Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
KAJIAN PUSTAKA
Diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik kronik yang ditandai dengan
disfungsi dan kegagalan organ-organ tubuh khususnya mata, ginjal, saraf, jantung
2.1.2 Epidemiologi
DM di seluruh dunia diperkirakan akan bertambah dari 171 juta pada tahun 2000
menjadi 366 juta penduduk pada tahun 2030 (Wild et al., 2004). Di tahun 2012
diperkirakan 371 juta jiwa penduduk dunia (8,3%) menderita DM (IDF, 2012).
jumlah penderita DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar
21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes
Federation (IDF) memprediksi peningkatan penderita DM dari 7,0 juta pada tahun
2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030 (IDF, 2005; PERKENI, 2011). Di
1
8
Indonesia berdasarkan hasil RISKESDAS oleh DepKes pada tahun 2007, prevalensi
yang cukup tinggi yakni mencapai 5,9% (Suastika, 2008). Hasil riset kesehatan
merupakan penyebab penting masalah ini, dan terus menerus meningkat pada
2.1.3 Diagnosis DM
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penderita DM. Kecurigaan adanya
polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain dapat berupa: sering lelah dan lemas, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita (PERKENI, 2011).
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara, yaitu jika keluhan klasik
ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup
untuk menegakkan diagnosis DM. Cara kedua yaitu pemeriksaan glukosa plasma
puasa 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik. Yang ketiga adalah dengan tes
toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 gram glukosa
lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa,
mmol/l atau 126 mg/dL pada populasi high risk Indigenous dimana data
dan Canadian First Nations community (n=431) adalah 7.0% dengan sensitivitas
73% (CI 56-86%), spesifisitas 98% (CI 96-99%), dan nilai duga positif 88%
Tabel 2.1
Kriteria diagnosis DM (PERKENI, 2011)
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L) Glukosa
plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir
ATAU
2. Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7.0 mmol/L). Puasa
diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
ATAU
3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO yang
dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g
glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
terbesar, yaitu 90-95%. Tipe ini sebelumnya juga dikenal sebagai non-insulin-
sejalan dengan umur, obesitas, dan kurangnya aktivitas fisik. Penyakit ini lebih
sering ditemukan pada wanita dengan riwayat diabetes melitus gestasional dan
(hiperinsulinemia). Hal ini terjadi sebagai upaya kompensasi oleh sel beta pankreas
Gejala klasik dari DMT2 adalah terjadi peningkatan frekuensi buang air kecil
(polyuria), rasa haus (polydipsia), rasa lapar (polyphagia), penglihatan kabur, dan
(PERKENI, 2011).
sentral) dan kurangnya aktivitas fisik maka risiko perkembangan diabetes juga akan
meningkat (Leahy, 2005). Faktor lain yang dapat meningkatkan kejadian DMT2
gestasional dan adanya riwayat kegagalan toleransi glukosa impair fasting glucose
DM yang akan atau telah terjadi (Lehman & Krumholz, 2009 ; Montori & Balsells,
terapi penurunan kadar gula darah secara baik dan tepat mendekati nilai normal
mengetahui efektivitas dari terapi yang telah dilakukan dan kepatuhan dalam
berobat (Skyler, 2004; Qaseem et al., 2007). Kontrol glikemik pada pasien DM
dapat memprediksi komplikasi yang telah dan akan terjadi dan memperkirakan
prognosis dari pasien DM. Selain itu juga dapat dipakai sebagai pegangan dalam
penyesuaian diet, latihan jasmani dan obat-obatan untuk mencapai kadar glukosa
(PERKENI, 2011). Kontrol glikemik pada pasien DMT2 secara skematik dapat
Glukosa darah adalah sumber utama energi untuk sel-sel tubuh. Umumnya
tingkat gula darah bertahan pada batas-batas yang sempit sepanjang hari: 4-8
mmol/l (70-150 mg/dl). Tingkat ini meningkat setelah makan dan biasanya berada
pada level terendah pada pagi hari sebelum makan. Tingkat gula darah diatur
Tujuan pemeriksaan glukosa darah untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah
tercapai dan untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran
terapi. Guna mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa
darah puasa, glukosa 2JPP, atau glukosa darah pada waktu yang lain secara berkala
kadar glukosa sangat berfluktuasi dan hasilnya dapat dipengaruhi oleh stres,
dilakukan.
