Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.1 Latar Belakang


Kajian teori behavioristik dalam makalah ini dibatasi pada teori pembelajaran dan
aplikasinya dalam bidang pendidikan. Jika menelaah literatur psikologi, kita akan
menemukan banyak teori belajar yang bersumber dari aliran-aliran psikologi. Salah
satunya adalah teori belajar behavioristik. Prinsip dasar belajar menurut teori ini,
bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi
melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini
juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan
punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana
yang perlu dilakukan. Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah
perubahan perilaku yang diamati, diukur dan dinilai secara konkrit. Perubahan terjadi
melalui rangsangan (stimlan yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon)
berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulus tidak lain adalah lingkugan belajar
anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar.
Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap
stimulans.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah pengertian mengenai aliran behaviouristik?
2. Bagaimanakah pendapat para ahli / tokoh behaviouristik ?
3. Apakah pengertian mengenai aliran kognitif ?
4. Bagaimanakah pendapat ahli atau tokoh mengenai teori kognitif ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian mengenai aliran behaviouristik
2. Untuk mengetahui Bagaimanakah pendapat para ahli / tokoh behaviouristik
3. Untuk mengetahui pengertian mengenai aliran kognitif
4. Untuk mengetahui Bagaimanakah pendapat ahli atau tokoh mengenai teori
kognitif

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 . Teori Behavioristik

Aliran behavioris menjadi dominan mewarnai pemikiran selama tahun 1950- an.
Berdasarkan pemikiran para ahli dan pemikir seperti John B.Watson, Ivan Pavlov, dan B.F
Skinner aliran behavioristik berperdapat bahwa semua perilaku dapat dijelaskan oleh sebab
sebab lingkungan. Adalah teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia.
Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap
lingkungan.Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka.

Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat
mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau
respon, menekankan pentingnya latihan,mementingkan mekanisme hasil
belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah
munculnya perilaku yang diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis
artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan
atau reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat
jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. Guru yang menganut
pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan
dan tingkahlaku adalah hasil belajar.

2.2 Tokoh-tokoh Teori Behavioristik

1. IVAN PETROVICH PAVLO (1849-1936)

Pavlo mengadakan percobaan laboratories terhadap anjing. Dalam percobaan ini


anjing di beri stimulus bersarat sehingga terjadi reaksi bersarat pada anjing. Contoh situasi
percobaan tersebut pada manusia adalah bunyi bel di kelas untuk penanda waktu tanpa
disadari menyebabkan proses penandaan sesuatu terhadap bunyi-bunyian yang berbeda dari
pedagang makan, bel masuk, dan antri di bank. Dari contoh tersebut diterapkan strategi
Pavlo ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan

2
stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan. Sementara
individu tidak sadar dikendalikan oleh stimulus dari luar. Belajar menurut teori ini adalah
suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat yang menimbulkan
reaksi.Yang terpenting dalam belajar menurut teori ini adalah adanya latihan dan
pengulangan. Kelemahan teori ini adalah belajar hanyalah terjadi secara otomatis keaktifan
dan penentuan pribadi dihiraukan.

2. JOHN B. WATSON (1878 1958 )

Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon,
namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat
diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri
seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang
tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris
murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika
atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana
dapat diamati dan diukur.

3. EDWARD LEE THORNDIKE (1874-1949)

Thorndike dilahirkan di Williamsburg pada tahun 1874. Ia mempelajari bukunya


jemes mengenai principles of psychology yang sangat menarik baginya, dan kemudian
Thorndike menjadi teman james. Thorndike merupakan tokoh yang mengadakan penelitian
mengenai animal psychology. Pelitiannya mengenai hewan diwujudkan dalam disertasi
doktornya yang berjudul Animal Intelligence: An Experimental Study of the Associative
Processec in Animals , yang diterbitkan pada tahun 1911 dengan judul Animal
Intelligence(Hergenhahn, 1976).

Menurut Thorndike asosiasi antara sense of impression dan implus to action,


disebutnya sebagai koneksi atau connection, yaitu usaha untuk mengabungkan antara
kejadian sensoris dengan perilaku. Thorndike menitikberatkan pada aspek fungsional dari
perilaku, yaitu bahwa proses mental dan perilaku berkaitan dengan penyesuaian diri
organisme terhadap lingkungannya. Karena itu Thorndike diklasifikasikan sebagai
behavioris yang fungsional, berbeda dengan Pavlov sebagai behavioris yang sosiatif.

3
Menurut Thorndike dasar dari belajar adalah trial dan error atau secara asli
disebutnya sebagai Learning by selecting and connecting. Thorndike mengajukan pengertian
tersebut dari eksperimennya dengan puzzle box. Atas dasar pengamatannyaterhadap
bermacam-macam percobaan, Thorndike sampai pada kesimpulanbahwa hewan itu
menunjukkan adanya penyesuaian diri sedemikian rupa sebelum hewan itu dapat
melepaskan diri dari box. selanjutnya dikemukakan bahwa perilaku dari semua hewan coba
itu praktis sama, yaitu apabila hewan coba dalam hal ini kucing yang digunakannya -
dihadapkan pada masalah, ia dalam keadaan dicomfort dan dalam memecahkan masalahnya
dengan trial and error atau coba salah.

