Anda di halaman 1dari 18

Dental Concideration in Patient With Liver Disease

Pendahuluan

Penyakit hepar merupakan penyakit yang sering terjadi dan dapat di klasifikasikan

menjadi akut (dengan ciri perubahan yang cepat dan resitusi lengkap dari struktur organ dan

fungsi jika faktor yang menyebabkan telah dihilangkan) dan kronis (dengan ciri kerusakan yang

persisten dengan kerusakan fungsi organ yang tidak dapat diperbaiki dan peningkatan tingkat

kehancuran sel hepar). Bergantung dari waktu dan asal kerusakan, hepar kronis meliputi

steatosis atau fatty liver, sampai hepatocellular carcinoma, dan termasuk didalamnya hepatitis,

fibrosis, dan circhosis. Penyakit liver juga dapat di klasifikasi sebagai penyakit infeksius

(hepatitis A, B, C, D dan E virus, infeksi mononucleosis, atau secondary syphilis dan

tuberculosis) atau non-infeksius (substance abuse seperti alkolhol dan obat-obatan seperti

paracetamol, halothane, ketoconazole, methyldopa dan methotrexate)

Hepar mempunyai fungsi yang luas dalam mengatur hemostasis dan kesehatan: pada

sintesis serum esensial terbanyak (albumin, transpoter protein, factor koagulan darah V, VII, IX

dan X, prothrombin dan fibrinogen, juga beberapa hormone dan growth factor), prosedur bile

dan transortasinya (bile acid, kolesterol, lecithin, phospholipids), intervenes dalam regulasi

nutrisi (glukosa, glikogen, lemak, kolesterol, asam amino), dan juga metabolism dan konjugasi

lipophilic compounds (bilirubin, cations, dan obat-obatan) untuk memudahkan ekskresinya

dalam bile atau urin. Disfungsi hepar mengubah metabolism dari karbohidrat, lemak, protein,

obat-obatan, bilirubin dan hormon. Penyakit hepar ditandai dengan


Karena metabolisme obat berlangsung di hepar (liver), penting untuk serang dokter

mnegetahui riwayat pasien secara rinci, mengevaluasi seluruh system tubuh, dan juga obat-

obatan yang di gunakan oleh pasien. Kapasitas metabolisme obat pada pasien dapat dievaluasi

berdasarkan analisis dari enzim seperti alanin aminotransferase (ALT) atau aspartate

aminotransferase (AST), dan beberapa tes fungsi hepar. Pada penyakit liver yang sudah parah,

kadar vitamin K turun secara signifikan yang menyebabkan peningkatan reduksi faktor koagulasi

darah. Sebagai tambahan, hipertensi portal dapat menghancurkan platelet yang terbentuk dalam

limpa (spleen), sehingga menyebabkan peningkatan terjadinya trombositopenia. Ini

memungkinkan terjadinya kemungkinan pendarahan yang berlebihan, dimana hal tersebut

merupakan efek samping yang sering terlihat pada pasien dengan gangguan fungsi liver. Dokter

gigi berisiko dalam penularan hepatitis B dan C, karena transmisi dari virus ini, ketika praktis

terkena atau terpapar darah dan sekresi oral dari individu yang berpotensi terinfeksi, khususnya

dalam kasus kecelakaan dengan instrumen tajam atau pemotongan.

VIRUS HEPATITIS

Virus hepatits berasal dari sekelompok penyakit heterogen yang terdiri dari dari

setidaknya 6 tipe virus : A, B, C, D, E dan G. Lima juta kasus virus hepatitis diperkirakan terjadi

di seluruh dunia setiap tahunnya, dan berdasarkan penelitian oleh Chandler-Gutierrez et al.

estimasi prevalensi di spanyol mencapai 3,7%.

Hepatitis A

Hepatitis A disbabkan oleh irus hepatitis A (HAV), RNA picornavirus merupakan

endemic di berbagai negara berkembang. Prevalensinya diperkirakan sebesar 1,1%. Virus

tersebut di transmisikan melewati rute pencernaan, sebagai hasil dari proses pencernaan dari
makanan dan air yang terkontaminasi (molluskus), penularan dalam keluarga (intrsfamilial), dan

juga penulaan karena adanya aktifitas sexual.

