Referat Obsgyn Perdarahan Post Partum
Referat Obsgyn Perdarahan Post Partum
A. DEFINISI
Secara tradisional, perdarahan postpartum didefenisikan sebagai
kehilangan darah 500 mL atau lebih darah setelah selesainya kala 3 persalinan.1
Definisi lain dari perdarahan postpartum yaitu: a) perdarahan massif diperkirakan
sebanyak 500 mL setelah persalinan per vagina dan 1000 mL setelah kelahiran
dengan Caesar;b) perubahan hematokrit sebanyak 10% antara saat masuk dan
periode postpartum; c) perdarahan massif yang menimbulkan gejala dan
membutuhkan tranfusi eritrosit.2,3 Perdarahan mungkin terjadi sebelum lahir,
selama, atau setelah lahirnya plasenta. Perdarahan postpartum menggambarkan
suatu peristiwa, bukan diagnosis dan bila dijumpai, etiologinya harus ditentukan.1
Untuk mengetahui dan mendiagnosis perdarahan postpartum maka pada
pemeriksaan laboratorium terjadi perubahan hematokrit, dibutuhkannya tranfusi,
dan kehilangan darah yang cepat, dan perubahan tanda vital.2
B. EPIDEMIOLOGI
Perdarahan postpartum diseluruh dunia diperkirakan 6-11%. Data
bervariasi berdasarkan sumber dan metode penilaian dari berbagai negara dengan
prevalensi 10,6% bila diukur dengan penilaian yang obyektif dari kehilangan
darah dan 7,2% bila dinilai dengan teknik yang subyektif. Sebuah tinjauan
sistematis memperkirakan prevalensi perdarahan postpartum dengan kehilangan
darah 500 ml atau lebih sebesar 10,5% di Afrika, sebanyak 8,9% di Amerika
Latin dan Karibia, sebanyak 6,3% di Amerika Utara dan Eropa, dan 2,6% di
Asia. Perkiraan dalam tinjauan sistematis lain yang sebanyak lebih tinggi dengan
variasi regional yang sama yaitu: 26% di Afrika, sebanyak 13% di Amerika Utara
dan Eropa, dan sebanyak 8% di Amerika Latin dan Asia. Prevalensi perdarahan
postpartum dengan kehilangan darah 1000 mL atau lebih rendah pada kedua
review sistematis tersebut dengan perkiraan keseluruhan 1,9-2,8%. Meskipun
prevalensi perdarahan postpartum lebih rendah pada negara maju dibandingkan
negara-negara berkembang, beberapa penelitian telah mencatat peningkatan
perdarahan postpartum pada beberapa region. Menurut data dari Amerika Serikat.
Prevalensi perdarahan postpartum naik dari 2,3% pada tahun 1994 menjadi 2,9%
pada tahun 2006.3 Perdarahan merupakan penyebab terbanyak ketiga mortalitas
maternal di Amerika serikat dan secara langsung bertanggung jawab terhadap
kira-kira 1-7 dari kematian maternal.1 Faktor yang mendasari kenaikan tetap
tidak diketahui, namun studi yang menyelidiki perubahan usia ibu, obesitas, cara
kelahiran, grand multipara, partus lama dan kelainan plasenta diantara faktor
risiko yang ditemukan diduga tidak diperhitungkan dalam kenaikan angka
perdarahan postpartum.3
C. KLASIFIKASI
Berdasarkan onset perdarahan, perdarahan postpartum diklasifikasikan
menjadi perdarahan postpartum dini dan lanjut sebagai berikut:1,2,3
a. Perdarahan postpartum primer (early postpartum hemorrhage) yang terjadi
dalam 24 jam setelah anak lahir.
b. Perdarahan postpartum sekunder (late postpartum hemorrhage) yang terjadi
antara 24 jam sampai 12 minggu setelah anak lahir.