Percobaan yang dilakukan oleh Thorndike yaitu kucing yang dilaparkan dimasukkan
dalam box dan makanan ditaruhkan di luar box. Karena kucing dalam keadaan lapar maka
kucing akan berusaha mendapatkan mkanan tersebut. Ia mencakar cakar, melompat
lompat hingga pada suatu waktu perilakunya mengenai tali yang dapat membuka pintu box.
Dengan pintu terbuka, kucing dapat keluar untuk mendapatkan makanan. Eksperimen
tersebut diulangi berulang ulang, dan ternyata makin sering dicoba, kucing makin cepat
keluar dari box.

Dari eksperimennya Thorndike mengajukan adanya tiga macam hukum yang sering
dikenal dengan hokum primer dalam hal belajar, yaitu:

1. Hukum kesiapan (the law of readiness)


2. Hukum latihan (the law of exercise)
3. Hokum efek (the law of effect).

Menurut Thorndike belajar yang baik harus adanya kesiapan dari organism yang
bersangkutan. Apabila tidak adanya kesiapan, maka hasil belajarnyatidak akan baik.
Mengenai hukum latihan oleh Thorndike dikemukakan adanya dua aspek, yaitu (1) the law
of use, (2) the law of disuse. The law of the use, yaitu hukum yang menyatakan bahwa
hubungan atau koneksi antara stimulus dan respons akan menjadi kuat apabila sering
digunakan. The law ofdisuse,yaitu hukum yang menyatakan bahwa hubungan atau koneksi
antara stimulus dan respons akan menjadi lemah apabila tidak ada latihan.

Mengenai hukum efek Thorndike berpendapat bahwa memperkuat atau memperlemah


hubungan antara stimulus dan respons tergantung pada bagaimana hasil dari respons yang
bersangkutan. Apabila sesuatu stimulus memberikan hasil yang memuaskan, maka

4
hubungan antara stimulus dan respons itu akan menjadi kuat, demikian sebaliknya apabila
hasil menunjukkan hal yang tidak menyenangkan, maka hubungan antara stimulus dan
respons melemah. Dengan kata lain apabila sesuatu stimulus menimbulkan respons yang
membawa reward hubungan antara stimulus dan respons (S-R) menjadi kuat, demikian
sebaliknya. Hukum efek ini sebenarnya didasarkan pada hukum asosiasi lama, yaitu hukum
frekuensi dan hukum kontiguinitas sebagai determinan kuat tidaknya hubungan antara
stimulus dan respons. Walaupun Thorndike menerima hukum frekuensi dan hukum
kontiguitas, namun Thordike menambahkan bahwa konsekuensi dari respons itu akan ikut
berperan sebagai determinan kuat lemahnya asosiasi antara stimulus dan responns.

Hukum yang dikemukakan Thorndike tersebut merupakan hukum beajar yang sampai
sekarang masih bertahan sekalipun Thorndike mengadakan revisi mengenai hukumnya
tersebut pada tahun 1929 dalam International Congress of Pysichology di New Heaven.
Karena itu teori Thorndike sering dikenal dengan sebelum tahun 1930 dan teori sesudah
tahun 1930. Yang direvisi menyangkut hukum latihan dan hukum efek. Menurut pandangan
Thorndike yang baru bahwa semta mata karena ulangan saja tidak cukup untuk
memperkuat hubungan antara stimulus dan respons. Namun demikian Thorndike tetap
memprtahankan pendapatnya bahwa latihan mengakibatkan adanya kemajuan, namun ini
tidak berarti bahwa tidak adanya latihan akan menyebabkan kelupaan, hubungannya tidak
simetris.

Mengenai hukum efek Thorndike kemudian berpendapat bahwa stimulus yang


menimbulkan respons yang menyenangkan atau memuaskan akan memperkuat hubungan
stimulus respons (S - R), tetapi stimulus yang menimbulkan keadaan yang tidak
menyenangkan - misalnya hukuman tidak akan membawa penurunan hubungan stimulus
respons. Karena hukumannya yang baru menyatakan bahwa reward akan meningkatkan
kuatnya hubungan stimulus respons, sedangkan punishment belum tentu mengakibatkan
efek menurunya hubungan S-R. Karena itu Reward dan punishment tidak menunjukkan efek
yang simetris (Hergenhahn, 1976).

4. BURRHUS FREDERICK SKINNER (1904 1990)

Skinner seorang tokoh kondisioning operan seperti halnya Thorndike, sedangkan


Pavlov adalah tokoh dalam kondisioning klasik. Bukunya yang berjudul The Behavior of

5
Organism yang diterbitkan pada tahun 19388 memberikan dasar dari sistemnya. Bukunya
yang berjudul Science and Humn Behavior yang terbit tahun 1953 merupakan buku
tesknya untuk behavior psychology.

Skinner membedakan perilaku atas :

1. Perilaku yang alami (Innate behavior), yang kemudian disebut juga sebagai
respondent behavior (Hergenhahn, 1976), yaitu perilaku yang ditimbulkan oleh
stimulus yang jelas, perilaku yang bersifat refleksif.
2. Perilaku operan (operant behavior), yaitu perilaku yang ditimbulkan oleh stimulus
yang tidak diketahui, tetapi semata mata ditimbulkan oleh organism itu sendiri.
Perilaku operan belumtentu didahului oleh stimulus dari luar.