Tipe dari penyakit ini adalah ringan dan self-limmiting, dan ditandai dengan onset yang

tiba-tiba dari gelaja-gejala yang tidak spesifik. Tidak ada carrier/ pembawa. Pada anak keci latau

yang remaja penyakit ini biasanya asimtomatik atau tanpa gejala, sementara pada dewasa timbul

gejala yang merupakan cirri-ciri seperti demam, lelah, rasa tidak nyaman pada abdomen, diare,

mual atau bahkan penyakit kuning (jaundice). Pasien dapat mentransmisikan infeksi selama

masa inkubasi (2-6 minggu) sampai timbulnya gejala.

Diagnosis ditegakan berdasarkan dari tanda-tanda dan gejala dan tes serilogi untuk anti-

HAV IgM dan IgG antibody. Host merespon anti-HIV sebagai pertahanan/antibody untung

imunitas selama hidupnya, melindungi pasien dari infeksi virus HIV selanjutnya.

Resiko penularan infeksi nosokomial diantara praktisi kesehatan cukup rendah. Tersedia

vaksin-vaksin yang menghasilkan imunitas terhadap HAV (havrix, Vaqta) bagi individu yang

beresiko (ex: individu yang bepergian ke tempat endemic, pencandu obat-obatan, pasien dengan

penyakit hepar kronis dan individu dengan pekerjaan yang merupakan factor resiko dari penyakit

tersebut).

Hepatitis B

Virus hepatitis B (HBV) adalah virus DNA berkapsul yang bereplikasi dalam hepatocyte.

Hepatitis B merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia, dengan perkiraan 400 juta orang

merupakan pengidap/carrier virus hepatitis B. Dan telah diperhitungkan bahwa 1,53% dari

seluruh pasien yang datang ke klinik gigi merupakan pengidap HBV.

Penularan diperkirakan karena adanya kontak fisik, pengguna obat-obatan intravena, dan

transfusi darah. Di Asia penularan perinatal sering terjadi. Pertimbangan yang penting di antara
praktisi gigi adalah resiko penularan percutaneous melalui tusukan atau sayatan benda tajam

yang telah terinfeksi oleh pasien dengan HBV-positif, atau absorbsi melalui permukaan mukosa

(mata atau rongga mulut). Penularan melalui saliva dapat timbul akibat absorbsi dari permukaan

mukosa. Beberapa penilitian melaporkan adannya HBsAg pada saliva dan cairan crevicular dari

pasien HBV-positif. Praktisi gigi, terutama yang bekerja sebagai dokter bedah mulut, mempunyai

resiko terinfeksi HBV 3-4 kali lebih besar dibandingan GP, walaupun vaksin dan metode

pencegahan telah dilakukan untuk memperkecil resiko. Inokulasi berikut, resiko seroconversi

adalah 30%. Periode inkubasi bertahan sekitar 2-6 bulan. Lebih dari 50% yang terinfeksi adalah

subclinical dan tidak berhubungan dengan jaundice/penyakit kuning.

Dalam hal ini, karena penyakit terbukti asimtomatik, banyak orang yang tidak sadar

bahwa mereka mengidap infeksi pada awalnya. Kurang lebih 90% dari pengidap infkeksi HBV

yang telah dewasa memperihatkan penyembuhan sempurna, tapi 5-10% nerkembang menjadi

hepatitis kronis dengan komplikasi berupa cirrhosis dan hepocellular carcinoma, menyebabkan

5000-6000 kematian setiap tahunya karena liver failure.

Penyakit ini didiagnosis dengan mengukur tingkat HBV DNA, HbsAG dan rasio

antigen/antibodi. Vaksin telah dikembangkan untuk dapat menimbulkan respon kekebalan yang

efektif melawan virus pada kebanyakan pasien. Apabila seseorang yang kekebalan tubuhnya

kurang terpapar HBV, imunoglobulin dapat diberikan untuk memberikan perlindungan setelah

terkena paparan. Manajemen penting saat ini ialah termasuk imunisasi HBV sebagai bagian dari

program vaksinasi anak.

Hepatitis C
Infeksi virus hepatitis C (HCV) merupakan penyebab utama penyakit hepar kronis dan

penyakit hepar yang terkait morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Diperkirakan 8000

sampai 10000 kematian per tahun disebabkan oleh HCV, dan yang terakhir merupakan indikasi

utama untuk transplantasi hepar di Eropa dan Amerika Serikat. Perkiraan prevalensi global

penyakit ini adalah 2,2%, yang mewakili sekitar 130 juta terinfeksi secara individu di dunia.

