Polemik Sabda Raja
Polemik Sabda Raja
Kondisi sosial politik Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) atau Jogja mulai menghangat. Hal
ini merupakan implikasi keluarnya dua Sabda Raja. Sabda Raja I disampaikan Sri Sultan
Hamengku Buwono (HB) X selaku Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada Kamis
(30/4/2015). Sedangkan Sabda Raja II disampaikan pada Selasa (5/5). Kedua Sabda Raja ini
merupakan perdana sejak HB X naik tahta pada 1989.
HB X menegaskan bahwa Sabda Raja dudu karepku dewe, karepe Ingkang Moho Kuwaos.
Artinya, bukan keinginan Sultan sendiri, melainkan petunjuk dari Tuhan Yang Maha Kuasa
dan Leluhur. Hal ini ditegaskan ulang HB X dalam keterangan pers pada Jumat (8/5).
Peta politik kraton dan masyarakat terbelah antara pro dan kontra Sabda Raja. Pihak pro dari
kalangan kraton antara lain dari keluarga inti HB X, Gusti Yudhahadiningrat, serta sebagian
abdi dalem.
Yudhahadiningrat (2015) mengatakan bahwa Sabda Raja bukanlah adat baru di Kraton
Yogyakarta. Sabda Raja pernah dikeluarkan oleh Sultan-Sultan Kraton Yogyakarta
sebelumnya. Sabdaraja merupakan sabda tertinggi yang dikeluarkan oleh seorang Sultan.
Kedudukan Sabdaraja lebih tinggi dibandingkan Sabdatama. Sultan memiliki hak untuk
menentukan kapan dan di mana dikeluarkannya sabdaraja.
Suara kontra pertama kali muncul dari kalangan internal kraton, terutama dari adik-adik HB
X. Sejak Sabda Raja I Gusti Bendoro Pangeran Haryo (GBPH) Yudhaningrat dan GBPH
Prabukusumo tidak hadir dan dalam berapa keterangan menyatakan penentangan.
GBPH Hadiwinoto yang hadir pada Sabda Raja I, kemudian tidak hadir pada Sabda Raja II
dan berada pada kubu kontra. Mayoritas adik-adik HB X yang lain juga merapat ke kubu
kontra.
KGPH Hadiwinoto menegaskan bahwa Sabda Raja batal demi hukum. Alasannya antara lain
pengucapan Sabda Raja bertentangan dengan paugeran (aturan keraton) dan protokolernya.
Atribut dan pakaian yang dikenakan Sultan saat itu bukanlah pakaian kebesaran yang
seharusnya dikenakan raja.
Sultan mengenakan pakaian kebesaran yang berbordir dan mengenakan kuluk (penutup
kepala) warna biru muda. Atribut itu biasa dikenakan oleh putra mahkota yang belum
dinobatkan menjadi raja. Sedangkan pakaian kebesaran raja yang seharusnya dikenakan
adalah kanigoro dan sikepan lugas serta kuluk warna hitam. Pengucapan juga dilakukan di
Sitihinggil yang merupakan tempat raja bertahta. Mestinya di Bangsal Manguntur Tangkil
yang merupakan tempat tertinggi di Keraton Yogyakarta.
Aspirasi penolakan Sabda Raja juga mulai bermunculan dari publik Jogja. Penolakan tersebut
dapat terbaca dari beberapa spanduk yang mulai terpasang serta pernyataan alim ulama Jogja.
Semua sama yaitu menyayangkan dan menghendaki Kraton Yogyakarta kembali ke
paugeran.
Dampak serius yang berpotensi terjadi adalah petaka konflik horizontal. Internal kraton dan
publik mulai terbelah. Pembelajaran sebenarnya sudah diberikan dari dinamika Kraton
Surakarta. Saudara tua Kraton Yogyakarta tersebut hingga kini masih terjebak dalam pusaran
konflik internal.
Resolusi Konflik
Kraton Yogyakarta sebagai episentrum budaya Yogyakarta, Jawa, bahkan nusantara sedang
diuji keteladanan dan kemampuannya mengelola potensi konflik. Keistimewaan Jogja salah
satunya dicirikan oleh kondisi sosiobudaya yang adem, ayem, dan nirkonflik.
1. Perlu mediasi antara HB X dengan adik-adiknya yang kontra. Mediator mesti dipilih dari
pihak yang diterima kedua pihak, bisa berasal dari internal kraton, eksternal, maupun
pemerintah. Semangat rekonsiliasi demi mempertahankan kondisivitas dan keistimewaan
Jogja penting dikedepankan.
