Anda di halaman 1dari 47

SEJARAH INDONESIA

PERKEMBANGAN ISLAM DI
SUMATERA BARAT

SMA NEGERI 61 JAKARTA


Jalan Taruna Pahlawan Revolusi
Jakarta Timur
DISUSUN OLEH

KELOMPOK 6

Fatya Azzahra M (9) : Publikasi

Hastri Dwi Kencana Putri Beno (12) : Tim Ahli

Khansa Amiranti (15) : Ketua

Muhammad Fakhrul Arif (19) : Publikasi

Rizqi Ramadhani (30) : Notulen

Tasya Dinasari S. (36) : Tim Ahli

X IPS 1

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah.sejarah.ini.

Makalah sejarah ini telah kami susun dengan sebaik-baiknya yang dibantu
oleh berbagai pihak sehingga tersusunlah makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah ikut
membantu.dalam.pembuatan.makalah.ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar.kami.dapat.memperbaiki.makalah.sejarah.ini.

Kami berharap untuk kedepannya, makalah ini dapat menjadi sumber


referensi tentang sejarah Kerajaan Islam di Sumatera Barat.

Jakarta, 19 Mei 2016

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... 2

DAFTAR ISI .................................................................................................................. 3

BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................................. 5

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH ........................................................................... 5

1.2 IDENTIFIKASI MASALAH ..................................................................................... 5

1.3 PERUMUSAN MASALAH ..................................................................................... 5

1.4 RUANG LINGKUP ................................................................................................. 5

BAB 2 PEMBAHASAN ................................................................................................ 6

2.1 SEJARAH AWAL MASUKNYA ISLAM KE SUMATERA BARAT ........................ 6

2.2 PERKEMBANGAN ISLAM DI SUMATERA BARAT ............................................. 6

2.3 KERAJAAN ISLAM DI SUMATERA BARAT ........................................................ 8

2.4 KEBUDAYAAN PADA MASA KERAJAAN ISLAM DI SUMATERA BARAT .... 10

2.5 KONFLIK YANG PERNAH TERJADI PADA MASA KERAJAAN ISLAM.......... 12

2.6 RUNTUHNYA KERAJAAN ISLAM DI SUMATERA BARAT .............................. 13

2.7 PENINGGALAN KERAJAAN ISLAM DI SUMATERA BARAT .......................... 13

2.8 TOKOH PADA MASA KERAJAAN ISLAM DI SUMATERA BARAT ................. 14

BAB 3 PENUTUP ....................................................................................................... 16

3.1 KESIMPULAN ..................................................................................................... 16

3.2 SARAN ................................................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 17

LAMPIRAN ................................................................................................................. 18

4.1 JIGSAW KELOMPOK 1 ....................................................................................... 18

4.2 JIGSAW KELOMPOK 2 ....................................................................................... 22

3
4.3 JIGSAW KELOMPOK 3 ....................................................................................... 28

4.4 JIGSAW KELOMPOK 4 ....................................................................................... 34

4.5 JIGSAW KELOMPOK 5 ....................................................................................... 39

4
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Indonesia merupakan negara yang penuh akan sejarah. Baik sejarah yang
menyayat hati, juga sejarah yang harukan diri. Perkembangan kerajaan islam di
Indonesia merupakan salah satu contohnya. Islam pertama kali masuk ke
Indonesia pada abad 7 Masehi. Penyebaran islam di Indonesia berlangsung dari
abad 7 hingga 13 Masehi.
Salah satu hasil penyebaran islam di Indonesia yaitu kerajaan islam.
Terdapat belasan kerajaan islam di Indonesia. Setiap kerajaan memiliki kekuatan
tersendiri. Kekuatan yang dimaksudkan biasanya pada sektor perdagangan dan
militer.
Oleh karena itu, kami tertarik untuk mengulas mengenai perkembangan
kerajaan islam di minangkabau yaitu kerajaan minangkabau, untuk mengetahui
lebih lanjut perkembangan islam hingga konflik yang terjadi pada kerajaan
minangkabau.

1.2. Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah penulis sebutkan, masalah yang
timbul pada penulisan penelitian ini adalah
1. Bagaimana awal masuk islam ke wilayah minangkabau?
2. Konflik apa yang terjadi pada kerajaan minangkabau?
3. Bagaimana kisah akhir dari kerajaan minangkabau?

1.3. Perumusan Masalah


Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, maka perumusan masalah
dalam penelitian ini adalah bagaimana perkembangan kerajaan islam di
minangkabau?

1.4. Ruang Lingkup

Kelompok kami hanya membahas tentang sejarah awal masuknya islam,


perkembangan islam, kerajaan, budaya, konflik, runtuhnya, peninggalan, tokoh di
sumatera barat.

5
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1. SEJARAH AWAL MASUKNYA ISLAM KE SUMATERA BARAT

Perkenalan pertama Minangkabau dengan Islam, sebagai yang masih


diasumsikan, adalah melalui dua jalur yaitu pertama, pesisir timur Minangkabau
antara abad ke-7 dan 8 Masehi, kedua, melalui pesisir barat Minangkabau pada
abad ke 16 Masehi.

Teori jalur timur didasarkan oleh intensifnya jalur perdagangan melalui


sungai-sungai yang mengalir dari gugusan bukit barisan ke selat Malaka yang
dapat dilayari oleh pedagang untuk memperoleh komoditi lada dan emas.
Kegiatan perdagangan ini diperkirakan adalah awal terjadinya kontak antara
budaya Minangkabau dengan Islam. Kontak budaya ini kemudian lebih intensif
pada abad ke 13 pada saat mana munculnya kerajaan Islam Samudra Pasai
sebagai kekuatan baru dalam wilayah perdagangan selat Malaka. Pada waktu ini
Samudra Pasai bahkan telah menguasai sebagian wilayah penghasil lada dan
emas di Minangkabau Timur.

Sedangkan asumsi masuknya Islam melalui pesisir barat didasari oleh


intensifnya kegiatan perdagangan pantai barat Sumatera pada abad ke 16 M
sebagai akibat dari kejatuhan Malaka ke tangan Portugis. Pada waktu ini,
pengaruh kekuasan Aceh sangat besar, terutama pada wilayah pesisir barat
Sumatera. Intensifnya pengembangan Islam pada waktu inilah dijadikan sebagai
dasar analisis bagi awal masuknya Islam di Minangkabau dan dihubungkan
dengan nama Syekh Burhanuddin Ulakan yang oleh beberapa penulis dianggap
sebagai tokoh pembawa Islam pertama ke wilayah ini. Syekh Burhanuddin
adalah murid Syekh Abdur Rauf Singkil, ulama tarikat Syatariyah Aceh. Syekh
Burhanuddin dikenal sebagai pembawa aliran tarikat Syatariyah ke Minangkabau
untuk pertama kalinya. Tarikat ini kemudian berkembang di Minangkabau
dengan persebaran surau-surau Syatariyah yang didirikan oleh murid-murid
Burhanuddin sendiri. Jalur pengembangan tarikat Syatariah yang berawal dari
pesisir barat ini oleh beberapa penulis sering dijadikan titik tolak kajian tentang
Islam di Minangkabau, termasuk pengembangannya ke wilayah pedalaman.

2.2. PERKEMBANGAN ISLAM DI SUMATERA BARAT

Perkembangan agama Islam di Minangkabau abad ke 17 -19 sangat


diwarnai oleh aktifitas beberapa ordo Sufi. Diantaranya yang dominan adalah
Syatariyah dan Naqsyabandiyah. Tarikat Syathariyah, sebagai yang disebutkan
terdahulu, telah menyebar melalui surau-surau yang didirikan oleh murid-murid

6
Syekh Burhanuddin. Di samping Ulakan sendiri, sentra-sentra tarikat inipun
kemudian berkembang di pesisir barat Sumatera Barat dan di beberapa wilayah
pedalaman.Minangkabau.

Perkembangan tarikat Syatariyah di wilayah pedalaman ini, menarik untuk


dicermati, karena peran yang dimainkannya dalam melahirkan gagasan-gagasan
yang melampaui batas-batas implementasi ajaran sufistik itu sendiri ; suatu
perkembangan yang sangat berbeda dengan daerah pesisir barat, dari mana
tarikat ini pada awalnya dikembangkan. Para tokoh sufi pedalaman lebih banyak
melibatkan diri dengan kehidupan ekonomi masyarakatnya.

Keterlibatan mereka inilah yang telah memberi warna tersendiri bagi


perkembangan Islam di Minangkabau, bahkan dari sinilah juga, kemudian dalam
perkembangannya, telah melahirkan ide-ide pemurnian dan pembaharuan.

Perkembangan aliran sufistik di pedalaman sebagai yang disebutkan,


memunculkan asumsi bahwa perkembangan Syatariyah di wilayah pedalaman
Minangkabau ternyata melahirkan sintesis-sintesis Islam yang baru sebagai
akibat pertemuannya dengan tradisi keislaman yang telah menjadi basis kultural
masyarakat di daerah ini, atau mungkin oleh pertemuannya dengan tarikat
Naqsyabandiyah, karena tarikat ini juga memperoleh pijakan yang kuat di
beberapa daerah pedalaman Minangkabau, bahkan mungkin lebih awal di
banding Syathariyah sendiri sebagaimana asumsi yang dikemukakan oleh
beberapa penulis (lihat : Dobbin, 1992 :146 ; Azra, 1995 : 291).

Penemuan naskah-naskah keagamaan di Sumatera Barat pada dasa warsa


terakhir, menunjukkan kecendrungan beralihnya dominasi jumlah temuan ke
wilayah darek (M. Yusuf, 1995), tepatnya bagian timur Sumatera Barat seperti
Agam dan 50 Kota. Keadaan ini memberi indikasi baru tentang intensitas
pengembangan Islam di Minangkabau melalui jalur perdagangan pesisir timur,
karena secara geografis daerah ini lebih dekat dan lebih mudah dijangkau oleh
pelayaran dagang di jalur sungai-sungai yang bermuara ke pantai timur
Sumatera. Hal yang demikian sekaligus juga akan memperlihatkan satu
kemungkinan bagi peran salah satu ordo tarikat (Naqsyabandi) dalam proses
perkembangan budaya masyarakat Minangkabau. Kedua indikasi ini paling tidak
akan memperkaya temuan tentang jaringan aktifitas intelektual Islam yang
selama ini lebih banyak mengungkap tentang besarnya peranan pesisir barat
Sumatera dalam penyebaran agama Islam di daerah ini pada tahap awal.

Perkembangan Islam melalui kegiatan sentra-sentra tarikat ini, telah


meninggalkan jejaknya melalui naskah-naskah dengan topik-topik yang meliputi
hampir semua aspek keislaman. Salah satu kenyataan yang dapat terlihat dari
perkembangan sentra-sentra tarikat, baik Syatariyah, maupun Naqsyabandiyah
di Minangkabau, ialah praktek pengamalan tasauf dengan menekankan
pentingnya syariah (Azra, 1995 : 288) dan tidak terdapat indikasi bahwa ajaran
tarikat di wilayah ini mengarah pada pantheisme sebagaimana yang terdapat di
Aceh pada abad ke 17. Oleh karena itu pemikiran keagamaan yang ditinggalkan

7
oleh kedua aliran tasauf ini tidak hanya berisikan ajaran tasauf semata, akan
tetapi meliputi hampir semua cabang ilmu-ilmu keislaman, bahkan upaya
pencarian solusi kemasyarakatan dan urusan dunia lainnya memperoleh tempat
dalam kajian-kajian mereka, seperti yang dikembangkan oleh Jalaluddin murid
Tuanku nan Tuo di wilayah Agam (lihat :Dobbin, 1992:151-152).