Diagnosis banding dari perdarahan postpartum antara lain:4
Perdarahan postpartum primer (early postpartum hemorrhage)
- Atonia uterus
- Laserasi traktus genitalis
- Koagulapati
- Retensi fragmen plasenta, plasenta akreta, inkreta dan perkreta
- Inversi uteri
Perdarahan postpartum sekunder (late postpartum hemorrhage)
- Retensi fragmen plasenta
- Subinvolusi tempat plasenta
- Endometritis
- Koagulapati
D. ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI
Penyebab perdarahan postpartum meliputi atonia uterus, laserasi traktus
genitalis, jaringan plasenta yang tertahan, dan gangguan koagulasi.5
Faktor predisposisi perdarahan postpartum adalah:1,6
Atonia uterus:
- Distensi uterus berlebihan (janin besar, janin gemeli, Hidramnion,
distensi dengan bekuan).
- Persalinan karena induksi oksitosin
- Anestesia atau analgesia (agen anestetik berhalogen, analgesia
konduksi dengan hipotensi)
- Miometrium yang kelelahan (persalinan cepat, persalinan
berkepanjangan, stimulasi oksitosin atau prostaglandin,
korioamnionitis)
- Perembesan darah yang berlebihan dalam miometrium (uterus
Couvelaire)
- Multiparitas
- Koriamnionitis
- Leiomioma uteri
- Riwayat atonia uterus
Sisa plasenta (kotiledon atau selaput ketuban tersisa, plasenta susenteriata,
plasenta akreta, inkreta, dan prekreta)
Trauma saat bersalin atau melahirkan
- Episiotomy
- Pelahiran pervgaina dengan penyulit
- Pelahiran menggunakan forsep rendah atau midforseps
- Bedah Caesar atau histerektomi
- Rupture uterus (risiko ditingkatkan oleh; uterus yang telah memiliki
jaringan parut, paritas tinggi, hiperstimulasi, persalinan terhambat,
manipulasi intrauterus, rotasi midforseps)
Gangguan koagulasi
- Jarang terjadi tetapi memperburuk keadaan diatas, misalnya pada
kasus trombofilia, sindroma HELLP, preeklampsia, solusio plasenta,
kematian janin dalam kandungan dan emboli air ketuban.
Faktor lain
- Obesitas`
- Riwayat perdarahan postpartum sebelumnya
E. KARAKTERISTIK KLINIS
Perdarahan postpartum dapat dimulai sebelum atau sesudah terlepasnya
plasenta. Biasanya yang terjadi bukanlah perdarahan massif mendadak melainkan
perdarahan yang konstan. Pada setiap titik tertentu perdarahan tampaknya hanya
moderat, tetapi dapat terus terjadi hingga timbul hipovolemia berat. Khususnya
pada perdarahan setelah pelahiran plasenta, perembesan darah yang konstan dapat
menyebabkan kehilangan darah dalam jumlah banyak. Efek perdarahan
bergantung hingga derajat tertentu, pada volume darah saat tidak hamil dan
besarnya hipervolemia yang diinduksi kehamilan. Gambaran perdarahan
postpartum yang menyesatkan adalah kegagalan denyut nadi dan tekanan darah
untuk mengalami perubahan yang drastis (hanya terjadi perubahan sedang) hingga
telah terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar. Perempuan yang awalnya
normotensif bahkan dapat menjadi hipertensif sebagai respon terhadap
perdarahan. Lebih lanjut perempuan yang sebelumnya hipertensif dapat dianggap
sebagai normotensif walaupun sebenarnya berada dalam keadaan hipovolemia
berat. Dengan demikian hipovolemia dapat tidak dikenali hingga telah sangat
lanjut.1
Perempuan dengan preeklamsia berat atau eklamsia tidak mengalami
perubahan volume darah yang normalnya terjadi. Zeeman dkk., (2009) mencatat
peningkatan rerata volume darah melebihi volume saat tidak hamil hanya terjadi
pada 10% diantara 29 perempuan eklamptik saat melahirkan. Jadi perempuan-
perempuan ini sangat sensitive terhadap, atau bahkan tidak dapat mentoleransi,
kehilangan volume darah yang dianggap normal. Jika dicurigai adanya perdarahan
berlebihan pada perempuan dengan preeklamsia berat, upaya-upaya harus segera
dilakukan untuk mengidentifikasi temuan klinis dan laboratories yang akan
mendorong pemberian kristaloid dan darah secepat mungkin untuk meresusitasi
hipovolemia.pada beberapa perempuan, setelah melahirkan, darah mungkin tidak
keluar per vagina, tetapi mengumpul dalam kavitas uteri, yang dapat melebar
akibat terkumpulnya 1000 mL atau lebih darah.1
F. DIAGNOSIS