2. Pihak pro dan kontra penting untuk tidak melakukan provokasi dan manuver yang
memperuncing konflik. Aspirasi mesti tetap konstitusional dan mengikuti paugeran. Alih-alih
mengembalikan paugeran, jangan sampai melanggar paugeran itu sendiri.
3. Pemerintah meskipun tidak boleh ikut campur urusan kraton, namun penting melakukan
telaah hukum. Sabda Raja berpengaruh terhadap eksistensi UU Keistimewaan DIY.
Perubahan-perubahan yang ada telah menyelisihi UU tersebut. Telaah penting dialkukan
secara filosofis, substansial, hingga teknis. Berakhirnya dinasti HB dan hadirnya zaman baru
sebagaimana diungkapkan HB X sejauh mana memiliki implikasi terhadap status
keistimewaan DIY.
4. Publik penting tetap menjaga kondusifitas suasa Jogja yang istimewa. Keterbelahan pendapat
mesti tetap demokratis, tidak memecah belah, dan menghindari konflik. Diskusi-diskusi
memahami dinamika yang ada adalah keniscayaan dan hak publik. Pencermatan publik
penting mendapatkan asupan informasi, baik dalam hal sejarah, filosofi, budaya, sosial,
politik, dan lainnya.
Keistimewaan DIY adalah aset nasional. Status ini penting dipertanahkan di tengah gempuran
arus globalisasi. Pihak kraton mesti menempatkan rakyat dan paugeran di atas segalanya.
Sejarah kelam dalam budaya kraton yang kerap menampilkan suksesi kepemimpinan secara
berdarah-darah jangan sampai diulangi. Semoga Kraton yogyakarta tetap damai dan Jogja
tetap istimewa.
Polemik Sabda Raja, Kasunanan Surakarta Angkat Bicara
Berita
IYAANEWS
Foto: daruwaskita/iyaa.com
iyaa.com I Yogyakarta: Sabda raja yang dikeluarkan Sri Sultan HB X telah membuat polemik
di lingkungan Keraton Yogyakarta. Para adik Sultan mengaku tak menerima sabda raja
tersebut dan mendesak Sultan mencabut sabda raja yang melenceng jauh dari aturan keraton.
Kondisi ini mendorong GKR Wandasari atau Gusti Mung dari Keraton Kasunanan Surakarta
Hadingrat angkat bicara agar keraton Yogyakarta tidak seperti Keraton Kasunan Surakarta
yang terus berkonflik dan tak kunjung selesai.
Atas sabda raja tersebut, Gusti Mung berharap bahwa keluarga besar Keraton Yogyakarta
yang kini tinggal berbagai daerah di Indonesia untuk berembug atas dikeluarkannya sabda
raja.
"Ya kumpulkan saja keluarga besar untuk berembug dan menyikapi sabda raja tersebut,"
katanya kepada wartawan di makam raja-raja Mataram di Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Rabu, 6 Mei 2015.
Berkaca pada Keraton Kasunan Surakarta maka Sinuhun di Plt karena tidak bisa lagi
menjalankan dan melindungi sentono dan abdi dalem menurut adat.
"Jadi harus begitu kalau tidak maka akan rusak semua," ucapnya.
Menurutnya jika tidak lagi bersedia menjalankan paugeran maka harus keluar dari
lingkungan adat sendiri sehingga jangan membuat aturan baru.
"Silahkan keluar dari adat dan membuat aturan sendiri, membuat keraton sendiri dan lain-
lainnya,"ucapnya.
Keraton Kasunan Surakarta sendiri merasa saki hati dengan sabda raja terkait poin keempat
sabda raja yang dikeluarkan pada tanggal 30 April 2015 yaitu mengubah perjanjian pendiri
Mataram, yakni Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pemanahan.
"Jangan mengubah keputusan yang telah dilakukan pendahulunya. Keraton Yogyakarta dan
Kasunanan Surakarta pemberian dari Mataram. Jika mengingkari itu maka jangan menyebut
dirinya trah Mataram," tuturnya.(dar)
Kompas Online
Kamis, 30 Januari 1997
________________________________________________________________
_
Nepotisme caleg
Di beberapa negara berkembang, rasa setia dan ikatan yang kuat adalah
pada suku dan keluarga. Di beberapa tempat malah hanya pada suku dan
keluarga. Peran dan kedudukan seseorang digariskan oleh keluarga, dan
keluargalah yang melindungi dan memberi rasa aman pada
anggota-anggotanya. Hal ini terlihat jelas pada masyarakat yang
terpencil dan hidup menyendiri, yang makin jarang ditemui dewasa ini.
Di luar keluarga sebagai titik pusat ini, rasa ikatan rakyat kepada
suku dan keluarga secara berangsur-angsur mulai menipis digantikan
kepada ikatan kepada negara dan bangsa.