Keluasan cakupan implementasi ajaran tasauf di Minangkabau sebagai


dikemukakan, memang menarik untuk dikaji, karena kemampuan para tokoh
tasauf dalam mentranformasikan inti ajarannya terhadap persoalan-persoalan
kemasyarakatan, sehingga keberadaannya sangat mempengaruhi berbagai
aspek kehidupan masyarakat termasuk kehidupan ekonomi, terutama di wilayah
agraris pedalaman Minangkabau. Perkembangan Islam di sini -dalam
perjalanannya memang di warnai oleh berbagai konflik keagamaan seperti yang
terlihat dalam beberapa episode kesejarahan dalam abad ke 19 dan 20 dan hal
ini sering dipandang sebagai suatu keniscayaan sejarah yang dapat dipahami
pada akar kultural masyarakat Minangkabau sendiri. Akan tetapi, keadaan konflik
ini juga, justru sekaligus memiliki potensi memunculkan berbagai praksis kultural
dalam dinamika perkembangan masyarakatnya. Konflik keagamaan yang terjadi,
baik antara Syathariyah dan Naqsyabandiyah, maupun antara Naqsyabandiyah
dengan golongan pembaharu, telah melahirkan dinamika polemik pemikiran
keagamaan yang berimplikasi terhadap intensitas kegiatan intelektual yang
ditandai banyaknya dihasilkan naskah keagamaan. Naskah mana tentu tidak
bisa diabaikan dalam melihat berbagai aspek kehidupan keagamaan di daerah
ini.

Latar depan fenomena keagamaan abad ke 19 dan ke 20, di saat mana lahirnya
gagasan-gagasan awal pembaharuan Islam di Minangkabau, tidak dapat
dilepaskan dari fenomena historis yang terjadi sejak abad ke 16 atau mungkin
sejak abad ke 13 seperti yang diasumsikan sebagai awal kontak budaya Islam di
wilayah ini. Kontak awal Islam ini, demikian juga proses serta bentuk konversi
terhadap Islam pada tahap-tahap awal itu, tentu akan menjadi salah satu
determinan yang memberi warna terhadap berbagai karakteristik yang muncul
dalam perkembangan historis masyarakat di wilayah ini. Akan tetapi beberapa
penjelasan sejarah yang banyak ditulis, sering memandang fenomena tersebut
dari perspektif sosial struktural semata, sehingga kenyataan historis Islam itu
sendiri luput diperhatikan. Apalagi pula kenyataan sumber-sumber yang terbatas
serta paradigma sejarah yang barat sentris, menjadikan beberapa dimensi dari
pengalaman historis agama ini menjadi terabaikan.

2.3. KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI SUMATERA BARAT

Kerajaan Malayu

Kerajaan Malayu diperkirakan pernah muncul pada tahun 645 yang


diperkirakan terletak di hulu sungai Batang Hari. Berdasarkan Prasasti Kedukan

8
Bukit, kerajaan ini ditaklukan oleh Sriwijaya pada tahun 682. Dan kemudian
tahun 1183 muncul lagi berdasarkan Prasasti Grahi di Kamboja, dan kemudian
Negarakertagama dan Pararaton mencatat adanya Kerajaan Malayu yang
beribukota di Dharmasraya. Sehingga muncullah Ekspedisi Pamalayu pada
tahun 1275-1293 di bawah pimpinan Kebo Anabrang dari Kerajaan Singasari.
Dan setelah penyerahan Arca Amonghapasa yang dipahatkan di Prasasti
Padang Roco, tim Ekpedisi Pamalayu kembali ke Jawa dengan membawa serta
dua putri Raja Dharmasraya yaitu Dara Petak dan Dara Jingga. Dara Petak
dinikahkan oleh Raden Wijaya raja Majapahit pewaris kerajaan Singasari,
sedangkan Dara Jingga dengan Adwaya Brahman. Dari kedua putri ini lahirlah
Jayanagara, yang menjadi raja kedua Majapahit dan Adityawarman kemudian
hari menjadi raja Pagaruyung.

Kerajaan Pagaruyung
Sejarah propinsi Sumatera Barat menjadi lebih terbuka sejak masa
pemerintahan Adityawarman. Raja ini cukup banyak meninggalkan prasasti
mengenai dirinya, walaupun dia tidak pernah mengatakan dirinya sebagai Raja
Minangkabau. Adityawarman memang pernah memerintah di Pagaruyung, suatu
negeri yang dipercayai warga Minangkabau sebagai pusat kerajaannya.

Adityawarman adalah tokoh penting dalam sejarah Minangkabau. Di


samping memperkenalkan sistem pemerintahan dalam bentuk kerajaan, dia juga
membawa suatu sumbangan yang besar bagi alam Minangkabau. Kontribusinya
yang cukup penting itu adalah penyebaran agama Buddha. Agama ini pernah
punya pengaruh yang cukup kuat di Minangkabau. Terbukti dari nama beberapa
nagari di Sumatera Barat dewasa ini yang berbau Budaya atau Jawa seperti
Saruaso, Pariangan, Padang Barhalo, Candi, Biaro, Sumpur, dan Selo.

Sejarah Sumatera Barat sepeninggal Adityawarman hingga pertengahan


abad ke-17 terlihat semakin kompleks. Pada masa ini hubungan Sumatera Barat
dengan dunia luar, terutama Aceh semakin intensif. Sumatera Barat waktu itu
berada dalam dominasi politik Aceh yang juga memonopoli kegiatan
perekonomian di daerah ini. Seiring dengan semakin intensifnya hubungan
tersebut, suatu nilai baru mulai dimasukkan ke Sumatera Barat. Nilai baru itu
akhimya menjadi suatu fundamen yang begitu kukuh melandasi kehidupan
sosial-budaya masyarakat Sumatera Barat. Nilai baru tersebut adalah agama
Islam.

Syekh Burhanuddin dianggap sebagai penyebar pertama Islam di


Sumatera Barat. Sebelum mengembangkan agama Islam di Sumatera Barat,
ulama ini pernah menuntut ilmu di Aceh.

9
Kerajaan Inderapura

Jauh sebelum Kerajaan Pagaruyung berdiri, di bagian selatan Sumatera Barat


sudah berdiri kerajaan Inderapura yang berpusat di Inderapura (kecamatan
Pancung Soal, Pesisir Selatan sekarang ini) sekitar awal abad 12. Setelah
munculnya Kerajaan Pagaruyung, Inderapura pun bersama Kerajaan Sungai
Pagu akhirnya menjadi vazal kerajan Pagaruyung.
Setelah Indonesia merdeka sebagian besar wilayah Inderapura dimasukkan
kedalam bagian wilayah provinsi Sumatera Barat dan sebagian ke wilayah
Provinsi Bengkulu yaitu kabupaten Pesisir Selatan sekarang ini.

2.4. KEBUDAYAAN PADA MASA KERAJAAN ISLAM SUMATERA BARAT

Agama

Sejak abad ke-16, agama Islam telah dianut oleh seluruh masyarakat
Minangkabau baik yang menetap di Sumatera Barat maupun di luar Sumatera
Barat. Jika ada masyarakatnya keluar dari agama Islam atau murtad, secara
langsung yang bersangkutan juga dianggap keluar dari masyarakat
Minangkabau. Namun hingga akhir abad ke-17, sebagian dari mereka terutama
yang ada di lingkungan kerajaan, belum sepenuhnya menjalankansyariat Islam
dengan sempurna dan bahkan masih melakukan perbuatan yang dilarang dalam
Islam. Kebudayaan dikerajaan islam di Sumatera Barat di pengaruhi oleh
kebudayaan islam dengan adanya peninggalan seperti Masjid dan Surau Syekh
Burhanuddin di Padang Pariaman menjadi salah satu masjid tertua di Sumatera
Barat yang didirikan tahun 1645 M. Selain itu, masjid bersejarah di Padang
Pariaman juga termasuk Masjid Raya Pekandangan.

Sistem Pemerintahan

Adityawarman pada awalnya menyusun sistem pemerintahannya mirip


dengan sistem pemerintahan yang ada di Majapahit masa itu, meskipun
kemudian menyesuaikannya dengan karakter dan struktur kekuasaan kerajaan
sebelumnya (Dharmasraya danSriwijaya) yang pernah ada pada masyarakat

10
setempat. Ibukota diperintah secara langsung oleh raja, sementara daerah
pendukung tetap diperintah oleh Datuk setempat.

Setelah masuknya Islam, Raja Alam yang berkedudukan di Pagaruyung


melaksanakan tugas pemerintahannya dengan bantuan dua orang pembantu
utamanya (wakil raja), yaituRaja Adat yang berkedudukan di Buo, dan Raja
Ibadat yang berkedudukan di Sumpur Kudus. Bersama-sama mereka bertiga
disebut Rajo Tigo Selo, artinya tiga orang raja yang "bersila" atau bertahta. Raja
Adat memutuskan masalah-masalah adat, sedangkan Raja Ibadat mengurus
masalah-masalah agama. Bila ada masalah yang tidak selesai barulah dibawa
ke Raja Pagaruyung. Istilah lainnya yang digunakan untuk mereka dalam bahasa
Minang adalah tigo tungku sajarangan. Untuk sistem pergantian raja di
Minangkabau menggunakan sistem patrilineal berbeda dengan sistem waris dan
kekerabatan sukuyang masih tetap pada sistem matrilineal.

Selain kedua raja tadi, Raja Alam juga dibantu oleh para pembesar yang
disebut Basa Ampek Balai, artinya "empat menteri utama". Mereka adalah:

1. Bandaro yang berkedudukan di Sungai Tarab.


2. Makhudum yang berkedudukan di Sumanik.
3. Indomo yang berkedudukan di Suruaso.
4. Tuan Gadang yang berkedudukan diBatipuh.

Belakangan, pengaruh Islam menempatkanTuan Kadi yang berkedudukan di


Padang Ganting masuk menjadi Basa Ampek Balai. Ia mengeser kedudukan
Tuan Gadang di Batipuh, dan bertugas menjaga syariah agama.

Sebagai aparat pemerintahan, masing-masing Basa Ampek Balai punya


daerah-daerah tertentu tempat mereka berhak menagih upeti sekadarnya, yang
disebut rantau masing-masing pembesar tersebut. Bandaro memiliki rantau di
Bandar X, rantau Tuan Kadi adalah di VII Koto dekat Sijunjung, Indomo punya
rantau di bagian utara Padang sedangkan Makhudum punya rantau di
Semenanjung Melayu, di daerah permukiman orang Minangkabau di sana.

Selain itu dalam menjalankan roda pemerintahan, kerajaan juga mengenal


aparat pemerintah yang menjalankan kebijakan dari kerajaan sesuai dengan
fungsi masing-masing, yang sebut Langgam nan Tujuah. Mereka terdiri dari:

1. Pamuncak Koto Piliang

11
2. Perdamaian Koto Piliang
3. Pasak Kungkuang Koto Piliang
4. Harimau Campo Koto Piliang
5. Camin Taruih Koto Piliang
6. Cumati Koto Piliang
7. Gajah Tongga Koto Piliang

2.5. KONFLIK YANG PERNAH TERJADI PADA MASA KERAJAAN ISLAM


SUMATERA BARAT

Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di Sumatera Barat dan


sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838.
Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam
masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.

Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok


ulama yang dijuluki sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang
marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan
Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud seperti
perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau,
sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya
pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam. Tidak adanya kesepakatan
dari Kaum Adat yang padahal telah memeluk Islam untuk meninggalkan
kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah
peperangan pada tahun 1803.

Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yang
melibatkan sesama Minang dan Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri
dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh
Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu Sultan Arifin Muningsyah. Kaum Adat
yang mulai terdesak, meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821.
Namun keterlibatan Belanda ini justru memperumit keadaan, sehingga sejak
tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama
Kaum Padri, walaupun pada akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan
Belanda.

Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup


panjang, menguras harta dan mengorbankan jiwa raga. Perang ini selain
meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga berdampak merosotnya
perekonomian masyarakat sekitarnya dan memunculkan perpindahan
masyarakat dari kawasan konflik.

12
2.6. RUNTUHNYA KERAJAAN ISLAM SUMATERA BARAT

Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat


menjelang perang Padri, meskipun raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di
pesisir barat jatuh ke dalam pengaruh Aceh, sedangkan Inderapura di pesisir
selatan praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun resminya masih tunduk
pada raja Pagaruyung.

Pada awal abad ke-19 pecah konflik antara kaum Padri dan kaum Adat.
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara mereka. Seiring itu
dibeberapa negeri dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan puncaknya kaum
Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun
1815. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari
ibukota kerajaan ke Lubukjambi.

Karena terdesak kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung meminta


bantuan kepada Belanda, dan sebelumnya mereka telah melakukan diplomasi
dengan Inggris sewaktu Raffles mengunjungi Pagaruyung serta menjanjikan
bantuan kepada mereka.Pada tanggal 10 Februari 1821 Sultan Tangkal Alam
Bagagar, yaitu kemenakan dari Sultan Arifin Muningsyah yang berada di
Padang,beserta 19 orang pemuka adat lainnya menandatangani perjanjian
dengan Belanda untuk bekerjasama dalam melawan kaum Padri.

Walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tidak
berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung.
Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan
kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Belanda. Kemudian setelah Belanda
berhasil merebut Pagaruyung dari kaum Padri, pada tahun 1824 atas permintaan
Letnan Kolonel Raaff, Yang Dipertuan Pagaruyung Raja Alam Muningsyah
kembali ke Pagaruyung, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah raja
terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.

2.7. PENINGGALAN KERAJAAN ISLAM SUMATERA BARAT

Istana Basa Pagaruyung


Istana Basa Pagaruyung tentu saja berupa Rumah Gadang, rumah
tradisional khas Minangkabau. Rumah panggung tersebut memiliki atap yang
terkesan garang namun majestic, atap yang biasa disebut gonjong. Gonjong,
yang menyerupai tanduk kerbau, tentu saja terinspirasi dari nama Minangkabau
itu sendiri.
Ustano Raja Alam

13
Tidak jauh dari istana, terdapat peninggalan berupa komplek makan
Ustano Raja Alam. Situs seluas 1.196 meter persegi itu dipercaya merupakan
tempat dimakamkannya raja-raja kuna Kerajaan Pagaruyung. Terdapat 13
makam bercirikan Islam yang memanjang dari utara ke selatan, dan menjadikan
bukti bahwa agama Islam sudah lama berpengaruh di Minangkabau. Ukuran
makam antara 210-400 cm dengan lebar 115-280 cm dan tinggi 35 cm. makam-
makam di sekitar Pagaruyung ini dikenal dengan sebutan Kuburan Panjang,
tidak lain karena menjadi tempat bersemayam raja-raja yang perkasa dan tinggi
semampai. Nisannya juga dibentuk sedemikian rupa seperti menhir dan bahkan
bermotif geometris.

Cagar Budaya Prasasti Adityawarman


Cukup dekat dengan situs Ustano Raja Alam, terdapat sekumpulan batu
Prasasti Adityawarman yang dipagari dalam sepetak tanah kecil di sekitar rumah
warga.

2.8. TOKOH-TOKOH PENTING PADA MASA KERAJAAN ISLAM SUMATERA


BARAT

Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat,


Indonesia 1772 - wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng,
Minahasa, 6 November 1864), adalah salah seorang ulama, pemimpin dan
pejuang yang berperang melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal
dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-1838.[1] Tuanku Imam Bonjol
diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI
Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.

Tak dapat dimungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik


sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Sesama orang MInang, Mandailing
atau Batak berperang selama 18 tahun perang tersebut (1803-1821).

Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan


pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan
syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang
teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu 'alaihi
wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan
Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung
beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai
dengan Islam (bid'ah).

Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Padri atas
sesama orang Minang, Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya
Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek

14
kalian? (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita.
Bagaimana pikiran kalian?).

Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh


untuk berunding. Tiba di tempat itu langsungditangkap dan dibuang ke Cianjur,
Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa,
dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8
November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya
tersebut.

Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi
apresiasi akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan,[7] sebagai
penghargaan dari pemerintah Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada
umumnya, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia
sejak tanggal 6 November 1973.Selain itu nama Tuanku Imam Bonjol juga hadir
di ruang publik bangsa sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas,
bahkan pada lembaran Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001.

15
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Masuknya Islam ke wilayah Nusantara, khususnya ke Sumatera telah


memberikan sebuah warna baru dalam peradaban di wilayah tersebut. Islam
tidak hanya dianggap sebagai sebuah agama saja, akan tetapi lebih jauh
daripada itu, telah mampu memasuki aspek-aspek kehidupan manusia, salah
satunya dalam bidang budaya. Hal ini menyebabkan akulturasi antara peradaban
dengan Islam, dan salah satu hasilnya adalah berupa kerajaan-kerajaan. Pada
tahap selanjutnya, kerajaan-kerajaan inilah yang berperan penting dalam
pembentukan budaya Islam.

3.2 Saran

Makalah ini diharapkan dapat menjadi bahan maupun referensi


pengetahuan mengenai Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Namun, kritik dan
saran yang membangun sangat diharapkan, karena melihat masih banyak hal-
hal yang belum bisa dikaji lebih mendalam dalam makalah ini.

16
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Tuanku_Imam_Bonjol

http://www.irhash.com/2009/02/islam-di-minangkabau.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Sumatera_Barat

http://wisata-sejarah.blogspot.co.id/2009/03/kerajaan-inderapura.html

17
LAMPIRAN

4.1 Jigsaw Kelompok Satu

Kelompok satu melakukan jigsaw dikelompok kami, yaitu kelompok enam. Tim
ahli yang melakukan dikelompok kami yaitu Nandya Fadilla dan Rayfienta K.
Gumay. Mereka melakukan jigsaw dikelompok kami, melalui via LINE. Hasil
tangkapan dibawah ini merupakan materi yang disampaikan oleh tim ahli dari
kelompok satu.

18
Kerajaan Samudera Pasai
Awal berdiri dan Perkembangan Kerajaan Samudera Pasai

Kerajaan Samudera Pasai muncul pada abad 13, setelah kehancuran Kerajaan Sriwijaya.
Kerajaan ini didirikan oleh Merah Silu yang kemudian berganti nama menjadi Malik As
Saleh setelah beliau memeluk agama islam. Kerajaan ini merupakan kerajaan islam
pertama di Indonesia. Sultan Malik As Saleh berkuasa kurang lebih 29 tahun (1297-1326
M). Kerajaan Samudera Pasai merupakan gabungan dari Kerajaan Pase dan Peurlak.

Adanya Samudera Pasai ini diperkuat oleh catatan Ibnu batutah. Sejarawan dari Maroko.
Kronik dari orang orang Cina pun membuktikan hal ini. Menurut Ibnu Batutah,
Samudera Pasai merupakan pusat studi islam. Ia berkunjung ke kerajaan ini pada tahun
1345-1346M). Ibnu Batutah menyebutnya sebagai sumutrah ejaannya untuk nama
samudera yang kemudian menjadi sumatera.

Ketika singgah di pelabuhan pasai, betutah dijemput oleh laksamana muda dari pasai
bernama bohruz. Berdasarkan catatan batutah, islam telah ada di samudera pasai sejak
seabad yang lalu yaitu abad 12.

Pemerintahan sultan malik as saleh kemudian dilanjutkan oleh putranya sultan


Muhammad malik az zahir dari perkawinannya dengan putrid raja peurlak. Pada masa
pemerintahannya, koin emas dipakai sebagai mata uang yang telah diperkenalkan di
pasai. Pasai menjadi salah satu kawasan perdagangan dakwah agama islam.

Kesultanan kembali bangkit kembali dibawah pimpinan sultan zain al abidin malik az
zahir tahun 1383 M dan memerinta sampai tahun 1412 M. secara geografis kesultanan
pasai dideskripsika memiliki batas wilayah dengan pegunungan tinggi disebalah selatan
dan timur.

Kehidupan sosial

Diatur dengan aturan islam


Mirip dengan aturan mesir dan arab
Mendapat julukan serambi mekkah

Masa kejayaan

Pemerintahan teratur
Pusat dagang internasional

Faktor keruntuhan

Tidak ada pemimpin yang cakap selain sultan malik az zahir


Perebutan kekuasaan
Mendapat serangan dari portugis
Mendapat serangan dari kerajaan majapahit

19
Materi : Kerajaan Samudera Pasai

Sesi Tanya Jawab

1. Konflik apa yang menyebabkan terjadinya perang saudara? [Khansa Amiranti


(15)]
2. Mengapa Raja Nazir membunuh Sultan Zain? Apakah sebelumnya sudah ada
pertikaian? [Hastri Dwi K.P.B (12)]
3. Mengapa terjadi pertikaian dan perang saudara di Samudera Pasai? [M. Fakhrul
Arif (19)]
4. Apakah Samudera Pasai memiliki kekuatan di dalam suatu sector? Jika ada,
berikan contohnya! [Khansa Amiranti (15)]
5. Mengapa Sultan Pasai mengirim saudaranya yang dikenal dengan Ha Li Zhi Han?
Pesan apa yang hendak disampaikan? [Rizqi Ramadhani (30)]
6. Hubungan apa yang dilakukan Sultan Pasai dan Sultan Mahmud? [Fatya Azzahra
(9)]
7. Bagaimana kondisi perekonomian Kerajaan Samudera Pasai? [Khansa Amiranti
(15)]
8. Kerajaan Samudera Pasai muncul setelah Kerajaan Sriwijaya dan Malik As Sholeh
adalah seorang mualaf, apakah Malik As Sholeh pada saat masih non-muslim
juga merupakan bagian dari Sriwijaya? [Tasya Dinasari S. (36)]

Jawaban:
1. Kerajaan Pasai sudah berdiri cukup lama dan orang-orang memperebutkan
kekuasaan di Pasai sehingga pemerintahannya terjadi perpecahan. Karena
perpecahan ini, rakyat melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan yang
menyebabkan semakin banyaknya pertikaian. Inilah yang memicu munculnya
perang saudara. [Rayfienta K. Gummay (29)]
2. Tidak dijawab oleh penjigsaw.
3. Jawaban telah dijawab di no. 1
4. Kerajaan Samudera Pasai memiliki kekuatan pada masa pemerintahan Sultan
Malik Al Zahir. Diantaranya menjadi pusat dan jalur perdagangan internasional
mencakup Asia, Afrika, Cina, dan Eropa. Hal itu yang menyebabkan Kerajaan
Samudera Pasai mempunyai banyak relasi. [ Nandya Fadilla (26)]
5. Tidak dijawab oleh penjigsaw.
6. Sultan Pasai yang berkedudukan di Aceh dan Sultan Mahmud yang
berkedudukan di Delhi memiliki hubungan kerjasama internasional, dalam hal
ini mereka bekerja sama dalam bidang sastra.
7. 1. Karena Pasai, jalur perdagangan di Selat Malaka berkembang pesat. Banyak
pedagang-pedagang dari Arab, Persia, dan Gujarat yang berlabuh di Pasai.
2. Tanah pertanian yang subur, padi yang ditanami penduduk Kerajaan Islam
Pasai pada abad ke-14 dapat dipanen dua kali setahun.
3. Di dataran tinggi juga menghasilkan berbagai hasil hutan yang diangkut ke
daerah pantai melalui sungai.