Dengan beberapa pengecualian, seperti akumulasi darah intrauterus dan
intravagina yang tidak diketahui atau rupture uterus dengan perdarahan
intraperitoneal, diagnosis perdarahan postpartum harusnya sudah jelas. Perbedaan
perdarahan akibat atonia uterus dan perdarahan dari laserasi traktus genitalis
secara tentative ditentukan oleh faktor risiko, predisposisi dan kondisi uterus. Jika
perdarahan berlanjut meskipun uterus keras dan berkontraksi baik, penyebab
perdarahan kemungkinan besar adalah laserasi. Darah berwarna merah terang juga
mendukung dugaan darah berasal dari arteri, akibat laserasi. Untuk memastikan
laserasi sebagai penyebab perdarahan, inspeksi cermat pada vagina-serviks dan
uterus penting dilakukan.1
Kadang-kadang perdarahan dapat disebabkan baik oleh atonia maupun
trauma, khususnya setelah pelahiran dengan tindakan operatif mayor. Jika mudah
dilakukan, khususnya setelah pelahiran dengan tindakan operatif mayor. Jika
mudah dilakukan, misalnya dengan analgesia konduksi, inspeksi serviks dan
vagina harus dilakukan setelah setiap pelahiran untuk mengidentifikasi perdarahan
akibat laserasi. Palpasi kavitas uteri serta inspeksi serviks dan seluruh vagina
penting dilakukan setelah versi podalik dalam dan bokong.1
1. ATONIA UTERUS
Definisi
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang
menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat
implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir.6
Atonia uteri merupakan penyebab umum perdarahan postpartum (50%
kasus).5 Meskipun faktor risiko diktetahui dengan baik, kemampuan untuk
mengidentifikasi perempuan mana yang akan mengalami atonia masih terbatas.6
Patofisiologi
Mendekati aterm, diperkirakan setidaknya 600 mL/ menit darah mengalir
melalui ruang intervilus. Aliran ini dibawah oleh arteri spiralis yang rata-rata
berjumlah 120 dan vena penyertanya. Dengan terlepasnya plasenta, pembuluh-
pembuluh ini akan terputus. Hemostatis pada lokasi implantasi plasenta pertama
kali dicapai dengan kontraksi miometrium yang menekan sejumlah banyak
pembuluh darah yang berukuran relative besar. Hal ini diikuti dengan pembekuan
darah dan obliterasi lumen pembuluh darah. Jadi potongan plasenta atau bekuan
darah besar yang melekat dan mencegah kontraksi efektif miometrium dapat
mengganggu hemostatis pada lokasi implantasi plasenta. Dengan demikian, jelas
bahwa perdarahan postpartum yang fatal dapat terjadi akibat atonia uterus
meskipun sistem pembekuan darah normal. Sebaliknya, jika miometrium didalam
dan disebelah area implantasi yang telah terbuka berkontraksi kuat, kecil
kemungkinannya terjadi perdarahan fatal dari lokasi implantasi plasenta, bahkan
dalam kondisi sangat terganggunya sistem koagulasi sekalipun.1
Diagnosis
Diagnosis ditegakan bila setelah bayi lahir dan plasenta lahir ternyata
perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan
fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lemah dam
konsistensi yang lunak atau disebut boggy, serviks biasanya membuka. Perlu
diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga
masih ada darah sebanyak 500-1.000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah,
tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi
pemberian darah pengganti.6,8
Diagnosis biasanya tidak sulit, terutama bila timbul perdarahan banyak
dalam waktu pendek. Tetapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama, tanpa
disadari penderita telah kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat. nadi
dan pernafasan menjadi cepat, dan tekanan darah menurun. Diagnosis perdarahan
pasca persalinan.
1. Palpasi uterus: bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri.
2. Memeriksa plasenta dan ketuban apakah lengkap atau tidak.
3. Lakukan eksplorasi cavum uteri untuk mencari: Sisa plasenta atau selaput
ketuban, Robekan rahim, Plasenta suksenturiata.
4. Inspekulo: untuk melihat robekan pada serviks, vagina, dan varises yang
pecah.
5. Pemeriksaan Laboratorium periksa darah yaitu Hb, COT (Clot Observation
Test), dll.