Nepotisme -sistem bagi rezeki dan "kursi"- adalah fenomena yang paling
menonjol di lingkungan pemerintahan di banyak negara-negara sedang
berkembang. Para elite politik dengan cerdik, baik dengan nada tulus
campur pura-pura maupun terus terang, menjadikannya bahan olok-olok
dan gunjingan sesama mereka. Bagi yang merasa "jijik" dengan
nepotisme, melihat hal ini sebagai suatu kecurangan. Yang jelas,
nepotisme ataupun apa pun namanya, mempunyai pengaruh negatif pada
pembangunan politik di negara-negara berkembang. Penilaian yang
negatif atas nepotisme, mengundang cercaan orang yang tidak setuju
dengan perluasan nepotisme.
Dalam uraian ini -dalam konteks Pemilu 1997- akan saya titik beratkan
pada pertanyaan: mengapa timbul nepotisme dalam penyusunan calon
legislatif?
Dampak negatif
Nepotisme dan sistem bagi kursi di Parlemen diperkuat pula oleh partai
politik dan sekutu-sekutu mereka yang mewakili berbagai kepentingan.
Landasan dari inti Parpol itu mungkin pula berupa gabungan atau
persekutuan pemimpin tingkat lokal dan nasional berdasarkan
pertimbangan agama dan aliran. Apa pun corak susunan Parpol, nepotisme
sistem pembagian jatah kursi di DPR, merupakan pendorong Parpol
menjadi tidak mandiri untuk memilih calon-calonnya.
Nepotisme dan sistem bagi kursi di DPR berdasarkan teman dekat dan
keluarga yang tidak terkendalikan pada suatu saat akan kontra
produktif, karena akan menimbulkan reaksi menentang dalam Pemilihan
Umum. Oleh karena itu partai-partai yang berkuasa dalam sistem
kepartaian kompetitif yang doyan memakai sistem nepotisme dalam
penyusunan calon legislatif, harus mengekang nafsu nepotistiknya, jika
tidak ingin terlempar dari arena persaingan. Barangkali alternatif
lain adalah contoh yang diberikan oleh golongan militer, yang dapat
mengekang sistem nepotisme karena garis dan semangat korpsnya yang
jelas.
Komentar : 0
Antara
Keraton Surakarta
A+ | Reset | A-
REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Ini alasan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Poeger
menjabat cartaker Raja Sinuhun Paku Buwono (PB) XIII Hangabehi. "Saya diminta oleh
/sentana/ untuk mengambil-alih kewenangan Sinuhun. Jadi, bukan mengajukan diri," kata adik
kandung raja Keraton Kasunanan Surakarta, Sabtu (4/4/2015).
Polemik internal Keraton Kasunanan Surakarta mulai mengerucut. KGPH Puger, adik kandung
SISKS Paku Buwana (PB) XIII Hangabehi, ditetapkan sebagai Wakil Raja PB XIII Keraton
Kasunanan Surakarta, atau Kondhang.
Dalam maklumat sentana yang diterima KGPH Puger, disebutkan, alasan penetapan sebagai
cartaker, karena Sinuhun PB XIII mangkir dari tugas dan kewajiban sebagai raja tanpa ada
alasan yang jelas. Baik yang bersifat harian, maupun rutinitas adat Keraton Surakarta.
Yang kedua, PB XIII Hangabehi sendiri sudah tak bisa dihubungi dan dimintai petunjuk para
pejabat Keraton untuk menjalankan roda pemerintahan di Kasunanan. Hal itulah yang membuat
para sentana akhirnya sepakat untuk menunjuk KGPH Puger sebagai wakil raja.
"Lah, kalau begini terus kondisinya, harkat, martabat, kehormatan, dan kedaulatan adat Keraton
Surakarta mau dibawa kemana? Untuk itu, kami sepakat menunjuk Gusti Puger sebagai
Kondhana," kata KPH Bratadiningrat, wakil Pengageng Kasentanan Keraton Surakarta.
Berdasar aturan keraton dan kemampuan, Gusti Puger dianggap cakap dan punya kapasitas
untuk menjalankan tugas dan kewenangan PB XIII.
"Kami optimistis, beliau mampu membawa Keraton ke arah yang lebih baik," katanya.
(http://nasional.kompas.com/read/2008/10/20/00370921/nepotisme.ancam.demokratisasi)
Syamsuddin Haris
Fenomena nepotisme politik kembali menguat dalam era demokratisasi saat ini.
Para petinggi partai menempatkan anak, istri, keponakan, dan keluarganya pada
posisi-posisi strategis daftar calon anggota legislatif Pemilu 2009. Apa dampaknya
bagi reformasi yang masih berjalan di tempat?