20
4. Perdagangan penduduk pesisir dan pedalaman masih memakai system barter
5. Pasai menggantungkan perekonomiannya dari pelayaran dan perdagangan.
8. Tidak. Karena Sultan Malik As Sholeh bahkan sebenarnya merupakan keturunan
dari Kerajaan Perlak yaitu Meurah Giri.

21
4.2 Jigsaw Kelompok Dua

Kelompok dua melakukan jigsaw dikelompok kami, yaitu kelompok enam.


Tim ahli yang melakukan dikelompok kami yaitu Nurfaidah Romadhona dan
Salma Oktananda. Mereka melakukan jigsaw dikelompok kami, melalui via LINE.
Hasil tangkapan dibawah ini merupakan materi yang disampaikan oleh tim ahli
dari kelompok dua.

22
SEJARAH PERKEMBANGAN KERAJAAN DI ACEH

Menengok beberapa kejadian yang terjadi di Aceh, rasanya ingin kembali


mengetahui tentang Aceh baik dari masa lalu maupun masa sekarang. Setelah porak-
poranda diterjang Tsunami, aceh yang sekarang mencoba bangkit ternyata dimasal lalu
adalah sebuah kejayaan yang luar biasa. Ini dapat dilihat dari sejarah Aceh berdasarkan
kerajaan yang pernah berkuasa dan berjaya pada masa itu.

Kerajaan Aceh Kerajaan Aceh berkembang sebagai kerajaan Islam dan


mengalami kejayaan pada masa pemerintahan sultan iskandar muda. Perkembangan
pesat yang dicapai Kerajaan Aceh tidak lepas dari letak kerajaannya yang strategis, yaitu
di pulau Sumatera bagian utara dan dekat jalur perdagangan internasional pada masa itu.
Ramainya aktivitas pelayaran perdagangan melalui bandar-bandar perdagangan Kerajaan
Aceh, mempengaruhi perkembangan kehidupan kerajaan Aceh dalam segala bidang,
seperti aspek kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan.

Kerajaan Aceh dirintis oleh Mudzaffar Syah pada abad ke-15 M. Pusat kerajaan
dibangun diatas puing-puing kerajaan Lamuri, seberah barat samudera Pasai. Status
kerajaan penih diraih semasa pemerintahan Ali Mughayat Syah sebagai hasil penyatuan
dua kerajaan, yakni Lamuri dan Dar al-Kalam.

Kerajaan Aceh berkembang sebagai kerajaan Islam dan mengalami kejayaan


pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Perkembangan pesat Kerajaan Aceh
tidak dapat terlepas dari letak kerajaan Aceh yang strategis, yaitu di pulau Sumatera
bagian utara dan dekat jalur pelayar dan perdagangan internasioanal pada saat itu.
Ramainya aktivitas pelayaran dan perdagangan melalui Bandar perdagangan kerajaan
Aceh mempengaruhi perkembangan kehidupan kerajaan Aceh dalam segala bidang.
Seperti di bidang politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.

a. Kehidupan Politik

Kerajaan Aceh yang terletak di ujung barat pulau Sumatera pernah diperintah oleh
raja-raja berikut ini:

1. Sultan Ali Mughayat Syah

Ali Mughayat Syah adalah raja pertama kerajaan Aceh. Ia memerintah dari tahun
1514-1528 M. dibawah kekuasaannya Kerajaan Aceh melakukan perluasan ke beberapa
daerah yang berada di wilayah Sumatera Utara, seperti di daerah Daya dan Pasai. Bahkan
ia mengadakan serangan terhadap kedudukan Portugis di Malaka serta menyerang
kerajaan Aru.

2. Sultan Salahudin

Setelah Sultan Ali Mughayat Syah meninggal, pemerintahan dilanjutkan oleh


putranya yang bernama Sultan Salahudin. Ia memerintah dari tahun 1528-1537 M. selama

23
berkuasa, Sultan Salahudin kurang memperhatikan kerajaannya. Akibatnya, kerajaaan
mulai goyah dan mengalami kemunduran oleh sebab itu pada tahun 1537 M sultan
Salahudin digantikan saudaranya yang bernama Sultan Alaudin Riayat Syah.

3. Sultan Alaudin Riayat Syah

Sultan Alaudin Riayat Syah memerintah Aceh sejak tahun 1537-1568 M. dibawah
pemerintahannya Aceh berkembang menjadi Bandar utama di Asia bagi pedagang Muslim
mancanegara. Sejak Malaka direbut Portugis, mereka menghindari selat Malaka dan
beralih menyusuri pesisir Barat Sumatera, ke selat Sunda, lalu terus ke timur Indonesia
atau langsung ke Cina. Kedudukan strategis Aceh menjadikan sevagai Bandar transit lada
dari Sumatera dan rempah-rempah dari Maluku. Kedudukan itu bukan tanpa hambatan.
Aceh harus menghadapi rongrongan Portugis. Guna memenangkan persaingan, Aceh
membangun angkatan laut yang kuat. Kerajaan itupun membina hubungan diplomatic
dengan turki ottoman yang dianggap memegang kedaulatan Islam tertinggi waktu itu.

4. Sultan Iskandar Muda

Pemerintahan Sultan Iskandar Muda menandai puncak kejayaan kerajaan Aceh.


Ia naik tahta pada awal abad ke-17 menggantikan Sultan Alaudin Riayat Syah. Untuk
memperkuat kedudukan Aceh sebagai pusat perdagangan Ia memelopori sejumlah
tindakan sebagai berikut.

Sultan Iskandar Muda merebut sejumlah pelabuhan penting di pesisir barat dan
timur Sumatera, serta pesisir barat semenanjung melayu. Misalnya Aceh sempat
menaklukan Johor dan Paahang

Sultan Iskandar Muda menyerang kedudukan Portugis di Malaka dan kapal-


kapalnya yang melalui selat Malaka. Aceh sempat memenangkan perang melawan
armada Portugis di sekitar pulau Bintan pada tahun 1614.

Sultan Iskandar Muda bekerjasama dengan Inggris dan Belanda untuk


memperlemah pengaruh Portugis. Iskandar Muda mengizinkan persekutuan dagang
kedua di negara itu untuk membuka kantornya di Aceh.

5. Sultan Iskandar Thani

Berbeda dengan pendahulunya, Sultan Iskandar Thani lebih memperhatikan


pembangunan dalam negeri dari pada politik ekspansi. Oleh sebab itu, meskipun hanya
memerintah selama 4 tahun, Aceh mengalami suasana damai. Hukum yang berdasarkan
syariat Islam ditegakkan, bukannya kekuasaan yang sewenang-wenang. Hubungan
dengan wilayah taklukkan dijalan dengan suasana liberal, bukan tekanan politik atau
militer. Masa pemerintahan Sultan Iskandar Thani juga ditandai oleh perhatian terhadap
studi agama Islam. Berkembangnya studi Agama Islam turut didukung oleh Nuruddin
Arraniri, seorang ulama besar dari Gujarat yang menulis buku sejarah Aceh yang berjudul
Bustanus Salatin. Sepeninggalan Iskandar Thani, Aceh mengalami kemunduran. Aceh

24
tidak mampu berbuat banyak saat sejumlah wilayah taklukan melepaskan diri. Kerajaan
itupun tidak mampu lagi berperan sebagai pusat perdagangan. Meskipun demikian,
kerajaan Aceh tetap berlanjut sampai memasuki abad ke-20.

b. Kehidupan Ekonomi

Karena letaknya di jalur lalu lintas pelayaran dan perdagangan selat Malaka,
kerjaan Aceh menitik beratkan perekonomiannnya pada bidang perdagangan. Dibawah
pemerintahan sultan alaudin riayat syah, Aceh berkembang menjadi Bandar utama di Asia
bagi para pedagang mancanegara, buakan hanya bangsa Inggris dan Belanda yang
berdagang di pelabuhan Aceh, melainkan juga bangsa asing lain seperti arab, Persia,
turki, india, syam, cina, dan jepang.

Barang yang diperdagangkan dari Aceh, antara lain lada, beras, timah, emas,
perak, dan rempah-rempah (dari Maluku). Orang yang berasal dari mancanegara (impor),
antara lain dari Koromandel (India), Porselin dan sutera (Jepang dan Cina), dan minyak
wangi dari (Eropa dan Timur Tengah). Selain itu, kapal pedagang Aceh aktif dalam
melakukan perdagangan sampai ke laut merah.

c. Kehidupan Sosial

Struktur sosial masyarakat Aceh terdiri atas empat golongan, yaitu golongan teuku
(kaum bangsawan yang memegang kekuasaan pemerintahan sipil), golongan tengku
(kaum ulama yang memegang peranan penting dalam keagamaan), hulubalang atau
ulebalang (para prajurit), dan rakyat biasa. Antara golongan Tengku dan Teuku sering
terjadi persaingan yang kemudian melemahkan Aceh.

Sejak kerajaan Perlak berkuasa (abad ke-12 M sampai dengan abad ke-13 M)
telah terjadi permusuhan antara aliran Syiah dan Ahlusunnah wal jamaaah. Namun pada
masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, aliran Syiah mendapat perlindungan dan
berkembang ke daerah kekuasaan Aceh. Aliran itu diajarkan Hamzah Fansuri dan
dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Syamsuddin Pasai. Setelah Sultan Iskandar
Muda wafat, aliran Ahlusunnah wal jamaah berkembang dengan pesat di Aceh.

d. Kehidupan Budaya

Kehidupan budaya di kerajaan Aceh tidak banyak diketahui karena kerajaan Aceh
tidak banyak meninggal banda hasil budaya. Perkembangan kebudayaan di Aceh tidak
terpusat perkembangan perekonomian. Perkembangan kebudayaan yang terlihat nyata
adalah bangunan masjid Baiturrahman dan buku Bustanus Salatin yang ditulis oleh
Nurrudin Ar-raniri yang berisi tentang sejarah raja-raja Aceh.

Penyebab kemunduran kerajaan Aceh

Setelah Iskandar muda wafat tahun 1636, tidak ada raja-raja besar yang mampu
mengendalikan daerah Aceh yang demikian luas. Dibawah sultan iskandar thani, sebagai

25
pengganti sultan iskandar muda, kemunduran itu mulai terasa dan terlebih lagi setelah
meninggalnya sultan iskandar thani.

Timbulnya pertikaian yang terus menurus di Aceh antara golongan bangsawan


(Teuku) dengan golongan ulama (Tengku) yang mengakibatkan melemahnya kerajaan
Aceh. Antara golongan ulama sendiri pertikaian karena perbedaan aliran dalam agama.

Daerah-daerah kekuasaannya banyak yang melepaskan diri seperti Johor,


Pahang, Perak, Minang Kabau, dan Siak. Negara-nagara itu mendirikan daerahnya
sebagai negara merdeka kembali, kadang-kadang dibantu oleh bangsa Asing yang
menginginkan keuntungan perdagangan yang lebih besar.

Dari penggalan sejarah yang ada ini, dapat deketahui bahwa kerajaan Aceh
berkuasa lebih kurang 4 abad, hingga pada akhirnya runtuh karena dikuasai oleh Belanda
yaitu pada awal abad ke-20. Perkembangan sejarah seterusnya adalah berkaitan dengan
perjuangan menghadapi penjajah seperti yang kita kenal dengan kisah pahlawan wanita
dari Aceh, Cut Nyak Dient.