Tatalaksana
Sekali atonia uterus terdiagnosis, manajemen dapat dikategorikan menjadi
medikal, manipulatif, dan pembedahan. Banyaknya darah yang hilang akan
memperngaruhi keadaan umum pasien. Pasien bisa masih dalam keadaan sadar,
sedikit anemis atau sampai syok berat hipovolemik. Tindakan pertama yang
dilakukan tergantung pada keadaan kliniknya. Tatalaksananya sebagai berikut:1,6,9
- Lakukan penilaian klinik
Pada umumnya dilakukan secara simultan (bila pasien syok) dengan
memposisikan pasien sikap trendelenburg, memasang venous line, dapat
memberikan oksigen.
- Sementara dilakukan pemasangan infus dan pemberian uterotonika,
merangsang kontraksi uterus dengan melakukan masase uterus dan
merangsang putting susu, segera setelah plasenta lahir, melakukan masase
pada fundus uteri dengan menggosok fundus secara sirkuler menggunakan
bagian palmar 4 jari tangan kiri hingga kontraksi uterus baik (fundus teraba
keras).
- Derivat oksitosin
Pada sebagian besar unit, setelah plasenta lahir, diberikan oksitosin
intravena atau intramuskular. Satu ampul 1 mL yang mengandung 10 unit
Infus yang biasa digunakan mengandung 10 atau 20 unit dicampur dalam
1000 ml larutan ringer laktat. Secara intramuskular diberikan 10 unit. Waktu
paruh oksitosin yang diinduskan secara intravena sekitar 3 menit. Menurut
penelitian yang dilakukan oksitosin dapat menyebabkan perubahan
hemodiamik berupa penurunan tekanan darah, dengan demikian, oksitosin
tidak boleh diberikan secara intravena sebagai bolus besar.
Derivat ergot
Jika oksitosin tidak efektif untuk memulihkan atonia uterus, biasanya
diberikan 0,2 mg methylergonovine IM. Obat ini dapat merangsang uterus
untuk berkontraksi adekuat untuk mengendalikan perdarahan. Penting
diingat jika turunan ergot diberikan secara intravena dapat menyebabkan
hipertensi yang berbahaya, khususnya pada perempuan yang mengalami
preeklamsia. Pada kasus perdarahan postpartum, injeksi langsung ke dalam
uterus, baik secara transvaginal atau transabdominal, setelah pelahiran
pervagina atau pelahiran cesar terbukti lebih efektif.
Analog prostaglandin
Turunan 15-metil prostaglandin F2-carboprost tromethamine telah disetujui
sejak pertengahan abad 1980-an untuk tatalaksana atonia uterus. Dosis awal
yang dianjurkan adalah 250 ug (0,25 mg), diberikan secara intramuskular.
Dosis ini diulangi jika perlu dengan interval 15 hingga 90 menit, maksimum
delapan dosis. Pemberian carboprost dapat menimbulkan diare, hipertensi,
muntah, demam, flushing, dan takikardi.
Pemberian per rectal prostaglandin E2 20 mg suppositoria sudah digunakan
untuk mengatasi atonia uterus, tapi belum ada penelitian klinikal trial.
Misoprostol juga telah diteliti untuk profilaksis perdarahan postpartum.
Dalam suatu penilitian acak, Derman dkk., (2006) membandingkan
misoprostol dalam dosis oral 600 ug dengan plasebo yang diberikan saat
pelahiran. Perdarahan postpartum menurun secara signifikan dari12 menjadi
6 persen, dan perdarahan hebat menurun dari 1,2 menjadi 0,2 persen bila
diberikan misoprostol. Namun berdasarkan penelitian mereka terhadap 325
perempuan, Gerstenfeld dan Wing (2001) menyimpulkan bahwa 400ug
misoprostol yang diberikan per rektal tidak lebih efektif dibandingkan
oksitosin intravena dalam mencegah perdarahan postpartum. Selain itu,
dalam ulasan sistematis mereka, Villar dkk., (2002) melaporkan bahwa
sediaan oksitosin dan ergot yang diberikan saat persalinan kala III lebih
efektif dibandingkan misoprostol dalam mencegah perdarahan pascapartum.