Mungkin ruang tulisan ini terlalu sempit untuk memuat kembali daftar nama caleg
yang tak lain adalah keluarga dari pengurus kunci partai. Sekadar contoh, tiga orang
di antaranya adalah Edy Baskoro, putra Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat
Susilo Bambang Yudhoyono; Puan Maharani, putri Ketua Umum PDI Perjuangan
Megawati Soekarnoputri; dan Dave Laksono, putra Wakil Ketua Umum Partai
Golkar. Hampir semua partai menempatkan keluarga elite partai ini pada posisi
nomor urut teratas, menyisihkan para kader dan aktivis partai yang berkeringat
serta berjuang dari bawah.
Perlakuan istimewa petinggi partai atau pejabat terhadap keluarga sendiri ini hampir
seragam di semua tingkat dan dapat dicek kembali pada daftar caleg DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang diumumkan KPU. Ini tentu ironi politik di
tengah retorika membuncah para elite tentang urgensi pemberantasan korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN) dalam rangka mewujudkan Indonesia baru.
Nepotisme dan dinasti politik
Nepotisme politik secara sederhana dapat diartikan sebagai pemberian perlakuan
istimewa kepada keluarga sendiri dalam posisi kekuasaan politik tertentu, baik di
lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Nepotisme tak hanya menafikan
penjenjangan karier politik atas dasar prestasi, kapabilitas, dan rekam jejak dalam
proses rekrutmen politik, tetapi bersifat antidemokrasi. Karena itu, salah satu cita-
cita reformasi pasca-Soeharto yang terpenting adalah pemberantasan KKN yang
selama ini dianggap sebagai biang kebobrokan rezim Orde Baru.
Para pelaku nepotisme biasanya membela diri dengan menunjukkan fakta bahwa
fenomena serupa juga terjadi di negara lain. Di negeri kampiun demokrasi, seperti
Amerika Serikat, sering disebut klan John F Kennedy, George Bush, dan Bill Clinton
sebagai pelaku nepotisme. Di Asia acapkali dicontohkan keluarga Nehru yang
melahirkan Indira Gandhi serta anak dan menantu Gandhi yang terjun ke politik,
sementara di Pakistan ada keluarga Ali Bhutto yang melahirkan Benazir Bhutto dan
kini suami serta anaknya juga turut berkiprah dalam politik. Kecenderungan hampir
sama terjadi di Filipina, Thailand, Banglades, dan beberapa negara lain.
Namun, sebagian pembelaan itu jelas salah dan tidak tepat. Sekadar contoh, Ted
dan Bob Kennedy, Hillary Clinton, Gandhi beserta anak menantunya, begitu pula
Benazir yang tertembak, tidak berkiprah di politik semata-mata karena nepotisme.
Mereka tak sekadar memiliki reputasi, rekam jejak, dan kapabilitas, tetapi juga
sebagian memiliki latar belakang pendidikan bidang politik atau hukum yang
memadai. Jadi, kalaupun terbentuk dinasti politik atas dasar garis darah, citra
publik mereka cenderung positif.
Neopatrimonial
Sementara itu, yang berlangsung di Indonesia acapkali adalah kecenderungan para
elite politik berlaku aji mumpung. Artinya, mumpung sang bapak sedang berkuasa,
diwariskanlah kekuasaan serupa untuk anak, istri, atau anggota keluarga yang lain.
Akhirnya yang berkembang adalah format patrimonial dengan kutub ekstremnya:
negara patrimonial. Sebagaimana berlaku pada monarki tradisional, di negara
patrimonial kekuasaan, baik politik maupun ekonomi, diwariskan secara turun-
temurun di antara para keluarga ataupun kerabat istana.
Gejala menguatnya kembali nepotisme di balik proses pencalonan legislatif dewasa
ini mungkin belum separah negara patrimonial karena para caleg yang ditawarkan
itu akan dipilih melalui pemilu demokratis. Namun persoalannya, sistem pemilu atas
dasar nomor urut dan struktur sebagian besar partai yang masih oligarkis relatif
belum memberikan kesempatan bagi publik untuk memilih caleg atas dasar
kapabilitas, rekam jejak, dan kompetensi mereka. Format kepartaian dan perwakilan
politik yang berlaku pasca-Soeharto masih memberi ruang yang lebar berkibarnya
nepotisme politik.
Karena itu, jika budaya politik tradisional dan tidak sehat ini terus berlangsung dalam
politik nasional, maka tidak mustahil patrimonialisme baru dalam skala partai tumbuh
membesar dalam skala negara dan berujung pada ketidakpercayaan publik terhadap
proses demokrasi. Fenomena golput yang relatif tinggi dalam berbagai pilkada
provinsi dan kabupaten/kota bisa jadi merupakan pertanda mulai runtuhnya
kepercayaan publik terhadap segenap proses demokrasi itu.