Materi : Kerajaan Aceh

Sesi Tanya-Jawab

1. Mengapa sering terjadi pertikaian antara golongan Teuku dan Tengku? [Hastri
Dwi K.P.B (12)]
2. Apa penyebab permusuhan antara aliran Syiah dan Ahlussunah Wal Jamaah?
[M. Fakhrul Arif (19)]
3. Bagaimana perbedaan ajaran antara aliran Syiah dan Ahlussunah Wal Jamaah
sehingga menimbulkan pertentangan? [Tasya Dinasari S. (36)]
4. Mengapa daerah-daerah Kerajaan Aceh melepaskan diri? [Rizqi Ramadhani
(30)]
5. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Thani , dijelaskan hukum yang
berdasarkan syariat Islam ditegakkan, bukan kekuasaan yang sewenang-
wenang. Sedangkan dijelaskan juga kerajaan Islam Aceh mengalami puncak
kejayaan paling besar di masa sebelumnya yaitu Sultan Iskandar Muda, lalu
bagaimana? Apakah Sultan Iskandar Muda melakukan kekuasaan yang
sewenang-wenang dalam mencapai puncak kejayaannya? [Tasya Dinasari S.
(36)]
6. Apakah Aceh telah menguasai sector perdagangan dan mengalahkan kerajaan
islam nusantara lainnya? [Khansa Amiranti (15)]
7. Komoditas apa yang membuat Aceh terkenal sebagai Bandar utama di Asia?
[Khansa Amiranti (15)]

26
Jawaban:
1. Golongan Teuku dan Tengku sering melakukan pertikaian dikarenakan
memperebutkan kekuasaan di Kerajaan Aceh dan sempat mendapat hasutan
dari Belanda. Contohnya, sehabis Sultan Iskandar Thani meninggal, Kerajaan
Aceh mengalami kemunduran dan sempat tidak memiliki raja sehingga mereka
memperebutkan posisi itu. [Salma Oktananda (31)]
2. Penyebab terjadinya permusuhan karena aliran Syiah berpendapat bahwa
penerus kepemimpinan Islam setelah Nabi Muhammad SAW. Adalah keluarga
nabi sendiri, bukan sahabat-sahabatnya. Yang dimaksud itu ialah Ali Bin Abi
Thalib yaitu keponakan Nabi Muhammad SAW. Sedangkan golongan Ahlussunah
berpendapat bahwa penerus kepemimpinan Islam ialah orang yang sangat dekat
dengan Nabi Muhammad yaitu Abu Bakar. [Salma Oktananda (31)]
3. Jawaban sudah ada di no. 2
4. Karena Kerajaan Aceh sudah mengalami kemunduran dan menyebabkan salah
satu dari daerah-daerah itu tidak berperan penting lagi dalam perdagangan dan
ekonomi. [Salma Oktananda (31)]
5. Tidak dijawab oleh penjigsaw
6. Ya. Aceh sempat memonopoli sector perdagangan saat produksi ekspor Aceh
mencapai 1,9 juta dolar Spanyol pada tahun 1820 [Nurfaidah Romadhona (27)]
7. Komoditas yang membuat Aceh terkenal adalah rempah-rempah. [Nurfaidah
Romadhona (27)]

27
4.3 Bukti Jigsaw Kelompok Tiga

Kelompok tiga melakukan jigsaw dikelompok kami, yaitu kelompok enam.


Tim ahli yang melakukan dikelompok kami yaitu Fatira Aurelia. Mereka
melakukan jigsaw dikelompok kami, melalui via LINE. Hasil tangkapan dibawah
ini merupakan materi yang disampaikan oleh tim ahli dari kelompok dua.

28
Kerajaan Siak
Kerajaan Siak merupakan kerajaan melayu Islam yang terletak di Kabupaten Siak, Provinsi
Riau. Kerajaan ini tumbuh menjadi kerajaan bercorak islam pada abad ke 15. Menurut
Berita Tome Pires, Kerajaan Siak menghasilkan padi, madu, timah, dan emas. Pada
awalnya, kerajaan Siak merupakan kerajaan bawahan Kerajaan Malaka pada masa
pemerintahan Sultan Mansyur Syah. Kerajaan Siak menghasilan padi, madu, lilin, rotan,
bahan-bahan apotek, dan banyak emas.

Raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Siak Sri Indrapura antara lain sebagai berikut:

1. Raja Abdullah (Sultan Khoja Ahmad Syah). Saat itu Kerajaan Siak masih berada
di bawah kekuasaan Malaka.Raja Abdullah adalah raja yang ditunjuk oleh Sultan
Johor untuk memimpin dan memerintah Kerajaan Siak.
2. Raja Hasan Putra Ali Jalla Abdul Jalil. Pada masa pemerintahannya, Belanda
berhasil menguasai Malaka.Dengan demikian, Kerajaan Siak terikat politik
ekonomi perdagangan VOC. Semua timah yang dihasilkan Siak harus dijual ke
VOC.
3. Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1723-1748). Beliau akran juga disebut Raja
Kecik.Raja Kecik adalah anak dari Sultan Kerajaan Johor bergelar Sultan Mahmud
Syah II dengan Encik Pong. Beliaulah yang mendirikan Kerajaan Siak yang
berdaulat, bukan di bawah kekuasaan Malaka lagi. Ia meluaskan daerah
kekuasaannya sambil terus memerangi VOC.
4. Sultan Said Ali (1784-1811). Pada masa pemerintahannya, Ia berhasil
mempersatukan kembali wilayah-wilayah yang memisahkan diri. Pada tahun 1811,
ia mengundurkan diri dan digantikan oleh anaknya, Tengku Ibrahim.
5. Sultan Assyaidis Syarif Ismail Jalil Jalaluddin (1827-1864). Pada masa
pemerintahannya, Siak mengalami kemunduran dan semakin banyak dipengaruhi
politik penjajahan Hindia- Belanda.
6. Sultan Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin (1889-1908). Pada masa
pemerintahannya, dibangunlah istana yang megah terletak di kota Siak dan istana
ini diberi nama Istana Asseraiyah Hasyimiah yang dibangun pada tahun 1889.
Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim ini Siak mengalami kemajuan
terutama dibidang ekonomi. Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya yang
masih kecil dan sedang bersekolah di Batavia, yaitu Sultan Syarif Kasim II.
7. Syarif Kasim Tsani atau Sultan Syarif Kasim II (1915-1945). Bersamaan dengan
diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia, beliau pun mengibarkan
bendera merah putih di Istana Siak dan menyatakan bergabung dengan Republik
Indonesia.

Kerajaan Siak Sri Indrapura sangat kaya dengan hasil alam yang melimpah. Sayangnya
pada awal mula munculnya, kerajaan ini dikuasai oleh Kerajaan Malaka. Daerah ini
diawasi oleh Syahbandar yang ditunjuk oleh Raja Johor untuk memungut cukai hasil hutan
dan hasil laut. Pada tahun 1641, Belanda berhasil menguasai Malaka. Dengan demikian,
Kerajaan Siak terikat politik ekonomi perdagangan VOC. Semua timah yang dihasilkan
Siak harus dijual ke VOC. Namun pada masa pemerintahan Raja Kecik, rakyat Siak hidup
makmur karena tidak harus menyerahkan hasil alamnya kepada Malaka maupun VOC.
Bahkan pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim ini Siak mengalami kemajuan

29
terutama dibidang ekonomi. Sultan Syarif Hasyim mulai menjalin hubungan dengan luar
negri.

Siak Sri Inderapura sampai sekarang tetap diabadikan sebagai nama ibu kota dari
Kabupaten Siak, dan Balai Kerapatan Tinggi yang dibangun tahun 1886 serta Istana Siak
Sri Inderapura yang dibangun pada tahun 1889, masih tegak berdiri sebagai simbol
kejayaan masa silam, termasuk Tari Zapin Melayu dan Tari Olang-olang yang pernah
mendapat kehormatan menjadi pertunjukan utama untuk ditampilkan pada setiap
perayaan di Kesultanan Siak Sri Inderapura. Begitu juga nama Siak masih melekat
merujuk kepada nama sebuah sungai di Provinsi Riau sekarang, yaitu Sungai Siak yang
bermuara pada kawasan timur pulau Sumatera.

Kerajaan Indragiri
Kerajaan Indragiri terletak di Kabupaten Indragiri Hilir, dan Kabupaten Indragiri Hulu,
Provinsi Riau. Kerajaan Indragiri berdiri sejak tahun 1298, kerajaan ini didirikan oleh Raja
Kecik Mambang atau Raja Merlang. Kerajaan ini tumbuh menjadi kerajaan bercorak islam
pada abad ke 15. Menurut Berita Tome Pires, Kerajaan Siak menghasilkan padi, madu,
timah, dan emas. Pada awalnya, kerajaan Siak merupakan kerajaan bawahan Kerajaan
Malaka pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah. Beberapa raja yang pernah
memerintah Indragiri adalah sebagai berikut.

1. 1298-1337: Raja Kecik Mambang alias Raja Merlang I.


2. 1337-1400: Raja Iskandar alias Nara Singa I.
3. 1400-1473: Raja Merlang II bergelar Sultan Jamalluddin Inayatsya.
4. 1473-1532: Paduka Maulana Sri Sultan Alauddin Iskandarsyah Johan NaraSinga
II bergelar Zirullah Fil Alam.
5. 1532-1557: Sultan Usulluddin Hasansyah.
6. 1557-1599: Raja Ahmad bergelar Sultan Mohamadsyah.
7. 1559-1658: Raja Jamalluddin bergelar Sultan Jammalludin Keramatsyah.
8. 1658-1669: Sultan Jamalluddin Suleimansyah.
9. 1669-1676: Sultan Jamalluddin Mudoyatsyah.
10. 1676-1687: Sultan Usulluddin Ahmadsyah.
11. 1687-1700: Sultan Abdul Jalilsyah.
12. 1700-1704: Sultan Mansyursyah.
13. 1704-1707: Sultan Modamadsyah.
14. 1707-1715: Sultan Musafarsyah.
15. 1715-1735: Raja Ali bergelar Sultan Zainal Abidin
16. 1735-1765: Raja Hasan bergelar Sultan Salehuddin Keramatsyah.
17. 1765-1784: Raja Kecik Besar bergelar Sultan Sunan.
18. 1784-1815: Sultan Ibrahim.
19. 1815-1827: Raja Mun bergelar Sultan Mun Bungsu.
20. 1827-1838: Raja Umar bergelar Sultan Berjanggut Keramat Gangsal.
21. 1838-1876: Raja Said bergelar Sultan Said Modoyatsyah.
22. 1876: Raja Ismail bergelar Sultan Ismailsyah.
23. 1877-1883: Tengku Husin alias Tengku Bujang bergelar Sultan Husinsyah.
24. 1887-1902: Tengku Isa bergelar Sultan Isa Mudoyatsyah.
25. 1902-1912: Raja Uwok. Sebagai Raja Muda Indragiri.
26. 1912-1963: Tengku Mahmud bergelar Sultan Mahmudsyah.

30
Kerajaan Kampar
Kesultanan Pelalawan atau Kerajaan Pelalawan (1725 M-1946 M) yang sekarang terletak
di Kabupaten Pelalawan, Riau. Periode pemerintahan di Pelalawan dibagi menjadi dua:
periode pra Islam dan pasca Islam. Pada era pra Islam, kerajaan ini masih bernama
Pekantua. Sementara pada era Islam, ada tiga kali pergantian nama, dari Pekantua
Kampar, kemudianTanjung Negeri, dan terakhir Pelalawan. Kerajaan ini eksis dari tahun
1380.hingga.1946.

