Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Antibiotik

2.1.1 Pengertian Antibiotik

Antibiotika adalah zat-zat kimia oleh yang dihasilkan oleh fungi dan

bakteri, yang memiliki khasiat mematikan ataumenghambat pertumbuhan kuman,

sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat-zat ini, yang

dibuat secara semi-sintesis, juga termasuk kelompok ini, begitu pula senyawa

sintesis dengan khasiat antibakteri (Tjay & Rahardja, 2007).

Antibiotik adalah zat biokimia yang diproduksi oleh mikroorganisme,

yang dalam jumlah kecik dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh

pertumbuhan mikroorganisme lain (Harmita dan Radji, 2008).

2.1.2 Penggolongan Antibiotik

Penggolongan antibiotik secara umum dapat diklasifikasikan sebagai

berikut :

1. Berdasarkan struktur kimia antibiotik (Tjay & Rahardja, 2007)

a. Golongan Beta-Laktam, antara lain golongan sefalosporin (sefaleksin,

sefazolin, sefuroksim, sefadroksil, seftazidim), golongan monosiklik, dan

golongan penisilin (penisilin, amoksisilin). Penisilin adalah suatu agen

antibakterial alami yang dihasilkan dari jamur jenis Penicillium

chrysognum.

b. Antibiotik golongan aminoglikosida, aminoglikosida dihasilkan oleh jenis-

jenis fungi Streptomyces dan Micromonospora. Semua senyawa dan


turunan semi-sintesisnya mengandung dua atau tiga gula-amino di dalam

molekulnya, yang saling terikat secara glukosidis. Spektrum kerjanya luas

dan meliputi terutama banyak bacilli gram-negatif. Obat ini juga aktif

terhadap gonococci dan sejumlah kuman gram-positif. Aktifitasnya adalah

bakterisid, berdasarkan dayanya untuk menembus dinding bakteri dan

mengikat diri pada ribosom di dalam sel. Contohnya streptomisin,

gentamisin, amikasin, neomisin, dan paranomisin.

c. Antibiotik golongan tetrasiklin, khasiatnya bersifat bakteriostatis, hanya

melalui injeksi intravena dapat dicapai kadar plasma yang bakterisid lemah.

Mekanisme kerjanya berdasarkan diganggunya sintesa protein kuman.

Spektrum antibakterinya luas dan meliputi banyak cocci gram positif dan

gram negatif serta kebanyakan bacilli. Tidak efektif Pseudomonas dan

Proteus, tetapi aktif terhadap mikroba khusus Chlamydia trachomatis

(penyebab penyakit mata trachoma dan penyakit kelamin), dan beberapa

protozoa (amuba) lainnya. Contohnya tetrasiklin, doksisiklin, dan

monosiklin.

d. Antibiotik golongan makrolida, bekerja bakteriostatis terhadap terutama

bakteri gram-positif dan spectrum kerjanya mirip Penisilin-G. Mekanisme

kerjanya melalui pengikatan reversibel pada ribosom kuman, sehingga

sintesa proteinnya dirintangi. Bila digunakan terlalu lama atau sering dapat

menyebabkan resistensi. Absorbinya tidak teratur, agak sering

menimbulkan efek samping lambung-usus, dan waktu paruhnya singkat,

maka perlu ditakarkan sampai 4x sehari.


e. Antibiotik golongan linkomisin, dihasilkan oleh srteptomyces lincolnensis

(AS 1960). Khasiatnya bakteriostatis dengan spektrum kerja lebih sempit

dar ipada makrolida,n terutama terhadap kuman gram positif dan anaerob.

Berhubung efek sampingnya hebat kini hanya digunakan bila terdapat

resistensi terhadap antibiotika lain. Contohnya linkomisin.

f. Antibiotik golongan kuinolon, senyawa-senyawa kuinolon berkhasiat

bakterisid pada fase pertumbuhan kuman, berdasarkan inhibisi terhadap

enzim DNA-gyrase kuman, sehingga sintesis DNAnya dihindarkan.

Golongan ini hanya dapat digunakan pada infeksi saluran kemih (ISK)

tanpa komplikasi.

g. Antibiotik golongan kloramfenikol, kloramfenikol mempunyai spektrum

luas. Berkhasiat bakteriostatis terhadap hampir semua kuman gram positif

dan sejumlah kuman gram negatif. Mekanisme kerjanya berdasarkan

perintangan sintesa polipeptida kuman. Contohnya kloramfenikol.

2. Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antibiotik yang bersifat bakteriostatik

dan ada yang bersifat bakterisid (Anonim, 2008). Agen bakteriostatik

menghambat pertumbuhan bakteri. Sedangkan agen bakterisida membunuh

bakteri. Perbedaan ini biasanya tidak penting secara klinis selama mekanisme

pertahanan pejamu terlibat dalam eliminasi akhir patogen bakteri.

Pengecualiannya adalah terapi infeksi pada pasien immunocompromised

dimana menggunakan agen-agen bakterisida (Neal, 2006).


Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau

membunuhnya, masing-masing dikenal sebagai kadar hambat minimal (KHM)

dan kadar bunuh minimal (KBM). Antibiotik tertentu aktivitasnya dapat

meningkat dari bakteriostatik menjadi bakterisid bila kadar antimikrobanya

ditingkatkan melebihi KHM (Anonim, 2008).

3. Berdasarkan mekanisme kerjanya terhadap bakteri, antibiotik dikelompokkan

sebagai berikut (Stringer, 2006) :

a. Inhibitor sintesis dinding sel bakteri memiliki efek bakterisidal dengan cara

memecah enzim dinding sel dan menghambat enzim dalam sintesis dinding

sel. Contohnya antara lain golongan -Laktam seperti penisilin,

sefalosporin, karbapenem, monobaktam, dan inhibitor sintesis dinding sel

lainnya seperti vancomysin, basitrasin, fosfomysin, dan daptomysin.

b. Inhibitor sintesis protein bakteri memiliki efek bakterisidal atau

bakteriostatik dengan cara menganggu sintesis protein tanpa mengganggu

sel-sel normal dan menghambat tahap-tahap sintesis protein. Obat- obat

yang aktivitasnya menginhibitor sintesis protein bakteri seperti

aminoglikosida, makrolida, tetrasiklin, streptogamin, klindamisin,

oksazolidinon, kloramfenikol.

c. Mengubah permeabilitas membran sel memiliki efek bakteriostatik dan

bakteriostatik dengan menghilangkan permeabilitas membran dan oleh

karena hilangnya substansi seluler menyebabkan sel menjadi lisis. Obat-

obat yang memiliki aktivitas ini antara lain polimiksin, amfoterisin B,

gramisidin, nistatin, kolistin.


d. Menghambat sintesa folat mekanisme kerja ini terdapat pada obat-obat

seperti sulfonamida dan trimetoprim. Bakteri tidak dapat mengabsorbsi

asam folat, tetapi harus membuat asam folat dari PABA (asam para amino

benzoat), dan glutamat. Sedangkan pada manusia, asam folat merupakan

vitamin dan kita tidak dapat menyintesis asam folat. Hal ini menjadi suatu

target yang baik dan selektif untuk senyawa-senyawa antimikroba.

e. Mengganggu sintesis DNA mekanisme kerja ini terdapat pada obat-obat

seperti metronidasol, kinolon, novobiosin. Obat-obat ini menghambat asam

deoksiribonukleat (DNA) girase sehingga mengahambat sintesis DNA.

DNA girase adalah enzim yang terdapat pada bakteri yang menyebabkan

terbukanya dan terbentuknya superheliks pada DNA sehingga menghambat

replikasi DNA.

4. Berdasarkan aktivitasnya, antibiotik dikelompokkan sebagai berikut (Kee,

1996) :

a. Antibiotika spektrum luas (broad spectrum) contohnya seperti tetrasiklin

dan sefalosporin efektif terhadap organism baik gram positif maupun gram

negatif. Antibiotik berspektrum luas sering kali dipakai untuk mengobati

penyakit infeksi yang menyerang belum diidentifikasi dengan pembiakan

dan sensitifitas.

b. Antibiotika spektrum sempit (narrow spectrum) golongan ini terutama

efektif untuk melawan satu jenis organisme. Contohnya penisilin dan

eritromisin dipakai untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri

gram positif. Karena antibiotik berspektrum sempit bersifat selektif, maka


obat-obat ini lebih aktif dalam melawan organisme tunggal tersebut

daripada antibiotik berspektrum luas.

5. Berdasarkan daya hambat antibiotik, terdapat 2 pola hambat antibiotik terhadap

kuman yaitu (Anonim, 2008) :

a. Time dependent killing. Pada pola ini antibiotik akan menghasilkan daya

bunuh maksimal jika kadarnya dipertahankan cukup lama di atas Kadar

Hambat Minimal kuman. Contohnya pada antibiotik penisilin, sefalosporin,

linezoid, dan eritromisin.

b. Concentration dependent killing. Pada pola ini antibiotik akan

menghasilkan daya bunuh maksimal jika kadarnya relatif tinggi atau dalam

dosis besar, tapi tidak perlu mempertahankan kadar tinggi ini dalam waktu

lama. Contohnya pada antibiotik aminoglikosida, fluorokuinolon, dan

ketolid.

2.1.3 Penggunaan Antibiotik

Hasil studi di Indonesia, Pakistan dan India menunjukkan bahwa lebih dari

70% pasien diresepkan antibiotik. Dan hampir 90% pasien mendapatkan suntikan

antibiotik yang sebenarnya tidak diperlukan. Hasil sebuah studi pendahuluan di

New Delhi mengenai persepsi masyarakat dan dokter tentang penggunaan

antibiotik, 25% responden menghentikan penggunaan antibiotik ketika pasien

tersebut mulai merasa lebih baik, akan tetapi pada kenyataanya penghentian

pemberian antibiotik sebelum waktu yang seharusnya, dapat memicu resistensi

antibiotik tersebut. Pada 47% responden, mereka akan mengganti dokternya jika

dokter tersebut tidak meresepkan antibiotik, dan 18% orang menyimpan antibiotik
dan akan mereka gunakan lagi untuk dirinya sendiri atau untuk keluarganya,

sedangkan 53% orang akan mengobati dirinya sendiri dengan antibiotik ketika

sakit. Dan 16% dokter meresepkan antibiotik pada pasien dengan demam yang

tidak spesifik, 17% dokter merasa pasien dengan batuk perlu antibiotik, 18%

dokter merekomendasikan antibiotik untuk diare dan 49% dokter mengobati

telinga bernanah dengan antibiotik. Penggunaan dan penggunaan antibiotik yang

terlalu berlebihan tersebut dapat memicu terjadinya resistensi antibiotik (WHO,

2011).

2.1.4 Efek Samping Antibiotik

Penggunaan antibiotik yang sembarangan dan tidak tepat dosis, dapat

menggagalkan terapi pengobatan yang sedang dilakukan. Selain itu dapat

menimbulkan bahaya seperti :

1. Resistensi, ialah tidak terganggunya sel mikroba oleh antibiotik yang

merupakan suatu mekanisme alami untuk bertahan hidup. Ini dapat terjadi

apabila antibiotik diberikan atau digunakan dengan dosis yang terlalu rendah

atau masa terapi yang tidak tepat.

2. Suprainfeksi, yaitu infeksi sekunder yang timbul ketika pengobatan terhadap

infeksi primer sedang berlangsung dimana jenis dan infeksi yang timbul

berbeda dengan infeksi primer (Tjay & Rahardja, 2007).

2.1.5 Resistensi Antibiotik

Hasil penelitian pada tahun 2003, Kejadian resistensi terhadap penicilin

dan tetrasiklin oleh bakteri patogen diare dan Neisseria gonorrhoeae telah hampir

mencapai 100% di seluruh area di Indonesia (Hadi dkk, 2008).


