Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh ternak yang akan
dipotong agar diperoleh kualitas daging yang baik, yaitu (1) ternak harus dalam
keadaan sehat, bebas dari berbagai jenis penyakit, (2) ternak harus cukup istirahat,
tidak diperlakukan kasar, serta tak mengalami stres agar kandungan glikogen otot
maksimal, (3) penyembelihan dan pengeluaran darah harus secepat dan
sesempurna mungkin, (4) cara pemotongan harus higienis.
Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah
pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas
daging antara lain genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan
termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik atau mineral), dan stress. Faktor setelah
pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode
pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, bahan
tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon dan antibiotik, lemak
intramuskuler atau marbling, metode penyimpanan dan preservasi, macam otot
daging dan lokasi pada suatu otot daging. Faktor kualitas daging yang dimakan
terutama meliputi warna, keempukan dan tekstur, flavor dan aroma termasuk bau
dan cita rasa dan kekasan jus daging (juiciness). Disamping itu, lemak
intramuskular, susut masak (cooking loss) yaitu berat sampel daging yang hilang
selama pemasakan atau pemanasan, retensi cairan dan pH daging, ikut
menentukan kualitas daging.
A. Faktor Sebelum pemotongan
Kualitas daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan.
Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging adalah
genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan dan bahan aditif
(hormon, antibiotik, dan mineral), serta keadaan stres.
1. Genetic/Keturunan
Nilai heritabilitas keempukan daging sapi sekitar 45%, artinya
45% keempukan daging sapi saat dimasak ditentukan oleh faktor
genetik atau tetua ternak yang dipotong. Faktor genetik akan menentukan
keempukan daging antargrade dan potongan daging sejenis.
2. Spesies
Dari taksonomi ternak yang paling diperhatikan yaitu spesiesnya, karena
spesies menentukan apakah ternak tersebut banyak dipelihara di Indonesia,
mampu memproduksi daging atau susu, serta mempunyai produksi daya adaptasi
yang tinggi, dan sebagainya. Spesies menentukan tingkat perdagingan suatu
ternak.
3. Bangsa
Bangsa ternak termasuk kedalam factor genetic atau factor keturunan.
Bangsa suatu ternak juga menentukan kualitas suatu daging ternak itu sendiri.
Misalnya ternak sapi-sapi introduksi, seperti: 1) sapi limousine, persentase daging
dalam karkas cukup tinggi, 2) sapi angus, mempunyai kemampuan dalam
menurunkan marbling (perlemakan dalam daging) ke anak-anaknya. 3) sapi
Hereford, perdagingannya tebal. Dan sebagainya.
Jadi dilihat dari bangsa ternak itu sendiri sangat penting dalam mennentukan
kualitas daging.
4. Tipe ternak
Tipe ternak menentukan keempukan daging itu sendiri, seperti tipe ternak
potong dan tipe ternak perah. Tipe ternak potong lebih empuk daripada tipe
ternak perah. Karena tipe ternak potong itu sendiri dipelihara untuk menghasilkan
daging, dan sebaliknya.
5. Umur
Semakin tua usia hewan, susunan jaringan ikat semakin banyak, sehingga
daging yang dihasilkan semakin liat, jika ditekan dengan jari, daging yang sehat
akan memiliki konsistensi kenyal (padat) (Tambunan, 2010). Umumnya daging
yang berasal dari sapi tua akan lebih liat dibandingkan dengan daging yang
berasal dari sapi muda. Hasil penelitianpun menunjukkan bahwa umur potong
sapi berkorelasi positif dengan keempukan daging yang dihasilkannya, artinya
makin tua ternak sudah dapat dipastikan dagingnya akan lebih liat. Daging yang
berasal dari sapi tua baunya lebih menyengat dibandingkan dengan daging yang
berasal dari sapi muda. Namun pada kenyataannya, kuat lemahnya bau daging
pada sapi tidak dipermasalahkan konsumen, lain halnya dengan daging domba dan
daging kambing, karena kedua ternak kecil ini bau dagingnya sangat unik dan
lebih kuat dibandingkan dengan sapi. Oleh karena itu konsumen daging domba
atau kambing lebih menyukai daging yang berasal dari ternak muda. Ternak sapi
tua yang gemuk akan menghasilkan daging yang berlemak oleh karena itu rasanya
akan lebih gurih dan banyak disukai konsumen. Selain itu daging yang berlemak
kandungan airnya lebih sedikit sehingga pada saat dimasak penyusutannya tidak
terlalu besar.
Umur ternak saat dipotong berpengaruh terhadap keempukan daging. Sapi
yang dipotong pada umur 9-30 bulan umumnya memiliki daging yang empuk.
