Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Toilet training pada anak merupakan suatu usaha untuk melatih anak agar mampu
mengontrol dalam melakukan buang air kecil dan buang air besar. Toilet training ini
dapat berlangsung pada fase kehidupan anak yaitu pada umur 18 bulan sampai 2 tahun.
Dalam melakukan latihan buang air besar dan buang air kecil pada anak membutuhkan
persiapan baik secara fisik, psikologis, maupun secara intelektual, melalui persiapan
tersebut diharapkan anak mampu mengontrol buang air besar dan buang kecil secara
mandiri (Alimul,2009)
Studi terbaru mengenai toilet training merekomendasikan para orang tua untuk
mulai mengenalkan toilet training saat anak berusia 27-32 bulan. Anak yang baru mulai
belajar menggunakan toilet di atas usia 3 tahun cenderung lebih sering mengompol
hingga usia sekolah. Sebaliknya, bila anda mulai mengenalkan anak untuk pipis dan
buang air besar di toilet sebelum ia berusia 27 bulan justru lebih sering gagal. Para
peneliti melakukan studi dengan mewawancarai 157 orangtua yang memiliki anak
berusia 4-12 tahun yang rutin berkonsultasi pada dokter karena anaknya masih
mengompol. Para orangtua tersebut ditanyai kapan mereka mulai mengajarkan toilet
training dan metode apa yang dipakai. Jawaban para responden itu kemudian
dibandingkan dengan orangtua dari 58 anak yang memiliki kemiripan usia, gender, ras,
dan faktor lain, namun tidak punya masalah mengompol (Rana, 2010)
Sebuah survey yang pernah ada di Indonesia oleh tabloid nakita menyebutkan,
setengah juta anak berusia 616 tahun masih suka ngompol, yang terdiri dari:17% anak
berusia 5 tahun, 14% anak berusia 7 tahun, 9% anak berusia 9 tahun, dan 12% anak
berusia 15 tahun, Sedangkan sekitar 30% anak berumur 4 tahun, 10% anak berumur 6
tahun, 3% anak berumur 12 tahun dan 1% anak berumur 18 tahun masih mengompol di
tempat tidur. Terdapat juga sekitar 20% anak usia balita tidak melakukan toilet training
dan 75% orang tua tidak memandang kondisi seperti itu sebagai masalah.
Menurut Wong (2008) menyatakan bahwa melalui toilet training anak akan
belajar bagaimana mereka mengendalikan keinginan untuk buang air yang selanjutnya
akan menjadikan mereka terbiasa untuk meggunakan toilet (mencerminkan keteraturan)
secara mandiri. Kedekatan interaksi orang tua dengan anak dalam toilet training ini akan
membuat anak merasa aman dan percaya diri.
Keberhasilan toilet training tidak hanya dari kemampuan fisik, psikologis dan
emosi anak itu sendri tetapi juga dari bagaimana perilaku orang tua atau ibu untuk
mengajarkan toilet training secara baik dan benar, sehingga anak dapat melakukan
dengan baik dan benar hingga besar kelak (Warner, 2007). Menurut Bloom (1908) dalam
Notoatmodjo, 2007 membagi perilaku manusia dalam tiga ranah, yaitu pengetahuan
(knowledge), sikap (attitude), dan praktik atau tindakan (practice). Mulai dari
pengetahuan ibu tentang apa itu toilet training, bagaimana cara toilet training serta apa
saja yang dibutuhkan dalam toilet training, setelah ibu mengetahui tentang toilet training,
ibu harus mempersiapkan diri serta balita untuk latihan toilet training, diharapkan setelah
ibu memahami dan mempersiapkan diri untuk toilet training, ibu dapat mempraktekkan
apa yang telah diketahui dan dipersiapkan untuk toilet training (Wulandari, 2001).
Menurut Freud (1923) dalam Papalia (2003). Banyak psikolog terkemuka yang
berpendapat bahwa fase anal merupakan salah satu fase penting perkembangan psikologis
seseorang. Dalam fase ini anak pertama kali dihadapkan pada kondisi dimana keadaan
fisiologis dan biologis tubuhnya harus disesuaikan dengan faktor lingkungan dan sosial.
Fase ini merupakan fase yang tepat untuk mengajarkan anak untuk menahan kebutuhan
biologis misalnya buang air besar atau buag air kecil. Hal ini penting untuk
menyesuaikan perkembangannya dengan faktor lingkungan, yaitu menjaga kebersihan
dan faktor sosial, yaitu ajaran orangtua atau pengasuh.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan pada bulan Februari
2014 didapatkan data jumlah siswa-siswi Paud Melati II Desa Bumirejo Kec. Kebumen
Kab. Kebumen sebanyak 46. Hasil wawancara dengan 10 ibu yang mendampingi anak-
anaknya saat sekolah ada 3 ibu atau 30% ibu mengatakan masih menggunakan pampers
karena beralasan lebih praktris, 3 ibu atau 30% ibu mengatakan tidak melakukan toilet
training karena kesibukan dan para ibu beranggapan bahwa anak akan bisa mengontrol
buang air besar dan buang air kecil dengan sendirinya . 4 ibu atau 40% ibu yang lain
mengatakan sudah melatih toileting kepada anaknya sejak usia 1,5 tahun. Ketika peneliti
mengevaluasi perilaku toilet training yang dilakukan oleh ibu kepada anak-anaknya
didapatkan bahwa para ibu masih sering marah atau bahkan memberikan hukuman saat
anaknya buang air besar atau buang air kecil disembarang tempat. Dari pihak guru
didapatkan informasi bahwa ada beberapa siswa yang tidak bilang sebelum buang air
besar atau buang air kecil, dan kadang masih ada yang menangis saat buang air kecil di
celana karena takut dimarahin gurunya.
Oleh karena itu peneliti tertarik meneliti lebih jauh tentang Hubungan Peran Ibu
dalam Keberhasilan Toilet Training pada Anak Usia Toddler di PAUD Melati II di Desa
Bumirejo, Kab. Kebumen.

B. Rumusan Masalah
Beradasarkan latar belakang di atas , maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah Apakah ada Hubungan Peran Ibu dalam Keberhasilan Toilet Training pada
Anak Usia Toddler di Paud Melati II Desa Bumirejo Kec. Kebumen Kab. Kebumen
tahun 2014? .
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan peran ibu dalam keberhasilan toilet training pada anak
usia toddler di PAUD Melati II Desa Bumirejo Kab. Kebumen.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi peran ibu dalam toilet training di PAUD Melati II Desa
Bumirejo Kab. Kebumen.
b. Mengidentifikasi keberhasilan toilet training di PAUD Melati II Desa
Bumirejo Kab. Kebumen.
c. Menganalisis hubungan peran ibu dalam keberhasilan toilet training di
PAUD Melati II Desa Bumirejo Kab. Kebumen.

D. MANFAAT PENELITIAN
1. Ilmu pengetahuan
Hasil penelitian ini dapat menambah informasi dan pengetahuan tentang toilet
training pada balita.
2. Bagi institusi
Dapat sebagai tambahan kepustakaan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan
kesehatan serta membantu pelaksanaan proses belajar mengajar terutama mata
kuliah tentang pembelajaran toilet training.
3. Ibu
Hasil penelitian ini di harapkan dapat menambah pengetahuan tentang toilet
training dan sikap serta peran orang tua dalam menerapkan praktek toilet training.
4. Peneliti
Peneliti berharap agar hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan, sikap
serta praktik dan penerapan toilet training pada balita .

E. KEASLIAN PENELITIAN
1. Pusparini (2009) melakukan penelitian dengan judul hubungan pengetahuan ibu
tentang toilet training dengan perilaku ibu dalam melatih toilet training pada anak
usia toddler di Desa Kadokan Sukoharjo. Hasil dari penelitian ini adalah
pengetahuan ibu terhadap toilet training di Desa Kadokan Sukoharjo sebagian
besar dalam kategori baik, perilaku ibu dalam melatih toilet training pada anak
usia toddler di Desa Kadokan Sukoharjo juga sebagian besar dalam kategori baik,
dan terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu tentang toilet
training dengan perilaku ibu dalam melatih toilet training pada anak usia toddler
di Desa Kadokan Sukoharjo. Persamaan dengan penelitian ini adalah variable
yang diteliti adalah toilet training pada anak usia toddler, pengumpulan data
dilakukan dengan memberikan kuesioner dan observasi pada orang tua. Perbedaan
dengan penelitian ini adalah pengetahuan ibu dengan perilaku ibu dalam melatih
toilet training sedangkan penelitian yang akan dilakukan adalah hubungan peran
ibu dalam keberhasilan toilet training, penelitian tersebut menggunakan metode
penelitian deskriptif kualitatif sedangkan penelitian yang akan dilakukan
menggunakan metode penelitian survey analitik dengan pendekatan cross
sectional, perbedaan yang lain adalah lokasi penelitian yang diambil di Desa
Kadokan Sukoharjo sedangkan penelitian yang akan dilakukan adalah di PAUD
Melati II Desa Bumirejo Kab. Kebumen.
2. Rosita. 2008, melakukan penelitian dengan judul Hubungan Antara Tingkat
Pendidikan dan Sikap Ibu Terhadap Penerapan Toilet Training Pada Anak Usia
Toddler di TK Al Fath Kecamatan Pare Kabupaten Kediri. Peneliti tersebut
Menggunakan metode Cross Sectional , hasilnya menunjukan bahwa Terdapat
Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dan Sikap Ibu Dalam Penerapan Toilet
Training Pada Anak Toldder ( p = 0,371 ). Persamaan dengan penelitian ini
adalah toileting pada anak, pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner dan
observasi pada orang tua . Sedangkan perbedaanya adalah pada variable peran
ibu, Jenis penelitian survey analitik dengan pendekatan Cross Sectional,
perbedaan yang lain adalah tempat penelitian yang diambil di TK Al Fath
Kecamatan Pare Kabupaten Kediri sedangkan penelitian yang akan dilakukan
adalah di di PAUD Melati II Desa Bumirejo Kab. Kebumen.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Peran Ibu