Setelah mengamati beragam daerah geografis besar, penyakit ini mungkin terjadi sebagai akibat

dari faktor immunogenetik. Prevalensi terendah ditemukan di United Kingdom dan Skandinavia,

sedangkan yang tertingi ditemukan di Mesir.

HCV merupakan virus RNA yang ditularkan melalui rute parenteral dari darah yang

terinfeksi. Sumber penularan termasuk transfusi darah (meskipun risikonya telah diminimalkan

sejak tes dan kontrol donor darah dibuat), perkutan terpapar melalui instrumen yang

terkontaminasi, dan terpapar ke darah. Individu yang berisiko terbesar adalah penderita

hemofilia, pasien dialisis, dan pecandu obat parenteral. Rute transmisi lainnya adalah kontak

seksual, dan penularan perinatal dan idiopatik. Prevalensi infeksi di kalangan profesional gigi

mirip dengan yang ditemukan pada populasi umum, meskipun studi epidemiologi menunjukkan

bahwa dokter gigi merupakan kelompok risiko untuk infeksi HCV .

Setelah inokulasi, resiko serokonversi diperkirakan 1,8%. Masa inkubasi yang panjang

(sampai tiga bulan). Dan 85% dari semua pasien dengan infeksi HCV mengidap hepatitis kronis.

Dalam kasus-kasus dimana gejala diamati, kasus ini cenderung ringan, dan subyek yang paling

tetap relatif asimtomatik selama dua dekade pertama setelah infeksi dengan virus. Morbiditas

terkait dengan infeksi HCV adalah karena tidak hanya konsekuensi dari penyakit hati kronis

tetapi juga manifestasi dari ekstrahepatik. Kondisi terbaik yang didokumentasikan terkait

hepatitis C adalah cryoglubulinemia, gangguan multisistemik sering ditandai dengan purpura,


kelemahan dan nyeri sendi, dan yang mungkin mendahului perkembangan sel B limfoma non-

Hodgkin atau membran proliferatif glomerulonephritis. Gangguan terkait lainnya adalah porfiria

cutanea tarda, lichen planus, sialadenitis, gangguan kelenjar tiroid, diabetes melitus, dan

neuropati perifer. Lebih dari 74% dari pasien yang terinfeksi HCV pada akhirnya mengidap

manifestasi ekstrahepatik dalam penjalaran infeksinya.

Teknik yang berbeda antara enzyme-linked immunoserbent assay (ELISA) dan

recombinant immunoblast assay (RIBA) telah dikembangkan untuk diagnosis HCV, meskipun

tetap standar diagnostik deteksi genome virus menggunakan teknologi real time polymerase

chain reaction (RT-PCR).

Belum ada vaksin yang efektif terhadap HCV, dan resolusi spontan tidak biasa. Terapi

yang ada terdiri dari pengobatan kombinasi dengan interferon dan ribavirin, yang menawarkan

tingkat respon berkelanjutan dari 30-40%.

HEPATITIS KRONIS

Hepatitis kronis adalah gangguan inflamasi difus hepar dengan durasi lebih dari 6 bulan

dimana penyebab yang mendasarinya bisa menular (terutama virus hepatitis C dan, pada tingkat

lebih rendah, virus hepatitis B dan D), farmakologis atau imunologis.

Penyakit ini dapat berkembang tanpa gejala atau dengan manifestasi non-spesifik seperti

kelelahan, mual, atau nyeri abdomen. Penjalarannya biasanya lambat dan progresif, dan gejala

biasanya tidak termanifestasi selama berthaun-tahun setelah peristiwa kausal awal (misalnya,

infeksi). Beberapa pasien mengidap gangguan tanpa kerusakan hepar yang signifikan, sementara

yang lain dapat dengan cepat menuju cirrhosis dan mungkin hepatocarcinoma. Hepatitis kronis

akibat infeksi HCV adalah penyebab utama dari cirrhosis dan hepatocellular carcinoma.

