah peraturan yang mengandung prinsip-prinsip dasar
demokrasi dalam kehidupan bernegara, yaitu menempatkan warga negara sebagai sumber utama
kedaulatan di mana terjaminnya hak-hak warga negara, pembatasan pemerintahan, pendistribusian dan
pemisahan kekuasaan negara yang setidaknya berdasarkan trias politika. Pembahasan tentang relasi
negara, kekuasaan, dan rakyat, pada akhirnya mendukung lahirnya konsepsi HAM di tengah masyarakat
dunia. HAM merupakan sebuah kewajiban bagi pemerintah untuk menghormati dan melaksanakannya,
sedangkan bagi warga negara menjadi hak yang harus dipenuhi oleh pemerintah, institusi, ataupun
individu lain. Berdasarkan pada teori kontrak sosial, untuk memenuhi hak-hak tiap manusia tidak
mungkin dicapai oleh masing-masing orang secara individual, tetapi harus bersama-sama. Maka
dibuatlah perjanjian sosial yang berisi tentang apa yang menjadi tujuan bersama, batas-batas hak
individual, dan siapa yang bertanggungjawab untuk pencapaian tujuan tersebut dan menjalankan
perjanjian yang telah dibuat dengan batas-batasnya. Perjanjian tersebut diwujudkan dalam bentuk
konstitusi sebagai hukum tertinggi di suatu negara ( the supreme law of the land ), yang kemudian
dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan kebijakan negara. Proses elaborassi melalui prosedur
tertentu dalam pemilihan wakil rakyat itulah yang akhirnya mempertegas makna demokrasi.

*Harus diingat bahwa paling tidak terdapat tiga macam teori kontrak sosial masing-masing dikemukakan
oleh John Locke, Thomas Hobbes, dan J.J. Rousseu yang masing-masing melahirkan konsep negara yang
berbeda- beda. Lihat George H. Sabine, A History of Political Theory (New York-Chicago-San Fransisco-
Toronto-London; Holt, Rinehart and Winston, 1961), 517 596.
Konsepsi HAM dan demokrasi dalam perkembangannya sangat terkait dengan konsepsi negara hukum.
Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum
dimaknai sebagai kesatuan hierarki tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini
berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi
konstitusi di samping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan
pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi. Selain itu, prinsip
demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-
benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan
penguasa. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya
menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi
semua orang. Dalam hukum Islam, secara implisit ada tekanan tujuan pemidanaan seperti diungkapkan
dalam Surat Al-Maidah ayat 38 dan Surat an-Nur ayat 2. Ayat tersebut menggambarkan adanya balasan
terhadap sebuah kejahatan dan ketika membalas harus diumumkan atau dilakukan di muka umum.
Teori pemidanaan dalam hukum Islam tidak jauh berbeda dengan teori pemidanaan secara umum, yaitu
gabungan antara pembalasan ( absolute ), teori pencegahan ( preventif ), serta hakikat dari suatu
aturan tertentu ( asrar al- tasyri ) dalam hukum pidana Islam.

* Jimly Asshiddiqie,

Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia

(Jakarta: Konstitusi Press, 2005), 152-162.

Islam dan Pemidanaan Tujuan pokok pidana islam adalah sebagai pencegahan dan pelarangan ( al-
raddu wal-zajru ) serta perbaikan dan pemaksaan ( al- ishlah wal tahdzib ). Sebagai pencegahan,
pemidanaan dimaksudkan untuk mencegah atau menghalangi pelaku tindak pidana dari kemungkinan
melakukan tindakan serupa, sekaligus menghalangi orang lain dari kemungkinan melakukan tindakan
yang sama. Sedangkan sebagai perbaikan dan pemaksaan, pemidanaan dimaksudkan untuk memberikan
pelajaran dengan cara paksa supaya pelaku bersedia mengubah tindakannya yang buruk kepada
perbuatan yang baik dan benar. Oleh karenanya, hukuman mati masih relevan dijatuhkan terhadap
pelaku tindak kriminal yang membahayakan dan merusak masyarakat seperti terorisme dan pengedar
narkoba.karena memberikan efek jera terhadap kejahatan luar biasa ( the most serious crime ).