- Pastikan plasenta lahir lengkap (bila ada indikasi sebagian plasenta masih
tertinggal, lakukan evakuasi sisa plasenta) dan tak ada laserasi jalan lahir
- Jika perdarahan masih terus berlangsung dan semua tindakan diatas telah
dilakukan maka mulai tindakan spesifik yaitu:
- Kompresi bimanual uterus internal dan atau eksternal, prosedur
sederhana yang dapat mengendalikan sebgian besar perdarahan uterus.
Teknik ini terdiri atas pemijatan sisi posterior uterus dengan tangan yang
diletakan pada abdomen dan pemijatan dinding anterior uterus melalui
vagina dengan tangan yang lain dikepalkan.
Teknik kompresi bimanual internal
Masukan tangan secara obstetrik ke dalam lumen vagina, ubah menjadi
kepalan dan letakkan dataran punggung jari telunjuk hingga kelingking
pada forniks anterior dan dorong segmen bawah uterus ke kranio-
anterior
Upayakan tangan luar mencakup bagian belakang korpus uteri sebanyak
mungkin
Lakukan kompresi uterus dengan mendekatkan telapak tangan luar dan
kepalan tangan dalam.
Tetap berikan tekanan sampai perdarahan berhenti dan uterus
berkontraksi.
Gambar 4. Kompresi bimanual uterus diantara kepalan tangan dalam
fornix anterior dan tangan yang diletakan diatas abdomen yang juga
digunakan untuk pemijatan uterus. Tindakan ini biasanya dapat
mengendalikan perdarahan akibat atonia uterus.
Pencegahan
Robekan luas atap vagina harus dieksplorasi secara cermat. Jika ada
kemungkinan terdapatnya perforasi peritoneum atau perdarahan retroperitoneal
atau intraperitoneal, laparatomi harus dipertimbangkan. Pada kerusakan seberat
ini, eksplorasi intrauterus untuk mencari kemungkinan ruptur juga diindikasikan.
Biasanya diperlukan koreksi bedah, dan harus dipastikan adanya analgesia atau
anastesia yang efektif, penggantian darah secara agresif, dan penolong yang
adekuat.1
Robekan serviks yang berukuran hingga 2 cm harus dianggap sebagai hal
yang tidak dapat dihindari pada pelahiran. Robekan seperti ini sembuh dengan
cepat dan jarang menyebabkan komplikasi. Saat menyembuh mereka
menyebabkan perubahan yang signifikan pada bentuk bundar ostium uteri
internum, dan sirkular sebelum bersalin menjadi bentuk yang agak melebar
setelah melahirkan. Akibat robekan semacam ini mungkin terjadi eversi sehingga
epitel endoserviks penghasil mucus terpajan.1
Kadang-kadang labium anterius serviks yang edema terjepit selama
persalinan dan tertekan diantara kepala janin dan simfisis pubis ibu. Jika iskemia
berat, labium tersebut dapat mengalami nekrosis dan memisah. Terkadang seluruh
portio vaginalis serviks dapat teravulsi dan bagian serviks sisanya disebut pemisah
anular atau sirkular serviks.1
Diagnosis: robekan serviks yang dalam harus selalu dicurigai pada
perempuan yang mengalami perdarahan hebat selama dan setelah kala III
persalinan, khususnya jika uterus berkontraksi kuat. Diperlukan pemeriksaan yang
menyeluruh dan serviks yang lunak sering menyebabkan hasil pemeriksaan
dengan jari tidak memuaskan. Jadi luas cedera hanya dapat diketahui dengan baik
setelah pemajanan dan inspeksi adekuat serviks. Visualisasi terbaik dicapai
dengan cara berikut: asisten menekan uterus kebawah dengan kuat, sementara
operator melakukan traksi pada labia serviks menggunakan forceps cincin.
Dengan mempertimbangkan frekuensi terjadinya robekan pada pelahiran per
vagina dengan bantuan alat serviks harus diinspeksi rutin pada akhir kala III
setelah semua pelahiran sulit, bahkan jika tidak ditemukan perdarahan.1
3. INVERSI UTERUS
Kegawatdaruratan pada kala III yang dapat menimbulkan perdarahan
adalah terjadinya inversi uterus. Inversi uterus adalah keadaan dimana lapisan
dalam uterus (endometrium) turun dan keluar lewat ostium uteri eksternum, yang
dapat bersifat inkomplit sampai komplit.6
Etiologi
Inversi uterus pascapelahiran janin hampir selalu disebabkan oleh tarikan
kuat terhadap tali pusat yang melekat ke plasenta yang berimplantasi di fundus.