PENYAKIT HEPAR PADA ALKOHOLIK


Penyakit hepar pada alkoholik adalah salah satu dari 10 penyebab kematian paling umum

di dunia, dan menyebabkan 3% diantaranya mengalami kematian. Data epidemiologi

menunjukkan ambang batas 80 gram alkohol pada laki-laki dan 20 gram pada wanita, yang

dikonsumsi setiap hari selama 10-12 tahun, yang akan menyebabkan kerusakan hepar. Sepuluh

gram etanol murni setara dengan segelas anggur atau bir, sedangkan segelas wiski setara dengan

dua kali lipatnya. Faktor-faktor seperti infeksi hepatitis C kronis, obesitas dan faktor genetik

dapat mempercepat terbentuknya penyakit hepar alkoholik bahkan dengan dosis alkohol yang

lebih kecil.

Alkoholisme dalah ditandai dengan ketergantungan fisik yang mencakup toleransi yang

besar dengan jumlah besar alkohol dalam darah, dorongan yang kuat untuk minum, kesulitan

mengendalikan konsumsi, meninggalakan keiatan kehidupan sehari-hari secara progresif, dan

tetap melakukan kebiasaan tersebut meskipun telah mengetahui konsekuensinya. Alkoholisme

pada akhirnya akan menyebabkan malnutrisi, anemia, fungsi kekebalan tubuh berkurang, dan

interaksi dengan obat-obatan penting.

Spektrum klinis berkisar dari penyakit hepar alkoholik dimulai dari simple liver steatosis

(hepar berlemak) dengan hepatitis alkohol (beracun) sampai lebih parah seperti steatohepatitis

atau cirrhosis. Simple steatosis adalah presentasi yang paling umum, ditemukan dalam 90%

peminum berat, dan membuktikan keharusan untuk meninggalakan kebiasaan itu. Hepatitis

alkoholik diamati di lebih dari 35% dari semua peminum berat dan cenderung menjadi pelopor

dari cirrhosis. Kondisi dimulai dari bentuk tanpa gejala sampai kegagalan hati, dan situasi yang

membahayakan jiwa, dan biasanya disertai dengan febricula, jaundice, leukositosis dan

peningkatan enzim hati.

LEMAK HATI NON-ALKOHOLIK


Lemak hati non-alkoholik didefinisikan sebagai akumulasi dari pembesaran (terutama

trigliserida) pada hati, yang mewakili 5% dari berat organ keseluruhan. Hal ini tidak ada pada

orang yang tidak mengkonsusmsi alcohol lebih dari 10 g per harinya.

Kerusakan hati yang diamati sangat beragam dari simple steatosis (akumulasi dari lemak

dalam hati) hingga steatohepatitis ( akumulasi lemak dengan disertai inflamsi), yang berlanjut

menjadi fibrosisn dan cirrhosis.

Penyakit ini terutama berhubungan dengan obesitas, diabetes, hiperlipidemia dan

resistensi insulin. Terdapat hubungan yang kuat antara resistensi insulin dan akumulasi

trigliserida yang berakumulasi di dalam sel-sel hati.

Namun, 16.4% dari semua pasien dengan lemak hati non-alkoholik tidak terdapat faktor

predisposisi. Kondisi ini berpotensi reversibel setelah menghilangkan atau meminimalkan faktor-

faktor penyebabnya.

Tidak ada perawatan yang jelas untuk lemak hati non-alkoholik, meskipun intervensi

seperti bariatric surgery ( pada kasus orang-orang yang obesitas) dan obat antidiabetes

(glitazone) pad apasien dengan diabetes tipe 2 dengan menunjukan hasil yang baik.

CIRRHOSIS

Sirosis hati sangat umum pada keadaan ini , dengan karakteristik morphopathological

mengarah kerusakan parenchyma hati. Penyakit ini disertai oleh serangkaian manifestasi

ekstrahepatik pada organ-organ tubuh lainnya dan sistem organ. Sirosis hati bersfat irreversible,

dan ditandai oleh pembentukan jaringan parut fibrosa di dalam hati, dengan pembentukan nodul

yang meningkatkan resistensi terhadap aliran darah melalui organ. Hasil dari kekurangan perfusi

hati merusak struktur vital dari organ dan mempengaruhi fungsi fisiologisnya. Penyebab utama
dari sirosis hati adalah infeksi hepatitis B dan C dan penyalahgunaan alkohol. Penyebab

potensial lainnya adalah steatohepatitis non-alkohol, perubahan genetik dan penyakit autoimun .