Personalisasi kekuasaan
Salah satu dampak dari nepotisme politik dalam proses rekrutmen politik adalah
tidak kunjung melembaganya partai sebagai sebuah organisasi modern dan
demokratis. Nepotisme tak hanya menutup peluang para kader atau aktivis partai
yang benar-benar berjuang meniti karier politik dari bawah, tetapi juga menjadi
perangkap berkembang biaknya personalisasi kekuasaan dan kepemimpinan
oligarkis partai-partai.
Implikasi lain dari menguatnya nepotisme dalam rekrutmen politik adalah semakin
melembaganya praktik korupsi politik dalam arti luas. Apabila para elite terbiasa
mengambil hak politik para kader dan aktivis partai, yang menjadi korban berikutnya
adalah rakyat melalui korupsi berjemaah atas dana publik, seperti marak dalam
sejumlah kasus mutakhir.
Rezim Orde Baru sebenarnya memberi pelajaran amat berharga bagi bangsa ini
betapa berbahayanya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Namun ironisnya para
elite politik kita tak kunjung sadar akan hal itu. Semoga masih ada elite politik yang
tidak sekadar mengambil untuk diri dan keluarga, tetapi juga memberi bagi Tanah
Air tercinta.
Syamsuddin Haris Profesor Riset Ilmu Politik LIPI
Nepotisme Caleg
Ada sebuah pertanyaan yang penting kita simak, mengapa Pemerintah lebih senang
memerangi "korupsi" dari pada "kolusi" atau "nepotisme" ? Padahal, ke tiga kata itu, betul-betul
merupakan paduan yang sangat sulit untuk dipisahkan. Gambaran ini semakin diperjelas dengan
lahir nya Komisi Pemberantasan Korupsi. Arti nya, apakah yang nama nya Komisi
Pemberantasan Kolusi atau Komisi Pemberantasan Nepotisme tidak dibutuhkan ? Lantas,
mengapa Komisi yang dibentuk tidak sekalian menjadi Komisi Pemberantasan Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme ?
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan diatas, rasa nya bukan hal yang gampang untuk
dijawab. Hanya, kalau ada Undang Undang yang di dalam nya mengatur soal Nepotisme, boleh
jadi kita tidak akan menyaksikan di Daftar Calon Sementara (DCS)Pemilihan Umum Legislatif,
ada sekitar 15 orang "kerabat" Presiden Sby yang ikut tandang dalam Pemilu Legislatif 2014
mendatang, melalui kendaraan politik Partai Demokrat, yang Ketua Umum nya juga Presiden
Sby. Dalam rumor politik yang selama ini mengedepan, Partai Demokrat tak ubah nya seperti
mobil Panther. Para kerabat dapat masuk menjadi penumpang nya.
Ketika Orde Reformasi mampu "menumbangkan" Orde Baru, salah satu yang dijadikan
perjuangan nya adalah menghapuskan praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme dalam
satu panet. Ketetapan MPR saat itu, secara tersurat menegaskan tentang hal tersebut. Hal ini
tentu dapat dipahami. Korupsi sulit terjadi, sekira nya tidak ada kolusi. Nepotisme adalah alat
untuk memperlancar kolusi dan korupsi. Oleh karena itu, hampir di setiap kasus korupsi yang
disidik oleh aparat penegak hukum, sangat sulit untuk melepaskan diri dari makna kongkalikong
antara Penyelenggara Negara, Wakil Rakyat dan para Pengusaha.
Muncul nya 15 kerabat Presiden Sby dalam DCS Pemilu Legislatif 2014, memang tidak
melabrak perundang-undangan. Sikap politik Partai Demokrat yang demikian, tidak diharamkan
untuk digarap. Jangankan hanya 15 orang, mau 100 orang saja boleh-boleh saja "keluarga
besar" pemilik Partai Demokrat ini mejeng dan mengisi DCS nya. Justru yang jadi pertanyaan
orang-orang bagaimana dari sisi kepatutan nya ? Apakah dengan memasang para kerabat tidak
akan melancarkan proses politik dinasti, yang kini sudah bukan hal yang ditabukan lagi ? Apakah
hal tersebut telah dianggap sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja ? Bukan sesuatu yang luar
biasa ?