kimia antara glukosa dan hemoglobin, melalui reaksi non-enzimatik antara glukosa
ikatan aldimine dengan N H2- dari valine dalam rantai beta, basa Schiff yang
dihasilkan bersifat tidak stabil, kemudian melalui suatu penyusunan ulang (Amadori
salah satu fraksi hemoglobin di dalam tubuh manusia yang berikatan dengan
glukosa secara non enzimatik. HbA1C terbentuk dari protein dalam sel darah merah
atau disebut juga hemoglobin yang bereaksi dengan glukosa sehingga disebut
usia dari sel darah merah yaitu 120 hari (Nathan et al., 2008).
Gambar 2.2
Proses glikasi hemoglobin (Jones, 2013)
pemeriksaan dan tidak dipengaruhi oleh diet sebelum pengambilan sampel darah.
(Schneider et al., 2003; ADA, 2012). Kontrol glikemik pada pasien DMT2 secara
kadar glukosa puasa, dan kadar glukosa postprandial. Saat ini, meskipun masih ada
konsentrasi glukosa setelah makan siang dan rata-rata kadar glukosa per hari
(Rohlfing et al., 2002). Studi lain lagi melaporkan apabila pasien dibagi menjadi 5
terbesar (70%) pada kuintil HbA1C yang lebih rendah pada pasien dengan kontrol
kontributor utama kadar glukosa sepanjang hari pada pasien diabetes tidak
terkontrol (HbA1C >8,4%) (Monnier et al., 2003) Untuk pasien dengan kadar
HbA1C antara 7,3 dan 8,4%, kontribusi glukosa puasa dan postprandial adalah
glukosa postprandial adalah kontributor utama pada pasien dengan kadar HbA1C
HbA1C di bawah 6,5%. Sebaliknya, pada pasien dengan kadar HbA1C di atas
7,5%, hiperglikemi basal menjadi yang utama, sehingga terapi perbaikan kontrol
basal dan interprandial. Saat ini, ada dua nilai HbA1C yang digunakan untuk
menilai diabetes yang terkontrol yaitu: 7% oleh ADA dan 6,5% oleh AACE dan
bahwa target HbA1C yang tidak terlampau ketat dari <7% lebih dianjurkan pada
pasien yang mendapat terapi obat hipoglikemik seperti sulfonilurea dan/ atau insulin
diaplikasikan kepada pasien dengan harapan hidup rendah atau dengan komplikasi
mikro dan makrovaskuler yang sudah lanjut (Monnier & Colette, 2009).