1. Pengertian Peran Orang Tua
Peran adalah perilaku yang berkenaan dengan siapa yang memegang
posisi tertentu, posisi mengidentifikasi status atau tempat seseorang dalam sistem
sosial. Setiap individu menempati posisi-posisi multipel, orang dewasa, dan pria
suami yang berkaitan dengan masing masing posisi ini adalah sejumlah peran, di
dalam posisi ibu, beberapa peran yang terkait adalah sebagai penjaga rumah,
merawat anak, pemimpin kesehatan dalam keluarga, masak, sahabat atau teman
bermain. Peran adalah serangkaian perilaku yang di harapkan seseorang sesuai
dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal dan informal. (Supartini,
2004)
Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, dan
merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk
sebuah keluarga. Orang tua memiliki tanggung j awab untuk mendidik, mengasuh
dan membimbing anak-anaknya untuk mencapai tahapan tertentu yang
menghantarkan anak untuk siap dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan
pengertian orang tua di atas, tidak terlepas dari pengertian keluarga, karena orang
tua merupakan bagian keluarga besar yang sebagian besar telah tergantikan oleh
keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. (Arif, 2010).
Menurut Depkes RI (2000) disebutkan bahwa keluarga adalah unit terkecil
dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang
terkumpul serta tinggal dalam suatu tempat berada dibawah suatu atap dalam
keadaan saling ketergangungan. (Riyadi, 2010).

2. Struktur Peran Keluarga


Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai
dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun informal,
sedangkan posisi adalah keberadaan seseorang dalam sistem sosial. Peran juga
diartikan sebagai kemampuan individu untuk mengontrol atau mempengaruhi atau
mengubah perilaku orang lain.
Peran anggota keluarga dijalankan untuk menjaga keseimbangan dalam
keluarga, yang dijalankan melalui peran formal maupun informal. Peran formal
yang dijalankan keluarga menentukan tercapainya keseimbangan dalam keluarga
atau tidak. Banyak hal yang menjelaskan tentang peran formal dalam keluarga,
(Friedman,2004) mengemukakan bahwa beberapa peran dasar dan laki-laki
sebagai ayah dan wanita sebagai ibu yang mempunyai posisi sosial sebagai
pemberi layanan, yaitu peran penjaga rumah, pemelihara anak, peran sosialisasi
anak, peran rekreasi, mempertahankan hubungan dengan keluarga wanita atau
lain-lain, pemenuhan kebutuhan pasangan, dan peran seksual.
Sedangkan peran informal dan keluarga bisa menentukan keseimbangan
keluarga dan bisa juga tidak, tetapi lebih bersifat adaptif dan mempertahankan
kesejahteraan keluarga. Peran informal adalah peran sebagai pemberi dorongan,
peran mempertahankan keharmonisan, peran untuk kompromi, peran untuk
memulai atau berkontribusi dalam menghadapi masalah, peran untuk pelopor,
koordinator dan peran informal lainnya. (Supartini, 2004).
3. Tugas Perkembangan keluarga dengan tahap anak toddler
Menurut Friedman (2004) Tugas tugas perkembangan keluarga dengan
anak usia toddler diantaranya: memenuhi kebutuhan anggota keluarga seperti
rumah, ruang bermain, privasi, keamanan, mensosialisasikan anak,
mengintegrasikan anak yang baru sementara tetap memenuhi kebutuhan anak
anak yang lain, mempertahankan hubungan yang sehat dalam keluarga (hubungan
perkawinan dan hubungan orang tua dan anak) dan diluar keluarga (keluarga
besar dan komunitas).
Menurut Engel (2010) tahap perkembangan keluarga dengan anak usia
toddler dimulai pada saat anak pertama berusia 3 tahun dan melibatkan sosialisasi
anak serta keberhasilan penyesuaian terhadap perpisahan antara orang tua dengan
anak.
Menurut Ali (2010) tahap perkembangan keluarga dengan anak toddler
adalah memenuhi kebutuhan anggota keluarga seperti rumah, ruang bermain,
privasi, dan keamanan anak, mensosialisasikan anak, mengintegrasikan anak yang
baru sementara tetap memenuhi kebutuhan anak yang lain, mempertahankan
hubungan yang sehat di dalam keluarga (hubungan perkawinan dan hubungan
orang tua serta anak) dan diluar keluarga (keluarga besar dan komunitas).
Masalah kesehatan fisik utama pada tahap ini adalah penyakit menular yang lazim
pada anak-anak, anak jatuh, luka, luka bakar, keracunan dan kecelakaan
kecelakaan lain.
Sedangkan menurut Suprajitno (2004) kebutuhan perkembangan keluarga
sesuai tahap perkembangan anak usia toddler adalah :
a. Memenuhi kebutuhan anggota keluarga, misalnya kebutuhan tempat
tinggal, privasi dan rasa aman.
b. Membantu anak untuk bersosialisasi.
c. Beradaptasi dengan anak yang baru lahir, sementara kebutuhan anak yang
lain (tua) juga harus terpenuhi.
d. Mempertahankan hubungan yang sehat, baik di dalam atau diluar keluarga
(keluarga lain dan lingkungan sekitar).
e. Pembagian waktu untuk individu, pasangan, dan anak (biasanya keluarga
mempunyai tingkat kerepotan yang tinggi).
f. Pembagian tanggung jawab anggota keluarga.
g. Merencanakan kegiatan dan waktu untuk menstimulasi pertumbuhan dan
perkembangan anak.
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Peran Orang Tua
Menurut Supartini (2004) peran dapat dipelajari melalui proses sosialisasi
secara tahapan perkembangan anak yang dijalankan melalui interaksi antar
anggota keluarga. Peran yang dipelajari akan mendapat penguatan melalui
pemberian penghargaan baik dengan kasih sayang, perhatian dan persahabatan,
kemampuan orang tua menjalankan peran ini tidak dipelajari melalui pendidikan
secara formal, melainkan berdasarkan pengalaman orang tua lain.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi peran orang tua terhadap anak
usia pra sekolah, antara lain :
a. Pendidikan orang tua
Shifrin (1997) dan wong (2001), mengemukakan beberapa cara yang dapat
dilakukan untuk dapat menjadi lebih siap dalam menjalankan peran adalah
dengan terlibat aktif dalam setiap upaya pendidikan anak, mengamati
segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak dengan secara
regular memeriksakan dan mencari pelayanan imunisasi, memberikan
nutrisi yang adekuat, memperhatikan keamanan dan melaksanakan praktik
pencegahan kecelakaan, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak,
dan menilai perkembangan fungsi keluarga dalam perawatan anak.
b. Pekerjaan atau pendapatan
Pekerjaan keluarga akan mempengaruhi peran orang tua karena waktu
yang diberikan tidak maksimal.
c. Jumlah anak
Jumlah anak yang banyak dan jarak yang terlalu dekat akan mengurangi
kasih sayang pada anak.
d. Usia orang tua
Apabila terlalu tua atau muda, mungkin tidak dapat mengerjakan peran
tersebut secara optimal.
e. Pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak
Hasil riset menunjukkan bahwa orang tua yang mempunyai pengalaman
sebelumnya dalam merawat anak akan lebih siap dalam menjalankan
peran.
f. Stres orang tua
Stres yang dialami orang tua akan mempengaruhi kemampuan orang tua
dalam menjalankan peran, terutama dalam kaitannya dengan strategi
koping yang dimiliki dalam menghadapi permasalahan anak.
g. Hubungan suami istri
Hubungan yang kurang harmonis antara suami istri akan berdampak pada
kemampuan mereka menjalankan perannya sebagai orang tua dan merawat
anak serta mengasuh anak dengan penuh rasa kebahagiaan karena satu
sama lain dapat saling memberi dukungan dan menghadapi segala masalah
dengan koping yang positif.
5. Peran Ibu
Sosok ibu adalah pusat hidup rumah tangga, pemimpin dan pencipta
kebahagian anggota keluarga. Sosok ibu bertanggungjawab menjaga dan
memperhatikan kebutuhan anak, mengelola kehidupan rumah tangga, memikirkan
keadaan ekonomi dan makanan anak-anaknya, memberi teladan akhlak, serta
mencurahkan kasih sayang bagi kebahagian sang anak (Tarbiyah, 2009).
Menurut Bustainah Ash-Shabuni (2007: 46) ibu adalah bangunan
kehidupan dengan penopang perjalanannya yang memberikan sesuatu tanpa
meminta imbalan dan harga. Apabila ada sifat yang mengutamakan orang lain,
sifat tersebut ada pada ibu. Jika ada keikhlasan di dalam keikhlasan seorang ibu.
Peran ibu adalah seorang yang mempunyai peran mendidik, mengasuh
atau merawat dan memberikan kasih sayang, dan diharapkan dapat ditiru oleh
anaknya.
Peran ibu dalam pemenuhan kebutuhan dasar anak, dikelompokan menjadi
3 yaitu : kebutuhan asih, asuh dan asah. Kebutuhan asih dalam pemenuhan
kebutuhan fisik meliputi, memberikan kasih sayang, perhatian, rasa aman,
kehangatan kepada keluarga sehingga mereka tumbuh dan berkembang sesuai
usia dan kebutuhannya. Kebutuhan asuh dalam pemenuhan kebutuhan emosi atau
kasih sayang meliputi memenuhi kebutuhan pemeliharaan dan perawatan anak
agar kesehatannya terpelihara, sehingga diharapkan mereka menjadi anak anak
yang sehat baik fisik, mental, sosial dan spiritual. Kebutuhan asah dalam
pemenuhan stimulasi mental meliputi memenuhi kebutuhan pendidikan anak,
sehingga menjadi anak yang mandiri dalam mempersiapkan masa depan (Anime,
2011).
6. Peran Orang Tua Terhadap Toilet Training
Peran orang tua terhadap toilet trainng pada anak dapat diwujudkan dalam
bentuk peran pada anak dalam toilet training, menurut Ratna (2010) bentuk peran
antara lain :
a. Perhatian Secara Emosi
Diekspresikan melalui kasih sayang, cinta atau empati yang
bersifat memberikan peran. Kadang dengan hanya menunjukkan ekspresi
saja sudah dapat memberikan rasa tenteram. Ekspresi ini penting untuk
seseorang terutama seorang orang tua, karena ekspresi yang salah dapat
menimbulkan rasa malas pada anak untuk melakukan toilet training.
b. Bantuan Instrumental
Barang-barang yang diinginkan oleh anak untuk dapat termotivasi untuk
melakukan toilet training, seperti dengan membelikan peralatan toilet
training yang sesuai dengan keinginan anak.
c. Pemberian Informasi
Informasi sekecil apapun merupakan hal yang sangat bermanfaat bagi
anak untuk melakukan toilet training, misalnya bagaimana dampaknya
anak jika tidak mau melakukan toilet training.
d. Peran penilaian
Orang tua dapat memberikan penilaian pada anak dalam melakukan toilet
training, seperti menilai apakah sudah sesuai atau belum dengan
diharapkan.
7. Pengaruh peran orang tua terhadap anak
Menurut Ratna (2010) pengaruh peran atau peran orang tua terhadap anak dapat
berdampak positif bagi anak, antara lain :
a. Menggambarkan keeratan hubungan antara orang tua dengan anak.
b. Peran orang tua dapat membantu mempercepat proses pemahaman dan
motivasi anak dalam melakukan toilet training.
c. Anak akan mempunyai kemampuan beradaptasi dan mengelola maupun
menyelesaikan masalahnya.
d. Peran yang diberikan orang tua tidak membuat anak menjadi tergantung
terhadap bantuan, tetapi akan menjadikan anak lebih cepat mandiri karena
yakin akan kemampuannya dan mengerti akan keberadaannya.
B. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Toddler
Toddler .adalah anak antara rentang usia 12 sampai 36 bulan. Toddler tersebut
ditandai dengan peningkatan kemandirian yang diperkuat dengan kemampuan mobilitas
fisik dan kognitif lebih besar. Menurut Suryani (2002) toddler adalah anak yang berusia
dibawah lima tahun dalam masa tumbuh kembang dengan kebutuhan fisik, psikologis,
dan spiritual yang pesat.
Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah,
ukuran berat (gram, kilogram), ukuran panjang (centimeter, meter), umur tulang dan
keseimbagan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh). (Soetjiningsih, 2002).
Perkembangan (development) adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur
dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan,
sebagai hasil proses pematangan dimana adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh,
jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa
sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya (Soetjiningsih, 2002).
Adapun tahap tumbuh kembang pada toddler antara lain:

1. Usia 18 sampai 24 bulan


Tahap perkembangan balita dari 18 sampai 24 bulan yaitu:
a. Fisik
Tahap perkembangan fisik pada anak usia 18 24 bulan antara lain
ialah anoreksia fisiologis, penurunan kebutuhan pertumbuhan, fontanel
anterior tertutup secara fisiologis mampu mengendalikan sfingter, linkar
kepala 49 cm sampai 50 cm, lingkar dada lebih besar dari lingkar kepala,
peningkatan berat badan 1,8 kg sampai 2,7 kg, peningkatan tinggi badan
biasanya 10 cm sampai 12,5 cm, tinggi badan dewasa dua kali tinggi pada
usia 2 tahun, gigi geligi utama 16 gigi, dan telah siap untuk mulai kontrol
usus dan kandung kemih di siang hari.
b. Motorik Kasar
Pada tahap ini anak akan berjalan, naik tangga dengan satu tangan
berpegangan, menarik dan mendorong mainan, melompat di tempat
dengan kedua kaki, melempar bola dari satu tangan ke tangan lain tanpa
jauh, naik dan turun tangga sendiri dengan dua kaki pada setiap langkah,
berlari dengan seimbang, dengan langkah lebar, menangkap objek tanpa
jatuh, menendang bola tanpa gangguan keseimbangan.
c. Motorik halus
Pada tahap perkembangan motorik halus ini anak bisa membangun menara
tiga sampai empat kotak, membalik halaman dalam buku, dua atau tiga
lembar, dalam menggambar membuat tekanan sesuai tiruan, mengatur
sendok tanpa memutar, menyusun dua atau lebih kotak menyerupai kereta,
dalam menggambar meniru tekanan vertikal dan melingkar serta menekan
bel pintu.
d. Vokalisasi
Pada tahap vokalisasi, anak mulai mengatakan sepuluh kata atau lebih,
menunjukkan objek umum, seperti sepatu atau bola, dan dua atau tiga
bagian tubuh, mempunyai pembendaharaan kata kira-kira 30 kata,
menggunakan dua sampai tiga kata untuk kalimat, menggunakan kata
ganti saya, aku, dan kamu, memahami perintah langsung, mengungkapkan
kebutuhan untuk toileting, makan atau minum, bicara dengan tidak
terputus-putus.

