Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PENDAHULUAN

PERITONITIS

A. Pengertian Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum (lapisan membran serosa rongga abdomen)
lamnya. (Arif Muttaqin, 2011)
Peritonitis adalah inflamasi peritonium-lapisan membran serosa rongga abdomen dan
meliputi visera. (Brunner dan Suddarth, 2001)

B. Etiologi
Penyebab terjadinya peritonitis adalah
Invasi kuman bakteri ke dalam rongga peritoneum,bakteri yang paling sering menyebabkan
infeksi, meliputi
1. Gram negative meliputi Escherichia coli (40%), Klebsiella pneumoniae (7%),
Pseudomonas species, Proteus species, gram negatif lainnya (20%).
2. Gram positif, seperti Streptococcus pneumoniae (15%), Streptococcus lainnya (15%), dan
Staphylococcus (3%). Mikroorganisme anaerob kurang dari 5%. (Cholongitas, 2005).
Invasi kuman ke lapisan peritoneum dapat disebabkan juga oleh berbagai kelainan pada
gastrointestinal dan penyebaran infeksi dari organ di dalam abdomen (Rotstein, 1997) atau
perforasi organ pascatrauma abdomen (Ivatury, 1998)
Biasanya, akibat dari infeksi bakteri : organisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
atau pada wanita dari organ reproduktif internal. Peritonitis dapat juga akibat dari sumber
eksternal seperti cedera atau trauma ( misal : luka tembak atau luka tusuk) atau oleh inflamasi
yang luas yang berasal dari organ diluar area peritonium, seperti ginjal
Inflamasi dan ileus paralitik adalah efek langsung dari infeksi. Penyebab umum lain dari
peritonitis adalah apendisitis, ulkus perforasi, divertikulitis, dan perforasi usus. Peritonitis
juga dapat dihubungkan dengan proses bedah abdominal dan dialisis peritoneal. (Brunner dan
Suddarth, 2001)

C. Patofisiologi
Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik intra-abdomen (peningkatan
aktivitas inhibitor aktivator plasminogen) dan fibrin karantina dengan pembentukan adhesi
berikutnya. Produksi eksudat fibrinosa merupakan reaksi penting pertahanan tubuh, tetapi
sejumlah besar bakteri dapat dikarantina dalam matriks fibrin. Matriks fibrin tersebut
memproteksi bakteri dari mekanisme pembersihan oleh tubuh (van Goor, 1998)
Pembentukan abses merupakan strategi pertahanan tubuh untuk mencegah penyebaran
infeksi, namun proses ini dapat mengakibatkan infeksi persisten dan sepsis yang mengancam
jiwa. Awal pembentukan abses melibatkan pelepasan bakteri dan agen potensi abses menuju
kelingkungan steril. Pertahanan tubuh tidak dapat mengeliminasi agen infeksi dan mencoba
mengontrol penyebaran melalui sistem kompartemen. Proses ini dibantu oleh kombinasi
faktor-faktor yang memiliki fitur yang umum, yaitu fagositosis. Kontaminasi transien bakteri
pada peritoneal (yang disebabkan oleh penyakit viseral primer) merupakan kondisi umum.
Resultan paparan antigen bakteri telah ditunjukkan untuk mengubah respon imun ke inokulasi
peritoneal berulang. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan insidensi pembentukan abses,
perubahan konten bakteri, dan meningkatnya angka kematian. Studi terbaru menunjukkan
bahwa infeksi nosokomial di organ lain (misalnya pneumonia, sepsis, infeksi luka) juga
meningkatkan kemungkinan pembentukan abses abdomen berikutnya (Bandy, 2008)
Selanjutnya abses yang terbentuk diantara perlekatan fibrinosa, menempel menjadi satu
dengan permukaan sekitarnya. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,
tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas
pada permukaan peritoneum, maka aktivitas motilitas usus menurun dan meningkatkan risiko
ileus paralitik (Price, 1995)
Respon peradangan peritonitis juga menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan
membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi dengan cepat dan agresif,
maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, misalnya interleukin,
dapat memulai respons hiperinflamatorius sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya
dari kegagalan banyak organ. Oleh karena itu tubuh mencoba untuk mengimpensasi dengan
cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardia
awalnya meningkatkan curah jantung, tetapi kemudian akan segera terjadi bradikardia begitu
terjadi hipovolemia (finlay,1999)
Organ-organ di dalam kavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami edema.
Edema disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut
meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus, serta
edema seluruh organ intraperitoneal dan edema dinding abdomen termasuk jaringan
retroperitoneal menyebabkan hopovolemik. Hipovolemik bertambahan dengan adanya
kenaikan suhu, intake yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan dirongga peritoneum
dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekanan intraabdomen, membuat usaha
pernapasan penuh menjadi sulit, dan menimbulkan penurunan perfusi.
Peritonitis tersier mewakili peritonitis yang bersifat persisten atau rekuren. Pasien dengan
peritonitis tersier biasanya hadir dengan abses, atau phlegmon, dengan atau tanpa fistula.
Peritonitis tersier berkembang lebih sering pada pasien dengan kondisi penyakit signifikan
yang sudah ada sebelumnya dan pada pasien dengan penurunan fungsi imun. Meskipun
jarang diamati pada peritonitis tanpa komplikasi, insiden peritonitis tersier pada pasien
memerlukan masuk ICU pada peritonitis yang parah dapat mencapai 50-74% (Sawyer, 1991)
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran dari organ abdomen kedalam rongga abdomen
biasanya sebagai akibat dari inflamasi, infeksi, iskemia, trauma atau perforasi tumor. Terjadi
proliferasi bakterial. Terjadi edema jaringan, dan dalam waktu singkat terjadi eksudasi cairan.
Cairan dalam rongga peritonial menjadi keruh dengan peningkatan jumlah protein, sel darah
putih, debris seluler, dan darah. Respons segera dari saluran usus adalah hipermotilitas,
diikuti oleh ileus peralitik, disertai akumulasi udara dan cairan dalam usus. (Brunner dan
Suddarth, 2001)