Sapi betina yang digunakan sebagai induk, dagingnya menjadi kurang empuk saat
umurnya tua. Keempukan daging menurun sejalan dengan bertambahnya umur
ternak.
6. Pakan dan Bahan Aditif (Hormone, Antibiotic, dan Mineral)
Ternak yang digemukkan dengan pakan biji-bijian cenderung mencapai
bobot potong lebih cepat dibanding ternak yang mendapat pakan dari padang
penggembalaan.
Dengan demikian, daging dari ternak yang diberi pakan biji-bijian
biasanya lebih empuk karena ternak dipotong pada umur lebih muda.
7. Keadaan Stress
DFD (Dark Firm Dry)
Daging Dark Firm Dry (DFD) yaitu daging yang berwarna gelap,
bertekstur keras, kering, memiliki nilai pH tinggi dan daya mengikat air tinggi
(Aberle et al., 2000). Daging ini dihasilkan akibat ternak kelelahan setelah
mengalami transportasi yang jauh, sehingga terjadi perubahan dalam sifat fisik,
kimia maupun sensori (Wulf et al., 2002).Menurut Taylor (1984), pigmen yang
memberikan warna pada daging adalah struktur hem. Hem ini berkombinasi
dengan protein membentuk hemoglobin dan mioglobin. Munculnya warna merah
cerah pada daging disebabkan oleh adanya ikatan oksigen pada atom besi (Fe2+)
pada struktur molekul mioglobin.Perbedaan warna daging disebabkan oleh adanya
H2O2 dan enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Senyawa H2O2
menyebabkan oksidasi oksimioglobin menjadi metmioglobin yang berwarna
coklat (Varnam & Sutherland,1995). Kandungan H2O2 yang dihasilkan oleh
bakteri yang memfermentasi secara alamiah kemungkinan lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah H2O2 yang dihasilkan olehL . plantarum selama
memfermentasi daging. Hal ini menyebabkan warna daging terfermentasi alamiah
lebih gelap dibandingkan dengan daging difermentasi L. plantarum.
PSE (Pale Soft Exudatife)
Daging PSE (Pale Soft Exudative) disebabkan Stress dalam waktu yang
lama sebelum penyembelihan shg pH tetap tinggi stlh penyembelihan. Produksi
asam laktat postmortem dari glikogen yang sangat cepat dan tidak terkendali,
sehingga mengakibatkan pH daging yang sangat rendah sesaat setelah
pemotongan, sementara temperatur otot masih tetap tinggi. Daya ikat air oleh
proteinnya sangat rendah. Penurunan pH yang cepat, seperti pada saat pemecahan
ATP yang cepat, akan mengakibatkan kontraksi aktomiosin dan menurunkan DIA
protein (Bendall, 1960). Demikian pula suhu yang tinggi akan mempercepat
penurunan pH otot pascamerta, dan akan meningkatkan penurunan DIA sebagai
akibat dari meningkatnya denaturasi protein otot dan meningkatnya perpindahan
air keruang ekstraselular.
B. Faktor Setelah Pemotongan
Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging adalah
metode pelayuan, metode pemasakan, tingkat keasaman (pH) daging, bahan
tambahan (termasuk enzim pengempuk daging), lemak intramuskular (marbling),
metode penyimpanan dan pengawetan, macam otot daging, serta lokasi otot.
1. Metode Pelayuan
Pelayuan adalah penanganan daging segar setelah penyembelihan dengan
cara menggantung atau menyimpan selama waktu tertentu pada temperatur di atas
titik beku daging (-1,50C). Daging yang kita beli di pasar atau swalayan adalah
daging yang telah mengalami proses pelayuan. Selama pelayuan, terjadi aktivitas
enzim yang mampu menguraikan tenunan ikat daging. Daging menjadi lebih
dapat mengikat air, bersifat lebih empuk, dan memiliki flavor yang lebih kuat.
Hewan yang baru dipotong dagingnya lentur dan lunak, kemudian terjadi
perubahan-perubahan sehingga jaringan otot menjadi keras, kaku, dan tidak
mudah digerakkan. Keadaan inilah yang disebut dengan rigor mortis.
Dalam kondisi rigor, daging menjadi lebih alot dan keras dibandingkan
dengan sewaktu baru dipotong. Oleh karena itu, jika daging dalam keadaan rigor
dimasak, akan alot dan tidak nikmat. Untuk menghindarkan daging dari rigor,
daging perlu dibiarkan untuk menyelesaikan proses rigornya sendiri. Proses
tersebut dinamakan proses aging (pelayuan). Daging biasanya dilayukan dalam
bentuk karkas atau setengah karkas. Hal ini dilakukan untuk mengurangi luas
permukaan yang dapat diinfeksi oleh mikroba.