2. Usia 2 sampai 3 tahun


Adapun tahap tumbuh kembang pada anak usia 2 sampai 3 tahun adalah :
a. Motorik Kasar
Pada tahap motorik kasar anak akan mulai melompat dengan kedua kaki,
melompat dari kursi atau melangkah, berdiri sebentar pada langkah pada
ujung ibu jari kaki, melempar bola dari atas dengan tangan.
b. Motorik Halus
Anak usia 2-3 tahun akan mulai bisa membangun menara delapan kotak,
menambahkan lubang asap pada kereta dari kotak, koordinasi jari baik,
memegang krayon dengan jari bukan menggenggamnya, menggerakan jari
secara mandiri, mengenali 4 gambar dengan namanya, menggambarkan
penggunaan dua benda, menyalin gambar lingkaran, mengenal empat
warna, berpakaian tanpa bantuan, menyiapkan semangkuk sereal,
manggambarkan penggunaan dua benda, serta mengenakan kaos oblong.
c. Vokalisasi
Pada tahap perkembangan vokalisasi anak mampu memberikan nama
pertama dan nama akhir, menggunakan kata jamak, menyebutkan satu
warna, mengenal seorang teman dengan sebuah nama, melakukan
percakapan dengan dua atau tiga kalimat, menggunakan kata depan,
meggunakan dua kata sifat.
d. Sosialisasi
Pada tahap sosialisasi anak akan lebih mudah dipisahkan dari ibunya,
dalam bermain, membantu menyingkirkan sesuatu, dapat membawa
barang pecah belah, mendorong dengan kendali yang baik, mulai
mengakui perbedaan jenis kelamin sendiri, dapat memenuhi kebutuhan ke
toilet tanpa bantuan kecuali membersihkan daerah anal nya, dan dapat
mencuci dan mengeringkan tangan nya sendiri.
C. Konsep Dasar Toilet Training
1. Pengertian Toilet Training
Toilet training adalah suatu usaha untuk malatih anak agar mampu
mengontrol dan melakukan buang air kecil dan buang air besar. Toilet training ini
dapat berlangsung pada fase kehidupan anak yaitu umur 18 bulan sampai 2 tahun
dalam melakukan latihan buang air besar atau buang air kecil pada anak
membutuhkan persiapan baik secara fisik, psikologis maupun secara intelektual,
melalui persiapan tersebut diharapkan anak mampu mengontrol buang air besar
atau buang air kecil. Hidayat (2005)
Toilet training adalah latihan berkemih dan defekasi dalam
perkembangan anak usia toddler pada tahapan usia 1 tahun sampai 3 tahun. Dan
toilet training bermanfaat pada anak sebab anak dapat mengetahui dan mengenal
bagian-bagian tubuh serta fungsinya (anatomi) tubuhnya. Dalam proses toilet
training terjadi pergantian impuls atau rangsangan dan instink anak dalam
melakukan buang air kecil dan buang air besar (Supartini, 2004).
2. Kesiapan Memulai Toilet Training
a. Usia anak sekitar 18-30 bulan. Umumnya anak siap pada usia 24 bulan,
biasanya anak belum konsisten mengendalikan buang air besar atau buang
air kecil mereka, karena masih belum menyadari fungsi tubuhnya.
b. Anak tidak berada dalam situasi yang mungkin membuatnya tertekan
(Stres) seperti lahirnya adik, pindah rumah, ganti pengasuh dan
sebagainya.
c. Anak siap secara fisik dan emosional.
Sedangkan waktu anak dikatakan siap melakukan toilet training adalah :
a. Tetap kering dalam waktu yang cukup lama (kurang lebih 2 jam).
b. Buang air kecil dalam jumlah banyak.
c. Menunjukkan tanda akan buang air besar atau buang air kecil.
d. Mampu mengikuti perintah sederhana.
e. Berjalan dengan baik.
f. Memahami konsep penggunaan toilet.
g. Memahami adanya hubungan antara buang air besar atau buang air kecil
di toilet dengan celana yang bersih/kering.
h. Memahami bahasa yang menunjukkan pada buang air besar atau buang
air kecil.
i. Dapat membuat orang lain memahami keinginannya untuk peri buang air
besar atau buang air kecil.
j. Mampu duduk dengan tenang dalam waktu yang cukup lama. (Fitri,
2006)
Sedangkan menurut Wong (2008) faktor-faktor yang mendukung kesiapan anak
dalam toilet training adalah :

a. Kesiapan fisik
1) Kontrol volunter sfingter anal dan utrtral, biasanya pada usia 18
sampai 24 bulan.
2) Mampu tidak mengompol selama 2 jam, Jumlah popok yang basah
berkurang, tidak mengompol selama tidur siang.
3) Defekasi teratur.
4) Keterampilan motorik kasar yaitu duduk, berjalan dan berjongkok.
5) Keterampilan motorik halus, membuka pakaian.
b. Kesiapan mental
1) Mengenali urgensi defekasi atau berkemih.
2) Keterampilan komunikasi verbal atau non verbal untuk
menunjukkan keinginan buang air besar atau buang air kecil.
3) Saat basah atau memiliki urgensi defekasi atau berkemin.
4) Keterampilan kognitif untuk menirukan perilaku yang tepat dan
mengikuti perintah.
c. Kesiapan psikologis
1) Mengekspresikan keinginan untuk menyenangkan orang tua.
2) Mampu duduk di toilet selama 5 sampai 10 menit tanpa bergoyang
atau terjatuh.
3) Keingintahuan mengenai kebiasaan toilet orang dewasa atau
kakak.
4) Ketidaksabaran akibat popok yang kotor oleh feses atau basah,
ingin untuk segera diganti.
d. Kesiapan parental
1) Mengenali tingkat kesiapan anak.
2) Berkeinginan untuk meluangkan waktu untuk toilet training.
3) Ketiadaan stres atau perubahan keluarga, seperti perceraian, pindah
rumah, sibling baru atau akan bepergian.
3. Tahapan Toilet Training
a. Biasakan anak ke toilet dan lakukan secara rutin.
b. Latih anak untuk buang air besar atau buang air kecil di toilet.
c. Jelaskan fungsi toilet.
Ada 3 aspek dalam pra- toilet training yaitu :