D. Manisfestasi klinis
Gejala tergantung pada lokasi dan luas inflamasi. Manisfestasi klinis awal dari peritonitis
adalah gejala dari gangguan yang menyebabkan kondisi ini.
a. Nyeri menyebar dan sangat terasa. Nyeri cenderung menjadi konstan, terlokalisasi, lebih
terasa di dekat sisi inflamasi dan biasanya diperbesar oleh gerakan. Area yang sakit dari
abdomen menjadi sangat nyeri apabila ditekan, dan otot menjadi kaku. Nyeri tekan lepas
dan ileus peralitik dapat terjadi.
b. Mual dan muntah
c. Penurunan peristaltik.
d. Suhu dan frekuensi nadi meningkat,
e. Terdapat peningkatan jumlah leukosit.

E. Komplikasi
a. Sepsis adalah penyebab umum dari kematian pada peritonitis.
b. Syok dapat diakibatkan dari septikemia atau hipovolemia.
c. Proses inflamasi dapat menyebabkan obstruksi usus, yang terutama berhubungan dengan
terjadinya perlekatan usus.
Dua komplikasi pascaoperatif paling umum adalah
a. Eviserasi luka
b. Pembentukan abses. Berbagai petunjuk dari pasien tentang area abdomen yang
mengalami nyeri tekan, nyeri, atau merasa seakan sesuatu terbuka harus dilaporkan.
Luka yang tiba-tiba mengeluarkan drainase serosanguinosa menunjukkan adanya dehisens
luka.

F. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Leukosit akan meningkat. Hemoglobin dan hematokrit mungkin rendah bila terjadi
kehilangan darah. Elektrolit serum dapat menunjukkan perubahan kadar kalium, natrium,
dan klorida.
b. Sinar-x dada dapat menunjukkan udara dan kadar cairan serta lengkung usus yang
terdistensi.
c. Pemindaian CT abdomen dapat menunjukkan pembentukan abses.
d. Aspirasi peritoneal dan pemeriksaan kultur serta sensitivitas cairan teraspirasi dapat
menunjukkan infeksi dan mengidentifikasi organisme penyebab.