Komplikasi utama dari sirosis adalah hipertensi portal, karsinoma hepatoseluler dan

hilangnya fungsi organ. Sirosis sendiri merupakan faktor risiko untuk pengembangan karsinoma

hepatoseluler. Pilihan pengobatan meliputi mengilangkan faktor penyebab, terapi antivirus dan

transplantasi hati pada tahap akhir penyakit sirosis

HEPATOCELLULAR CARCINOMA

Karsinoma hepatoseluler adalah kanker kelima yang paling sering di seluruh dunia.

Dengan demikian, hal itu merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting, dan

merupakan salah satu keganasan yang paling umum dan mengancam nyawa di dunia - dengan

tingkat kelangsungan hidup setelah dua tahun hanya sekitar 2%.

Telah diperkirakan bahwa HBV dan termasuk dari 80% dari semua hepatocarcinomas.

Penyebab lainnya adalah steatohepatitis alkohol dan non-alkohol. Banyak pasien dengan

hepatocellular carcinoma memiliki riwayat cirrhosis, yang dengan sendirinya merupakan kondisi

preneoplastic.

Sirosis hati memiliki sifat yang berkepanjangan, dan menghasilkan gejala hanya pada

stadium lanjut dari penyakit, ketika pilihan penyembuhan tidak ada perawatan yang tersedia.

Pengobatan utama untuk karsinoma hepatoseluler adalah operasi (dalam kasus-kasus dimana

tumor diharuskan dioperasi), meskipun sayangnya banyak kasus non-operasi karena kedekatan

struktur vital, kehadiran metastasis, atau komorbiditas lain.

TUJUAN
Penelitian ini menawarkan tinjauan literatur dari manifestasi oral yang dapat ditemukan

pada pasien dengan virus hepatitis, penyakit hati alkoholik dan non-alkohol, sirosis dan

karsinoma hepatoseluler, dan pengaturan dental pada pasien dengan gangguan hati.

BAHAN dan METODE

Sebuah pencarian literatur dibuat dari artikel diindeks di PubMed - Medline database,

menggunakan kata-kata kunci berikut MESH divalidasi: hepatitis, hepatitis alkoholik, lemak

pada hati, sirosis dan karsinoma hepatoseluler.

Pencarian terbatas pada artikel dalam bahasa Inggris atau Spanyol diterbitkan selama 15

tahun terakhir. Sebanyak 28 artikel yang terakhir, yang terdiri dari tinjauan literatur 20, panduan

klinis, tiga uji klinis dan empat seri kasus.

HASIL

1. Manifestasi Klinis Pada Oral

Rongga mulut dapat mencerminkan disfungsi hati dalam bentuk ikterus membran mukosa,

gangguan perdarahan, petekie, peningkatan kerentanan terhadap memar, perdarahan radang gusi,

gingiva (bahkan dalam respon terhadap trauma minimal) (3, 19), foetor hepaticus (bau

karakteristik penyakit hati lanjut), keilitis, halus dan lidah atrofi, xerostomia, bruxism dan

berkerak perioral ruam (1). Pada pasien ini, penyakit periodontal kronis umum ditemukan.

Pasien dengan hepatitis alkoholik terdapat glositis, angle chelitis dan gingivitis, terutama

dalam kombinasi dengan kekurangan gizi. Beberapa pasien yang mengkonsumsi sejumlah besar

alkohol untuk jangka waktu yang lama dapat berkembang sialadenosis. Seperti komentar dari
Friedlander , ini diyakini hasil dari etanol yang diinduksi neuropati otonom perifer menimbulkan

perubahan dalam metabolisme dan sekresi saliva.

Pasien dengan sirosis yang lebih lanjut cenderung untuk memperlihatkan kebersihan

mulut yang kurang, terutama dalam kasus-kasus di mana kerusakan hati berhubungan dengan

penyalahgunaan alkohol. Bagan et al melaporkan kondisi gigi memburuk pada pasien dengan

sirosis hati, dalam kebetulan dengan penulis lain seperti Novacek et al yang menganggap bahwa

karena keparahan dan karakteristik sirosis, pasien cenderung mengabaikan perawatan rongga

mulut.