a. Menyebutkan istilah untuk buang air besar atau buang air kecil.
Misalnya menyebutkan kata pipis untuk buang air kecil dan eek untuk
buang air besar.
b. Memberi kesempatan melihat orang lain memakai toilet, ini
memungkinkan anak melihat, mengajukan pertanyaan dan belajar cara
menggunakan toilet.
c. Mengajari mengganti celana
Ganti celana balita secepatnya jika basah karena ompol atau kotoran.
Dengan begitu, anak akan merasa risih bila memakai celana basah atau
kotor. Tapi jangan memarahi balita jika mengompol atau buang air besar
di celana.
4. Pengkajian Masalah Toilet Training (Hidayat,2004)
Pengkajian kebutuhan toilet training merupakan sesuatu yang harus
diperhatikan sebelum anak melakukan buang air besar atau kecil, mengingat
bahwa anak yang melakukan buang air besar atau kecil akan mengalami proses
keberhasilan dan kegagalan, selama buang air kecil dan besar. Proses tersebut
anak dialami oleh setiap anak, untuk mencegah terjadinya kegagalan maka
dilakukan suatu pengkajian sebelum melakukan toilet training yang meliputi :
a. Pengkajian Fisik
Pengkajian fisik yang harus diperhatikan pada anak yang akan
melakukan buang air besar dan kecil dapat meliputi kemampuan motorik
kasar seperti berjalan, duduk, meloncat dan kemampuan motorik halus
seperti mampu melepas celana sendiri. Kemampuan motorik ini harus
mendapat perhatian karena kemampuan untuk buang air besar ini lancar
dan tidaknya dapat ditunjang dari kesiapan fisik sehingga ketika anak
berkeinginan untuk buang air besar atau kecil sudah mampu dan siap
untuk melaksanakannya. Selain itu, yang harus dikaji adalah pola buang
air besar yang sudah teratur, sudah tidak ngompol setelah tidur dan lain-
lain.
b. Pengkajian Psikologis
Pengkajian psiokologis yang dapat dilakukan adalah gambaran
psikologis anak ketika melakukan buang air besar dan air kecil seperti
anak rewel ketika akan buang air besar, anak tidak menangis sewaktu
buang besar atau kecil, ekspresi wajah menunjukan kegembiraan dan ingin
melakukan secara mandiri, anak sabar dan sudah mau tetap tinggal di
toilet selama 5-10 menit tanpa rewel atau meninggalkannya, ada
keingintahuan kebiasaan toilet training pada orang dewasa atau
saudaranya, ada ekspresi untuk menyenangkan pada orang tuannya.
c. Pengkajian Intelektual
Pengkajian intelektual pada latihan buang air besar atau kecil antara
lain kemampuan anak untuk mengerti buang air besar dan kecil,
kemampuan mengkomunikasikan buang air besar dan kecil, anak
menyadari timbulnya buang air besar atau kecil, mempunyai kemampuan
kognitif untuk meniru perilaku yang tepat seperti buang air kecil atau
besar pada tempatnya serta etika dalam buang air kecil atau besar. Dalam
melakukan pengkajian kebutuhan buang air kecil dan besar, ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan selama toilet training, diantaranya :
1) Hindari pemakaian popok sekali pakai atau diapetz dimana anak
akan merasa aman.
2) Ajari anak untuk mengucapkan kata-kata yang khas yang
berhubungan dengan buang air besar atau kecil.
3) Mendorong anak melakukan rutinitas ke kamar mandi seperti cuci
muka saat bangun tidur, cuci tangan, cuci kaki dan lain-lain.
4) Jangan marah bila anak gagal dalam melakukan toilet training.
5. Aspek Psikologis Toilet Training
Menurut Freud (1923) dalam Papalia (2003), toilet training dilakukan
pada masa anal perkembangan psikologis anak. Banyak psikolog terkemuka yang
berpendapat bahwa fase anal merupakan salah satu fase penting perkembangan
psikologis seseorang. Dalam fase ini anak pertama kali dihadapkan pada kondisi
dimana keadaan fisiologis dan biologis tubuhnya harus disesuaikan dengan faktor
lingkungan dan sosial. Fase ini merupakan fase yang tepat untuk mengajarkan
anak untuk menahan kebutuhan biologis misalnya buang air besar atau buag air
kecil. Hal ini penting untuk menyesuaikan perkembangannya dengan faktor
lingkungan, yaitu menjaga kebersihan dan faktor sosial, yaitu ajaran orangtua atau
pengasuh.
Usia 18 bulan sampai 3 tahun merupakan saat di mana anak mengalami
konflik autonomy versus shame and doubt, yaitu mulai mengetahui tentang
kapabilitas dirinya dan membentuk zona pribadi miliknya. Mereka ingin memilih
apa yang dilakukan dan didapatkan sendiri. Konflik akan terselesaikan jika orang
tua mampu memberikan arahan yang baik dan pilihan-pilihan bijak. Freud (1923)
dalam Papalia (2003) mengidentifikasikan toilet training sebagai salah satu
momen yang menentukan kesehatan psikologis seseorang pada fase
perkembangan ini. Perilaku orang tua saat pelatihan mempengaruhi aspek ini.
Seorang anak berusia dua tahun, seharusnya sudah mampu menjalani toilet
training, makan dengan menggunakan sendok dan merapikan mainannya setelah
bermain. Peran orang tua dalam pelatihan hanya mengontrol dan memberikan
dukungan saja. Hal ini akan mengembangkan kemampuan toleransi diri dan
pengertian. Menurut Erikson (1992) dalam Berk (1998), orang tua yang terlalu
ikut campur dalam perkembangan kemampuan anaknya akan membuat anak
kehilangan beberapa momen yang menentukan aspek-aspek hidupnya. Anak bisa
berkembang menjadi pribadi yang penakut dan pemalu, tidak mampu menentukan
pilihan, merasa tertekan, dan tidak mampu mengendalikan diri.
6. Penerapan Toilet Training Pada Anak Perempuan Dan Anak Laki-Laki
Cara buang air kecil anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan. Anak
perempuan buang air kecil dengan jongkok, sedangkan anak lelaki dengan berdiri.
Namun demikian, untuk awal toilet training sebaiknya baik anak lelaki maupun
perempuan diajarkan sama yaitu dengan jongkok atau duduk, bila anak laki-laki
langsung belajar buang air kecil dengan gaya berdiri, maka nanti akan sulit
baginya untuk belajar buang air besar sambil duduk /jongkok. Hanya saja, banyak
juga laki-laki yang memilih melakukannya sambil berdiri, kalau kebiasaan duduk
ini sudah terbentuk, orang tua dari jenis kelamin yang sama ( ayah) dapat
memperkenalkan gaya pipis berdiri kepada anaknya, karena dengan memberi
contoh anak akan cepat meniru, anak perempuan memang belajar lebih cepat,
tatapi masih harus belajar cara duduk yang benar dan membersihkan alat
kelaminnya dengan bersih. Berikut adalah cara melatih toilet training pada anak
laki-laki dan perempuan :
a. Anak perempuan
1) Perlengkapan
Gunakan toilet khusus anak supaya otot-otot panggulnya akan
rileks, karena kaki anak tetap menginjak lantai, jika memakai toilet
dewasa, berikan kursi untuk pijakan.
2) Posisi
Minimalkan cipratan pipis atau pup dengan cara menempatkan
pantat atau vagina benar-benar diatas toilet. Suruhlah anak untuk
duduk dengan kedua lutut terbuka lebar, ini akan membuka otot-
otot panggul menjadi tetap rileks.
3) Penerapan
Ajarkan anak untuk membersihkan alat kelaminnya dari arah
kelamin depan ke belakang, berilah contoh terlebih dahulu, buatlah
anak tetap asik dan betah duduk lama dengan menaruh buku,
mainan, atau memutar lagu faforit anak di dekat toilet.
b. Laki laki
1) Perlengkapan
Biarkan anak menggunakan toilet khusus untuk buang air
kecil atau tetap memakai toilet biasa dipakai dirumah, ibu bisa
menambahkan tempat duduk pada toilet.
2) Posisi
Meminta anak mendorong penisnya lurus kebawah sebelum
anak duduk diatas toilet, dengan begitu cipratan pipis tidak
kemana-mana. Jika anak memilih berdiri, pastikan posisinya sudah
pas, kedua kaki terbuka lebar dan anak tepat didepan toilet.
3) Penerapan
Biarkan ayah melihat anaknya, atau tunjukkan bagaimana
cara mengarahkan penisnya, untuk membuktikan tembakan sudah
benar atau belum, ada beberapa cara mengetesnya. Jatuhkan
beberapa cracker ke toilet, kemudian minta anak untuk
menembakannya dengan cara pipis, beri anak pujian atau hadiah
jika anak berhasil melakukannya. Jika anak akan buang air besar
sediakan buku, mainan atau lagu-lagu di dekatnya.
7. Cara Toilet Training pada anak (Hidayat, 2004)
Latihan buang air besar atau kecil pada anak atau dikenal dengan nama
toilet training merupakan suatu hal yang harus dilakukan pada orang tua anak,
mengingat dengan latihan itu diharapkan anak mempunyai kemampuan sendiri
dalam melaksanakan buang air besar atau kecil tanpa merasakan ketakutan atau
kecemasan sehingga anak akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan
sesuai usia tumbuh kembang anak. Banyak cara yang dapat dilakukan oleh orang
tua dalam melatih toilet training kepada anaknya diantaranya :
a. Tekhnik lisan
Merupakan usaha untuk melatih anak dengan cara memberikan
instruksi pada anak dengan kata-kata sebelum atau sesudah buang air
besar atau kecil. cara ini kadang-kadang menjadi hal yang biasa dilakukan
pada orang tua akan tetapi apabila kita perhatikan bahwa tekhnik lisan ini
mempunyai nilai yang cukup besar dalam memberikan rangsangan untuk
buang air besar atau kecil dimana dengan lisan ini persiapan psikologis
anak akan semakin matang dan akhirnya anak akan mampu dengan baik
dalam melaksanakan buang air besar atau kecil.
b. Tekhnik modeling
Merupakan suatu usaha untuk melatih anak dalam melakukan
buang air besar dengan cara meniru untuk buang air besar atau memberi
contoh. Cara ini
juga dapat dilakukan dengan memberikan contoh-contoh buang air besar
dan kecil membiasakan buang air besar dan kecil secara benar. Dampak
yang jelek pada cara ini adalah apabila contoh yang diberikan salah
sehingga anak dapat diperlihatkan kepada anak akhirnya anak juga
mempunyai kebiasaan yang salah. Selain cara tersebut terdapat beberapa
hal yang bisa dilakukan seperti melakukan observasi waktu pada saat anak
merasakan buang air besar atau kecil, tempatkan anak diatas pispot atau
ajak ke kamar mandi, berikan pispot dalam posisi aman dan nyaman,
ingatkan pada anak jika akan buang air besar atau kecil , dudukan anak
diatas pispot atau orang tua jongkok didepannya sambil mengajak
bercerita atau bicara, berikan anak pujian jika berhasil tetapi sebaliknya
jangan marahi dan salahkan anak jika salah, biasakan anak pergi ke toilet
di jam jam tertentu dan beri anak celana yang mudah dilepas dan dipakai
kembali.
8. Cara Mempermudah Toilet Training
a. Memberi contoh.
Ajak anak bersama anda, pasangan, saudara atau teman bermain yang
lebih besar, bila akan pergi ke toilet dan biarkan anak duduk di atas toilet
tanpa perlu membuka celananya bila anak tidak mau. Tujuannya hanya
memperkenalkannya sehingga jika saatnya tiba anak sudah mengenali dan
merasa aman dengan toilet.
b. Untuk toilet duduk, anda dapat menggunakan dudukan toilet yang
disesuaikan dengan ukuran anak yang banyak dijual sekarang ini sehingga
anak merasa aman dan nyaman saat duduk di atasnya.
c. Berikan bangku kecil yang kuat untuknya sehingga dia dapat naik ke toilet
dan berikan tempat duduk toilet khusus untuk anak agar dia merasa aman.
Anak akan meminta anda untuk memeganginya saat dia sedang di toilet.
Meskipun anak sudah dapat turun dan naik dengan mudah, dia masih
memerlukan anda untuk membersihkannya.
d. Untuk anak perempuan, ajarkan dia untuk membersihkan diri setelah
buang air besar atau buang air kecil dari arah depan ke belakang untuk
menghindari kontak kotoran dengan vagina yang dapat menyebabkan
infeksi saluran kencing.
e. Toilet jongkok lebih mudah untuk anak laki-laki saat buang air kecil.
Untuk anak perempuan, ajarkan dia untuk berjongkok saat buang air,
contohkan anak untuk jongkok. Biasanya anak takut terjatuh, biarkan dia
berjongkak hanya pada salah satu sisi sambil dipegangi. Setelah lebih
besar dia akan dapat memulai jongkok seperti biasanya.
f. Ajarkan anak kebiasaan mencuci tangan setelah selesai menggunakan
toilet.
g. Jagalah kebersihan toilet anda, pastikan tidak 11 cm dan bersih, sehingga
toilet nyaman dan aman buat anak.
(Suririnah, 2009)
9. Yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan dalam latihan memakai toilet
(Thompson, 2003)
a. Tidak boleh membiarkan anak memilih sendiri dudukan toiletnya karena
akan berbahaya bagi anak.
b. Membiarkan anak menyiram toilet jika anak mau.
c. Memastikan anak mencuci tangan dengan baik setelah buang air.
d. Memastikan anak perempuan cebok dari arah depan kebelakang.
e. Membandingkan kemajuan dengan anak lain.
10. Hal - hal yang perlu diperhatikan selama toilet training, (Hidayat, 2005)
a. Menghindari pemakain popok sekali pakai.
b. Mengajari anak mengucapkan kata-kata yang khas yang berhubungan
dengan buang air besar.
c. Mendorong anak melakukan rutinitas ke kamar mandi seperti cuci muka
saat bangun tidur, cuci tangan, atau cuci kaki.
d. Jangan marahi anak bila gagal melakukan toilet training.
11. Masalah yang bisa timbul dalam pelatihan toilet training (Thompson, 2003)
a. Rasa takut akan siraman air toilet adalah biasa, namun dapat mengganggu
latihan memakai toilet.
b. Bagi beberapa anak rasa takut akan toilet membuatnya menahan trauma
buang air besar.
c. Anak yang sudah dilatih dapat mengalami kemunduran dan mulai buang
air lagi ditempat yang tidak seharusnya.
d. Anak bisa tertarik dengan fesesnya sendiri(anak tidak rela apabila
fesesnya di siram). Baginya prestasi buang air besar adalah prestasi
menakjubkan dan anak sangat bangga bisa melakukannya.
e. Ada tahap ketika anak merasa tertarik dengan bagaimana anak yang jenis
kelaminnya berbeda buang air kecil.
12. Dampak Toilet Training
Dampak yang paling umum dalam kegagalan toilet training seperti adanya
perlakuan atau aturan yang ketat bagi orang tua kepada anaknya yang dapat
mengganggu kepribadian anak atau cenderung bersifat relatif dimana anak
cenderung bersikap keras kepala bahkan kikir. Hal ini dapat dilakukan orang tua
apabila sering memarahi anak pada saat buang air besar atau kecil, atau melarang
anak saat bepergian. Bila orang tua santai dalam memberikan aturan dalam toilet
training maka anak akan dapat mengalami kepribadian ekspresif dimana anak
lebih tega, cenderung ceroboh, suka membuat gara-gara ,emosional dan
seenaknya dalam melakukan kegiatan sehari-hari (Hidayat, 2005)