G. Penatalaksanaan
a. Penggantian cairan, koloid, dan elektrolit adalah fokus utama dari penatalaksanaan medis.
Beberapa liter larutan isotonik diberikan. Hipovolemia terjadi karena sejumlah besar
cairan dan elektrolit bergerak dari lumen usus kedalam rongga peritoneal dan menurunkan
cairan dalam ruang vaskuler.
b. Analgestik diberikan untuk mengatasi nyeri.
c. Antiemetik dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan muntah.
d. Intubasi usus dan pengisapan membantu dalam menghilangkan distensi abdomen dan
dalam meningkatkan fungsi usus. Cairan dalam rongga abdomen dapat menyebabkan
distres pernapasan.
e. Terapi oksigen dengan kanula rasal atau masker akan meningkatkan oksigenisasi secara
adekuat, tetapi kadang-kadang intubasi jalan napas dan bantuan ventilasi diperlukan.
f. Terapi antibiotik masif biasanya dimulai di awal pengobatan peritonitis. Dosis besar dari
antibiotik spektrum luas diberikan secara intravena sampai organisme penyebab infeksi
diidentifikasi dan terapi antibiotik khusus yang tepat dapat dimulai.
g. Tindakan bedah mencakup mengangkat materi terinfeksi dan memperbaiki penyebab.
Tindakan pembedahan diarahkan pada eksisi (apendiks), reseksi dengan atau tanpa
anastomosis (usus), memperbaiki (perforasi), dan drainase (abses). Pada sepsis yang luas,
perlu dibuat diversi fekal.

H. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1. Biodata/ identitas pasien :
Nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan,no medrek,diagnose, tanggal masuk,
dan alamat
2. Riwayat penyakit
a) Keluhan utama
Nyeri abdomen. Keluhan nyeri dapat bersifat akut, awalnya rasa sakit sering kali
membosankan dan kurang terlokalisasi (peritoneum viseral). Kemudian
berkembang menjadi mantap, berat, dan nyeri lebih terlokalisasi (peritoneum
parietal). Jika tidak terdapat proses infeksi, rasa sakit menjadi berkurang. Pada
beberapa penyakit tertentu (misalnya: perforasi lambung, pankreatitis akut berat,
iskemia usus) nyeri abdomen dapat digeneralisasi dari awal
b) Riwayat kesehatan sekarang
Didapat keluhan lainnya yang menyertai nyeri, seperti peningkatan suhu tubuh,
mual, dan muntah. Pada kondisi lebih berat akan didapatkan penurunan kesadaran
akibat syok sirkulasi dari septikemia
c) Riwayat kesehatan dahulu
Penting untuk dikaji dalam menentukan penyakit dasar yang menyebabkan kondisi
peritonitis. Untuk memudahkan anamnesis, perawat dapat melihat pada tabel.
Penyebab dari peritonitis sebagai bahan untuk mengembangkan pernyataan.
Anamnesis penyakit sistemik, seperti DM, hipertensi dan tuberkulosis
dipertimbangkan sebagai sarana pengkajian preoperatif.
d) Riwayat kesehatan keluarga
Dikaji untuk mengetahui riwayat kesehatan keluarga yang meliputi pola makan,
gaya hidup atau pun penyakit yang sering diderita keluarga sehingga dapat
menyebabkan peritonitis seperti penyakit apendititis, ulkul peptikum, gastritis,
divertikulosis dan lain-lain
3. Pengkajian psikososial
Didapatkan peningkatan kecemasan karena nyeri abdomen dan rencana pembedahan,
serta perlunya pemenuhan informasi prabedah
4. Pemeriksaan fisik
Didapatkan sesuai dengan manisfestasi klinis yang muncul.
a) Keadaan umum : pasien terlihat lemah dan kesakitan
b) TTV mengalami perubahan sekunder dari nyeri dan gangguan hemodinamik.
c) Suhu badan meningkat 38,5oC dan terjadi takikardia, hipotensi, pasien tampak
legarti serta syok hipovolemia
d) Pemeriksaan fisik yang dilakukan :
1) Inspeksi : pasien terlihat kesakitan dan lemah. Distensi abdomen didapatkan
pada hampir semuja pasien dengan peritonitis dengan menunjukkan
peningkatan kekakuan dinding perut. Pasien dengan peritonitis berat sering
menghindari semua gerakan dan menjaga pinggul tertekuk untuk mengurangi
ketegangan dinding perut. Perut sering mengembung disertai tidak adanya
bising usus. Temuan ini mencerminkan ileus umum. Terkadang, pemeriksaan
perut juga mengungkapkan peradangan massa
2) Auskultasi : penurunan atau hilangnya bising usus merupakan salah satu tanda
ileus obstruktif
3) Palpasi : nyeri tekan abdomen (tenderness), peningkatan suhu tubuh, adanya
darah atau cairan dalam rongga peritoneum akan memberikan tanda-tanda
rangsangan peritoneum. Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri tekan
dan defans muskular. Pekak hati dapat menghilang akibat udara bebas dibawah
diafragma. Pemeriksaan rektal dapat memunculkan nyeri abdomen, colok
dubur ke arah kanan mungkin mengindikasikan apendisitis dan apabila bagian
anterior penuh dapat mengindikasikan sebuah abses.
Pada pasien wanita, pemeriksaan bimanual vagina dilakukan untuk mendeteksi
penyakit radang panggul (misalnya endometritis, salpingo-ooforitis, abses
tuba-ovarium), tetapi temuan sering sulit diinterprestasikan dalam peritonitis
berat
4) Perkusi : nyeri tekuk dan bunyi timpani terjadi adanya flatulen
5. Pemeriksaan diagnostik
a) Pemeriksaan laboratorium, meliputi (Laroche, 1998) hal-hal berikut :
1) Sebaian besar pasien dengan infeksi intra-abdomen menunjukkan leukositosis
(>11.000 sel/L)
2) Kimia darah dapat mengungkapkan dehidrasi dan asidosis
3) Pemeriksaan waktu pembekuan dan pendarahan untuk mendeteksi disfungsi
pembengkuan
4) Tes fungsi hati jika diindikasikan secara klinis
5) Urinalisis penting untuk menyingkirkan penyakit saluran kemih, namun pasien
dengan perut bagian bawah dan infeksi panggul sering menunjukkan sel darah
putih dalam air seni dan mikrohematuria
6) Kultur darah untuk mendeteksi agen infeksi septicemia
7) Cairan peritoneal (yaitu paracentesis, aspirasi cairan perut dan kultur cairan
peritoneal). Pada peritonitis tuberkulosa, cairan peritoneal mengandung
banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel
diindikasi dengan kultur
b) Pemeriksaan radiografik
1) Foto polos abdomen
Walaupun identifikasi sangat terbatas, kondisi ileus mungkin didapatkan usus
halus dan usus besar berdilatasi. Udara bebas hadir dalam kebanyakan kasus
anterior perforasi lambung dan duodenum, tetapi jauh lebih jarang dengan
perforasi dari usus kecil dan usus besar, serta tidak biasa dengan appendiks
perforasi. Tegak film berguna untuk mengidentifikasi udara bebas di bawah
diafragma (paling sering disebalah kanan) sebagai indikasi adanya viskus
berlubang
2) Computed tomography scan (CT scan)
CT scan abdomen dan panggul tetap menjadi studi diagnostik pilihan untuk
abses peritoneal. CT scan ditunjukkan dalam semua kasus dimana diagnosis
tidak dapat dibangun atas dasar klinis dan temuan foto polos abdomen. Abses
peritoneal dan cairan lain dapat diambil untuk diagnostik atau terapi dibawah
bimbingan CT scan
3) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI adalah suatu modalitas pencitraan muncul untuk diagnostis dicurigai
abses intra-abdomen. Abses abdomen menunjukkan penurunan itensitas sinyal
pada gambar T1-weighted dan homogen atau peningkatan intensitas sinyal
heterogen pada gambar T2-weighted. Terbatasnya
c) USG
USG abdomen dapat membantu dalam evaluasi kuadran kanan atas (misalnya
perihepatic abses, kolesistitis, biloma, pankreatitis, pankreas pseudocyst), kuadran
kanan bawah, dan patologi pelvis (misalnya appendisitis, abses tuba-ovarium,
abses Douglas), tetapi terkadang pemeriksaan menjadi terbatas karena adanya
nyeri, distensi abdomen dan gangguan gas usus. USG dapat mendeteksi
peningkatan jumlah cairan peritoneal (asites), tetapi kemampuannya untuk
mendeteksi jumlah kurang dari 100 ml sangat terbatas

b. Diagnosa Keperawatan / Masalah yang sering Muncul


1. Kekurangan volume cairan b.d kegagalan dalam mekanisme pengaturan, kehilangan
cairan sekunder akibat muntah, mual
2. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual/peningkatan
kebutuhan metabolik
3. Nyeri akut berhubungan iritasi kimia peritoneum perifer
4. Disfungsi motilitas gastrointestinal
5. Hipertermia b.d respon terhadap trauma (proses peradangan pada peritoneum)
6. Ketakutan ancaman kematian/ perubahan status kesehatan
7. Resiko ketidak seimbangan elektrolit
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2.
Jakarta:EGC

Carpenito, Lynda Juall. 1998. Diagnosa Keperawatan : Aplikasi pada Praktik Klinik Edisi 6.
Jakarta : EGC

Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta : EGC

Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8.
Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai