KERATOSIS OBTURANS
Disusun Oleh:
Chelsea Beauty Frabes
(2017-84-045)
Pembimbing:
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas kasih dan
rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan pembuatan Referat pada bagian ilmu kesehatan THT-
Laporan kasus ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik pada bagian
ilmu kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura Ambon tahun 2017. Penulis
menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun selalu penulis harapkan, dan semoga referat ini dapat bermanfaat untuk kita semua.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih atas segala pihak yang telah membantu
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR. i
DAFTAR ISI.. ii
BAB I PENDAHULUAN.. 1
A. Telinga ...................... 2
a. Aurikula/pinna ........................... 3
a. Definisi ........................ 5
b. Derajat Keparahan 6
c. Epidemiologi ......... 6
d. Patogenesis ............ 6
f. Diagnosis .................................. 7
g. Diagnosis Diferensial .. 8
h. Tatalaksa ........................ 9
DAFTAR PUSTAKA..................... 11
ii
BAB I
PENDAHULUAN
dan memperbesar gelombang suara (fungsi pendengaran) serta pergerakan keseimbangan (fungsi
vestibular). Secara anatomis, telinga terbagi menjadi 3 regio yaitu telinga luar, tengah dan dalam.
Telinga luar terdiri atas aurikula dan meatus akustikus eksterna (MAE). Pada MAE terdapat pars
kartilaginosa dan pars osseus. Karena struktur kedua bagian ini yang berbeda, penyakit pada
Sejak abad ke-19, keratosis obturans dan kolesteatoma MAE dianggap sebagai varian
penyakit yang sama, sampai pada tahun 1980 Piepergerdes, et al mengklasifikasikan menjadi
khususnya pars osseus yang jarang terjadi. Jumlah kejadian kasus keratosis obturans
diperkirakan terjadi pada sekitar 4-5 kasus dari 1000 kasus baru di bidang spesialisasi THT.
Keratosis obturans dapat bersifat asimptomatis, namun pasien biasanya datang dengan keluhan
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TELINGA
Telinga merupakan organ berpasangan yang berfungsi untuk menangkap, mentransmisi dan
vestibular).1
a. Telinga luar, berfungsi untuk mengumpulkan gelombang suara yang bersumber dari udara
b. Telinga tengah, berfungsi untuk menghantarkan getaran suara ke jendela oval dan dalam
c. Telinga dalam, merupakan rumah bagi reseptor yang berbeda yaitu koklea yang
mengandung reseptor untuk mengubah gelombang suara menadi impuls saraf (fungsi
2
B. ANATOMI TELINGA LUAR
Daun telinga berbentuk seperti corong, berfungsi untuk mengumpulkan suara berfrekuensi
terutama yang berasal dari arah antero-lateral ke dalam liang telinga. Bentuk ini juga
berfungsi agar dapat membedakan sumber suara yang berasal dari belakang dan depan.
Sebagian besar terbentuk oleh tulang rawan elastik dan dibungkus oleh kulit, adakalanya
terdapat rambut. Pada bagian lobulus nampak lebih gemuk dan tidak megandung tulang
rawan.1,6,7
Kebanyakan mamalia dapat menggerakan telinga ke arah datangnya suara, daun telinga
memang memiliki otot intrinsik dan ekstrinsik namun tidak berfungsi secara signifikasn
pada manusia. Permukaan daun telinga bagian dalam yang cekung terdiri atas tonjolan dan
1. Heliks
2. Krus antiheliks
3. Fosa triangular
4. Fosa skapoid
5. Simbal konka
6. Antiheliks
7. Krus heliks
8. Kavum konka
9. Tragus
10. Antitragus
11. Incisura intretragika
12. Lobulus
3
b. Meatus akustikus eksternus (MAE/liang telinga)
Liang telinga membentang dari bibir depan konka hingga mebran timpani, panjangnya
kira-kira 2,5 cm dan bentuknya yang khas seperti huruf S dimana awalnya ke arah
medial atas, kebelakang, kemudian ujungnya ke bawah. Bila menggunakan otoskop, daun
telinga biasanya harus ditarik ke arah postero-lateral untuk dapat melihat bagian tulang
Sepertiga bagian luar adalah pars kartilaginosa (tulang rawan) yang lebih lebar dan dua
pertiga dalam adalah pars osseus (tulang keras). Hanya pars kartilaginosa saja yang dapat
bergerak karena pars osseus merupakan bagian dari tulang temporal dan berhubungan
4
Seluruh permukaan liang telinga dilapisi kulit yang lapisan epitelnya akan berlanjut
menjadi lapisan epitel terluar membran timpani. Lapisan kulit pada pars osseus lebih tipis
( 0,2mm) serta tidak terdapat kelenjar maupun folikel rambut pada bagian subkutaneus.
Karena lapisanya yang tipis, pars osseus mudah mengalami trauma, misalnya saat
melakukan pengangkatan serumen. Selain itu, akan timbul nyeri yang cukup hebat bila
terdapat gangguan pada pars osseus. Pars kartilaginosa lebih tebal ( 0,5-1mm) dengan 4
lapis epidermis dan selapis subkutaneus. Lapisan ini mengandung kelenjar sebasea,
berfungsi untuk mencegah masuknya debu atau benda asing ke dalam telinga. Serumen
juga mencegah kerusakan pada lapisan kulit MAE oleh air dan serangga. Serumen
biasanya akan mengering dan jatuh ke liang telinga, namun pada beberapa orang
aliran suara. Bagian yang tersempit dari liang telinga adalah dekat perbatasan antara pars
C. KERATOSIS OBTURANS
a. Definisi
membentuk sumbatan berwarna putih seperti mutiara pada pars osseus (sepertiga luar)
5
b. Derajat keparahan
Terdapat 4 derajat keratosis obturans berdasarkan gejala dan perluasan tulang, yaitu:11
1. Derajat 1. Nyeri ringan, sumbatan telinga dengan adanya akumulasi keratin yang
2. Derajat 2. Nyeri sedang sampai berat, tuli konduktif, adanya akumulasi keratin yang
dibungkus oleh matriks dengan sedikit pelebaran liang telinga luar pars osseus karena
3. Derajat 3. Nyeri sedang sampai berat, tuli konduktif, adanya akumulasi keratin yang
dibungkus oleh matriks dengan sedikit pelebaran liang telinga luar pars osseus. Selain
itu terdapat jaringan granulasi pada pertemuan pars katilaginosa dan osseus.
4. Derajat 4. Adanya akumulasi keratin yang dibungkus oleh matriks (derajat 3), pajanan
c. Epidemiologi
Frekuensi keratosis obturans diperkirakan terjadi pada sekitar 4-5 kasus dari 1000 kasus
baru di bidang spesialisasi THT.12 Pada 40% kasus, gejalanya muncul pada kedua telinga
(bilateral).13 Keratosis obturans dan kolestetoma pada telinga luar (MAE) terjadi pada 0,1
- 0,5% pasien dengan gangguan telinga.11 Lebih sering terjadi pada pasien usia muda dan
d. Patogenesis
Sejak abad ke-19, keratosis obturans dan kolesteatoma MAE dianggap sebagai varian
6
menjadi kesatuan yang berbeda. Keratosis obturans selalu berhubungan dengan adanya
pelebaran liang telinga pada pars osseus. Etiologi dan patogenesis dari keratosis obturans
belum diketahui secara pasti, namun beberapa teori mengatakan terbentuknya keratosis
obturans diakibatkan oleh eczema, dermatitis seboroik dan bronkiektasis yang dapat
bilateral, namun pada penelitian tidak menunjukan adanya kondisi sistemik pada kasus
keratosis obturans.3 Selain itu, meningkatnya laju proses deskuamasi epitel dan kegagalam
migrasi sel epitel skuamosa yang biasanya berawal dari permukaan membran timpani dan
e. Manifestasi klinis
Keratosis obturans dapat bersifat asimptomatis, namun pasien biasanya datang dengan
keluhan seperti pada kasus serumen yaitu rasa penuh di telinga.3 Nyeri akut pada telinga
dan penurunan pendengaran (biasanya terjadi tuli konduktif), biasanya bilateral (kedua
f. Diagnosis
Secara makroskopik dapat terlihat sumbatan keratin besar berwarna putih seperti mutiara
di liang telinga. Selain itu terdapat pelebaran liang pars osseus yang menyeluruh akibat
7
Secara mikroskopis dengan pemeriksaan histopatologis, terlihat tumpukan keratin dengan
hiperplasia epitel skuamosa dan peradangan pada stroma. Tidak terdapat destruksi tulang
kebanyakan dengan pelebaran liang telinga pars osseus secara menyeluruh, terkadang
Gambar. Hasil CT scan menunjukan perbedaan diameter antara MAE kanan dan kiri12
g. Diagnosis diferensial
Kolesteatoma MAE menunjukan gejala dan tanda yang menyerupai keratosis obturans.