Kerajaan Malaka pada masa pemerintahan Sultan Mansur Syah (1459-1477 M)


menyerang Kerajaan Pekantua, dan kerajaan Pekantua dapat dikalahkan. Kemudian
Sultan mengangkat Munawar Syah sebagai Raja Pekantua. Pada upacara penebalan,
diumumkan bahwa kerajaan Pekantua berubah menjadi "kerajaan Pekantuan Kampar"

Ketika kerajaaan Johor dipimpin oleh Sultan Abdul Jalil Syah (cucu Sultan Alauddin Syah
II, Raja Kampar), Tun Megat di Kerajaan Pekantua Kampar meminta salah seorang
keturunan Sultan Alauddin Riayat Syah II kembali ke Pekantua Kampar untuk menjadi
raja. Sekitar tahun 1590 M, Raja Abdurrahman dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar
dengan gelar "Maharaja Dinda" (1590-1630 M). selanjutnya beliau memindahkan pusat
kerajaan.Pekantua.Kampar.dari.Pekantua.ke.Bandar.Tolam.

Setelah mangkat, Maharaja Dinda digantikan oleh puteranya Maharaja Lela I, yang
bergelar Maharaja Lela Utama (1630-1650 M). Tak lama kemudian beliau pun mangkat,
dan digantikan oleh puteranya Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675 M), selanjutnya
digantikan puteranya Maharaja Lela Utama (1675-1686 M). Pada masa pemerintahan
Maharaja Lela Utama, ibu kota kerajaan dipindahkan ke Sungai Nilo. Kerajaan ini
dinamakan Kerajaan Tanjung Negeri. Setelah beliau mangkat digantikan Maharaja
Wangsa.Jaya.

Ketika Maharaja Wangsa Jaya (1686-1691 M) mangkat digantiakn oleh puteranya


Maharaja Muda Lela (1691-1720 M), yang kemudian digantikan oleh puteranya Maharaja
Dinda II (1720-1750 M). Pada masa maharaja Dinda II sekitar tahun 1725 M terjadi
pemidahan pusat kerajaan Pekantua Kampar ke Sungai Rasau, salah satu anak sungai
Kampar,dan nama kerajaan "Pekantua Kampar" diganti menjadi kerajaan "Pelalawan".
setelah beliau mangkat, digantikan puteranya Maharaja Lela Bungsu (1750-1775 M), yang
berhasil.membuat.hubungan.dagang.dengan.daerah.sekitarnya.

Kemudian kerajaan tersebut tunduk kepada Kerajaan Siak, dan pada 4 Februari 1879
dengan terjadinya perjanjian pengakuannya Kampar berada di bawah pemerintahan
Hindia Belanda. Kerajaan Indragiri sebelum 1641 yang berada di bawah Kemaharajaan
Malayu berhubungan erat dengan Portugis, tetapi setelah Malaka diduduki VOC, mulailah
berhubungan dengan VOC yang mendirikan kantor dagangnya di Indragiri berdasarkan
perjanjian.28.Oktober.1664.

Kerajaan Pekantua Kampar (1505-1675)

1. Munawar Syah (1505-1511)


2. Raja Abdullah (1511-1515)
3. Sultan Mahmud Syah I (1526-1528 )

31
4. Raja Ali/Sultan Alauddin Riayat Syah II (1528-1530)
5. Tun Perkasa/ Raja Muda Tun Perkasa (1530-1551)
6. Tun Hitam (1551-1575)
7. Tun Megat (1575-1590)
8. Raja Abdurrahman/Maharaja Dinda (1590-1630)
9. Maharaja Lela I/Maharaja Lela Utama (1630-1650)
10. Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675 ).

Kerajaan Tanjung Negeri (1675-1725)

1. Maharaja Lela Utama (1675-1686)


2. Maharaja Wangsa Jaya (1686-1691)
3. Maharaja Muda Lela (1691-1720)
4. Maharaja Dinda II (1720-1725).

Kerajaan Pelalawan (1725-1946)

1. Maharaja Dinda II/Maharaja Dinda Perkasa/Maharaja Lela Dipati (1725-1750)


2. Maharaja Lela Bungsu (1750-1775)
3. Maharaja Lela II (1775-1798)
4. Sayid Abdurrahman/Syarif Abdurrahman Fakhruddin (1798-1822)
5. Syarif Hasyim (1822-1828)
6. Syarif Ismail (1828-1844)
7. Syarif Hamid (1844-1866)
8. Syarif Jafar (1866-1872)
9. Syarif Abubakar (1872-1886)
10. Tengku Sontol Said Ali (1886-1892 )
11. Syarif Hasyim II (1892-1930)
12. Tengku Sayid Osman/Pemangku Sultan (1930-1940)
13. Syarif Harun/Tengku Sayid Harun (1940-1946).

Pada masa Pemerintahan Sultan Syarif Harun (1940-1946), adalah masa pemerintahan
yang paling sulit di Kerajaan Pelalawan. Demi menjaga kemakmuran rakyat Pelalawan,
pada tahun 1946 Sultan Syarif Harun mendarma baktikan Pelalawan kepada Pemerintah
Indonesia.

32
Materi : Kerajaan Islam Riau

Sesi Tanya-Jawab

1. Dimana letak geografis Kerajaan Siak? [Khansa Amiranti (15)]


2. Mengapa Kerajaan Siak tidak boleh mengadakan ikatan-ikatan atau perjanjian
dengan Negara-negara lain selain Belanda? [Rizqi Ramadhani (30)]
3. Mengapa ibukota Indragiri selalu dipindahkan? [M. Fakhrul Arif (19)]
4. Mengapa masa pemerintahan paling sulit terjadi saat masa pemerintahan Sultan
Syarif Harun? [Hastri Dwi K.P.B (12)]
5. Mengapa Kerajaan Siak keluar dari Kerajaan Malaka? [Fatya Azzahra (9)]
6. Hal apa yang menunjukkan bahwa perekonomian Kerajaan Siak maju ialah pada
masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim? [Tasya Dinasari S. (36)]

Jawaban:
1. Kerajaan Siak terletak di Kabupaten Siak, Provinsi Riau yang berjarak kurang
lebih 125 KM dari Pekanbaru.
2. Agar Belanda dapat dengan mudah mendapat barang produksi Kerajaan Siak
3. Ada beberapa motif, misalnya agar aman dari musuh, memperluas daerah
kekuasaan, dan mempermudah transportasi antar daerah kekuasaan
4. Sultan Syarif Harun berkuasa di Kerajaan Kampar pada tahun 1940-1946 saat
Indonesia sedang melawan penjajah sehingga Kerajaan Kampar berada di bawah
kekuasaan penjajah sehingga roda pemerintahan sulit untuk dijalankan.
5. Kerajaan Siak lebih tepatnya adalah merdeka dari Kerajaan Malaka, bukan
keluar. Kerajaan Siak memutuska n untuk menjadi kerajaan yang mandiri
dengan bimbingan Raja Kecik.
6. Kerajaan Siak maju di bidang ekonomi karena menjalin hubungan dengan luar
negeri.

33
4.4 Jigsaw Kelompok Empat
Kelompok empat melakukan jigsaw dikelompok kami, yaitu kelompok
enam. Tim ahli yang melakukan dikelompok kami yaitu Sekar Titis Rengganis. Ia
melakukan jigsaw dikelompok kami, melalui via LINE. Hasil tangkapan dibawah
ini merupakan materi yang disampaikan oleh tim ahli dari kelompok empat.

Hasil tangkapan dibawah ini merupakan diskusi tanya jawab yang


dilakukan antara tim ahli dari kelompok empat dengan kelompok enam

34
Kerajaan Melayu Jambi

Awal Masuknya Islam di Jambi


Agama Islam diyakini telah hadir di Jambi sekitar abad 7 M dan berkembang
menjadi agama kerajaan setelah abad 13 M. Orang Parsi (Iran), Turki dan bangsa Arab
lainnya telah hadir di pantai timur Jambi (Bandar Muara Sabak) sekitar abad 1 H (abad 7
M).
Raja yang banyak berjasa dalam penyebaran agama Islam di Jambi adalah Orang Kayo
Hitam yang mana menurupakan putra dari Datuk Paduko Berhalo.
Metode penyebaran Islam yang diterapkan oleh Orang Kayo Hitam adalah melalui kinerja
pegawai syarak. Pegawai syarak tersebut adalah sebagai berikut :
1. Imam Masjid
2. Khotib
3. Bilal
4. Mudim
5. Kadi (hakim agama)

Pada tahun 1670 an keperkasaan Jambi sebanding dengan Palembang dan


Johor. Kondisi inilah yang menarik para pedagang dan ulama datang ke Jambi seperti
Al-Habib Husen bin Ahmad Baragbah yang juga di kenal sebagai Tuanku Keramat
Tambak beserta anaknya yang bernama Said Qosim. Selama 35 tahun ia menurunkan
ilmu ajaran Islam hingga wafat di tahun 1173 H (1743 M) dan dimakamkan di Karamat
Tambak,Jambi. Sementara anaknya, Said Qosim wafat pada tahun 1186 H (1756 M) dan
di makamkan di samping makam ayahnya.
Tokoh guru lain juga yang menyebarkan agama Islam di Jambi antara lain:
1. Sayyid Husin Bin Ahmad Baragbah (1626M).
2. Syekh Muhammad Shoufi bin Abdullah Bafadhal (1635 M)
3. Sayyid Alwi al-Baiti (1637 M)
4. H.Ishak bin H.Karim Mufti Jambi (1700).
5. Kemas H. Muhammad Zen bin Kemas H. Abd. Rauf al-Jambi Asy-Syafii al-Naksabandi
(1815).
6. Pangeran Penghulu Noto Agomo Kampung Magatsari (1852).
7. Al-Qodi Abd. Gani bin H. Abd. Wahid ( 1888).
8. K.H. Abd. Majid Bin H. M. Yusuf Keramat (1893).
Para tokoh guru tersebut menyelenggarakan pendidikan agama dan ceramah-ceramah
agama dengan pemikiran agar tertanam kesadaran beragama. Jadi kesimpulan yang
dapat diambil adalah bahwa Islam sudah masuk ke Jambi jauh sebelum kedatangan Habib
Husain Baragbah awal abad ke 17 M. Tetapi dengan kedatangan beliau yang kemudian
disusul oleh keluarga Arab Hadhrami yang lain seperti Muhammad Shaufi Bafadhal, al-
Habsyi, Alwi al-Baiti dan lain-lain, Sejarah Islam di kesultanan Jambi mengalami
perkembangan pesat. Rakyat pada umumnya memakai nama Islam (Arab) dan ada pula
yang naik haji serta menuntut ilmu ke Mekkah.

35
Awal Berdirinya Kerajaan Melayu Jambi
Sekitar Abad 6 awal 7 M berdiri Kerajaan Malayu (Melayu Tua) terletak
di Muara Tembesi (kini masuk wilayah Batanghari, Jambi). Kerajaan ini bersaing
dengan Sriwijaya untuk menjadi pusat perdagangan. Letak Malayu yang lebih dekat ke
jalur pelayaran Selat Melaka menjadikan Sri Wijaya merasa terdesak sehingga perlu
menyerang Malayu sehingga akhirnya tunduk kepada Sri Wijaya. Muaro Jambi, sebuah
kompleks percandian di hilir Jambi mungkin dulu bekas pusat belajar agama Buddha
sebagaimana catatan pendeta Cina I-Tsing yang berlayar dari India pada tahun 671. Ia
belajar di Sriwijaya selama 4 tahun dan kembali pada tahun 689 bersama empat pendeta
lain untuk menulis dua buku tentang ziarah Buddha. Saat itulah ia tulis bahwa Kerajaan
Malayu kini telah menjadi bagian dari Sri Wijaya.