Tujuan dari pelayuan daging adalah: (1) agar proses pembentukan asam
laktat dari glikogen otot berlangsung sempurna sehingga pertumbuhan bakteri
akan terhambat, (2) pengeluaran darah menjadi lebih sempurna, (3) lapisan luar
daging menjadi kering, sehingga kontaminasi mikroba pembusuk dari luar dapat
ditahan, (4) untuk memperoleh daging yang memiliki tingkat keempukan
optimum serta cita rasa khas.
2. Metode Pemasakan
Daging dengan jaringan ikat sedikit seperti has, dianjurkan dimasak
dengan pemanasan kering (goreng, bakar, panggang, barbeque). Daging dengan
jaringan ikat banyak seperti sengkel, dianjurkan dimasak secara lama dan lambat
dengan suhu rendah dan menggunakan sedikit air. Suhu pemasakan memengaruhi
keempukan daging. Jika daging tanpa lemak dipanaskan, protein kontraktil
mengeras dan cairan hilang sehingga menurunkan keempukan daging. Potongan
daging yang empuk bila dimasak pada suhu rendah akan menjadi lebih empuk
dibanding pemasakan pada suhu sedang, dan dengan pemasakan suhu sedang,
daging lebih empuk dibanding pemasakan dengan suhu tinggi. Oleh karena itu,
suhu pemasakan perlu diperhatikan untuk menghasilkan daging yang empuk.
Susut masak adalah perhitungan berat yang hilang selama pemasakan atau
pemanasan pada daging. Pada umumnya, makin lama waktu pemasakan makin
besar kadar cairan daging hingga mencapai tingkat yang konstan. Susut masak
merupakan indicator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar jus
daging yaitu banyaknya air yang terikat dalam dan diantara serabut otot. Jus
daging merupakan komponen dari daging yang ikut menetukan keempukan
daging (Soeparno, 1992).
3. Tingkat Keasaman (pH) Daging
Nilai pH merupakan salah satu criteria dalam penentuan kualitas daging,
khususnya di Rumah Potong Hewan (RPH). Setelah pemotongan hewan (hewan
telah mati), maka terjadilah proses biokimiawi yang sangat kompleks di dalam
jaringan otot dan jaringan lainnya sebagai konsekuen tidak adanya aliran darah ke
jaringan tersebut, karena terhentinya pompa jantung. Salah satu proses yang
terjadi dan merupakan proses yang dominan dalam jaringan otot setelah kematian
(36 jam pertama setelah kematian atau postmortem) adalah proses glikolisis
anaerob atau glikolisis postmortem. Dalam glikolisis anaerob ini, selain
dihasilkan energi (ATP) maka dihasilkan juga asam laktat. Asam laktat tersebut
akan terakumulasi di dalam jaringan dan mengakibatkan penurunan nilai pH
jaringan otot.
Nilai pH otot (otot bergaris melintang atau otot skeletal atau yang disebut
daging) saat hewan hidup sekitar 7,0-7,2 (pH netral). Setelah hewan disembelih
(mati), nilai pH dalam otot (pH daging) akan menurun akibat adanya akumulasi
asam laktat. Penurunan nilai pH pada otot hewan yang sehat dan ditangani
dengan baik sebelum pemotongan akan berjalan secara bertahap, yaitu dari nilai
pH sekitar 7,0-7,2 akan mencapai nilai pH menurun secara bertahap dari 7,0
sampai 5,6 5,7 dalam waktu 6-8 jam postmortem dan akan mencapai nilai pH
akhir sekitar 5,5-5,6. Nilai pH akhir (ultimate pH value) adalah nilai pH terendah
yang dicapai pada otot setelah pemotongan (kematian). Nilai pH daging tidak
akan pernah mencapai nilai di bawah 5,3. Hal ini disebabkan karena pada nilai
pH di bawah 5,3 enzim-enzim yang terlibat dalam glikolisis anaerob tidak aktif
berkerja. (Lukman, 2010).
4. Bahan Tambahan (Termasuk Enzim Pengempuk Daging)
Enzim dari tanaman, seperti papain (dari pepaya), bromelin (dari nenas),
dan fisin (getah pohon daun ara), baik berbentuk cair maupun bubuk, dapat
digunakan untuk mengempukkan daging. Kelemahan enzim ini adalah kadang-
kadang hanya bereaksi pada permukaan daging, selain berpengaruh negatif
terhadap sifat daging.
Papain dari getah pepaya paling banyak digunakan sebagai pengempuk daging.