Resistensi terhadap antibiotik bisa di dapat atau bawaan. Pada resistensi

bawaan, gen yang mengkode mekanisme resistensi ditransfer dari satu organisme

ke organisme lain (Anonim, 2008). Secara klinis resistensi yang di dapat, adalah

dimana bakteri yang pernah sensitif terhadap suatu obat menjadi resisten.

2.1.6 Penggunaan Antibiotik yang Rasional

Kunci untuk mengontrol penyebaran bakteri yang resisten adalah dengan

menggunakan antibiotika secara tepat dan rasional. Pengobatan rasional

dimaksudkan agar masyarakat mendapatkan pengobatan sesuai dengan kebutuhan

klinisnya, dalam dosis yang tepat bagi kebutuhan individunya, untuk waktu yang

cukup dan dengan biaya yang paling terjangkau bagi diri dan komunitasnya

(Darmansjah, 2011). WHO menyatakan bahwa lebih dari setengah penggunaan

obat diberikan secara tidak rasional (WHO, 2001). Menurut WHO, kriteria

pemakaian obat yang rasional, antara lain :

a. Sesuai dengan indikasi penyakit Pengobatan didasarkan atas keluhan

individual dan hasil pemeriksaan fisik.

b. Diberikan dengan dosis yang tepat Pemberian obat memperhitungkan umur,

berat badan dan kronologis penyakit.

c. Cara pemberian dengan interval waktu pemberian yang tepat. Jarak minum

obat sesuai dengan aturan pemakaian yang telah ditentukan.

d. Lama pemberian yang tepat. Pada kasus tertentu memerlukan pemberian obat

dalam jangka waktu tertentu.

e. Obat yang diberikan harus efektif dengan mutu terjamin. Hindari pemberian

obat yang kedaluarsa dan tidak sesuai dengan jenis keluhan penyakit.
f. Tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau. Jenis obat mudah

didapatkan dengan harganya relatif murah.

g. Meminimalkan efek samping dan alergi obat

2.1.7 Sediaan Antibiotik

Bahan obat jarang diberikan sendiri-sendiri, tetapi lebih sering merupakan

suatu formula yang dikombinasikan dengan satu atau lebih zat bukan obat yang

bermanfaat untuk kegunaan farmasi yang bermacam-macam dan khusus. Melalui

penggunaan yang selektif dari zat obat ini sebagai bahan farmasi akan dihasilkan

sediaan farmasi atau bentuk sediaan dengan tipe yang bermacam-macam (Ansel,

2008).

2.1.8 Kebijakan Pemerintah Tentang Kewajiban Menggunakan Obat

Generik

Ketersediaan obat generik dalam jumlah dan jenis yang cukup,

terjangkau oleh masyarakat serta terjamin mutu dan keamanannya, perlu

digerakkan dan didorong penggunaannya di fasilitas pelayanan kesehatan

pemerintah agar penggunaan obat generik dapat berjalan efektif dengan

menetapkan kewajiban menuliskan resep dan/atau menggunakan Obat Generik di

fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dengan peraturan Menteri Kesehatan

(Anonim, 2010).
2.2 Rumah Sakit

2.2.1 Defini Rumah Sakit

Rumah sakit adalah suatu institusi yang kompleks, menggunakan

gabungan alat ilmiah khusus dan rumit dan difungsikan oleh berbagai kesatuan

personel terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik

modern, yang semuanya terikat bersama-sama dalam maksud yang sama untuk

pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik (Siregar & Amalia, 2004).

2.2.2 Tugas Rumah Sakit

Pada umumnya tugas rumah sakit ialah menyediakan keperluan untuk

pemeliharaan dan pemulihan kesehatan. Menurut keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor : 983/Menkes/SK/XI/1992, tugas rumah sakit umum

adalah melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna

dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan upaya peningkatan dan

pencegahan serta melaksanakan rujukan (Siregar & Amalia, 2004).