Abad ke 11 M setelah Sri Wijaya mulai pudar, ibu kota dipindahkan ke Jambi.
Inilah Melayu Muda atau DHARMASRAYA berdiri di Muara Jambi. Sebagai sebuah bandar
yang besar, Jambi juga menghasilkan berbagai rempah-rempahan dan kayu-kayuan.
Sebaliknya dari pedagang Arab, mereka membeli kapas, kain dan pedang. Dari Cina,
sutera dan benang emas, sebagai bahan baku kain tenun songket. Tahun 1278 Ekspedisi
Pamalayu dari Singasari di Jawa Timur menguasai kerajaan ini dan membawa serta putri
dari Raja Malayu untuk dinikahkan dengan Raja Singasari. Hasil perkawinan ini adalah
seorang pangeran bernama Adityawarman, yang setelah cukup umur dinobatkan
sebagai Raja Malayu. Pusat kerajaan inilah yang kemudian dipindahkan oleh
Adityawarman ke Pagaruyung dan menjadi raja pertama sekitar tahun 1347. Di Abad 15,
Islam mulai menyebar ke Nusantara.

Kondisi Sosial Ekonomi Kerajaan Melayu Jambi


Kehidupan sosial dan ekonomi Kerajaan Melayu Jambi menyerupai kerajaan
Sriwijaya. Para bangsawan memeluk agama Buddha sedangkan rakyatnya memeluk
kepercayaan tradisional. Kegiatan perekonomian yang sering dilakukan adalah melakukan
perdagangan. Sementara itu, pusat aktivitas ekonomi Kerajaan Jambi berada di daerah
Sungai Batang Hari.

Masa Kejayaan Kerajaan Melayu Jambi


Kerajaan Melayu mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan
Adityawarman dengan pusat kekuasaannya di daerah hulu Batanghari. Pada masa itu
logam emas dimanfaatkan semaksimal mungkin, seperti dipakai sebagai bahan
lempengan emas,benang emas, lembaran emas bertulis, kalung dan arca. Meskipun
kerajaan berlokasi didaerah hulu Batanghari di wilayah Minangkabau, Adityawarman tidak
pernah menyebut daerah kekuasaannya sebagai kerajaan Minangkabau, ia menamakan
dirinya sebagai kanakamedinindra, yang berarti penguasa negeri emas. Dengan demikian
ia menganggap dirinya sebagai penguasa daerah-daerah yang dulunya menjadi daerah
kekuasan kerajaan Sriwijaya

36
Hasil Kebudayaan Kerajaan Melayu Jambi
Seni Ukir :
- Ukiran bunga tampuk manggis
- Ukiran akar China
- Ukiran tawang
Seni Tari dan Lagu :
- Tari Tauh atau lebih dikenal dengan istilah Betauh
- Tari nan Belambai
- Tari Rantak Kudo disebut begitu karena gerakannya yang menghentak-hentak
seperti kuda, tarian ini dilakukan untuk merayakan hasil panen pertanian di daerah
Kerinci dan dilangsungkan berhari-hari tanpa henti.
- Tari Sekapur Sirih dilakukan untuk menyambut tamu yang dihormati dan ditarikan
oleh remaja putri.
- Tari Serengkuh Dayung menggambarkan tentang perasaan searah setujuan,
kebersamaan dan ditarikan oleh penari putri.
- Tari Baselang menceritakan tentang semangat gotongroyong masyarakat desa
dan ditarikan putra putrid
- Tari Inai untuk menghibur mempelai wanita yang sedang memasang inai di malam
hari, sebelum duduk di pelaminan ditarikan Putra dan Putri.
- Tari Japin Rantau menggambarkan prikehidupan masyarakat di pesisir pantai.
Seni Kriya :
- Anyam anyaman yang terbuat dari bambu
- Rotan
- Pandan untuk kebutuhan rumah tangga
- Rumah panggung yang dibuat dari kayu lokal.
- Batik dan songket dengan karakteristik bunga bunga.

Masa Runtuhnya Kerajaan Melayu Jambi


Pada masa pemerintahan Sultan Sri Ingalogo(1665-1690) terjadi peperangan
antara kerajaan jambi dengan kerajaan johor di mana kerajaan jambi mendapat bantuan
dari VOC dan akhirmya menang. Jambi berhasil menghancurkan ibukota Johor, Batu
Sawar. Jambi terbebas dari kekuasaan Johor. VOC yang membantu Jambi meminta upah
atas bantuan itu berupa perjanjian-perjanjian pada bulan Agustus tahun 1681 dan 1683
yang isi dari perjanjian tersebut untuk menguatkan monopoli pembelian lada dan VOC
memaksa untuk penjualan kain dan opium. Beberapa tahun setelah itu, terjadi
penyerangan kantor dagang VOC oleh rakyat Jambi dan Sybrandt Swart terbunuh pada
tahun 1690. Sultan jambi dituduh atas kejadian tersebut. Maka dari itu Sultan Sri Ingalogo
diasingkan ke Batavia lalu ke Pulau Banda. Pengganti dari Sultan Sri Ingalogo adalah
Sultan Kiai Gede yang membawa keris pusaka Sigenjei bagi raja jambi yang memiliki ha
katas kerajaan. Atas peristiwa itu terjadi konflik pemberontakan dan perlawanan Sultan
Thaha Sayf al-Din. Atas pertempuran tersebut Sultan Thaha gugur dan dimakamkan di

37
Muaratebo yang menyebabkan kerajaan melayu jambi runtuh. Selain itu penyebab lainnya
adalah Johor meminta bantuan orang-orang bugis untuk mengalahkan jambi atas
pertempuran sebelumnya. Akhirnya, atas bantuan orang Bugis, Jambi berhasil dikalahkan
Johor.

38
4.5 Bukti Jigsaw Kelompok 5
Kelompok lima melakukan jigsaw dikelompok kami, yaitu kelompok enam.
Tim ahli yang melakukan dikelompok kami yaitu Ayun Amrity. Ia melakukan
jigsaw secara langsung kepada kelompok kami di kelas.

Materi : Kerajaan Palembang Darussalam


Sesi Tanya Jawab

1. Jelaskan masa kejayaan kerajaan Palembang!


2. Apa latar belakang berdirinya kerajaan palembang ?
3. Bagaimana keadaan ekonomi kerajaan Palembang ?
4. Konflik apa saja yang pernah terjadi di kerajaan Palembang?
5. Kuto Besak itu apa ?

Jawaban :
1. Kesultanan Palembang makin berkembang perekonomiannya. Dengan posisi
yang sangat strategis, ditopang pemerintahan yang stabil, Palembang juga banyak
menghasilkan komoditi yang sangat dibutuhkan baik oleh pasar dometik maupun
internas
2. Pengaruh kuat orang-orang Tiongkok berakhir ketika Kerajaan Majapahit
mengirimkan utusannya untuk memimpin Palembang. Utusan itu bernama Arya
Damar, putra Prabu Brawijaya V atau Bre Kertabumi (1468 - 1478 M), raja terakhir
Majapahit yang kemudian menjadi raja pertama di Palembang
3. Perekonomian masyarakat di Kesultanan Palembang pada umumnya berdasarkan
pada pertanian, perkebunan, perikanan, pengumpulan hasil hutan, dan tambang.
Pada abad XVII hingga awal abad XIX hasil pertanian, perkebunan, hasil hutan,
tambang dan perikanan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan
sebagian untuk ekspor. Komoditi primadona dari Palembang adalah lada dan
timah, tetapi di samping itu masih banyak produk lainnya.
4. Pemindahan pusat pemerintahan, penolakan bekerja sama dengan inggris ,
perpecahan keluarga, serangan belanda, perang menteng, pengasingan sultan
Mahmud badaruddin II, kekuasaan berada langsung dibawah pemerintahan
belanda.
5. Bangunan keraton yang pada abad ke 18 menjadi pusat Kesultanan Palembang

39
2.1 AWAL BERDIRINYA KESULTANAN PALEMBANG DARUSSALAM

Berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam

Pengaruh kuat orang-orang Tiongkok berakhir ketika Kerajaan Majapahit mengirimkan


utusannya untuk memimpin Palembang. Utusan itu bernama Arya Damar, putra Prabu
Brawijaya V atau Bre Kertabumi (1468 - 1478 M), raja terakhir Majapahit

Arya Damar segera membangun kekuatan untuk merebut kembali pengaruh yang telah
dipegang oleh orang-orang Tiongkok. Bersama dengan Demang Lebar Daun, putra Sultan
Mufti, penguasa di daerah Pagaruyung, Minangkabau, Arya Damar berhasil mendapatkan
kembali pengaruh di wilayah Palembang yang sempat lepas.

Arya Damar yang kemudian memeluk Islam, mengganti namanya menjadi Arya Abdillah
atau Arya Dillah dan menikah dengan anak Demang Lebar Daun yang bernama Puteri
Sandang Biduk. Setelah berhasil menguasai Palembang, Arya Dillah menobatkan diri
sebagai raja yang berkuasa antara tahun 1445 1486 M

Arya Dillah pernah mendapat hadiah seorang selir dari Prabu Brawijaya V, yaitu
perempuan keturunan Tionghoa yang dikenal sebagai Puteri Champa. Ketika dibawa ke
Palembang, Puteri Champa tengah mengandung. Setelah resmi diperistri oleh Arya
Damar, lahirlah bayi yang diberi nama Raden Patah. Raden Patah ini nantinya akan
menjadi raja pertama di Kesultanan Demak

Pada awalnya, Kerajaan Palembang menempati daerah yang bernama Kuto Gawang
sebagai pusat pemerintahan. Gawang dalam bahasa Jawa kuno diartikan sebagai
terang benderang. Setelah terjadi pergantian beberapa kali penguasa, pada sekitar tahun
1610 M, Kerajaan Palembang menjalin hubungan dengan VOC (Vereenigde Oost indische
Compagnie). Dalam perkembangan kemudian, ternyata hubungan antara VOC dengan
Kerajaan Palembang menyisipkan perang besar yang terjadi pada tahun 1659 M.

2.2 KONFLIK-KONFLIK YANG PERNAH TERJADI DI KESULTANAN PALEMBANG


DARUSSALAM

1 Pemindahan Pusat Pemerintahan


Pada tahun 1659, oleh Susuhunan Abdurrahman pusat pemerintahan dipindahkan ke
Beringin Janggut yang letaknya di sekitar kawasan Mesjid Lama (Jl. Segaran). Hal ini
dikarenakan terjadi peperangan antara kesultanan Palembang dengan VOC yang
menyebabkan Keraton Kuto Gawang dihancurkan VOC dengan cara dibakar.

2 Penolakan Bekerja Sama dengan Inggris


Pada tahun 1811, Sultan Mahmud Badaruddin II menyerang pos tentara Belanda yang
berada di Palembang, namun ia menolak bekerja sama dengan Inggris, sehingga Thomas

40
Stamford Bingley Raffles mengirimkan pasukan menyerang Palembang dan Sultan
Mahmud Badaruddin II terpaksa melarikan diri dari istana kerajaan, kemudian Raffles
mengangkat Sultan Ahmad Najamuddin II adik Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai raja.

3 Perpecahan Keluarga
Pada tahun 1813 Sultan Mahmud Badaruddin II kembali mengambil alih kerajaan namun
satu bulan berikutnya diturunkan kembali oleh Raffles dan mengangkat kembali Sultan
Ahmad Najamuddin II, sehingga menyebabkan perpecahan keluarga dalam kesultanan
Palembang.

4 Serangan Belanda
Pada tahun 1818 Belanda menuntut balas atas kekalahan mereka sebelumnya dan
menyerang Palembang serta berhasil menangkap Sultan Ahmad Najamuddin II dan
mengasingkannya ke Batavia. Namun Kesultanan Palembang kembali bangkit melakukan
perlawanan yang kemudian kembali dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin II.

5 Perang Menteng
Lalu pada tahun 1819, Sultan mendapat serangan dari pasukan Hindia yang antara lain
dikenal sebagai Perang Menteng (diambil dari kata Mungtinghe).