Studi yang dilakukan oleh McCance et al. tahun 1994 dalam menilai
mendapatkan cut off point optimum HbA1C adalah 7% dengan nilai sensitivitas
78% dan spesifisitas 85%. Cut off point glukosa puasa adalah 7,2 mmol/L (126
mg/dL) dengan nilai sensitivitas 81% dan spesifisitas 80%, sedangkan cut off point
optimum dari glukosa 2JPP adalah 13.0 mmol/L (234 mg/dL) dengan sensitivitas
Tidak ada tes diagnostik klinis yang sempurna. Untuk penggunaan klinis, tes
yang ideal adalah akurat, spesifik, terstandardisasi, mudah dilakukan dan tidak
antara lain tidak diperlukan puasa sehingga nyaman untuk pasien, hasil yang stabil
untuk memantau kondisi hiperglikemik selama tiga bulan yang lalu tanpa
dipengaruhi kondisi stres dan sakit. Selain itu, HbA1C dapat digunakan sebagai tes
saring bagi seseorang dengan risiko tinggi terkena DM (Gillett, 2009; Kilpatrick et
darah. Hal ini penting diketahui karena dapat menyebabkan under- atau over
treatment. Meskipun saat ini HbA1C secara luas telah digunakan sebagai penanda
periode yang relatif singkat, dan akurasinya dikatakan menurun jika disertai dengan
ginjal kronis (PGK) tahap akhir atau end stage ranal disease (ESRD) (Peacock et
Dalam tubuh manusia dewasa albumin disintesa oleh hati sekitar 100-200
mikrogram per gram jaringan hati per hari. Albumin didistribusikan secara vaskuler
dalam plasma dan secara ekstravaskuler dalam kulit, otot, dan beberapa jaringan
lain. Sintesa albumin dalam sel hati dilakukan dalam dua tempat, pertama pada
amino, hormon dan adanya suatu penyakit. Asam amino yang dapat merangsang
treonin dan prolin. Sedangkan hormon yang dapat merangsang sintesa albumin
korteks adrenal. Adapun yang dapat menghambat sintesa albumin adalah alkohol
serta adanya suatu penyakit yang mengakibatkan gangguan sintesa albumin seperti
pada seseorang penderita penyakit hati kronis, ginjal, dan kekurangan gizi seperti
Albumin adalah salah satu protein plasma yang telah diketahui paling
lama dan merupakan komponen terbesar dari protein plasma, mewakili lebih dari
80% molekul total dan 60% konsentrasi protein plasma total (Roohk & Zaidi,
2008). Konsentrasi normal albumin adalah 35-50 g/l, yang membuatnya menjadi
protein paling banyak dalam plasma dengan berbagai fungsi fisiologis (Evans,
2002). Secara struktural, albumin terbuat dari 585 asam amino dan mengandung 35
residu sistein penting (kecuali Cys-34) yang membentuk jembatan disulfida yang
berkontribusi terhadap struktur protein tersier secara keseluruhan (Kim & Lee,
2012).
Gambar 2.3
Struktur albumin (Kim & Lee, 2012)
menempelkan dirinya sendiri dengan molekul protein atau lipid yang normal dalam
darah tanpa intervensi enzimatik (Kim & Lee, 2012). Monosakarida memiliki
aktivitas glikasi bawaan yang berbeda; diketahui bahwa galaktosa dan fruktosa
memiliki sekitar 10 kali aktivitas glikasi glukosa. Kekhawatiran mengenai glikasi
pada diabetes muncul dari fakta bahwa gula tereduksi berpotensi untuk
protein rentan terhadap glikasi, gangguan ini dapat menimbulkan efek yang
menonjol. Produk glikasi dapat diklasifikasikan menjadi produk awal dan produk
tahap lanjut. Awalnya, basa Schiff yang reversibel dan tidak stabil dibentuk dari
ikatan glukosa atau derivatnya dengan grup albumin yang memiliki amin bebas
ireversibel, glikasi 6-8 minggu). Ini merupakan proses glikasi awal dan juga dikenal
sebagai reaksi Maillard. Modifikasi tahap lanjut pada produk glikasi tahap awal ini
end products (AGE). Produk AGE dianggap sebagai penanda berbagai penyakit
seperti arteriosklerosis, gagal ginjal, penyakit alzheimer, atau diabetes, dan juga
mengalami peningkatan selama proses penuaan (Koga & Kasayama, 2010 ;Kim &
Masa paruh albumin serum lebih pendek dibandingkan eritrosit. Hal tersebut
kontrol glukosa dalam waktu yang singkat. Perubahan yang singkat biasanya terjadi
karena ada faktor terapi luar, seperti pengobatan oral maupun injeksi insulin. Di sisi
lain, kadar GA juga lebih baik dibanding HbA1C ketika status glukosa darah
memburuk (terjadi peningkatan kadar glukosa) dalam waktu yang singkat. Dalam
kasus ini, GA menangkap sinyal kenaikan kadar glukosa lebih dini dibandingkan
HbA1C. HbA1C tetap normal atau terjadi sedikit peningkatan pada diagnosis
fulminan diabetes melitus tipe 1 (DMT1) dimana sel-sel -pankreas rusak dengan
cepat, sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa plasma dan ketoasidosis dalam
status glukosa darah yang disebabkan oleh efek pengobatan (Koga & Kasayama,
2010).
dapat membantu dokter dalam memberikan dosis yang akan diberikan kepada
pasien yang sedang dalam pengobatan. Dengan respons yang lebih cepat pada
saat penyesuaian dosis untuk pasien dalam terapi. Takahashi et al, menemukan
persentase penurunan HbA1C dan GA akan sama pada minggu ke-16 setelah terapi.