Berkaitan dengan adanya perilaku yang teresponden dan perilaku yang operan, maka ada
kondisioning responden dan kondisionig operan. Dalam hal ini Skinner ada pada
kondisioning operan. Percobaan Skinner tidak jauh berbeda dengan percobaan Thorndike.
Skinner menggunakan tikus sebagai hewan coba, sedangkan Thorndike menggunakan
kucing sebagai hewan coba.

Menurut Skinner ada dua prinsip umum yang berkaitan dengan kondisioning operan,
yaitu (1) setiap respons yang diikuti oleh reward ini bekerja sebagai reinforcement stimuli
akan cenderung diulangi, dan (2) reward atau reinforcement stimuli akan meningkatkan
kecepatan (rate) terjadinya respons. Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa reward
merupakan sesuatu yang meningkatkan probabilitas timbulnya respons. Dalam kondisioning
operan organism harus membuat respon sedemikian rupa untuk memperoleh reinforcement
yang merupakan reinforcement stimuli. Disini letak perbedaan pokok antara kondisionig
klasik dengan kondisioning operan. Pada kondisioning klasik organism tidak perlu membuat
respon atau aktivitas untuk memperoleh reward atau reinforcement.

Menurut Skinner, reinforcement itu ada (a)reinforcement positif dan (b)reinforcement


negative. Reinforcement positif yaitu reinforcement apabila diperoleh akan meningkatkan
probabilitas respons, sedangkan reinforcement negatif yaitu sesuatu yang apabila ditiadakan
dalam situasi akan meningkatkan probabilitas respons. Dengan demikian dapat dikemukakan
bahwa reinforcement itu sebenarnya adalah hukuman atau punishment. Namun demikian,
menurut Skinner yang dimaksud dengan hukuman itu dapat(1) menyingkirkan reinforcement
positif dan (2) mengenakan reinforcement negatif.

6
Menurut Skinner, baik reinforcement positif maupun negative, ada yang primer dan
sekunder. Reinforcement primer adalah berkaitan dengan keadaan yang alami, misalnya
makanan merupakan reinforcement positif primer, dan aliran listrik merupakan
reinforcement negative primer (dalam eksperimen Skinner). Reinforcement positif sekunder
misalnya bunyi bel karena bunyi bel merupakan fore signal datangnya makanan - , dan
sinar lampu sebagai reinforcement negatif sekunder karena sinar lampu sebagai fore signal
datangnya aliran listrik (dalam eksperimen Skinner).

Menurut Skinner, perilaku itu merupakan rangkaian perilaku perilaku yang lebih kecil
atau lebih sederhana. Misalnya untuk datang ke sekolah tidak terlambat, maka ini
merupakan rangkaian perilaku bangun lebih pagi, mandi lebih pagi, dan seterusnya. Karena
itu untuk membentuk perilaku baru, perlu perilaku tersebut dianalisis menjadi perilaku
perilaku yang lebih kecil dan juga dianalisis mengenai reward yang akan digunakannya,
yang pada akhirnya reward hanya akan diberikan pada perilaku yang ingin dibentuk.
Apabila sebagian perilaku sudah terbentuk, maka pemberian reward kemudian bergeser
pada perilaku berikutnya, demikian seterusnya, hingga terbentuk perilaku yang ingin
dibentuk. Ini yang disebut dengan metode shaping dari Skinner.

2.3 Teori Belajar Kognitif (Gestald-field)

Teori kognitif,dikembangkan oleh para ahli psikologi kognitif,teori ini berbeda


dengan behaviorisme,bahwa yang utama pada kehidupa manusi adalah mengetahui
(knowing) dan bukan respons. Psikologi Gestald dipandang sebagai anak dari aliran
strukturalisme,pada tahun 1912 sebagai reaksi terhadap aliran strukturalisme dalam
psikologi (structural psychologi) yaitu sistem psikologi yang dikaitkan dengan William Max
Wundt (1832-1920) Bapak psikologi eksperimen dan Edward Bradferd Tichtner.Aliran
Struktural ini memandang pengalaman manusia dari sudut pengalaman pribadi.Sedangkan
psikolog Gestald memandang kejiwaan manusia terikat kepada pengamatan yang berwujud
kepada bentuk menyeluruh (Syaiful sagala,2013:45) .

Teori-teori yang berorientasi kognitif adalah teori-teori yang menitikberatkan proses-


proses sentral (miasalnya sikap,ide,harapan) dalam menerangkan tingkah laku.Orientasi ini
dibedakan dari orientasi psikoanalitik yang mempelajari proses yang paling dalam (misalnya
ketidaksadarn,id) dan teor-teori behavioristik yang menekankan studinya tentang tingkah
laku pada proses-proses luar (misalnya rangsang dan balas).

7
Perlu juga diingat bahwa teori kognitif itu sendiri sukar dikelompokkan dalam satu
kelompok orientasi karena teori-teori itu tidak mempunyai prinsip yang berlaku umum.prisip
yang berlaku pada suatu teori belum tentu berlaku buat teori yang lain walaupun sama-sama
berorientasi kognitif (Sarlito Wirawan Sarwono,2015:83-84).