Dalam penelitian terbaru, Grossmann et al menemukan banyak pasien dengan infeksi

HCV menggambarkan kesehatan gigi yang buruk - situasi yang memberikan kontribusi untuk

memperburuk kualitas hidup mereka. Manifestasi ekstrahepatik telah dilaporkan di 74% dari

semua individu yang terinfeksi HCV (19), dan beberapa kondisi ini terutama atau eksklusif

mempengaruhi daerah mulut. Gangguan utama yang berhubungan dengan infeksi HCV

xerostomia, sindrom Sjgren (SS), sialadenitis dan terutama lichen planus (LP) .

Xerostomia meningkatkan kerentanan pasien untuk karies dan penyakit jaringan lunak

mulut, dan kombinasi dengan kebersihan yang kurang baik, sehingga pada akhirnya

menyebabkan pengembangan kandidiasis.

Belum terdapat bukti apakah infeksi HCV menyebabkan penyakit yang sama dengan

sindrom Sjgren primer atau apakah infeksi HCV bertanggung jawab langsung terhadap

munculnya sindrom Sjgren pada beberapa macam pasien. Walaupun begitu, sudah jelas

diketahui bahwa beberapa subjek dapat menimbulkan hubungan berkali lipat dengan infeksi

HCV, sindrom Sjgren, dan sialedenitis atau limfoma kelenjar saliva.


Walaupun bakteri merupakan penyebab utama sialadenitis, virus seperti HCV juga ikut

terlibat sebagai penyebab sialadenitis yang berhubungan dengan xerostomia.


Bukti epidemiologi menyebutkan bahwa lichen planus dapat berhubungan dengan infeksi

HCV secara signifikan, walaupun data terbaru masih kontroversial. Hubungan ini muncul

berdasarkan pada pengaturan geografis, dan menjadi lebih sering di negara-negara Mediterania

dan Jepang. Bagan et al menemukan bahwa prevalensi infeksi HCV lebih besar pada pasien

dengan oral lichen planus (OLP) dibandingkan pada grup control. Walaupun masih dibutuhkan

studi lebih lanjut, data terbaru menyatakan bahwa pasien cenderung pertama kali terinfeksi HCV

dan lalu berkembang menjadi lichen planus meskipun dalam cara apa hal ini terjadi masih

belum diketahui.

2. DENTAL MANAGEMENT
Penyakit liver mempunyai implikasi pada pasien ketika menjalani perawatan gigi.

Masalah utama yang paling sering berhubungan dengan penyakit liver di klinik mengarah

pada resiko penularan virus kepada dokter gigi mapun pasien lain (infeksi silang), resiko

perdarahan pada pasien dengan penyakit liver berat, serta perubahan metabolisme karena

beberapa zat yang terkandung dalam obat, di mana dapat meningkatkan resiko toksisitas.
HCV telah terdeteksi pada permukaan alat-alat di klinik setelah merawat pasien dengan

Hepatitis C, dan virus tersebut dapat bertahan pada temperature ruangan selama lebih dari 5

hari. Langkah sterilisasi yang sempurna sangat dibutuhkan, karena sterilisasi yang tidak

sempurna dapat memberikan paparan terhadap dokter gigi dan pasien lain terhadap infeksi

hepatitis. Langkah proteksi universal harus diaplikasikan demi mencegah infeksi silang,

contohnya adalah penggunaan barrier dengan langkah sterilisasi yang tepat disertai disinfeksi.

Telah terbukti bahwa teknik sterilisasi konvensional dapat mengurangi protein spesifik dan

asam nukleat (HBV DNA dan HCV RNA) pada instrumen dental yang sebelumnya telah

terinfeksi HBV dan HCV. Walaupun belum ada data yang membuktikan kemampuannya
dalam mengurangi resiko penularan, langkah ini tetap disarankan jika terdapat kasus

kecelakaan perforasi instrument atau jarum ke dalam kulit, di mana disarankan untuk

membasuh luka secara hati-hati (tanpa menggosok luka, karena hal ini dapat menyebabkan

inokulasi virus ke jaringan yang lebih dalam) dengan sabun dan air, atau menggunakan

desinfektan yang telah terbukti ampuh melawan virus (larutan iodine atau formulasi klorin).