13. Keberhasilan Toilet Training


Keberhasilan menguasai tugas-tugas perkembangan (mulai belajar
mengontrol buang air besar dan buang air kecil) pada toddler memerlukan
bimbingan dari orang tua. Keberhasilan toilet training dapat di capai apabila anak
mampu mengenali keinginan untuk buang air besar dan buang air kecil,
kemampuan fisik anak untuk mengontrol spinkter anal & uretral akan di capai
pada usia anak 18-24 bulan (Whaley & Wong, 1999 dalam Iqbal Harziky 2010 )

Toilet training dikatakan berhasil apabila :


a. Anak mau memberi tahu bila merasa buang air kecil atau buang air besar.
b. Anak mengatakan pada ibu bila buang air kecil atau buang air besar.
c. Anak mampu menahan buang air kecil atau buang air besar.
d. Anak tidak pernah ngompol atau buang air besar di celana.
Toilet training dikatakan terlambat apabila :

a. Anak terlambat memberi tahu bila merasa membuang air kecil atau buang
air besar.
b. Anak terlambat mengatakan pada ibu bila buang air kecil atau buang air
besar.
c. Anak terlambat mampu menahan buang air kecil atau buang air besar.
d. Anak ngompol terus atau buang air besar dicelana.

D. Anak Usia Toodler


Menurut Wong (2003), toddler adalah anak antara rentang usia 12 sampai 36
bulan. Toddler tersebut ditandai dengan peningkatan kemandirian yang diperkuat dengan
kemampuan mobilitas fisik dan kognitif lebih besar. Perkembangan fisik, perkembangan
ketrampilan motorik yang cepat membolehkan anak untuk berpartisipasi dalam tindakan
perawatan diri sendiri seperti makan, berpakaian, dan eliminasi.
Peningkatan ketrampilan daya gerak, kemampuan untuk melepas pakaian
termasuk melepas celana pada saat anak akan buang air besar atau buang air kecil, dan
perkembangan kontrol spingter uretra dan spingter ani memungkinkan anak usia toddler
ini melakukan toilet training (Thompson, 2003)
Menurut Erick Ericson dalam Riyadi (2010) anak usia toddler akan melalui
tahapan perkembangan sebagai berikut:
1. Otonomi versus rasa malu
Pada usia ini alat gerak dan rasa telah matang serta rasa percaya terhadap
ibu dan lingkungannya. Perkembangan otonomi selama periode balita berfokus
pada peningkatan kemampuan anak untuk mengontrol tubuhnya, dirinya dan
lingkungan. Anak menyadari bahwa anak dapat menggunakan kekuatannya untuk
bergerak dan berbuat sesuai dengan kemauannya sendiri. Misalnya anak akan
puas jika bisa berjalan, mampu melakukan toilet training dengan baik. Selain itu
anak menggunakan kekuatan mentalnya untuk menolak dan mengambil sebuah
keputusan. Rasa otonomi ini perlu untuk dikembangkan karena sangat penting
untuk terbentuknya rasa percaya diri dan harga diri di kemudian hari. Hubungan
dengan orang tua yang bersifat egosentris atau mementingkan diri sendiri.
Adapun peranan lingkungan dalam hal ini adalah memberikan dukungan dan
memberikan keyakinan yang jelas. Perasaan negatif pada anak adalah rasa malu
dan rasa ragu yang timbul jika anak merasa tidak mampu untuk mengatasi segala
tindakan yang dipilihnya sendiri serta kurangnya dukungan dari kedua orang tua
dan lingkungan, misalnya orang tua selalu mengintervensi anak, orang tua tidak
memberikan keleluasaan bagi anak untuk memilih satu atau dua pilihan dari
berbagai alternatif pilihan yang ada.
2. Menurut Sigmund freud dalam anak usia toddler mengalami tahapan
perkembangan pada fase anal
Fungsi tubuh yang memberikan kepuasan terpusat pada anus. Misalnya
anak akan melakukan buang air besar dan buang air kecil secara mandiri. Orang
tua jangan memarahi anak jika dia tidak bersih menyiram WC, atau jangan
dimarahi jika anak kedapatan kencing ditembok belakang rumah. Jika hal tersebut
terjadi berikan pengertian dan contohkan dimana dia harus buang air kecil dan
buang air besar serta bagaimana cara menyiram bekas kencing dan BAB dan
bagaimana cara bercebok yang baik. Apabila ibu memarahi anak akibatnya dilain
hari jika anak ingin buang air besar dan buang air kecil dia akan menahannya dan
tidak memberitahukan orang tua, atau dia akan buang air kecil dan buang air besar
setelah selesai akan mengacak-ngacaknya. Pada fase ini ajarkan anak konsep
bersih, ketetapan waktu dan cara mengontrol diri. Latihan otot anal dapat
menurunkan ketegangan.
3. Menurut Piaget, (2005) anak usia toddler mengalami tahapan perkembangan
intelektual sebagai berikut:
a. Sensorik-Motorik (sejak lahir-2 tahun)
Merupakan tahap dimana anak menggunakan sistem penginderaan,
sistem motorik dan benda-benda untuk mengenal lingkungannya. Bayi
tidak hanya menerima rangsangan secara pasif dan luar tetapi juga akan
memberikan jawaban terhadap rangsangan tersebut. Jawaban tersebut
berupa reflek-reflek bersin, makan, menggenggam, dan lain sebagainya
yang diharapkan dengan adanya reflek ini bayi dapat berkomunikasi
dengan lingkungannya.
b. Pre operasional (umur 2-7 tahun)
Adanya perubahan fungsi kognitif pada tahap ini adalah yang
semula dari sensorik motorik menjadi pre operasional. Pada pre
operasional anak mampu menggunakan simbol-simbol dengan
menggunakan kata-kata, mengingat masa lalunya, masa sekarang dan akan
terjadi di masa yang akan datang. Tingkah laku akan mulai berubah dari
yang semula sangat egosentris menjadi lebih rasional.
E. KERANGKA TEORI PENELITIAN

Faktor-faktor yang
mempengaruhi peran
ibu Peran orang tua
terhadap toilet
1. Pendidikan training
orang tua 1. Perhatian
2. Pekerjaan
Peran Keberhasi secara emosi
atau 2. Bantuan
pendapatan orang tua lan toilet
instrumental
3. Jumlah anak training
3. Pemberian
4. Usia orang informasi
tua 4. Peran
5. Pengalaman
penilaian
sebelumnya
dalam
mengasuh
anak Faktor yang
6. Stress orang Cara toilet
mendukung
tua training :
kesiapan anak:
7. Hubungan
suami istri 1. Tekhnik
lisan 1. Kesiapan
2. Tekhnik fisik
modelingg 2. Kesiapan
mental
3. Kesiapan
psikologis
4. Kesiapan
parental

Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian

Sumber : Supartini (2004), Ratna (2010), (Fitri, 2006), hidayat, (2005)


F. KERANGKA KONSEP
Berdasarkan tinjauan teori diatas, maka kerangka konsep dari penelitian diatas adalah
sebagai berikut :

Variabel Independent: Variabel Dependent:

Peran orang tua (ibu) terhadap Keberhasilan toilet


toilet training training

Faktor internal :

1. Pengetahuan ibu
2. Usia anak
3. Pengalaman
Faktor eksternal :

1. Lingkungan
2. Sosial budaya
Keterangan :

:variabel yang diteliti

:variabel pengganggu

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian


G. HIPOTESA
Berdasarkan kerangka konsep diatas, maka dapat ditegakkan hipotesis penelitian yaitu:

Ha : ada hubungan peran ibu dalam keberhasilan toilet training pada anak usia toddler
di Pos PAUD Melati 2 Desa Bumirejo Kec. Kebumen Kab. Kebumen.