Pandangan pokok psikologi gestald adalah berpusat bahwa apa yang dipersepsi itu
merupakan suatu kebulatan,suatu unity atau suatu Gestald.Psikologi Gestald semula
memang timbul berkaitan dengan masalah persepsi,yaitu pengalaman Wartheimer di stasiun
kereta api yang disebutnya phi phenomena.Dalam pengalaman tersebut sinar yang tidak
bergerak dipersepsi sebagai sinar yang bergerak walauun secar obyektif sinar itu
bergerak,tetapi sinar tersebut dipersepsi sebagai sinar yang bergerak.Dengan demikian maka
dalam persepsi itu ada peran aktif dalam diri perseptor.Ini berarti bahwa dalam individu
mempersepsi sesuatu tidak hanya bergantung pada stimulus obyektif saja,tetapi ada aktivitas
individu untuk menentukan hasil persepsinya.Apa yang semula terbatas pada
persepsi,kemudian berkembang dan berpengaruh pada aspek-aspek lain,antara lain dalam
psikologi belajar.( Bimo walgito,2010:85).

Teori belajar Gestald ( Gestald theory) ini lahir di jerman tahun 1912 dipelopori dan
dikembangkan oleh Max Wertheimer (1880-1943) yang meneliti tentang pengamatan dan
problem solving,dari pengamatannya ia menyesalkan penggunaan metode menghafal
disekolah,dan menghendaki agar murid belajar dengan pengertian bukan hafalan
akademis.Sumbangannya ini diikuti tokoh-tokoh lainnya adalah Wolfgang Kohler ( 1887-
1959) (Syaiful sagala,2013:46) .

Penganut aliran gestald bertentangan dengan aliran psikologi strukturalis populer


yang percaya bahwa pikiran terdiri dari unit atau elemen dan dapat dipahami oleh pemetaan
dan siswa belajar dalam kombinasi.Para psikolog gestald yakin bahwa pengalaman mental
tidak tergantung pada kombinasi dari unsur-unsur yang sederhana,melainkan pada organisasi
dan pola pengalaman dan persepsi seseorang .

8
2.4 Tokoh tokoh teori kognitif :

1. Teori Wolgang Kohler ( 1887-1959 )

Kohler yang meneliti tentang Insight pada simpanse yaitu mengenai mentalitas
simpanse (ape) di pulau Canary yang memperkembang psikologi
Gestald.Pandangannya ini bertentangan dengan pendangan Thorndike mengenai
belajar,yang menganggap sebagai proses Trial And Error.
Temuannya selama penelitian itu banyak memperkuat teori gestald bagi kegiatan
perilaku dan pembelajaran hewan.Salah satu percobaan yang paling populer adalah
ketika ayam dilatih untuk mematuk butir pada dula lembar kertas,naik yang berwarna
terang maupun berwarna gelap.Oleh Kohler ini diberi makna bahwa ayam telah
belajar asosiasi dengan sebuah hubungan.bukan dengan warna tertentu.Temuan
ini,yang bertentangang dengan tori behavior kontemporer.Dikenal sebagai hukum
gestald transposisi,karena ujian mata pelajaran telah mentranposisikan pengalaman
asli merela ke keadaan yang baru. (Sudarwan Danim,2014:35)
Kohler menyatakan bahwa belajar serta mencapai hasil adalah proses yang
didasarkan insight.Kecuali itu,pengamatan menurut psikologi elemen berlangsung
dari bagian-bagian menuju keseluruhan.Sedangkan psikologi Gestald berpendapat
Bahwa pengamatan adalah bersifat totalitas,kesan pertama pengamatan adalah
totalitas atau keseluruhan,bagian-bagian barulah muncul kemudian analitis (Syaiful
sagala,2013:46)

2. Teori Kurt Lewin (1892-1947)

Lewin yang mengembangkan suatu teori belajar (Cognitive field) dengan menaruh
perhatian kepada kepribadian dan psikologi sosial.Lewin berpendapat bahwa tingkah
laku merupakan hasil interaksi antar kekuatan-kekuatan,baik yang dari dalam diri
individu seperti tujuan,kebutuhan,tekanan kejiwaan,maupun dari luar diri individu
seperti tantangan dan permasalahan.
Medan kekuatan psikologis dimana individu bereaksi disebut life space yang
mencakup mewujudkan lingkungan dimana individu bereaksi,misalnya orang-orang
yang ia jumpai,objek materiil yang ia hadapi,dan fungsi-fungsi kejiwaan yang ia

9
miliki.Menurut Lewin belajar berlangsunh sebagai akibat dari perubahan dalam
struktur kognitif.Perubahan struktur kognitif itu adalah hasil dari dua macam
kekuatan,saaatu dari struktur medan kognisi itu sendiri,yang lainnya dari kebutuhan
dan motivasi internal individu.Apabila seserang belajar,maka ia akan tambah
pengetahuannya,Lewin memberikan peranan yang lebih penting pada motivasi dan
reward.Penelitian-penelitian mereka menumbuhkan psikologi Gestald yang
menekankan bahasan pada masalah konfigurasi,struktur,dan pemetaan dalam
pengalaman ( Syaiful sagala,2013:46) .
Teori belajar cognitive field menitikberatkan perhatian pada kepribadian dan
psikologi sosial,karena pada hakikatnya masing-masing idividu berada didalam suatu
medan kekuatan yang bersifat psikologis,yang disebut life space.Life space
mencakup perwujudan lingkungan dimana individu bereaksi,misalnya orang yang
dijumpai,fungsi kejiwaan yang dimiliki dan objek material yang dihadapi.
Jadi tingkah laku merupakan hasil interaksi antar kekuatan,baik yang berasal dari
dalam diri individu,seperti tujuan,kebutuhan,tekanan kejiwaan,maupun yang berasal
dari luar diri individu,seperti tantangan dan permasalahan yang dihadapi.Menurut
teori ini,belajar itu berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur
kognitif. (Djaali,2015:76)