Fenomena yang dilakoni Partai Demokrat ini, juga tampak pula dari beberapa Partai Politik
lain yang lolos untuk ikut berlaga dalam Pemilihan Umum Legislatif tahun depan. Cuma masalah
nya apakah di Partai Politik lain terpantau lebih banyak dari 15 orang atau malah lebih sedikit
? Inilah sesungguh nya yang perlu diungkap lebih lanjut. Apakah di tubuh Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan tidak ada yang seperti Ibas ? Ah, rasa nya kita semua tahu siapa itu Puan
Maharani. Lalu, bagaimana dengan Partai Golongan Karya, Partai Gerindra, PKS, PAN, Hanura,
PPP, PKB, Nasdem, PKPI dan PBB : apakah jumlah "kekerabatan" caleg nya lebih banyak dari
Partai Demokrat atau tidak ?
Nepotisme percalegan yang mengenaskan pernah terjadi pada Pemilihan Umum Legislatif
2009 lalu. Kejadian ini boleh di bilang langka. Melalui Partai Politik yang sama, sebuah keluarga
mampu mengisi posisi Wakil Rakyat dalam tingkatan yang berbeda. Suami terpiliha menjadi
anggota DPR RI. Istri nya dipercaya menjadi Anggota DPRD Provinsi dan anak nya terpilih
menjadi Anggota DPRD Kabupaten. Arti nya, betapa semarak nya demokrasi yang kita anut,
walau dalam berbagai sisi ada juga ketidak-patutan nya. Nepotisme, sepakat harus disikapi.
Jangan biarkan nepotisme menjadi budaya politik yang melestari dalam kehidupan berbangsa,
bermegara dan bermasyarakat. Sebab, bila kita mampu mengatur nya dengan baik, dijamin
halal, bangsa ini tidak akan terus-terusan terjebak dalam "bobodoran politik".
Salam,
Nepotisme Politik
(http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/13/10/21/muzr71-nepotisme-politik)
Popularitas Gubernur Banten mengalahkan artis dalam berita. Berangkat dari penangkapan adik
kandung sang gubernur oleh KPK, dinasti politiknya mulai dikuak. Sejumlah sanak saudaranya,
adik, anak, bahkan suaminya memiliki kedudukan penting dalam pemerintahan, baik di Banten
ataupun di legislatif Jakarta. Publik pun menyorotinya sebagai bentuk nepotisme politik yang
dilakukan untuk mengokohkan dinasti keluarganya.
Bisa jadi politik sudah menjadi perusahaan tersendiri yang mampu menyediakan lapangan kerja
bagi orang dekatnya. Banyak parpol yang diisi oleh keluarga terdekat pendiri maupun elitenya.
Bahkan, posisi pentingnya diisi oleh orang yang memiliki hubungan dekat dengan ketua parpol.
Bisa jadi awalnya dimaksudkan untuk melatih manajerial dan kepemimpinan sang kerabat
dekatnya agar kelak dapat menerima estafet kepemimpinan di tubuh parpol tersebut. Dengan
penggemblengan yang berlanjut, takhta pun tidak jatuh ke tangan orang lain.
Kendati nepotisme di atas terjadi, namun sejumlah aturan yang ada tidak dilanggarnya karena
permainan nepotismenya disesuaikan dengan aturan yang berlaku. Gubernur Banten ataupun
nepotisme di sejumlah parpol pun bisa tidak melanggar aturan termasuk si istri meneruskan
takhta suaminya di sejumlah kabupaten/kota.
Bisa jadi, syarat yang ada membuka peluang terjadinya nepotisme tersebut. Dampaknya praktik
seperti itu terlindungi aturan sehingga tidak dapat dipersalahkan. Bisa jadi, penjenjangan
kebijakan seperti Gladden (1967) tuliskan tidak dijalankan oleh pemerintah sehingga kebijakan
politik langsung dijalankan, bukan diterjemahkan dalam bentuk kebijakan eksekutif ataupun
administratif.
Dari sisi yang berbeda, kebijakan politik tidak mampu mengakomodasi pandangan publik ketika
disusunnya. Dalam konteks tersebut, partisipasi seperti dimaksudkan UNDP tidak dapat berjalan
dengan sehat. Sejumlah RUU yang dipublikasikan dalam media massa atau blusukan ke
sejumlah institusi yang ada, tidak mendapat koreksi dari publik.
Mungkin saja publik memiliki pengalaman jika hasilnya akan tetap sama kendati koreksi dari
publik disampaikan keras dalam forum yang disediakan. Bila hal terakhir yang terjadi, maka
dapat dipastikan bahwa oknum eksekutif dengan legislatif yang menyusun UU memiliki
kepentingan yang ingin diperjuangkan dalam bentuk kebijakan tersebut.
Memperbaiki konteks di atas tidaklah mudah. Diperlukan courage seperti Moelyono (2004)
sebutkan. Bukan saja berani menegur bawahan yang sedang mengantuk atau ngobrol tatkala
ceramah pimpinan berlangsung, namun juga keberanian menegakkan visi dan values agar
nepotisme tidak melanda dirinya.