Kualitas getah sangat menentukan aktivitas enzim proteolitik, dan kualitas enzim
bergantung pada bagian tanaman asal getah tersebut. Aktivitas enzim dipengaruhi
oleh proses pembuatan, umur, dan varietas pepaya. Papain
stabil pada pH larutan 5,0. Papain sangat aktif dan tahan terhadap
panas. Papain bekerja optimum pada suhu 50-60oC dan pH 5-7, serta aktivitas
proteolitik antara 70-1.000 unit/gram.
Enzim bromelin dari nenas juga banyak digunakan untuk mengempukkan
daging. Enzim bromelin dapat menguraikan serat-serat daging sehingga menjadi
lebih empuk. Buah nenas yang belum matang mengandung bromelin lebih sedikit
dibandingkan buah nenas matang yang masih segar. Kandungan bromelin paling
banyak terdapat dalam bagian kulit.
Marinasi adalah cara meningkatkan keempukan daging dengan
menambahkan bahan perasa, seperti garam atau kecap, asam (cuka, jeruk lemon),
dan enzim (papain, bromelin, fisin atau jahe). Penambahan beberapa sendok
makanminyak zaitun akan melindungi permukaan daging dari udara dan daging
akan tetap segar dan warnanya lebih cerah dalam waktu lebih lama. Dengan
marinasi terjadi pelunakan kolagen oleh garam, meningkatnya pertahanan air,
hidrolisis serta pemecahan ikatan silang jaringan ikat oleh asam.
5. Lemak Intramuscular (Marbling)
Berdasarkan marbling, karkas sapi dibedakan menjadi: 1) prime, bila
marbling-nya berlebih, 2) choice, bila marbling-nya sedang, 3) seledt, bila
marbling-nya sedikit, 4) standart, bila marbling-nya sangat sedikit.
Marbling adalah lemak yang terdapat diantara serabut otot
(intramuscular). Lemak berfungsi sebagai pembungkus otot dan mempertahankan
keutuhan daging pada waktu dipanaskan. Marbling berpengaruh terhadap citarasa
daging. Selama proses penggemukan, peningkatan lemak karkas akan
mempengaruhi komposisi karkas dan hasil daging (Priyanto et al., 1999).
6. Metode Penyimpanan dan Pengawetan
Ada beberapa yang dilakukan dalam menentukan kualitas daging dengan
metode penyimpanan dan pengawetan, antara lain sebagai berikut:
a. Laju Pendingin
Karkas sebaiknya cepat didinginkan setelah pemotongan untuk mencegah
penurunan kualitas. Jika karkas didinginkan sebentar, hasilnya adalah pendinginan
singkat dan menyebabkan daging keras/alot. Pendinginan singkat terjadi pada saat
otot didinginkan
kurang dari 60F sebelum rigor mortis selesai. Jika karkas dibekukan sebelum
rigor mortis selesai, hasilnya adalah rigor cair (thaw rigor) dan daging menjadi
keras/alot. Pada kondisi pendinginan normal, karkas yang terlindungi lemak
sekitar rib eye kurang dari 1,2 cm mungkin akan menurunkan keempukan karena
pendinginan singkat. Pelayuan karkas hasil pendinginan singkat atau rigor cair
dapat memengaruhi keempukan. Agar daging lebih empuk, harus dihindari
pendinginan singkat, 6-12
jam pertama setelah ternak dipotong (mati).
b. Pembekuan
Pembekuan kurang memengaruhi keempukan daging. Bila daging
dibekukan secara cepat akan terbentuk kristal es kecil, dan bila
daging dibekukan lambat/lama akan terbentuk kristal es besar. Terbentuknya
kristal es besar dapat mengganggu serat otot daging sehingga sangat sedikit
meningkatkan keempukan. Kristal es yang besar dapat menurunkan cairan daging
selama thawing (pencairan). Daging yang kurang berair akan kurang empuk jika
dimasak.
c. Thawing
Daging beku yang sudah mengalami pencairan secara lambat dalam
refrigerator umumnya lebih empuk dibanding yang dimasak dalam kondisi beku.
Pencairan secara lambat mengurangi kekerasan dan jumlah cairan daging yang
hilang. Pencairan menggunakan microwave hendaknya dilakukan dengan daya
yang rendah.
Akibat proses pengolahan dan komponen bumbu yang digunakan,
beberapa produk olahan tersebut memiliki nilai gizi lebih baik dibandingkan
dengan daging segarnya. Produk olahan daging tersebut dapat juga digunakan
sebagai alternatif sumber protein hewani.
KUALITAS DAGING
OLEH
NAMA : TENSI
NIM : I 111 15 020
KELAS : GENAP
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016