3. Benyamin S.Bloom

Benyamn S.bloom telah mengembangkan taksonomi untuk domain


kognitif.Taksonomi adalah metode untuk membuat urutan pemikiran dari tahap dasar
ke arah yang lebih tinggi dari kegiatan mental,dengan enam tahap sebagai berikut :
1. Pengetahuan (Knowledge) ialah kemampuan untuk menghafal,mengingat,atau
mengulangi informasi yang pernah diberikan.Contoh:sebutkan lima bagian
utama kamera 35 mm.
2. Pemahaman (Comprehension) ialah kemampuan untuk menginterpretasi atau
mengulanginformasi degan menggunakan bahasa sendiri.Contoh : uraikan 6
tahapan dalam mengisi film untuk kamera 35 mm.
3. Aplikasi (Application) ialah kemampuan untuk menggunakan
informasi,teori,dan aturan pada situasi baru.Contoh :Pilih ekpose 3 kamera
untuk pengambilan gambar yang berbeda
4. Analisis (Analysis) ialah kemampuan mengurai pemikiran yang kompleks.dan
mengenai bagian-bagian serta hubungannya.Contoh :Bandingkan cara kerja dua
kamera 35 mm yang memiliki model yang berbeda.

10
5. Sintesis (Synthesis) ialah kemampuan engumpulkan komponen yang sama guna
membentuk satu pola pemikiran yang baru.Contoh:susunlah urutan fotograpi
untuk 6 objek.
6. Evaluasi (evaluation) ialah kemampuan membuat pemikiran berdasarkan
kriteria yang telah ditetapkan.Contoh : buatlah penilaian terhadap kualitas slide
yang dihasilkan dalam lomba,dengan 4 urutan penilaian.(Djaali,2015:77)

4. Vygotsky
Teori Vygotsky menunjukkan beragam cara kebudayaan mempengaruhi
perkembangan kognitif. Kebudayaan suatu masyarakat memastikan bahwa setiap generasi
baru meraih manfaat dari kearifan yang telah dikumpulkan oleh generasi-generasi
sebelumnya dan mendorong anak memusatkan perhatian pada stimuli tertentu(dan
mengabaikan stimuli yang lain) dan terlibat dalam aktifitas-aktifitas tertentu (dan
mengabaikan aktifitas- aktifitas yang lain). Kebudayaan juga memberikan suatu lensa
untuk memandang dan menafsirkan pengalaman-pengalaman mereka dalam cara-cara yang
sesuai dengan budaya mereka.
Konstruksi Makna secara Sosial, Vygotsky mengemukakan bahwa orang dewasa membantu
anak melekatkan makna ke berbagai objek dan peristiwa di sekeliling mereka, sehingga anak
ikut mengonstruksi makna bersama-sama dengan orang dewasa, anak-anak juga sering
bercakap-cakap dengan rekan sebayanya untuk memahami pengalaman-pengalaman mereka.
Banyak ilmuan kontemporer meyakinipentingnya pembahasan tentangpembentukan makna
secara bersama-sama dalam rangka membantu anak-anak memperoleh pemahaman yang
semakin kompleks mengenai dunia fisik, sosial, dan akademik mereka, yang secara umum
gagasan ini dikenal sebagai konstruktivisme sosial(social constuktifism).
Para ilmuwan telah banyak memikirkan jenis-jenis bantuan yang dapat membantu anak
menyelesaikan berbagai tugas dan aktifitas yang menantang.Istilah scaffolding
(perancahan) sering kali digunakan saat orang dewasa atau individu yang lebih
kompeten memberikan sejumlah bimbingan atau arahan yang membantu anak melakukan
tugas-tugasdalam zona perkembangan proksimal mereka.
Pemagangan sebuah bentuk partisipasi terbimbing yang sangat intensif adalah pemagangan
(aprenticeship), yakni saat pemula atau anak bawang bekerja bersama seorang pakar dalam
jangka waktu yang cukup lama, dalam rangka mempelajari cara-cara melakukan berbagai
tugas yang kompleks dalam suatu ranah tertentu. Melalui pemagangan, siswa seringkali