Hanya, membuat kebijakan yang bebas nepotisme serta menegakkannya, bukanlah perbuatan
mudah. Lingkungan terdekat bisa menjadi pengganggu yang paling kuat. Kast (1981)
menganggap lingkungan sosial dan kerja merupakan lingkungan yang bisa mendominasi para
pembuat keputusan sehingga melenceng dari tujuan mulianya.
Tidak heran jika nepotisme pun terjadi dalam politik karena kedua lingkungan di atas. Jika
ayah/ibunya ketua parpol atau petinggi pemerintahan, anak dan kerabatnya bisa terlibat di
dalamnya. Mungkin saja penguasa tidak menghendaki, namun tekanan lingkungan tersebut
dapat meluluhkan hatinya untuk berubah pikiran. Kondisi masyarakat yang tradisional dapat
dijadikan alasan untuk melibatkan keluarganya dalam politik. Tidak berlebihan dalam
ketradisionalan, anak-istri bisa mendapat dukungan masyarakat untuk menjadi penerusnya.
Memilih figur tertentu sering berdasarkan pertimbangan pemukanya, ketimbang pemikiran kritis
dirinya. Demikian halnya tatkala melihat figur yang dianggap familiar dengan dirinya, otomatis
dirinya akan merasa terwakili oleh figur tersebut tanpa mempertimbangkan kapasitas figur yang
tampil.
Dengan demikian, hubungan emosional pun tampak erat dalam masyarakat seperti itu. Tidak
heran jika selain gelar akademik yang dipajangkan, hubungan kekerabatan dengan sejumlah
elite terkenal pun dapat dijadikan media keberhasilan dalam karier politik seseorang.
Tidak heran jika ketradisionalan di atas menyebabkan pengabaian pada konsepsi demokrasi.
Jika konsepsi Ranny (1996) digunakan, maka popular sovereignity bisa menjadi bancakan
karena masyarakat terima beres atas apa yang diperjuangkan anggota legislatif ataupun
penguasa. Dengan kondisi ini abuse of power bisa berpotensi terjadi.
Tidak heran jika popular consultation pun hampir jarang dijalankan karena kehadirannya di
tengah masyarakat lebih mengedepankan succes story memperjuangkan kepentingan publik.
Bila kondisi seperti itu bertahan, maka untuk menjadi elite publik ataupun wakil rakyat, tidaklah
diperlukan kapasitas, kapabilitas, serta personality jempolan seperti ditulis Sulistyani (2008).
Mengekang nepotisme tersebut menuntut pencerdasan kehidupan rakyat seperti pesan UUD
1945 sangatlah penting. Lembaga pendidikan sebagai pilar intelektual jangan terseret kepada
praktik sesat seperti penyelewengan dana BOS atau DAK pendidikan. Bila hal ini terjadi, maka
pencerdasan dan pembentukan moral yang baik bisa semakin jauh dari harapan.
Demikian halnya dengan sejumlah oknum ustaz yang memihak kepada yang berani membayar,
bisa jadi kesesatan sedang berkembang pula. Oleh sebab itu, membersihkan dunia pendidikan
dari praktik sesat perlu lebih gencar dilakukan agar pendidikan anak bangsa lebih maju dan
menghasilkan manusia Indonesia yang cerdas intelektual, emosional, serta spiritualnya. Bila hal
seperti ini bisa diwujudkan, nepotisme politik pun dapat diakhiri. Semoga.
Sri Sultan HB X bersama dengan GKR Hemas duduk lesehan, memberikan audiensi dan penjelasan isi dari Sabda
Raja di ndalem Wironegaran, Suryomentaraman, Panembahan, Yogyakarta, 8 Mei 2015. Sabda Raja dan Dawuh Raja
bukanlah keinginan pribadi. Dirinya hanya melaksanakan dawuh Allah lewat leluhur Keraton. TEMPO/Pius Erlangga.
Menurut Margana, dasar Sultan mengeluarkan Sabda Raja memiliki legitimasi terkuat
dalam tradisi politik Kraton Jawa, yakni wahyu Tuhan lewat bisikan leluhur. "Setiap
keputusan besar raja berdasarkan pada wahyu, sulit dibantah karena logikanya berbeda
dengan politik modern," kata Margana pada Minggu, 10 Mei 2015.
Pernyataan Sultan di Sabda Raja I dan Sabda Raja II juga tidak bisa ditarik lagi. Sebab,
menurut Margana, apabila ditarik kembali bisa mengingkari prinsip Sabda Pandita Ratu.
"Kalau ditarik berarti Sultan melanggar perintah leluhurnya sendiri," kata dia.