5 Adanya ancaman hukuman mati dalam Islam, menurut Barda Nawawi Arief, pada hakikatnya bukanlah
sarana utama untuk mengatur, menertibkan, atau melindungi masyarakat, tetapi lebih merupakan jalan
hukum terakhir, seperti halnya amputasi dalam kedokteran yang sebenarnya bukan obat utama, tetapi
sebuah pengecualian sebagai sarana pengobatan terakhir.6 Dengan demikian, ada kriteria-kriteria
tertentu yang diatur dalam hukum Islam yang memungkinkan suatu tindak kejahatan tersebut dapat
dijatuhi hukuman mati. Namun beberapa aktivis HAM menilai bahwa hukuman mati dalam konteks
pidana Islam merupakan hukuman klasik yang sudah ketinggalan zaman ( out of date ). Sifat
penghukuman klasik yang keras dan represif tidak mampu memberikan solusi bagi permasalahan pidana
modern. Sudah selayaknya hukuman mati

Hal ini sebagaimana dukungan MUI melalui Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor
10/Munas VII/ MUI/ I/14/2005 tentang Hukuman Mati dalam tindak Pidana Terorisme.

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Bandung: Citra Aditya, 1996), 99.

dihapuskan, karena sudah tidak relevan lagi dengan konteks modernitas yang menjunjung tinggi nilai-
nilai kemanusiaan. Sejarah hukum pidana memang penuh dengan gambaran-gambaran sadis
penerapannya, seperti rajam, salib, potong tangan, yang dalam ukuran modernitas dipandang sebagai
hukuman yang kejam dan melampaui batas-batas kemanusiaan. Hukum hak asasi manusia internasional
secara tegas menyatakan hukuman mati bertentangan dengan prinsip yang diatur di dalam Kovenan
Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (

International Covenent on Civil and Political Rights

, ICCPR), hak untuk hidup (

rights to life

), yaitu pada Bagian III Pasal 6 (1), bahwa setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapatkan
perlindungan hukum dan tidak ada yang dapat mencabut hak itu. Kovenan ICCPR ini diadopsi pada 1966
dan berlaku (

enter into force

) sejak 1976. Dan sampai November 2003, telah 151 negara yang meratifikasi terhadap kovenan
tersebut. Secara umum, beberapa instrumen internasional yang melarang adanya hukuman mati di
dunia adalah:

a.

Universal Declaration of Human Rights

, tahun 1948, Pasal 3. b.

Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), tahun 1966, Pasal 6 c.
Second Optional Protocol of ICCPR aiming of The Abolition of Death Penalty, tahun 1990

d.

Protocol No. 6 European Convention for the Protection Human Rights and Fundamental Freedom, 1950

(berlaku mulai 1 Maret 1985). e.

The Rome Statute of International Criminal Court

, 17 Juli 1998. Perjuangan para pembela HAM untuk menghapus hukuman mati lebih didasarkan pada
doktrin kemanusiaan, yaitu cinta kasih kepada sesama. Dalam hal ini, hukuman mati justru akan
memunculkan lingkaran kekerasan, di mana setiap orang akan berada pada situasi ingin balas dendam,
terluka dan rasa trauma.

Philip Alston, Hukum Hak Asasi Manusia (Yogyakarta: Pusham UII, 2010), 321.