Inverse uterus inkomplet juga dapat terjadi. Hal lain yang juga berperan dalam
terjadinya inverse uterus adalah tali pusat yang kokoh dan tidak mudah terputus
dari plasenta, dikombinasikan dengan tekanan pada fundus dan uterus yang
berelaksasi, termasuk segmen bawah uterus dan serviks uteri. Plasenta akreta juga
dapat berperan, meskipun inverse uterus dapat terjadi tanpa keterlekatan kuat
plasenta.1
Diagnosis
Proses kala III didahului dengan tahap pelepasan/ separasi plasenta akan
ditandai oleh perdarahan pervaginam (cara pelepasan Duncan) atau plasenta sudah
sebagian lepas tetapi tidak keluar pervaginam (cara pelepasan Schultze), sampai
akhirnya tahap ekspulsi, plasenta lahir. Pada retensio plasenta sepanjang plasenta
belum terlepas, maka tidak akan menimbulkan perdarahan. Sebagian placenta
yang sudah lepas dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak (perdarahan
kala III) dan harus diantispasi dengan segera melakukan placenta manual,
meskipun kala uri belum lewat setengah jam. Sisa plasenta bisa diduga bila kala
uri tidak berlangsung dengan lancar, atau setelah melakukan plasenta manual atau
menemukan adanya kotiledon yang tidak lengkap pada saat melakukan
pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan dari ostium uteri eksternum pada
saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit. Untuk itu,
harus dilakukan eksplorasi kedalam rahim dengan cara manual.6
Pemeriksaan penunjang lain yang dilakukan untuk diagnosis plasenta
inkreta dengan pemeriksaan ultrasonografi tampak berkurangnya darerah
sonolusen yang normalnya terlihat pada tempat implantasi. Pemeriksaan dopler
membantu dalam menegakan diagnosis. MRI juga dapat digunakan untuk
mengetahui plasenta akreta. Diagnosis umumnya dibuat ketika tidak ada potongan
yang ditemukan pada plasenta pad aperdarahan postpartum. Adanya retensi
plasenta menghambat miometrium untuk berkontraksi dan mencapai hemostasis.
Perdarahan akan terjadi. Inspeksi seluruh bagian plasenta terdapat bagian yang
hilang, dan manual plasenta terdapat fragmen plasenta yang tertahan.
Tatalaksana
Pelepasan manual plasenta
Analgesia yang adekuat merupakan keharusan, teknik bedah aseptic harus
digunakan. Setelah menggenggam fundus uteri melalui dinding abdomen
menggunakan satu tangan, tangan yang lain dimasukan dalam vagina dan
dimasukan ke dalam uterus, mengikuti tali pusat. Segera setelah mencapai
plasenta, cari tepi plasenta dan dinding uterus. Kemudian dalam posisi punggung
tangan berkontak dengan uterus, plasenta dilepaskan dari perlekatannya ke uterus
dengan gerakan seperti membalik halaman buku. Setelah terlepas seluruhnya
plasenta digenggam dengan seluruh tangan, kemudian ditarik keluar perlahan-
lahan. Ketuban dilepaskan pada saat yang sama dengan cara ditarik secara hati-
hati dari desidua, gunakan forceps cincin untuk memegang ketuban jika perlu.
Metode lain adalah dengan gerakan menyapu kavitas uteri menggunakan spon
laparatomi.1
Gambar 16 pengeluaran plasenta manual dilakukan
dengan menyapukan jari sis ke sisi sambil bergerak maju
(A) hingga plasenta terlepas, digenggam, dan dikeluarkan
(B)
5. GANGGUAN KOAGULASI
Dalam periode postpartum kelainan pada sistem koagulasi dan pembekuan
tidak selalu terjadi pada perdarahan yang banyak, hal ini ditekankan efikasi dari
kontraksi dan retraksi untuk mencegah perdarahan. Endapan fibrin pada tempat
plasenta, bekuan darah dan suply pembuluh darah memegang peranan penting
pada jam-jam dan hari-hari setelah persalinan dimana kelainan pada area ini dapat
mencetuskan perdarahan pascasalin sekunder atau eksaserbasi perdarahan karena
penyebab lainnya dimana yang paling sering trauma.12
Gejala-gejala kelainan pembekuan darah bisa berupa penyakit keturunan
ataupun didapat. Kelainan pembekuan darah bisa berupa :12
Hipofibrinogenemia, dapat menyebabkan peningkatan koagulasi
intravaskular.