Ho : tidak ada hubungan peran ibu dalam keberhasilan toilet training pada anak usia
toddler di Pos PAUD Melati 2 Desa Bumirejo Kec. Kebumen Kab. Kebumen
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan metode analitik dengan pendekatan cross sectional
yaitu untuk meneliti beberapa variabel yang dilakukan satu kali dalam satu kejadian.
(Notoatmojo,2010)

B. Populasi Dan Sampel


1. Populasi
Populasi merupakan keseluruhan sumber data yang diperlukan dalam
suatu penelitian, penentuan sumber data dalam suatu penelitian sangat penting
karena menentukan keakuratan hasil penelitian (Saryono, 2008). Populasi dalam
penelitian ini adalah semua orang tua (ibu) yang memiliki anak sekolah di PAUD
Melati II Desa Bumirejo, Kec. Kebumen, Kab. Kebumen. Yang berjumlahkan 46
ibu pada tahun 2014.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik Total Sampling yaitu
mengambil sampel dengan cara mengambil semua anggota populasi menjadi
sampel ( Hidayat, 2008). Sampel dalam penelitian ini adalah ibu yang
mempunyai anak usia toddler yang bersekolah di PAUD Melati II Desa Bumirejo,
Kec. Kebumen, Kab. Kebumen. Yang berjumlahkan 46 ibu pada tahun 2014.
Tekhnik pengambilan sampel ini mengacu pada kriteria inklusi dan
eksklusi,sebagai berikut :
a. Kriteria inklusi
Merupakan kriteria dimana subjek penelitian mewakili sampel
penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel, pertimbangan ilmiah
harus menjadi pedoman dalam menentukan kriteria inklusi (Nursalam
2003).
36 elitian ini adalah:
Kriteria inklusi daam
1) Ibu yang mempunyai anak usia 1-3 tahun di PAUD Melati II Desa
Bumirejo, Kec. Kebumen, Kab. Kebumen.
2) Ibu yang bisa membaca
b. Kriteria eksklusi
adalah sebagian subyek yang memenuhi kriteria inklusi, yang harus
dikeluarkan dari penelitian karena berbagai sebab yang dapat
mempengaruhi hasil penelitian sehingga terjadi bias (Saryono, 2008).
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah :
1) Ibu yang tidak datang saat penelitian
2) Ibu yang sedang sakit saat penelitian

C. Tempat Dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di PAUD Melati II Desa Bumirejo, Kec. Kebumen, Kab.
Kebumen pada hari Jumat 30 Mei 2014.

D. Variabel Penelitian
Menurut Notoatmojo, (2002) variabel yang mengandung pengertian sesuatu yang
digunakan ciri, sifat atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh suatu penelitian
tentang suatu konsep pengertian tertentu.
Variabel penelitian ini terdiri dari variabel independen dan dependen . Variabel
independen penelitian ini yaitu peran orang tua, sedangkan variabel dependen penelitian
ini adalah keberhasilan toilet training.

E. Definisi Operasional
Definisi operasional ialah suatu definisi yang didasarkan pada karakteristik yang
dapat diobservasi dari apa yang didefinisikan (Al Ummah, 2009). Definisi operasional
tersebut mencakup variabel, definisi operasional, alat ukur, hasil ukur dan skala, definisi
operasional dalam penelitian ini adalah :
Tabel. 3.1 Definisi Operasional
no Variabel Devinisi Alat ukur Parameter Skala
operasional
1 Peran ibu Peran orang tua Kuesioner Hasil skor Nominal
terhadap terhadap toilet peran ibu dipresentasik
toilet training pada dengan an, kemudian
training anak dapat jawaban Ya dibagi
diwujudkan dan Tidak menj adi 2
dalam bentuk berisi 20 item kategori yaitu
peran yaitu : pertanyaan :
perhatian secara dengan 1. Berperan
emosi, bantuan jawaban Ya (Jika
instrumental, skor 1, jawaban
pemberi jawaban benar
informasi, dan Tidak skor 0 100%)
peran penilaian. dan 2. Tidak
menggunaka berperan
n skala (Jika
guttman, jawaban <
100%)
2 Keberhas Keberhasilan Kuesioner Hasil skor Nominal
ilan toilet toilet training keberhasilan keberhasilan
training dapat di capai toilet training toilet training
apabila anak dengan dipresentasik
mampu jawaban Ya an, kemudian
mengenali dan Tidak dibagi
keinginan dan berisi 4 menj adi 2
mengontrol untuk pertanyaan kategori yaitu
buang air besar item. :
dan buang air jawaban Ya 1. Berhasil
kecil. skor 1, (jika
jawaban jawaban
Tidak skor 0. benar
100%)
2. Tidak
berhasil
(jika
jawaban
benar <
100%)

F. Instrumen Penelitian
Instrument penelitian adalah suatu alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti
dalam mengumpulkan data agar pekerjaanya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam
arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah diolah ( Arikunto, 2006).
Dalam penelitian ini instrument disusun sendiri oleh peneliti yang terdiri dari kuesioner.
Kuesioner penelitian dari masing-masing variabel disusun berdasarkan dimensi atau kisi
kuesioner, yang kemudian dituangkan dalam sebuah pertanyaan atau pernyataan tertutup.
Instrument yang digunakan sebagai penjaring data variabel tingkat peran ibu
terhadap keberhasilan toilet training pada anak usia toddler juga digunakan instrumen
ceklist dengan menyentang ( ^ ) dengan model jawaban Ya dan Tidak yang dibuat
dengan mengacu pada landasan teori dengan teknis wawancara per item pertanyaan.
Dalam penelitiannya peneliti dibantu oleh teman dengan kapasitas pengetahuan yang
sama atau setara. Jawaban Ya mendapat skor 1 dan jawabanTidak mendapat skor 0.
kisi-kisi kuesioner peran ibu dapat dilihat pada tabel berikut ini :

No Indikator Nomor item Jumlah


item
1 Cara ibu dalam melatih toilet training 1-6 6
pada anak
2 Peran ibu dalam melatih toilet training 716 10
pada anak
3 Instrument ibu dalam melatih toilet 1820 6
training pada anak
Jumlah 20

Selanjutnya untuk menjaring data variabel keberhasilan toilet training pada anak
usia toddler di Paud Melati II Bumirejo Kabupaten Kebumen, instrument yang digunakan
sebagai penyaring data variabel tingkat keberhasilan toilet training pada anak usia
toddler berupa kuesioner dengan model jawaban Ya dan Tidak yang dibuat oleh peneliti
dengan mengacu pada landasan teori. Jawaban Ya mendapat skor 1 dan jawaban Tidak
mendapat skor 0 kisi-kisi keberhasilan toilet training dapat dilihat pada tabel berikut :

No Indikator Nomor item Jumlah


item
1 Keberhasilan toilet training pada anak 1-4 4

G. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen


Uji instrument ini bertujuan untuk mengetahui apakah instrumen yang disiapkan
benar-benar mengukur apa yang akan diukur (validitas) dan untuk mengetahui tingkat
kehandalan dan ketepatan hasil pengukuran yang dilakukan (reliabilitas). Uji vaiditas dan
reabilitas akan dilakukan kepada 20 orang tua (ibu) di PAUD Melati Putih di Desa
Karangduwur, Kec. Petanahan, Kabupaten Kebumen.
1. Uji Validitas
Validitas menunjukan sejauh mana alat pengukur itu mengukur apa yang
ingin diukur ( Basirun,2009). Uji validitas ini dilakukan untuk menguji ketepatan
suatu item dalam pengukuran suatu instrumen dalam penelitian ini untuk
mengukur validitas instrumen pengetahuan dan pelaksanaan digunakan tekhnik
uji korelasi. Pengujian validitas tiap butir digunakan analisa item yaitu
mengkorelasikan skor tiap butir dengan skor total yang merupakan jumlah setiap
skor butir (Sugiono, 2004). Pengujian validitas item-item kuesioner, dilakukan
menggunakan program SPSS for windows yang mengacu pada rumus korelasi
pearson product moment dari carl pearson sebagai berikut :

rxy = N ( XY ( X) (Y)
2 2
{NX ( X) 2 } { N Y ( Y) 2

Keterangan :
rxy : angka indeks korelasi r product moment
X : skor item soal
Y : skor total item
N : jumlah subjek uji coba ( Arikunto, 2006)