2.2.3 Fungsi Rumah Sakit

Guna menjalankan tugas-tugasnya, rumah sakit mempunyai berbagai

fungsi yaitu :

a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai

dengan standar pelayanan rumah sakit

b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan

kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis

c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka

peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan dan


d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi

bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan

memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan (Siregar & Amalia,

2004).

2.2.4 Klasifikasi Rumah Sakit

Suatu klasifikasi rumah sakit yang seragam diperlukan untuk memberi

kemudahan mengetahui identitas, organisasi, jenis pelayanan, yang diberikan,

pemilik, dan kapasitas tempat tidur. Disamping itu, agar dapat mengadakan

evaluasi yang lebih tepat untuk suatu golongan rumah sakit tertentu (Siregar &

Amalia, 2004).

Rumah sakit dapat diklasifikasikan berdasarkan berbagai kriteria sebagai

berikut :

1. Kepemilikan, klasifikasi berdasarkan kepemilikan terdiri atas rumah sakit

pemerintah. Di Negara kita ini rumah sakit pemerintah terdiri atas rumah sakit

vertikal yang langsung dikelola oleh DepKes, Rumah Sakit Pemerintah

Daerah, Rumah Sakit Militer, dan Rumah Sakit BUMN. Rumah sakit lain

berdasarkan kepemilikan ialah rumah sakit yang dikelolah oleh masyarakat

atau sering disebut rumah sakit sukarela. Rumah sakit sukarela ini terdiri atas

rumah sakit hak milik dan rumah sakit nirlaba. Rumah sakit hak milik adalah

rumah sakit bisnis yang tujuan utamanya adalah mencari laba (profit). Rumah

sakit yang berfasilitas dengan organisasi keagamaan pada umumnya beroperasi

bukan untuk maksud membuat laba, tetapi adalah nirbala. Rumah sakit nirbala

mencari laba sewajarnya saja dan laba yang diperoleh rumah sakit ini
digunakan sebagai modal peningkatan sarana fisik, perluasan dan

penyempurnaan mutu pelayanan untuk kepentingan penderita.

2. Jenis Pelayanan, berdasarkan jenis pelayanan rumah sakit terdiri atas rumah

sakit umum dan rumah sakit khusus. Rumah sakit umum memberi pelayanan

kepada berbagai penderita dengan berbagai jenis kesakitan, memberi pelayanan

diagnosis dan terapi untuk berbagai kondisi medik, seperti penyakit dalam,

bedah, pediatrik, ibu hamil, dan sebagainya. Rumah sakit khusus adalah rumah

sakit yang memberi pelayanan diagnosis dan pengobatan untuk penderita

dengan kondisi medik tertentu baik bedah maupun non bedah, seperti rumah

sakit kanker, bersalin, psikiatri, pediatrik, mata, lepra, TB, ketergantungan

obat, rumah sakit rehabilitasi dan penyakit kronis.

3. Lama Tinggal, berdasarkan lama tinggal rumah sakit terdiri atas rumah sakit

perawatan jangka pendek dan jangka panjang. Rumah sakit perawatan jangka

pendek adalah rumah sakit yang merawat penderita selama rata-rata kurang

dari 30 hari, misalnya penderita dengan kondisi penyakit akut dan kasus

darurat biasanya dirawat di rumah sakit perawatan jangka pendek karena

penderita yang dirawat di rumah sakit kurang dari 30 hari. Rumah sakit

umumnya adalah rumah sakit perawatan jangka pendek karena penderita yang

dirawat adalah penderita kesakitan akut yang biasanya pulih dalam waktu

kurang dari 30 hari. Sebaliknya, rumah sakit perawatan jangka panjang adalah

rumah sakit yang merawat penderita dalam waktu rata-rata 30 hari atau lebih.