Rasio GA/HbA1C sangat menurun pada 8 minggu terapi, dan berangsur naik dalam
yang lebih sensitif untuk mendeteksi perbaikan kontrol glikemik yang lebih dini
ketika memulai atau sedang dalam proses pengobatan. Hal ini menjelaskan bahwa
memberikan penyesuaian dosis obat yang diberikan kepada pasien dengan lebih
2.6.3.2 Pemantauan kadar glukosa darah pada pasien dengan dialisis dan anemia
Telah diketahui jika pada kondisi pasien yang mengalami kerusakan ginjal
tingkat akhir yang mengharuskan pasien menjalani hemodialisis, umur dari eritrosit
menjadi lebih pendek. Hal ini menyebabkan penurunan kadar HbA1C (rendah
palsu) sehingga pemeriksaan kadar glukosa darah menggunakan HbA1C tidak dapat
dipakai dengan baik. Selama hemodialisis, uremia, kehilangan darah pada saat
pengurangan waktu paruh sel darah merah. Umur paruh eritrosit yang memendek
dan transfusi dapat menurunkan kadar HbA1C, yang berpotensial untuk membuat
penilaian kontrol glikemik tidak dapat digunakan. Studi menyebutkan bahwa kadar
HbA1C relatif lebih rendah pada pasien diabetes melitus dengan dialisis
dibandingkan dengan GA. Pada pasien PGK tahap akhir atau ESRD, kadar rendah
HbA1C berkorelasi dengan rendahnya kadar hemoglobin dan tingginya dosis terapi
kelangsungan hidup eritrosit dan menurunkan waktu paruh hemoglobin yang tidak
dapat diatasi dengan pemberian dosis tinggi eritropoietin. Hal tersebut menunjukkan
bahwa GA dapat menjadi parameter yang lebih baik dibandingkan HbA1C pada
menjadi sangat penting untuk menurunkan risiko terjadinya kematian janin, dan
ketiga kehamilan. Dari trimester kedua ke trimester ketiga kehamilan, kadar HbA1C
meningkat dan kadar transferin jenuh serta feritin menurun, sedangkan GA tidak
2015).
kekurangan zat besi. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar wanita hamil
mengalami kekurangan zat besi. Kadar transferin dan feritin ditemukan relatif lebih
rendah pada wanita hamil. Feritin merupakan protein penyimpan zat besi paling
utama dalam tubuh, sedangkan transferin adalah protein yang membawa besi dalam
darah. Kadar HbA1C didapatkan memiliki korelasi negatif dengan transferin jenuh
dan feritin. Kenaikan HbA1C pada masa akhir kehamilan sangat dipengaruhi oleh
Korelasi terbalik antara HbA1C dan zat besi menyimpulkan bahwa kenaikan
HbA1c terjadi akibat dari kekurangan zat besi di trimester ketiga kehamilan, baik
wanita sehat maupun diabetes melitus. Hal ini menunjukkan bahwa HbA1C bukan
indeks kontrol yang baik untuk pemantauan kadar glukosa darah pada kehamilan.