Perbedaannya yaitu, pada kolesteatoma MAE terdapat otore yang signifikan, nyeri tumpul
kronik karena invasi jaringan skuamosa kedalam periostitis pada area dinding liang telinga
8
h. Tatalaksana
memperlihatkan hiperemis difus pada liang telinga, juga dapat menimbulkan perdarahan
Pembersihan lesi telinga secara teratur dengan follow up jangka panjang berhasil pada
sebagia besar kasus keratosis obturans.2 Untuk keratosis obturans yang sering berulang,
9
BAB III
PENUTUP
membentuk sumbatan berwarna putih seperti mutiara pada pars osseus (sepertiga luar) meatus
Etiologi dan patogenesis dari keratosis obturans belum diketahui secara pasti.
Meningkatnya laju proses deskuamasi epitel dan kegagalam migrasi sel epitel skuamosa yang
biasanya berawal dari permukaan membran timpani dan permukaan liang telinga di dekatnya
Keratosis obturans dapat bersifat asimptomatis, namun pasien biasanya datang dengan
keluhan seperti pada kasus serumen yaitu rasa penuh di telinga. Nyeri akut pada telinga dan
penurunan pendengaran (biasanya terjadi tuli konduktif), biasanya bilateral (kedua telinga).
terkadang memerlukan anastesi umum. Pembersihan lesi telinga secara teratur dengan follow up
jangka panjang berhasil pada sebagia besar kasus keratosis obturans. Untuk keratosis obturans
10
DAFTAR PUSTAKA
1. Porth CM. Pathophysiology; concepts of altered health states. 7th ed. Lippincott Williams &
Wilkins. 2004
2. Park SY, Jung YH, Oh JH. Clinical characteristics of keratosis obturans and external auditory
3. Sharma RC. Is keratosis obturans a predisposing factor for external auditory canal
4. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of anatomy & physiology. 13th ed. John Wiley & Sons,
Inc. 2012
5. Sherwood L. Human physiology, from cells to system. 7th ed. Yolanda Cossio. 2010
6. Ellis H. Clinical anatomy, applied anatomy for students and junior doctors.11th ed.
Blackwell. 2006
7. Csillag A. Atlas of the sensory organs, functional and clinical anatomy. Humana Press. 2005
8. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies buku ajar penyakit THT. Edisi 6. 1997
9. Beatrice F, Bucolo S, Cavallo R. Earwax, clinical practice. Journal of the Italian society of
10. Snow BJ, Ballenger JJ. Ballengers otorhinolaryngology head and neck surgery. 16th ed.
2003
11. Cong AW, Raman R. Keratosis obturans: a disease of the tropics?. Indian J Otolaryngol
12. Al-Juboori AN. Keratosis obturans: a rare cause of facial nerve palsy. Austin Journal of
Otolaryngology. Vol.2(4).2015
13. Cardesa A, Slootweg PJ, Gale N, Franchi A. Phatology of the head and neck. 2nd ed. 2016
11