Selanjutnya, diaplikasikan juga tekanan di bawah luka untuk memicu perdarahan, sehingga

dapat mengeluarkan material yang kemungkinan menyebabkan infeksi. Jika membrane

mukosa telah terpapar, segeralah dilakukan irigasi dengan air mengalir sebanyak-banyaknya,

disarankan menggunakan larutan saline steril atau air steril, selama beberapa menit. Langkah

ini dilakukan untuk mengurangi jumlah unit virus sampai di bawah batas ambang yang dapat

menyebabkan infeksi (dosis infeksi). Sebab, pelarutan dengan air dapat mengurangi jumlah

virus hingga di bawah batas ambang infeksi ini. Kapanpun memungkinkan, status antigen

hepatitis pada pasien harus ditentukan. Jika terjadi paparan terhadap antigen virus positif

hepatitis secara parenteral, dokter gigi harus menerima perawatan dengan immunoglobulin

anti-Hepatitis B. Pada tabel 1 akan dijelaskan deskripsi skematik mengenai langkah-langkah

yang harus diikuti.


Pengumpulan riwayat klinis lengkap sangat penting dilakukan sebelum perawatan gigi,

guna mengidentifikasi pasien yang kemungkinan beresiko terhadap penyakit ini. Hal ini juga

harus dibarengi dengan pemeriksaan oral yang teliti. Disarankan juga untuk berkonsultasi

dengan dokter pasien atau dokter spesialis guna menentukan rencana perawatan yang aman

dan memadai disesuaikan dengan kondisi medis pasien, serta mempertimbangkan derajat

kerusakan fungsional liver pada pasien. Pemeriksaan rongga mulut harus dapat

memperkirakan tanda apapun yang menandai adanya penyakit sistemik. Pasien harus
mendapatkan penjelasan mengenai resiko yang berkaitan dengan perawatan, dan diperlukan

pula informed consent.

PROSEDUR SETELAH TERJADI LUKA KARENA KECELAKAAN


Luka Tusuk/ Terpotong Kontak dengan Permukaan Mukosa
1. Basuh luka dengan perlahan, tanpa
digosok, selama beberapa menit dengan
Irigasi sebanyak-banyaknya dengan air atau
sabun dan air atau desinfektan
larutan saline selama beberapa menit
2. Tekan pada daerah di bawah luka untuk
memicu perdarahan.
Tentukan status antigen hepatitis pada pasien
Paparan parenteral terhadap antigen virus positif immunoglobulin anti-hepatitis B
Tabel 1. Prosedur yang harus diikuti setelah terjadi paparan karena kecelakaan ke dalam darah
yang terinfeksi.

Pada pasien virus hepatitis yang sedang dalam masa akut, hanya perawatan emergensi

yang dapat dipertimbangkan untuk dilakukan. Sedangkan pada pasien hepatitis kronik,

penting untuk menentukan kemungkinan adanya penyakit lain yang berhubungan (proses

autoimun, diabetes, dll) dengan tujuan mencegah komplikasi langsung dan masalah lanjutan

dari medikasi yang digunakan (kortikosteroid dan/ atau imunosupresor). Dibutuhkan juga

evaluasi terhadap kondisi medis yang kemungkinan berhubungan dengan penularan HCV,

karena infeksi transmisi darah (HIV, HBV).


Harus diperhitungkan juga bahwa penyakit liver sering berkaitan dengan turunnya

konsentrasi factor koagulasi plasma. Pada pasien dengan penyakit liver, resiko bedah

berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit, jenis pembedahan yang direncanakan, dan

adanya komorbiditas. Pembedahan merupakan kontraindikasi pada pasien dengan beberapa

kondisi seperti hepatitis akut, acute liver failure, atau hepatitis alkoholik. Jika dibutuhkan

langkah invasive, diperlukan tes koagulasi dan hemostasis terlebih dahulu, yang meliputi:

Complete Blood Count, Bleeding Time, Prothrombin Time/ International Normalized Ratio

(INR), Thrombin Time, Thrombloplastin Time, dan biokimia liver (GOT, GPT, dan GGT). Tabel 2
menunjukkan nilai normal pada tes koagulasi. Jika terdapat perubahan pada nilai tes, harap

dikonsultasikan dengan dokter spesialis liver, dengan penundaan pilihan perawatan. Berbagai

perawatan emergensi juga harus disediakan di rumah sakit. Ketika dilakukan pembedahan, trauma

harus diminimalisasi untuk mengoptimalkan hemostasis, dengan cara teknik pembedahan yang hati-

hati, pengaplikasian tekanan untuk mengontrol perdarahan, dan penggunaan agen hemostatik.