Dalam perspektif HAM, jika kekerasan dibalas dengan kekerasan, maka hasilnya adalah kejahatan terus
menerus. Berbeda jika, kekerasan dibalas saling memaafkan dan upaya cinta kasih. Jika konstitusi negara
telah mengakui bahwa hak untuk hidup tidak dapat dikurangi atas alasan apapun, maka penghapusan
hukuman mati adalah sebuah kewajiban konstitusional. Selama ini, banyak tuduhan terhadap konsep
hukuman mati, utamanya yang diatur dalam hukum Islam, yang seringkali digambarkan sebagai sesuatu
yang kejam, tidak manusiawi dan sadis. Kesan mengerikan di balik hukuman mati tersebut adalah kesan
populer yang menyelimuti penerapan hukum pidana Islam di masyarakat modern ini. Adanya kritik
tersebut juga dikarenakan tidak disadarinya alasan keagamaan (spriritual) dari adanya hukuman
tersebut, yaitu bahwa hukuman bukanlah dijatuhkan secara kejam oleh seseorang kepada orang lain,
tetapi semata-mata demi melaksanakan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam doktrin hukum
agama (Islam) yang terlingkup dalam

maqashid al-syariah

. Dalam hal ini, hukum Islam sangat memperhatikan nilai-nilai dasar kemanusiaan di dunia yang
terlingkup pada lima hal, yaitu agama (

al-din

), jiwa (
al-nafs

), harta (

al-mal

), akal (

al-aql

), dan keturunan (al-

nasl

). Perlindungan hak-hak ini sama sekali bukan karunia penguasa atau karunia masyarakat, tetapi
merupakan karunia Allah SWT. Demi memelihara kelima hak dasar kemanusiaan tersebut, hukum Islam
secara konsekuen mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu hukuman pokok, sekaligus hukuman
maksimal. Indonesia termasuk salah satu negara yang masih mempertahankan hukuman mati dalam
sistem hukum positifnya, bahkan mencantumkannya dalam banyak undang-undang. Hanya saja, sebagai
negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai HAM, negara Indonesia memberlakukan hukuman mati secara
khusus, hati-hati, dan selektif. Penerapan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana terorisme ini
secara filosofis

diakui dan diakomodasi oleh konsep negara hukum Pancasila, meski nantinya bisa saja hukuman mati
bersifat esepsional ataupun pidana bersyarat. Dalam hal ini, penetapan hukuman mati dalam beberapa
UU di Indonesia pada dasarnya telah melalui pembahasan di lembaga legislatif, yang notabene adalah
para wakil rakyat, sebagai representasi dari seluruh rakyat Indonesia. Jika hukuman mati tetap
dipertahankan, maka itulah pilihan bangsa Indonesia yang harus dihormati dan dipatuhi. Jika hukuman
mati itu tidak disetujui lagi, maka rakyatlah yang harus menghapusnya, bukan para ahli, apalagi pihak
(negara) lain.

Penutup

Perdebatan hukuman mati dalam konteks demokrasi hendaknya lebih ditempatkan sebagai komoditas
politik hukum daripada sekadar persoalan "ideologis-keagamaan" tertentu. Munculnya dukungan kuat
dari kalangan masyarakat terhadap eksistensi penerapan hukuman mati terhadap teroris di Indonesia
harus ditempatkan dalam konteks demokrasi, bukan dalam kerangka perjuangan ideologis. Artinya,
hukuman mati terhadap terorisme yang berlaku di Indonesia sekarang ini adalah hasil dari proses-proses
politik hukum dan demokrasi modern.

DAFTAR PUSTAKA BUKU

Alston, Philip
. Hukum Hak Asasi Manusia

. Yogyakarta: Pusham UII, 2010. Asshiddiqie, Jimly.

Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia

. Jakarta: Konstitusi Press, 2005. Khan, Zafrullah. Muhammad.

Islam and Human Rights

. Islamabad: Islam International Publication Ltd, 1988. Nawawi Arief, Barda.

Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana

. Bandung: Citra Aditya, 1996. Sabine, George H.

A History of Political Theory

. New York-Chicago-San Fransisco-Toronto-London; Holt, Rinehart and Winston, 1961.

PERATURAN

Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 10/Munas VII/ MUI/ I/14/2005 tentang Hukuman
Mati dalam tindak Pidana Terorisme. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007, 413-414.

Anda mungkin juga menyukai