11
mempelajari tidak hanya cara melakukan suatu tugas melainkan juga cara memikirkan tugas
tersebut yang disebut dengan pemagangan kognitif.
Bentuk pemagangan bisa saja berbeda-beda dari satu konteks ke konteks yang lain, tetapi
umumnya memiliki beberapa (atau bahkan seluruh) ciri-ciri berikut ini:
1. Modeling. Guru mendemonstrasikan tugas sembari secara bersamaan menjelaskan
proses kerjanya, dan para siswa mati serta mendengarkan.
2. Bimbingan terarah(coaching). Saat siswa melakukan tugas, guru acap kali
memberikan saran, petunjuk, dan umpan balik.
3. Scaffolding. Guru memberikan beragdengantuk dukungan kepada siswa, mungkin
dengan menyederhanakan tugas, memecah tugas menjadi komponen-komponen yang
lebih kecil(yang lebih dapat diatur), atau memberikan peralatan yang tidak terlalu rumit.
4. Artikulasi. Siswa menjelaskan apa yang dilakukannya dan alasan melakukan hal
tersebut, sehingga guru dapat mengevaluasi pengetahuan, penalaran, dan strategi-
strategi pemecahan masalah siswa nyang bersangkutan.
5. Refleksi. Guru meminta siswa membandingkan performanya dengan performa para
pakar, atau dengan performa seorang model yang ideal-yang mampu mengerjakan tugas
tersebut dengan sempurna.
6. Meningkatkan kompleksitas dan keberagaman tugas. Seiring bertambahnya
kecakapan siswa, guru memberikan tugas-tugas yang semakin kompleks, semakin
menantang, dan semakin beragam.
7. Eksplorasi. Guru mendorong siswa menyusun berbagai pertanyaan dan soal secara
mandiri dan dengan begitu mengembangkan dan mempertajam keterampilan-
keterampilan yang baru diperoleh
(Jeanne Ellis Ormord. 2008: 54).
5. J. Piaget
Piaget adalah seorang psikolog developmental karena penelitian mengenai tahap-
tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur yang mempengaruhi kemampuan belajar
individu.
Jean Piaget melakukan penelitian dan menemukan bahwa anak-anak membangun
dunia kognitif mereka secara aktif. Ada empat factor yang mempengaruhi perkembangan
kognitif, yaitu : a) lingkungan fisik, b) kematangan, c) pengaruh social dan d) proses
pengendalian diri.
Kemampuan belajar anak banyak ditentukan oleh kemauan, keaktifan dan
kemandirian individu.Keaktifan peserta didik factor dominan keberhasilan belajar.Dan
12
kemandirian merupakan jaminan ketercapaian hasil belajar (Ridwan Abdullah Sani. 2015:
11).
Menurut Jean Piaget (1975), bahwa proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan,
yakni 1). Asimilasi, 2).Akomodasi, 3).Equilbrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi adalah
proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru kestruktur kognitif yang sudah ada dalam
benak siswa. Akomodasi adalah penyasuaian struktur kognitif kedalam situasi yang
baru.Ekuilbrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
Menurut piaget, proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif yang
dilalui siswa, yang dalam hal ini piaget membaginya menjadi 4 tahap, yaitu tahap sensori-
motor, tahap pra-opersional, tahap operasional konkret, dan tahap operasional formal.
a. Tahap Sensori Motor ( 0- 2 Tahun)
Perkembangan mental ditandai oleh kemajuan yang pesat dalam kemampuan bayi
dalam mengorganisasikan dan mengoordinasikan sensasi melalui gerakan dan tindakan fisik
(Ridwan Abdullah Sani. 2015: 13).
Bayanngkan saja kita menununjukkan boneka badut yang berwarna-warni kepada
Karen, yang berusia 6 bulan. Karen meraih boneka tersebut dengan cara seperti saat ia
meraih boneka beruang dan balok-balok mainan nya. Dengan kata lain, Karen memiliki
skema meraih dan memegang yang diasimilasi ke objek yang baru. Keren kemudian
menjatuhkan boneka badut itu dan mengamatinya jatuh ke lantai; dalam proses itu ia
menerapkan skema melepaskan. Sekarang kita bayangkan jika boneka badut diletakkan ke
dalam sebuah kotak sehingga Karen tidak dapat melihat lagi. Karen tampaknya melupakan
boneka tersebut dan beralih bermain menggunakan mainan lain, berlagak seolah-olah ia
tidak dapat memikirkan atau membayangkan sebuah boneka yang tidak dapat dilihatnya.
Dari contoh ini, Piaget mengemukakan bahwa pada tahap sensori-motor, anak-anak berfokus
pada apa yang mereka lakukan dan lihat (Jeanne Ellis Ormord. 2008: 43-44).
Menurut Piaget pada tahap ini, selama perkembangan dalam periode sensori motor
yang berlangsung sejak anak lahir sampai usia dua tahun intelegensi yang dimiliki anak
masih berbentuk primitif dalam arti masih didasarkan pada prilaku terbuka. Pada tahap ini
perkembanag mental ditandai oleh kemajuan yang besar dalam kemampuan bayi untuk
mengorganisasikan dan mengkoordinasikan sensasi (seperti melihat dan mendengar) melalui
gerakan-gerakan dan tindakan fisik (Ustad MJ. 2012 : 54).