Disseminated Intravascular Coagulation / Consumptive Coagulopathy
Trombositopenia
Idiopathic Thrombocytopenic Purpura
HELLP syndrome (Hemolysis, Elevated Liver Enzymes, and Low Platelet
Count )
Dilutional coagulopathy bisa terjadi pada transfusi darah lebih dari 8 unit
karena darah donor biasanya tidak fresh sehingga komponen fibrin dan
trombosit sudah rusak.
Diagnosis
Diagnsosis koagulapati harus ditegakan jika pasien dengan perdarahan
persisten vagina tanpa tanda adanya atoni uteri, laserasi traktus genitalis atau
tertahannya jaringan plasenta.4
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium harus meliputi fibrinogen, protombin time,
partial thromboplastin time, hitung platelet, fibrin split product, dan tes retraksi
bekuan.4Awalnya level fibrinogen akan turun dengan cepat walaupun hitung
platelet dan tes fungsi koagulais normal. Fibrinogen <100 mg/dL
mengkonfirmasi diagnosis. Hitung platelet dan tes koagulasi lain akhirnya akan
menjadi abnormal.4
Tatalaksana
Tatalaksana meliputi pemberian produk darah untuk memperbaiki
abnormalitas pembekuan.4
- Fresh frozen plasma (FFP)atau kriopresipitat digunakan jika konsentrasi
fibrinogen <100mg /dl
- Platelete concentrate digunakan untuk hitung platelet <50.000/mm3 dan
waktu perdarahan >8 menit.
KOMPLIKASI
Sekali perdarahan postpartum didiagnosis maka penilaian terhadap pasien
harus dilakukan berhubungan dengan kehilangan darah, terapi atau keduanya.
Penting untuk menyelidiki adanya komplikasi pada sistem organ. Komplikasi
tersebut meliputi hopoperfusi ke otak, jantung ginjal, infeksi, koagulapati
persisten, acute lung injury yang disebabkan oleh tranfusi massif, dan nekrosis
pituitary.8 Sindrom seehan: Perdarahan banyak kadang-kadang diikuti oleh
kegagalan pituitary (hipofisis), yaitu: kegagalan laktasi, amenore, atrofi payudara,
rontok rambut pubis dan aksila, superinvolusi uterus, hipotiroidi dan insufisiensi
korteks adrenal. Pathogenesis sindrom ini belum dipahami benar, dan kelainan
endokrin seperti ini jarang timbul, bahkan pada perempuan yang mengalami
perdarahan berat.1
PROGNOSIS
Wanita dengan pascapersalinan seharusnya tidak meninggal akibat
perdarahannya, sekalipun mengatasinya perlu dilakukan histerektomi.1,6
PENCEGAHAN6
Pada saat proses persalinan, semua kehamilan mempunyai risiko untuk
terjadinya patologi persalinan, salah satunya adalah perdarahan pascapersalinan.
Antisipasi terhadap hal tersebut dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Persiapan sebelum hamil untuk memperbaiki keadaan umun dan mengatasi
setiap penyakit kronis, anemia, dan lain-lain sehingga pada saat hamil dan
persalinan pasien tersebut ada dalam keadaan optimal
2. Mengenal faktor predisposisi PPP seperti multiparitas, anak besar, hamil
kembar. Hidraminon, bekas seksio, ada riwayat PPP sebelumnya dan
kehamilan risiko tinggi lainnya yang risikonya akan muncul saat persalinan
3. Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan partus lama
4. Kehamilan risiko tinggi agar melahirkan di fasilitas rumah sakit rujukan
5. Kehamilan risiko rendah agar melahirkan di tenaga kesehatan terlatih untuk
menghindari persalinan dukun
6. Menguasai langkah-langkah pertolongan pertama menghadapi PPP dan
mengadakan rujukan sebagaimana mestinya.