Penderita demikian mempunyai kesakitan jangka panjang seperti kondisi

psikiatri.
4. Tempat Tidur, rumah sakit pada umumnya diklasifikasikan berdasarkan

kapasitas tempat tidur sesuai pola berikut:

a. Dibawah 50 tempat tidur

b. 50-99 tempat tidur

c. 100-199 tempat tidur

d. 200-299 tempat tidur

e. 300-399 tempat tidur

f. 400-499 tempat tidur

g. 500 tempat tidur dan lebih

5. Afiliasi Pendidikan, rumah sakit berdasarkan afiliasi pendidikan terdiri atas dua

jenis, yaitu rumah sakit pendidikan dan rumah sakit nonpendidikan. Rumah

sakit pendidikan adalah rumah sakit yang melaksanakan program pelatihan

residensi dalam medik, bedah, pediatric, dan bidang spesialiss lain. Dalam

rumah sakit demikian, residen melakukan pelayanan/perawatan penderita

dibawah pengawasan staf medik rumah sakit. Rumah sakit yang tidak memiliki

program pelatihan residen dan tidak ada afiliasi rumah sakit dengan universitas

disebut rumah sakit nonpendidikan.

6. Status Akreditasi, rumah sakit berdasarkan status akreditasi terdiri atas rumah

sakit yang telah di akreditasi dan rumah sakit yang belum di akreditasi. Rumah

sakit telah diakreditasi adalah rumah sakit yang telah diakui secara formal oleh

suatu badan sertifikasi yang diakui, yang menyatakan bahwa suatu rumah sakit

telah memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan tertentu (Siregar &

Amalia, 2004).
2.2.5 Tipe-Tipe Rumah Sakit

Jika ditinjau dari kemampuan yang dimiliki, rumah sakit di Indonesia

dibedakan atas 5 macam yakni:

1. Rumah Sakit kelas A

Rumah sakit kelas A adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan

kedokteran spesialis dan subspesialis luas. Oleh pemerintah rumah sakit kelas

A ini telah ditetapkan sebagai tempat pelayanan rujukan tertinggi (top reverral

hospital) atau disebut pula sebagai rumah sakit pusat.

2. Rumah Sakit kelas B

Rumah sakit kelas B adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan

kedokteran spesialisluas dan sub spesialis terbatas. Direncanakan rumah sakit

kelas B didirikan disetiap ibukota provinsi (provincial hospital) yang

menampung pelayanan rujukan dari rumah sakit kabupaten. Rumah sakit

pendidikan yang tidak termasuk kelas A juga diklasifikasikan sebagai rumah

sakit kelas B.

3. Rumah Sakit kelas C

Rumah sakit kelas C adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan

kedokteran spesialis terbatas. Pada saat ini ada 4 macam pelayanan spesialis ini

yang disediakan yakni pelayanan penyakit dalam, pelayanan bedah, pelayanan

kesehatan anak, serta pelayanan kebidanan dan kandungan. Direncanakan

rumah sakit kelas C ini akan


4. Rumah Sakit kelas D

Rumah sakit kelas D adalah rumah sakit yang bersifat transisi karena pada suatu

saat akan ditingkatkan menjadi rumah sakit kelas C. Pada saat ini kemampuan

rumah sakit kelas D hanyalah memberikan pelayanan kedokteran umum dan

kedokteran gigi. Sama halnya dengan rumah sakit kelas C, rumah sakit kelas D ini

juga menampung pelayanan rujukkan yang berasal dari PUSKESMAS.

5. Rumah Sakit kelas E

Rumah sakit kelas E adalah rumah sakit khusus (special hospital) yang

menyelenggarakan hanya satu macam pelayanan kedokteran saja. Pada saat ini

banyak rumah sakit kelas E yang telah ditemukan. Misalnya rumah sakit jiwa,

rumah sakit kusta, rumah sakit paru, rumah sakit kanker, rumah sakit jantung,

rumah sakit ibu dan anak, dan lain sebagainya yang seperti ini (Siregar &

Amalia, 2004).