13
a. Tahap Pra-operasional (2-7 tahun)
Pada masa awal tahap ini, keterampilan bahasa anak berkembang pesat dan penguasaan
kosakata yang meningkat memungkinkan mereka mengekspresikan dan memikirkan
beragam objek dan peristiwa. Sebagai contoh: Kami menunjukkan tiga gelas kepada Nathan,
yang berusia 5 tahun. Kami menanyai Nathan, apakah gelas A dan gelas B berisi air
dengan jumlah yang sama. Nathan menjawab dengan yakin bahwa kedua gelas berisi air
dengan jmlah yang sama. Selanjutnya kami menuangkan air dari Gelas B ke Gelas C dan
menanyai Nathan, apakah gelas A dan C berisi air yang berjumlah sama. Nathan
menjawab,Tidak, gelas itu(menunjuk ke gelas A) berisi air lebih banyak, karena lebih
tinggi. Respon Nathan mencerminkan kurangnya konservasi : ia tidak menyadari bahwa
karena tidak ada air yang ditambahkan atau dikurangi, jumlah(volume) dalam kedua gelas
tersebut pastilah sama (Jeanne Ellis Ormord. 2008: 45).
Pada tahap pra-operasional, anak memiliki berbagai ciri khas, diantaranya melakukan
permainan simbolis, dapat menggambarkan realistis, tetapi tidak proposional/ tidak
logis(berdasarkan pemikiran orang dewasa), mengetahui bentuk-bentuk dasar geometris
(bulat, bundar, persegi), mulai menggunakan suara sebagai representasi benda atau kejadian.
Perkembangan bahasa sangat mempelancar perkembangan konseptual anak dan juga
perkembangan kognitif anak, pemikiran anak berkembang pesat secara bertahap kearah
tahap konseptualisasi, namun bisa berpikir multidimensi. Anak masih egosentris(belum bisa
melihat dari perspektif orang lain), adaptasi dilakukan tanpa gambaran yang akurat, dan
belum mampu meniadakan suatu tindakan dengan memikirkan tindakan tersebut dalam arah
yang sebaliknya (Ridwan Abdullah Sani. 2015: 13).
b. Tahap Konkrit Operasional (7-11 tahun)
Menurut Piaget, proses berpikir mereka menjadi terorganisasi, berpikir lebih logis,
melakukan klasifikasi, tidak lagi bersifat egosentris, namun pikiran masih terbatas pada hal-
hal konkret, belum dapat memecahkan persoalan yang abstrak.Contoh :Seorang dewasa
menunjukkan dua bola tanah kepada seorang anak kecil. Kedua bola tersebut memiliki
berat yang sama. Sebuah bola diambil dari timbangan dan digepengkan hingga bentuknya
menyerupai pancake. Apakah bola gepeng tersebut memiliki berat yang sama dengan bola
yang masih bundar, ataukah berat keduanya sudah berbeda?.
Mereka mengalami kesulitan dalam memahami gagasan-gagasan abstrak, serta
mengalami kesulitan menhadapi soal-soal yang banyak sekali hipotesisnya.Anak-anak
umumnya belum mencapai konservasi berat. Berdasarkan contoh mereka belum menyadari

14
bahwa bola gepeng dan bola bundar tersebut memiliki berat yang sama(Jeanne Ellis
Ormord. 2008: 47).
c. Tahap Formal Operasional (11 tahun sampai dewasa)
Anak atau remaja pada tahap ini sudah dapat membanyangkan dan memikirkan
konsep-konsep yang tidak berhubungan dengan realitas konkret.Selain itu, juga mengenali
kesimpulan yang logis, sekalipun kesimpulan itu berada dalam kenyataan di dunia sehari-
hari. Sebagai contoh :
Jika seluruh anak adalah bola basket
Dan jika seluruh bola basket adalah agar-agar
Maka apakah seluruh anak pasti agar-agar?
Maka pemikir-pemikir formal operasional dapat menyimpulkan secara logis bahwa seluruh
anak pastilah agar-agar, sekalipun dalam dunia nyata anak-anak bukanlah agar-agar.
Sejumlah kemampuan yang sangat diperlukan dalam penalaran ilmiah ataupun matematika
yang rumit(Jeanne Ellis Ormord. 2008: 47).

6. Teori Bruner
Dalam memandang proses belajar, Bruner menekankan adanya pengaruh kebudayaan
terhadap tingkah laku seseorang. Dalam teorinya, free discovery learning ia
mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan,
atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya. Menurut
Bruner perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara menyusun
materi pelajaran dan menyajikannya sesuai dengan tahap perkembangan orang tersebut.
Model pemahaman dari konsep Bruner (dalam Degeng,1989) menjelaskan bahwa
pembentukan konsep dan pemahaman konsep merupakan dua kegiatan mengkategori
yang berbeda yang menuntut proses berpikir yang berbeda pula. Menurutnya,
pembelajaran yang selama ini diberikan di sekolah banyak menekankan pada
perkembangan kemampuan analisis, kurang mengembangkan kemampuan berpikir
intuitif. Padahal berpikir intuitif sangat penting untuk mempelajari bidang sains, sebab
setiap disiplin mempunyai konsep-konsep, prinsip, dan prosedur yang harus dipahami
sebelum seseorang dapat belajar. Cara yang baik untuk belajar adalah memahami konsep,
arti, dan hubungan, melalui proses intuitif dan akhirnya sampai pada suatu kesimpulan
(discovery learning).