Selanjutnya Arikunto (2006) mengatakan bahwa jika koefosien korelasi


(rxy) antara skor item dengan skor total yang diperoleh lebih besar atau sama
dengan koefisien ditabel nilai-nilai r (r tabel ) pada a = 5%, maka item tersebut
dinyatakan valid, dan sebaliknya item tersebut dinyatakan gugur bila r xy lebih
kecil daripada r tabel.
Untuk menentukan valid tidaknya item yang diuji dengan menggunakan
program statistic SPSS juga dapat diukur dengan mengacu pada nilai signifikan
(P) yang diperoleh. Item dikatakan valid jika memiliki nilai (P) yang diperoleh.
Item dikatakan valid jika memiliki nilai (p) < 0,05 (Riwidikdo,2008).
Uji kuesioner untuk validitas penelitian telah dilakukan pada tanggal 27
mei 2014 . sampel yang diambil sebanyak 20 responden, yaitu ibu yang
mempunyai anak usia toddler di Paud Melati Putih Desa Karangduwur, Kec.
Petanahan, Kab Kebumen dengan memperhatikan kriteria inklusi dari penelitian
ini.
Dari hasil uji validitas peran ibu didapatkan hasil 20 soal memiliki r hitung
antara 0,510 0,893 dimana harga r hitung > r tabel dengan n : 20 yaitu 0,444,
ini berarti 20 soal tersebut dinyatakan valid. Sedangkan 2 soal yaitu soal No. 17
dan 19 memiliki r hitung antara -057 0,037 dimana harga r hitung < r tabel n =
20 (0,444), ini berarti terdapat 2 soal yang tidak valid. Dalam penelitian ini tidak
dilakukan uji validitas ulang soal yang tidak valid tidak digunakan dalam
penelitian ini atau dianggap gugur. Dan soal yang gugur tersebut tidak
mempengaruhi hasil penelitian karena item yang gugur tersebut masih terwakili
oleh item pertanyaan yang lain yang hasilnya valid. Sehingga dalam penelitian ini
menggunakan 20 item pertanyaan.
Sedangkan untuk keberhasilan toilet training didapatkan hasil 4
pertanyaan memiliki r hitung antara 0,602 0,825 dimana harga r hitung > r tabel
dengan n = 20 yaitu 0,444, ini berarti 4 soal tersebut dinyatakan valid.
2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah istilah yang dipakai untuk menunjukan sejauh nama
suatu hasil pengukuran relative konsisten apabila pengukuran diulangi dua kali
atau lebih dalam waktu yang bersamaan (Basirun,2009). Hasil uji reabilitas adalah
pernyataan realibel apabila nilai alpha kelompok > nilai alpha item. Pengujian
reabilitas kuesioner tingkat peran ibu terhadap keberhasilaan toilet training
menurut (Riwidikdo,2007). Metode yang digunakan pada penelitian ini dengan
menggunakan rumus alpha cronbach.

2
Z 2
Keterangan :
a : koefisien reliabilitas yang dicari
K : jumlah butir pertanyaan
2
Si : varian butir-butir perrtanyaan
2
St : varian skor total test
Hasil uji reliabilitas terhadap semua item kuesioner atau angket dikatakan
reliable jika memiliki nilai alpha minimal 0,7 lebih besar dari koefisien alpha
yang ditentukan yaitu 0,5. Pengujian ini tetap menggunakan internal consistency
dengan alat yang diajukan hanya satu kali. Dengan demikian seluruh butir
pertanyaan yang ada pada butir instrument penelitian dinyatakan layak sebagai
instrument untuk mengukur data penelitian. Dari hasil uji reliabilitas peran ibu
didapatkan hasil a = 0,942 0,954. Sedangkan hasil uji reliabilitas keberhasilan
toilet training didapatkan hasil 0,825 0,908. Ini berarti kedua item pertanyaan
ini dikatakan reliable karena nilai alpha > 0,7 dan lebih besar dari koefisien alpha
yang ditentukan yaitu 0,5.

H. Teknik Pengumpulan Data


1. Jenis Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer yang
diperoleh dari responden secara langsung. Pengumpulan data dilakukan dengan
terlebih dahulu memberi penjelasan singkat mengenai kuesioner. Penelitian
dilakukan dengan cara menyebar kuesioner kepada para orang tua (ibu) yang
sebelumnya telah memenuhi kriteria inklusi, Ibu yang mempunyai anak usia 1-3
tahun di PAUD Melati II, dan bersedia menjadi responden. Pengisian kuesioner
dilakukan oleh responden dengan menggunakan kuesioner.
2. Metode Pengumpul Data
Pada penelitian ini alat pengumpul data yang digunakan adalah kuesioner.
Kuesioner diartikan sebagai daftar pertanyaan yang sudah tersusun dengan baik,
dimana responden dan interviewer tinggal memberikan jawaban dengan memberi
tanda tanda (Notoatmdojo, 2002).
Bentuk pertanyaan kuesioner dalam penelitian ini adalah tertutup, yang
harus dijawab atau diisi oleh responden dengan memilih salah satu jawaban. Cara
yang digunakan oleh penulis dalam mengumpulkan data adalah penulis membuat
surat penelitian dari kampus dan memberikannya kepada Kepala sekolah PAUD
MELATI II, selanjutnya penulis menyampaikan tujuan dan menerangkan tentang
kegiatan yang akan dilakukan , setelah mendapat izin dari kepala sekolah penulis
menerangkan maksud dan tujuan kepada responden tentang penelitian yang akan
dilakukan, setelah responden paham, penulis membagikan kuesioner kepada
responden satu persatu dan setelah selesai diisi penulis akan mengambil
kuesionernya kembali dan menjamin kerahasiaan dari kuesioner yang telah diisi.

I. Teknik Analisa Data


1. Pengolahan Data
Data yang diterima, diolah dengan menggunakan langkah-langkah yang terdiri
dari :
a. Editing
Yaitu memeriksa data yang terkumpul tentang kelengkapan isian,
sehingga bila ada yang belum lengkap bisa diulang ke sumber yang
bersangkutan.
b. Koding
Yaitu pemberian kode-kode tertentu pada masing- masing jawaban
menurut macamnya untuk memudahkan dalam tahap pengolahan data
yaitu dengan cara memberikan kode angka.
c. Entry data
Memasukkan data yang telah diedit dan dikoding dengan menggunakan
fasilitas computer.
d. Tabulasi data
Yaitu mengelompokkan data ke dalam tabel yang dibuat sesuai dengan
maksud dan tujuan penelitian.
e. Cleaning data

Koreksi data bila ditemukan penomoran yang salah atau huruf- huruf yang
kurang jelas.
2. Analisa Data
a. Analisa univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau
mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian (Notoatmodjo,
2010). Analisis univariat pada penelitian ini untuk mengetahui gambaran
distribusi frekuensi.
b. Analisa Bivariat
Analisa bivariat merupakan analisa untuk mengetahui interaksi dua
variabel baik komparatif, asosiatif, maupun korelasi ( Saryono, 2008).
Analisa bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan atau berkorelasi ( Notoatmojo, 2005). Dalam analisis ini
dapat dilakukan pengujian statistik untuk mengetahui ada tidaknya
hubungan peran ibu dengan keberhasilan toilet training pada anak toodler.
Statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis dengan menggunakan
uji chi square atau x 2 yang dapat digunakan untuk mengevaluasi frekuensi
yang diteliti, apakah terdapat hubungan atau perbedaan yang signifikan
atau bermakna antara variabel terikat dan variabel bebas.
2
x 2 : fo
( fh )

fh
Keterangan :
X2 : chi square
fo : frekuensi yang diperoleh dari hasil pengamatan sampel
Fh : frekuensi yang diharapkan dalam sampel sebagai pencerminan
dan frekuensi yang diharapkan dari populasi
Pengujian hipotesis ini dilakukan pada taraf signifikan dengan kriteria sebagai
berikut :
a. Ho ditolak dan Ha diterima jika p< 0,05 yang berarti terdapat hubungan
yang signifikan antara peran ibu dengan keberhasilan toilet training pada
anak toddler.
b. Ho di terima dan Ha ditolak jika p> 0,05 yang berarti tidak ada hubungan
yang signifikan antara peran ibu dengan keberhasilan toilet training pada
anak toddler dan Ho diterima bila r > 3,84 .

J. Etika Penelitian
Dalam penelitian menjunjung tinggi prinsip etika penelitian sebagaimana dikemukakan
oleh Hidayat (2009) dengan isi sebagai berikut :
1. Informed consent
Informed consent merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan
responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan ( Informed consent).
Informed consent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan
memberikan lembar persetujuan menjadi responden. Tujuan Informed consent
adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian serta mengetahui hal-
hal yang akan terjadi. Jika subjek bersedia menjadi responden maka mereka harus
menandatangani lembar persetujuan, dan jika subjek tidak bersedia, maka peneliti
harus menghormati hak calon responden.
2. Anonymity (Tanpa Nama)
Anonymity merupakan masalah etika dalam penelitian keperawatan
dengan cara tidak memberikan nama responden pada lembar alat ukur hanya
menuliskan kode pada lembar pengumpulan data.
3. Condidentiality (Kerahasiaan)
Condidentiality merupakan masalah etika dengan menjamin kerahasian dari hasil penelitian baik
informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin
kerahasiannya oleh peneliti, hanya kelompok data yang akan dilaporkan pada hasil

Anda mungkin juga menyukai