6 Pengasingan Sultan Mahmud Badaruddin II


Pada tahun 1821 dengan kekuatan pasukan lebih dari 4000 tentara, Belanda kembali
menyerang Palembang dan berhasil menangkap Sultan Mahmud Badaruddin II yang
kemudian diasingkan ke Ternate.

7 Kekuasaan berada langsung di bawah pemerintahan hindia belanda


Kemudian pada tahun 1821 tampil Sultan Ahmad Najamuddin III anak Sultan Ahmad
Najamuddin II sebagai raja berikutnya, namun pada tahun 1823 Belanda menjadikan
kesultanan Palembang berada dibawah pengawasannya, sehingga kembali menimbulkan
ketidakpuasan di kalangan istana. Puncaknya pada tahun 1824 kembali pecah perang,
namun dapat dengan mudah dipatahkan oleh Belanda, pada tahun 1825 Sultan Ahmad
Najamuddin III menyerah kemudian diasingkan ke Banda Neira.

2.3 SOSIAL BUDAYA KESULTANAN PALEMBANG DARUSSALAM

Struktur penduduk dalam pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam terbagi ke


dalam dua golongan, yaitu:

41
1) Priyayi. Golongan ini merupakan turunan raja-raja (sultan-sultan) atau kaum ningrat.
Kedudukan ini biasanya diperoleh atas dasar keturunan atau atas perkenan dari sultan
sendiri.
2) Rakyat. Golongan ini terbagi dalam dua kelompok. Pertama, kelompok miji atau di
daerah pedalaman disebut dengan istilah mata-gawe, yang mencakup seperti petani
dan sebagainya. Kelompok ini biasanya menggalang orang-orang yang mau berperang
bersama sultan atau melakukan pekerjaan tangan dan karya-karya seni.
Setiap miji mempunyai sejumlah alingan (keluarga), yang tugasnya adalah membantu
pekerjaan miji. Kedua, kelompok senan, yaitu golongan rakyat yang lebih rendah
dari miji, namun memiliki keistimewaan tersendiri. Maksudnya, kelompok ini tidak boleh
dipekerjakan oleh siapapun kecuali hanya untuk sultan, misalnya membuat atau
memperbaiki perahu-perahu dan rumah-rumah sultan atau mendayung perahu
untuknya.

Setelah perang dengan VOC, dilakukan pembangunan-pembangunan, kecuali Masjid


Agung yang hingga kini masih dapat disaksikan meskipun sudah ada beberapa
perubahan. Masjid Agung mulai dibangun 28 Jumadil Awal 1151 H atau 26 Mei 1748 M
pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758). Pada masa
pemerintahan putranya yaitu Sultan Ahmad Najmuddin (1758-1774) syiar Islam makin
pesat. Pada waktu itu, berkembanglah hasil-hasil sastra keagamaan dari tokoh-tokoh,
antara lain, Abussamad al-Palimbani, Kemas Fakhruddin, Kemas Muhammad ibn Ahmad,
Muhammad Muhyiddinibn Syaikh Shibabuddin, Muhammad Marufibn Abdullah, dan
lainnya.

Setelah Kesultanan Palembang Darussalam runtuh, banyak hal yang mulai luntur seiring
perkembangan zaman. Misalnya, corak Kota Palembang yang dulunya lebih bernuansa
Islam kini sudah tidak kentara lagi. Di samping itu, kota ini mengalami perubahan yang
cukup pesat dengan bertambahnya jumlah penduduk. Sebab, banyak penduduk dari
berbagai daerah di Sumetara Selatan yang datang ke Palembang untuk mencari
kehidupan yang lebih baik.

2.4 POLITIK KESULTANAN PALEMBANG DARUSSALAM

Dalam mengatur pemerintahan, para penguasa di Kesultanan Palembang


Darussalam memilih sikap kompromistis terhadap penduduk setempat. Sikap kompromis
Kesultanan Palembang dapat dibuktikan ketika Undang-Undang Simbur Cahaya dibuat
untuk dijadikan pedoman terhadap kekuasaan yang berlaku di daerah. Undang-Undang
Simbur Cahaya merupakan suatu pedoman yang mengatur adat pergaulan bujang gadis,
adat perkawinan, piagam, dan lain sebagainya.

Dalam bidang pemerintahan, penerapan sistem perwakilan di daerah pedalaman


atau dikenal dengan istilah raban dan jenang. Undang-undang dan peraturan-peraturan

42
yang dibuatnya dituangkan dalam bentuk piagem (piagam), yang harus dilaksanakan oleh
setiap daerah yang masuk dalam pengaruh kekuasaan Palembang, seperti Bangka,
Belitung, sebagian Jambi (Muara Tembesi), Bengkulu (Kepahiang/Rejang), dan Lampung
(Tulang Bawang/Mesuji) (Hanafiah, 1995:197-200).

Pemerintahan tersusun dengan adanya pembagian menurut wilayah dan hukum,


yaitu ibukota kesultanan yang berupa istana dan mancanegara yang berupa lingkungan di
luar wilayah ibukota kesultanan (daerah-daerah). Pembagian wilayah mancanegara tidak
didasarkan atas pertimbangan teritorial, namun lebih disebabkan karena faktor kegunaan
atau manfaat wilayah tersebut. Atas dasar itulah, maka muncul wilayah-wilayah
sebagaimana berikut:

1. Sindang

Sindang adalah sebutan untuk suatu daerah yang berada di perbatasan wilayah
kesultanan. Penduduk di daerah sindang memperoleh status mardika (merdeka atau
bebas).

2. Kepungutan

Kepungutan merupakan daerah bebas pajak tetapi mempunyai kewajiban lain yang
disebut tiban atau tukon. Tibana dalah kewajiban bagi penduduk di daerah kepungutan
untuk memproduksi komoditi ekspor seperti lada atau menambang timah. Komoditi ini
menjadi hak (monopoli) Kesultanan Palembang Darussalam dalampemasarannya.
Sedangkan tukon dalam pelaksanaanya tidak jauh berbeda dengan tiban. Hanya saja
dalam tukon dipergunakan uang sebagai alat pembayaran

3. Sikap

Sikap merupakan suatu wilayah yang dibentuk dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan
perekonomian di Istana Kesultanan Palembang Darussalam. Pada umumnya daerah sikap
terikat dengan kewajiban seperti menyediakan tenaga pengangkut hasil produksi istana
dan menyiapkan keperluan-keperluan istana (Hanafiah, 1995:171).

2.5 EKONOMI KESULTANAN PALEMBANG DARUSSALAM

Ekonomi
Kesultanan Palembang berdiri pada pertengahan abad XVII, tepatnya di bawah
kepemimpinan Sultan Abdul RahmanKhalifatul Mukminin Sayidul Imam (1659-1702).
Sebelumnya berbentuk kerajaan yang berada di bawah pengaruh Kerajaan Mataram.
Perubahan bentuk pemerintahan ini, menandai pula lepasnya Palembang dari Mataram.
Sebagai kerajaan yang berdaulat penuh, maka Kesultanan Palembang makin berkembang
perekonomiannya. Dengan posisi yang sangat strategis, ditopang pemerintahan yang
stabil, Palembang juga banyak menghasilkan komoditi yang sangat dibutuhkan baik oleh
pasar dometik maupun internas

43
Perekonomian masyarakat di Kesultanan Palembang pada umumnya berdasarkan
pada pertanian, perkebunan, perikanan, pengumpulan hasil hutan, dan tambang. Pada
abad XVII hingga awal abad XIX hasil pertanian, perkebunan, hasil hutan, tambang dan
perikanan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan sebagian untuk ekspor.
Komoditi primadona dari Palembang adalah lada dan timah, tetapi di samping itu masih
banyak produk lainnya.
Kesultanan Palembang merupakan salah satu penghasil lada terpenting di
Nusantara. Konsekuensinya Palembang makin menarik bagi bangsa Eropa, khususnya
Belanda yang mengikat para sultan dengan kontrak-kontrak. Kontrak-kontrak itu isinya
semakin mengikat, hal ini mendorong para penguasa Palembang melakukan perdagangan
gelap dengan pihak asing seperti Inggris, Amerika, Francis, Cina dan pedagang pribumi
lainnya. Di sisi lain pihak Belanda terus berusaha melakukan berbagai macam cara agar
lada dari Palembang sepenuhnya hanya menjadi milik mereka.
Kesultanan Palembang terkenal penghasil berbagai kerajinan, seperti :
pertukangan, ukir gading, pandai besi, tembaga, emas. Hasil-hasil kerajinan ini di ekspor
ke Siam, mencapai nilai 500 sampai 1000 ringgit Spanyol atau setara dengan f 3500
sampai f 7000 ringgit Spanyol per tahun.

Peran Sultan dan Bangsawan dalam Perekonomian Palembang

Pada masa pemerintahan Sultan Najamuddin II, ia tidak memungut tibang-tukong


sesuai ketentuan yang ada. Terjadi penyimpangan, setiap marga ditetapkan untuk
menyetorkan beberapa komoditi yang sebelumnya tidak termasuk ke dalam tibangdan
tukong, seperti beras, lada, kopi gambir, lilin, rotan, dan kerbau yang jumlahnya dinaikkan
50-100 real. Hal ini dilakukan dua sampai empat kali setahun. uang yg beredar umumnya
dollar spanyol dan mata uang lokal.

2.6 RUNTUHNYA KESULTANAN PALEMBANG DARUSSALAM

Pada masa kepemimpinan Prabu Anom, Kesultanan Palembang Darussalam berada di


bawah kontrol kekuasaan Belanda dan mulai masuk pula pengaruh dari Inggris
(Badaruddin, 2008:41).

Akibat berbagai tekanan dari pihak Belanda dan Inggris yang menyudutkan posisi
Kesultanan Palembang Darussalam, Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom sering
melakukan perlawanan. Perlawanan tidak hanya dilakukan di pusat pemerintahan, akan
tetapi menyebar sampai ke daerah-daerah, hingga Belanda menjuluki Sultan Ahmad
Najamuddin IV Prabu Anom dengan gelar Sultan Amuk. Akhirnya perlawanan yang
dilakukan oleh Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom terhenti karena ia ditangkap
pada tahun 1823.

Setahun kemudian, pada tanggal 6 Desember 1824, Sultan Ahmad Najamudin II Husin
Dhiauddin yang merupakan ayah dari Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom,

44
diasingkan ke Batavia dan wafat di sana pada tanggal 22 Februari 1825 (Badaruddin,
2008:38). Di sisi lain, Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom akhirnya juga diasingkan
pada tahun 1825 ke Banda kemudian ke Menado. Pada tahun 1844, Sultan Ahmad
Najamuddin IV Prabu Anom wafat di Manado (Purwanti, 2004:20). Terhitung sejak
tertangkapnya Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom selaku sultan terakhir di
Kesultanan Palembang Darussalam pada tahun 1823, maka secara resmi Kesultanan
Palembang Darussalam telah dihapuskan oleh Belanda (Purwanti, 2004:21).

Dari buku :

Kesultanan Palembang dihapuskan sejak 7 Oktober 1823 dan kekuasaan daerah


Palembang berada langsung di bawah Pemerintah Hindia Belanda dengan penempatan
Residen Jon Cornelis Reijinst yang tidak diterima Sultan Ahmad Najaruddi Prabu Anom.
Karena memberontak, akhirnya ia ditangkap lalu diasingkan ke Banda, dan seterunya
dipindahkan ke Ambon

45
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Tuanku_Imam_Bonjol

http://www.irhash.com/2009/02/islam-di-minangkabau.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Sumatera_Barat

http://wisata-sejarah.blogspot.co.id/2009/03/kerajaan-inderapura.html

46

Anda mungkin juga menyukai