15
Beberapa prinsip teori Bruner adalah:

1) Perkembangan kognitif ditandai dengan adanya kemajuan menaggapi rangsang


2) Peningkatan pengatahun bergantung pada perkembangan sistem penyimpanan
informasi secara realistis
3) Perkembangan intelektual meliputi perkembangan kemampuan berbicara pada
diri sendiri atau pada orang lain
4) Interaksi secara sistematis diperlukan antara pembimbing, guru dan anak untuk
perkembangan kognitifnya
5) Bahasa adalah kunci perkembangan kognitif
6) Perkembangan kognitif ditandai denfgan kecakapan untuk mengemukakan
bebrapa alternatisf secara simultan, memilih tindakan yang tepat.
7) Perkembangan kognitif di bagi dalam tiga tahap yaitu enactive, iconic, symbolic.
8) Enaktif yaitu tahap jika seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya
untuk emmahami lingkungan sekitaanya. (gigitan, sentuhan, pegangan)
9) Ikonik, yaitu tahap seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui
gambar-gambar dan visualisasi verbal (anak belajar melalui bentuk
perumpamaan dan perbandingan
10) Simbolik yaitu tahap seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan
abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuan dalam berbahasa dan logika.(
anak belajar melalui simbol bahasa, logika, matematika)
11) Model pemahaman dan penemuan konsep
12) Cara yang baik untuk belajar adalah memahami konsep, arti, dan hubungan
memlalui proses intuitif untuk akhirnya sampai pada kesimpulan (discovery
learning)
13) Siswa diberi kekebasan untuk belajar sendiri melalui aktivitas
menemuka(https://sites.google.com/site/mulyanabanten/home/teori-belajar-
behavioristik/teori-belajar-kognitif).

7. Teori Ausubel
Menurut Ausubel, belajar seharusnya merupakan asimilasi yang bermakna bagi siswa.
Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengtahuan yang telah
dimiliki siswa dalam bentuk strukur kognitif. Teori ini banyak memusatkan perhatiannya
pada konsepsi bahwa perolehan dan retensi pengetahuan baru merupakan fungsi dari
struktur kognitif yang telah dimiliki siswa.
Hakikat belajar menurut teori kognitif merupakan suatu aktivitas belajar yang berkaitan
dengan penataan informasi, reorganisasi perceptual, dan proses internal. Atau dengan
kata lain, belajar merupakan persepsi dan pemahaman, yang tidak selalu berbentuk
tingkah laku yang dapat diamati atau diukur. Dengan asumsi bahwa setiap orang telah
memiliki pengetahuan dan pengalaman yang telah tertata dalam bentuk struktur kognitif

16
yang dimilkinya. Proses belajar akan berjalan dengan baik jika materi pelajaran atau
informasi baru beradaptasi dengan struktur kognitif tang telah dimiliki seseorang.
Beberapa Prinsip Teori Ausubel adalah

1) Proses belajar akan terjadi jika seseorang mampu mengasimilasikan pengetahuan


yang tlah dimilikinya dengan pengetahuan baru
2) Proses belajar akan terjadi melalui tahap-tahap memperhatikan stimulus,
memamahi makna stimulus, menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah
dipaham
3) Siswa lebih ditekankan unuk berpikir secara deduktif (konsep advance organizer)

Adapun aplikasi teori kognitif dalam pembelajaran :

a. Keterlibatan siswa secara aktif amat dipentingkan


b. Untuk meningkatkan minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengaitkan
pengetahuan baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa.
c. Materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu dari
sederhana ke kompleks.
d. Perbedaan individu pada siswa perlu diperhatikan karena faktor ini sangat
mempeng(https://sites.google.com/site/mulyanabanten/home/teori-belajar-
behavioristik/teori-belajar-kognitifaruhi keberhasilan belajar)

17
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:

Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya


dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek aspek mental. Dengan kata lain,
behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam
suatu belajar.

Menurut teori ini, peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa
sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.

Teori-teori yang berorientasi kognitif adalah teori-teori yang menitikberatkan proses-


proses sentral (miasalnya sikap,ide,harapan) dalam menerangkan tingkah laku.Orientasi ini
dibedakan dari orientasi psikoanalitik yang mempelajari proses yang paling dalam (misalnya
ketidaksadarn,id) dan teor-teori behavioristik yang menekankan studinya tentang tingkah
laku pada proses-proses luar (misalnya rangsang dan balas).

18
DAFTAR PUSTAKA

Danim, Sudarwan dan H. Khairil. 2011. Psikologi pendidikan . Bandung : Alfabeta .

Desmita .2014. Psikologi perkembangan peserta didik. Bandung : PT REMAJA


ROSDAKARYA.

Muhaimin dan Prabowo,S. 2012. Manajemen Pendidikan. Jakarta : Kencana Renada Media
Group
Ormrod, Jeanne ellis. 2002. Psikologi pendidikan . Jakarta : Erlangga.

Suparlan. 2015. Manajemen Berbasis Sekolah ( MBS ). Jakarta : Bumi Aksara.

Suryabrata,sumadi .2014. psikologi pendididkan. Surabaya : PT. RAJA GRAFINDO


PERSADA

Suyono dan Hariyanto. 2016. Belajar dan Pembelajaran. Bandung : PT. REMAJA
ROSDAKARYA.

Walgito, Bimo . 2010. Pengantar psikologi umum. Yogyakarta : CV. ANDY OFFSET.

Werang,R. 2015. Manajemen Pendidikan Di Sekolah. Yogyakarta : Media Akademi.

( penerbit andi).

19

Anda mungkin juga menyukai