Pada kasus ini, karena GA tidak terpengaruh oleh kekurangan zat besi dan dapat
parameter yang lebih baik sebagai pemantauan kadar glukosa (Hashimoto et al.,
merupakan faktor risiko yang lebih kuat untuk kejadian kardiovaskular daripada
inhibitor acarbose untuk pasien dengan gangguan toleransi glukosa atau diabetes
1999).
pada pasien DMT1 yang lebih besar dibandingkan DMT2 memperlihatkan bahwa
fenomena tersebut, pada pasien DMT1 dan DMT2 yang tidak menunjukkan
perbedaan pada kadar HbA1C, kadar GA signifikan lebih tinggi. Hal tersebut
postprandial dan berbagai fluktuasi glukosa plasma dari HbA1C (Koga &
Kasayama, 2010).
bahkan pada keadaan dimana tidak ada perubahan kadar HbA1C. Injeksi insulin
intensif diduga dapat menurunkan fluktuasi dan perubahan kadar glukosa darah, dan
rasio GA/HbA1C lebih tinggi pada pasien DMT1 dibandingkan DMT2, dimana
terjadi fluktuasi kadar glukosa darah yang cukup tinggi pada pasien DMT1 (Koga &
Kasayama, 2010 ; Yoshiuchi et al., 2008). Studi DCCT menunjukkan bahwa secara
mikroangiopati. Korelasi paling kuat adalah ketika kadar GA dan HbA1C digabung
bentuk formasi ikatan antara molekul-molekul albumin dan glukosa melalui reaksi
HbA1C, yakni 2-4 minggu sebelumnya. GA tidak dipengaruhi oleh kadar protein
glikat dengan total albumin serum (Koga & Kasayama, 2010). Glukosa berikatan
kuat dengan albumin serum pada 4 situs residu lisin, dan reaksi glikasi terjadi 10
kali lipat lebih cepat dibandingkan glikasi pada hemoglobin. Karena itu, GA dapat
lebih menangkap fluktuasi dan perubahan status glikemik lebih cepat dan nyata
namun GA tidak dipengaruhi oleh kadar albumin serum karena dihitung dari rasio
albumin serum total. Beberapa studi pernah melaporkan nilai rujukan GA antara
lain oleh Tominaga et al (1999) pada populasi orang Jepang adalah 12,3-16,9%.
Amerika adalah 11,9-15,8%. Oleh Roohk & Zaidi (2008), target kendali glikemik
yang diukur dengan parameter GA adalah <20%, dengan nilai normalnya adalah 11-
16%. Studi oleh Pu et al (2007), predective values dari GA dan HbA1C dalam
menilai penyakit jantung koroner pada pasien DMT2 didapatkan area under
Receiver Operating Characteristic (ROC) curve GA adalah 0,620 (62%) lebih baik
Dalam 15-20 tahun terakhir, selain GA, banyak publikasi laporan yang
sebagai metode untuk menilai status glikemik dalam periode intermediet (2-4
fruktosa yang mengacu kepada jumlah semua ikatan ketoamin yang dihasilkan dari
glikasi protein serum dalam sirkulasi. Pemeriksaan cepat untuk FA dijabarkan oleh
Food and Drug Administration (FDA) pada tahun 1997, dan dilaporkan beberapa
studi klinis dengan berbagai hasil, namun jalur komersil yang berliku untuk
pemeriksaan ini membuat penyediaannya susah, dan saat ini sudah tidak lagi
tersedia sebagai pemeriksaan komersil cepat. (Edelman et al., 2000; Roohk & Zaidi,
2008).
Hati merupakan organ vital yang penting untuk meregulasi kadar glukosa
plasma. Gangguan metabolik glukosa muncul secara frekuentif pada pasien dengan
penyakit hati kronik, seperti hepatitis kronik dan sirosis hati. Pada pasien dengan
glukosa dan 30-60% diantaranya adalah pasien DM. Sangat penting untuk tetap
dapat mengontrol kadar glukosa darah pada pasien tersebut. HbA1C memiliki
korelasi yang rendah pada pasien penyakit hati kronik, karena umur eritrosit yang
memendek. Sebaliknya nilai GA dan fruktosamin lebih tinggi pada pasien tersebut,
yang diduga karena memanjangnya masa paruh albumin serum yang dikarenakan
sintesis albumin yang menurun. Sangat sulit untuk memantau kadar glukosa darah
pada pasien dengan penyakit hati kronik karena tidak ada parameter yang bekerja
lebih tinggi dibandingkan kadar glukosa plasma pada pasien dengan sirosis hati dan