Karena itu, Margana melanjutkan, polemik mengenai isi Sabda Raja I dan Sabda Raja II
di internal Kraton Yogyakarta bergantung pada penerimaan sebagian adik-adik Sultan
terhadap penjelasan dari sabda itu. Polemik berlanjut ketika sebagian adik-adik Sultan
tetap menolak Sabda Raja meskipun dasarnya merupakan sumber legitimasi terkuat di
politik tradisional Jawa. "Semoga saja Kraton Yogyakarta kembali damai," kata dia.
Salah satu isi Sabda Raja I yang selama ini dipermasalahkan oleh sebagian adik-adik
Sultan adalah soal penggantian gelar Raja Kraton Yogyakarta. Gelar itu ialah Ngarsa
Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang
Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senapati Ing Ngalaga Langgeng Ing Bawono
Langgeng, Langgeng Ing Toto Panoto Gomo.
Sabda Raja I menghapus gelar lama Sultan yang selama ini tercatat dalam Undang-
Undang Keistimewaan DIY. Nama gelar itu ialah Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem
Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga
Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa
Ing Ngayogyakarta Hadiningrat.
Adapun Sabda Raja II berisi tentang pemberian gelar baru kepada putri pertama Sultan
Gusti Kanjeng Ratu Pembayun. Pembayun menerima gelar GKR Mangkubumi
Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng Ing Mataram. Karena menerima gelar itu,
Pembayun diperintahkan untuk duduk di atas Watu Gilang atau berarti dia dipilih
sebagai calon pengganti Sultan.
Tapi, menurut Margana, status Pembayun sebagai Putri Mahkota belum pasti
menjadikannya Raja Kraton Yogyakarta. Alasannya, menurut Margana, tradisi suksesi
Kraton Jawa, Raja harus mendapatkan wahyu keprabon atau perintah leluhur agar
menjadi pemimpin kerajaan. "Dia juga harus menerima wahyu dulu untuk jadi ratu," ujar
Margana.
Margana mencatat di masa Sultan Hamengku Buwono VII pernah ada empat kali
penunjukan putra mahkota. Sebabnya, tiga putra mahkota terus meninggal mendadak.
Satu orang sakit-sakitan dan dua lainnya diduga diracun. "Dulu zaman kolonial, polemik
suksesi lebih sengit karena kekuatan politik eksternal ingin mengatur kraton," kata dia.
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/05/11/058665164/sultan-tak-bisa-batalkan-
sabda-raja-ini-sebabnya
ADDI MAWAHIBUN IDHOM
Arief Setiadi
Rabu, 6 Mei 2015 20:52 WIB
Anak dan menantu Sri Sultan HB X saat ziarah ke Imogiri, Rabu (6/5/2015). (Novan
Jemmy Andrea/KORAN SINDO)
A+ A-
Raja Keraton Solo Pakubuwana XIII Hangabehi melalui pengacaranya Fery Firman
Nurwahyu, menilai Sultan Hamengku Buwono X atau Sultan Hamengku Bawono X
bisa menyelesaikan masalah yang mendera saat ini.
Sehingga, dalam kondisi ini pihak Keraton Surakarta tidak akan mencampuri
masalah pengangkatan GKR Pembayun menjadi putri mahkota. Pihaknya hanya
bisa mendoakan agar polemik yang terjadi tersebut bisa diselesaikan dalam waktu
dekat ini. (Baca: GKR Pembayun Dinobatkan sebagai Putri Mahkota?).
Pihaknya juga menyebutkan, jika ada kerabat atau abdi dalem Keraton Surakarta
ikut campur dalam permasalahan itu, dipastikan hal itu di luar perintah sang raja.
Sebab, raja tidak menyuruh abdi dalem untuk berkomentar terkait kisruh Keraton
Ngayogyakarta.
"Tadi Gusti Moeng datang ke Jogja dan berkomentar macam-macam, itu kami nilai
tidak pas, lha dirinya saja hanya abdi dalem kok ikut campur urusan orang lain dan
mengatasnamakan Keraton Solo."
Diberitakan sebelumnya, pihak Keraton Surakarta melalui Putri Kesultanan
Surakarta XII Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Wandansari, mengaku tersinggung dengan
apa yang dilakukan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X. Langkah Sri Sultan HB X
menghilangkan sebutan Hamengku Buwono dan Khalifatulloh dinilai merusak
tatanan leluhur mereka, yaitu Kerajaan Mataram. (Baca: Putri Keraton Surakarta
Tersinggung Ulah Sultan HB X).
source: http://daerah.sindonews.com/read/998196/22/keraton-surakarta-tak-ingin-
campuri-polemik-keraton-ngayogyakarta-1430920343