Berdasarkan temuan tes laboratorium dan perawatan yang dilakukan, disarankan penggunaan agen

hemostatik local (selulosa teregenerasi dan teroksidasi), juga agen antifibrinolisis (asam traneksamik),

plasma segar, platelet, dan vitamin K. Disarankan juga penggunaan antibiotic profilaksis, karena

disfungsi liver berhubungan dengan berkurangnya kemampuan imun

Tes Nilai Normal


Bleeding time 1-3 menit
Prothrombin time 11-15 detik
Thrombin time 15-20 detik
Thromboplastin time 25-35 detik
Platelet count 150.000-400.000/ mm3 < 50.000/ mm3:
perdarahan
INR 0,9-1,1
Tabel 2 Nilai normal pada tes koagulasi

Penyakit liver dapat mengakibatkan perubahan dalam metabolisme dari obat-obat

tertentu. Oleh karena itu dokter harus mengkonsultasikan untuk menentukkan obat mana yang

akan digunakan, dosis dan kemungkinan interaksinya (3). Administrasi dari analgesik tertentu,

antibiotik dan anestetik lokal umumnya ditoleransi dengan baik oleh pasien dengan disfungsi

liver yang ringan hingga sedang, walaupun modifikasi dapat membuktikan kebutuhan individu

dengan penyakit liver stadium lanjut (2). Dalam hal ini, obat-obat yang dimetabolisme dalam

hati mungkin harus digunakan dengan harti-hati atau dosis nya dikurangi (1,26) (tabel.3). dan

substansi-substansi tertentu seperti erytromicin, metronidazole dan tetrasiklin harus dihindari

sepenuhnya. Kebanyakan penulisan resep antibiotik untuk infeksi oral dan maksilofasial dapat
digunakan dengan pasien dengan penyakit liver kronik dan pada umumnya beta lactam dapat

diadministrasikan. Aminoglikosid dapat meningkatkan resiko keracunana hati pada pasien

dengan penyakit liver dan harus dihindaari. Metabolisme dari klindamisin menjadi panjang pada

pasien tertentu dan berperan dalam degenari hati.

NSAID harus digunakan denganhati-hati atau dihindari karena resiko perdarahan

gastrointestinal dan gastritis salalu disertai pada penyakit hati. Profilaksis dapat dilakuakan

dalam bentuk antasid atau antagonis reseptor histamin. Acetaminopen (paracetamol) dihindari

pada pasien dengan penyakit liver yang serius, dan aspirin dan NSAID tidak diindikasikan untuk

pasien dengan perubahan hemostasis. Douglas et al menjelaskan acetaminpene sebagai alternatif

yang aman untuk aspirin atau NSAID yang dapat diadministrasian pada dosis hingga 4g/hari

selama dua minggu tanpa pengaruh hati yang berlawanan, peringatan pasien untuk menghindari

konsumsi alkohol sementara menerima perawatan dengan obat. Pada pasien yang menggunakan

benzodiazepine, dosis harus dikurangi dengan prolongasi dari interval antara dosis. Lokal

anestesi umumnya aman diberikan dengan total pemberian dosis tidak melebihi 7mg/kg,
dikombinasikan denga efinprin. Tabel 4 menunjukkan obat yang kontraindikasi dan dapat

digunakan dengan hati-hati. Walaupun beberapa dari substansi ini dimetabolisme dalam liver,

dosis yang diunakan pada praktek dokter gigi bisa diterima kecuali pasien menderita disfungsi

hati yang sangat berat.

Pasien dengan cirrhosis alkoholik menunjukkan peningkatan toleransi anestetik, sedatif

dan agen hipnotik sehingga dosis anestetik harus dinaikkan. Keamanan dan keefisienan dari

banyak substansi obat dipengaruhi seiring dengan konsumsi alkohol. Perhatian dicurahkan lebih

besar pada efek-efek dari pengkombinasian alkohol dan depresor CNS,dan efek-efek yang

komplek dari alkohol diatas kapasitas liver untuk memetabolisme substansi obat. Parasetamol

yang dikombinasikan dengan alkohol berbahaya karena metabolisme kedua substannsi tersebut

melibatkan enzim yang sama (isoenzyme CYP2E1 of the P-450 cytochrome system), dan

perawatan tidak membutuhkan pemberian resep kumur yang mengandung alkohol selama masa

penyembuhan pasien dari penyalahgunaan alkohol.

Anda mungkin juga menyukai