2.2.6 Ruang Intensif

Ruang Perawatan Intensif adalah bagian dari bangunan rumah sakit

dengan kategori pelayanan kritis, selain instalasi bedah dan instalasi gawat

darurat. Ruang Perawatan Intensif merupakan instalasi pelayanan khusus di rumah

sakit yang menyediakan pelayanan yang komprehensif dan berkesinambungan

selama 24 jam. Dalam rangka mewujudkan Ruang Perawatan Intensif yang

memenuhi standar pelayanan dan persyaratan mutu, keamanan dan keselamatan

perlu didukung oleh bangunan dan prasarana yang memenuhi persyaratan teknis

(Anonim, 2012).
2.2.7 Rumah Sakit Prof.Dr.H.Aloei Saboe

Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. H. Aloei Saboei kota Gorontalo

berkedudukan di jalan Prof. Dr. H. Aloei Saboei Nomor 91 RT 1 RW 4 Kelurahan

Wongkaditi Timur Kecamatan Kota Utara Kota Gorontalo Provinsi Gorontalo.

Terletak diarea lahan seluas 54.000 M2 (Anonim, 2013).

2.2.7 Sejarah Berdirinya RSUD Prof. Dr.H.Aloei Saboe

Rumah Sakit Umum Daerah Prof.Dr.H.Aloei Saboe Kota Gorontalo

pertama kali dibangun pada tahun 1926 dan dimanfaatkan sejak tahun 1929

dengan nama Rumah Sakit Umum Kotamadya Gorontalo.

Pada tahun 1979, Rumah Sakit Umum Kotamadya Gorontalo

ditetapkan sebagai Rumah Sakit kelas C berdasarkan surat keputusan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 51/Men.Kes/SK/II/79 sebagai rumah sakit

kelas C pada tanggal 17 September tahun 1987 Nama Rumah Sakit Kotamadya

Gorontalo di ubah menjadi Rumah Sakit Umum Daerah Prof.Dr.H.Aloei Saboe

Gorontalo yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Walikotamadya Gorontalo

Nomor 97 Tahun 1987. Nama tersebut diambil dari salah seorang perintis

kemerdekaan putera Gorontalo yang banyak berjasa dalam bidang kesehatan yaitu

Almarhum ALOEI SABOE yang memperoleh gelar adat (TAA LOO TINEPA

LIPU).

Pada tahun 2002 terjadi perubahan struktur organisasi tata kerja Rumah

Sakit menjadi Badan Pengelola Rumah Sakit Umum Daerah Prof.Dr.H.Aloei

Saboe Kota Gorontalo berdasarkan surat keputusan Walikota Gorontalo Nomor :

351 tanggal 25 Maret Tahun 2002.


Tanggal 19 Maret 2001 adalah awal dimulainya relokasi bangunan

Rumah Sakit Umum Daerah Prof.Dr.H.Aloei Saboe dengan dilaksanakan

peletakan batu pertama pembangunan gedung baru rumah sakit. Empat tahun

kemudian tepatnya tanggal 19 Maret mulai dimanfaatkan Gedung Baru Rumah

Sakit Prof.Dr.H.Aloei Saboe Kota Gorontalo.

Pada tahun 2009 Rumah Sakit Prof.Dr.H.Aloei Saboe Kota Gorontalo

ditetapkan sebagai Rumah Sakit Tipe B Non Kependidikan milik Pemerintah Kota

Gorontalo berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 084/MENKES/SK/I/2009 tanggal 29 Januari 2009 (Anonim, 2013).


2.2.8 Struktur Organisasi

DIREKTUR
Dr. Andang Ilato MM
Dr. Andang Ilato MM

Dr. Andang Ilato, MM

WADIR PELAYANAN WADIR UMUM &


KELOMPOK KEUANGAN
KELOMPOK
KOMITE
Dr. Medy Sarita
KOMITE Zamroni Agus, SE

BIDANG PELAYANAN BIDANG BIDANG


BIDANG BIDANGUMUM
UMUM& BIDANG PERENC. &
BIDANG
BIDANG KEUANGAN
KEPERAWATAN & PERENC. &
Dr. H. Bobi H. Oko, KEPERAWATAN KEPEGAWAIAN MEDREC Marwan Mursidi,
KEPEGAWAIAN MEDREC
M.Kes S.Sos

Janita Bulamei, Drs. Hi. Kadir Dr. Effendi Tilome,

S.Kep, NS Patuma, MM S.IP, M.Kes

SUBBID PELAYANAN SUBBID BIMBINGAN & SUBBID RT


RT DAN
DAN SUBBID PENYUSUNAN SUBBID
SUBBID PELAY.KEPERAWATAN SUBBID PRG & LAPORAN
SUBBID
PERLENGKAPAN PERBENDAHARAAN
PELAYANAN
MEDIS
PERLENGKAPAN PERBENDAHARAAN
MEDIS Abd. Wahab Pakaya,
S.Kep, Ns
Balidin, S.Pd, M.Si

Dr. Sri A. Ibrahim, Panawan Bilondatu,


Yulvan Anggowa,
SMP M.Kes SE, M.Si
SKM

SUBBID PENUNJANG SUBBID MEDIKAL


SUBBID SUBBID
SUBBID ETIKA ETIKA
& MUTU & SUBBID KEPEG DAN SUBBID
SUBBID VERIVIKASI
DIKLAT RECORD
PENUNJANG
MEDIS MUTU
KEPERAWATAN VERIVIKASI
MEDIS KEPERAWATAN Dr. Jefri Mustafa, PH
Burhanudin Dai
Yanto Y Pontoh, SE,
Linda S. Rosni, A.Md, Kep
Ak
Mohamad, SKM

SUBBID SARANA PERALATAN SUBBID HUKUM DAN SUBBID DATA & SISTIM
SUBBID SARANA SUBBID PROMKES SUBBID HUKUM SUBBID DATA & SUBBID
MEDIS & LOGISTIK
PERALATAN DAN HUMAS SISTIM
RUMAH SAKIT HUMAS INFORMASI AKUNTANSI
MEDIS &
KEPERAWATAN INFORMASI
LOGISTIK Dian Nadjamudin
KEPERAWATAN

Meske U. Patuti, S.Si, Sumardin


Sudarman, SH
Apt

INSTALASI
INSTALASI UPF

Gambar 1. Sturuktur organisasi RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe (Anonim, 2013)
2.2.9 Ruang Intensif RSUD ALoei Saboe

Ruang Intensif di Rumah Sakit Umum Daerah Prof. DR. H. Aloei saboe

terdiri atas :

1. ICU (Intensive Care Unit), suatu unit pelayanan intensif yang memberikan

penanganan dan perawatan terhadap kasus-kasus dengan sakit kritis yang

memerlukan pemantauan, tindakan dan terapi yang intensif dengan tujuan

menekan angka kematian (mortalitas) dan angka kecacatan (morbiditas).

2. ICCU (Intensive Coronary Care Unit), merupakan unit perawatan untuk

penyakit jantung, terutama penyakit jantung koroner, serangan jantung,

gangguan irama jantung yang berat dan gagal jantung.

3. PICU ( Pediatric Intensive Care Unit), sebuah unit perawatan intensif anak,

biasanya disingkat PICU adalah sebuah area dalam rumah sakit yang

mengkhususkan diri dalam merawat bayi yang sakit kritis, anak-anak, dan

remaja. PICU biasanya diarahkan oleh satu atau lebih intensif pediatrik atau

konsultan PICU dan dikelola oleh dokter, perawat, dan terapis pernafasan yang

secara khusus terlatih dan berpengalaman dalam perawatan intensif anak. Unit

ini juga mungkin memiliki praktisi perawat, asisten dokter, fisioterapi, pekerja

sosial, spesialis anak. Rasio untuk pasien PICU umumnya lebih tinggi dari

pada ruang lain di rumah sakit. rumah sakit.

4. NICU (Neonatal Intensive Care Unit) / PICU (Pediatric Intensive Care Unit),

suatu unit pelayanan intensif yang memberikan penanganan dan perawatan

terhadap kasus-kasus dengan sakit kritis yang memerlukan pemantauan,

tindakan dan terapi yang intensif pada balita dan anak..

Anda mungkin juga menyukai