Anda di halaman 1dari 12

BAB V

LEARNING OBJECT

1. Mahasiswa mengetahui tentang penyakit leptospirosis, dari definisi sampai


prognosis
2. Mahasiswa mengetahui tentang penyakit demam berdarah, dari definisi
sampai prognosis
3. Mahasiswa mengetahui tentang penyakit malaria, dari definisi sampai
prognosis
4. Mahasiswa mengetahui tentang penyakit cikungunya, dari definisi sampai
prognosis
5. Mahasiswa mengetahui tentang penyakit demam tifoid, dari definisi sampai
prognosis
6. Mahasiswa mengetahui tentang penyakit hepatitis, dari definisi sampai
prognosis
7. Mahasiswa mengetahui penyakit-penyakit akibat dari infeksi bakteri
BAB VII
BERBAGI INFO

7.1 Leptospirosis
7.2 Demam Berdarah
7.3 Malaria
7.4 Cikungunya

1. Definisi
Demam chikungunya merupakan penyakit yang disebabkan oleh

arbovirus yang ditransmisikan oleh nyamuk Aedes. Penyakit ini pertama

kali tercatat dalam bentuk wabah di nama chikungunya ini sebenarnya

berasal dari dialek makonde yang berarti yang membungkuk, yang

mengindikasikan gambaran fisik dari pasien dengan penyakit yang berat

(Sumarno, 2008).

2. Etiologi

Demam chikungunya disebabkan oleh virus chikungunya (CHIKV),

yang disebut juga Buggy Creek virus. Virus ini termasuk dalam genus

Alphavirus dari famili Togaviridae. Selain virus chikungunya,terdapat

juga anggota Alphavirus lainnya yang dapat menyebabkan demam,

ruam, dan artralgia, seperti virus Onyong-nyong, Mayaro, Barmah

Forest, Ross River, dan Sindbis. Virus dapat menyerang manusia dan

hewan. Virus ini berpindah dari satu penderita ke penderita lain melalui

gigitan nyamuk, terutama dari genus Aedes, seperti Aedes aegypti.

Nyamuk Aedes aegypti (yang juga menularkan demam dengue dan

demam kuning) merupakan vektor utama untuk demam chikungunya.


Virus yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti ini akan berkembang

biak di dalam tubuh manusia (Eppy, 2008).

3. Patogenesis

Otot rangka merupakan tempat utama replikasi virus. Pada tikus

didapatkan adanya miositis, serta perdarahan saluran cerna dan subkutan.

Isolasi virus chikungunya kebanyakan diperoleh dari kasus-kasus berat

dengan manifestasi perdarahan dan kelainan otot yang umumnya pada

penderita dewasa. Pada manusia, virus chikungunya sudah dapat

menimbulkan penyakit dalam 2 hari sesudah gigitan nyamuk. Penderita

mengalami viremia yang tinggi dalam 2 hari pertama sakit. Viremia

berkurang pada hari ke-3 atau ke-4 demam, dan biasanya menghilang

pada hari ke-5. Silent infection dapat terjadi, akan tetapi bagaimana hal

itu bisa terjadi belum dapat dimengerti. Antibodi yang timbul dari

penyakit ini membuat penderita kebal terhadap serangan virus

selanjutnya. Oleh karena itu perlu waktu panjang bagi penyakit ini untuk

merebak kembali. Infeksi akut ditandai dengan timbulnya IgM terhadap

IgG antichikungunya yang diproduksi sekitar 2 minggu sesudah infeksi

(Sumarno, 2008).

4. Gambaran klinis

Virus Chikungunya menyebabkan demam pada sebagian besar

penderita dengan periode inkubasi 2 4 hari sejak gigitan nyamuk.

Viremia ini menetap selama 5 hari sejak onset klinis. Gambaran klinis

yang umum adalah demam (92%) biasanya juga disertai dengan

Arthralgia (87%), nyeri punggung (67%) dan sakit kepala (62%).


Demam ini bervariasi mulai dari demam ringan sampai berat, yang

menghilang dalam 24 sampai 48 jam. Demam ini biasanya terjadi

mendadak sampai 39-40oC, dengan menggigil dan kekakuan dan

biasanya menghilang dengan pemberian antipiretik (Sam, 2006).

5. Pemeriksaan laboratorium

Tes laboratorium yang umum digunakan untuk mengetahui

chikungunya adalah RT-PCR, isolasi virus, dan tes serologis (Sam,

2006).

Isolasi virus tes laboratorium yang paling akurat tetapi

membutuhkan waktu 1-2 minggu.

RT-PCR hasil dapat diterima dalam 1-2 hari

Tes serologis dibutuhkan darah dalam volume yang lebih banyak

dbandingkan metode yang lain. Menggunakan cara ELISA untuk

mengukur IgM Chikungunya. Hasil diperoleh setelah 2-3 hari. Dan

false positif dapat ditemukan dengan infeksi virus seperti

O'nyong'nyong virus dan Semliki Forest Virus.

6. Diagnosa
Diagnosis demam chikungunya ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Dari anamnesis

ditemukan keluhan demam, nyeri sendi, nyeri otot, sakit kepala, rasa

lemah, mual, muntah, fotofobia serta daerah tempat tinggal penderita

yang berisiko terkena demam chikungunya. Pada pemeriksaan fisik

dapat ditemukan adanya ruam makulopapuler, limfadenopati servikal,


dan injeksi konjungtiva. Pada pemeriksaan hitung lekosit, beberapa

pasien mengalami lekopenia dengan limfositosis relatif. Jumlah

trombosit dapat menurun sedang. Laju endap darah akan meningkat. C-

reactive protein positif pada kasus-kasus akut (Sumarno, 2008).

7. Pengobatan
Demam Chikungunya termasuk self limiting disease atau

penyakit yang sembuh dengan sendirinya. Tak ada vaksin maupun obat

khusus untuk penyakit ini. Pengobatan yang diberikan hanyalah terapi

simptomatis atau menghilangkan gejala penyakitnya, seperti obat

penghilang rasa sakit atau demam seperti golongan parasetamol (Eppy,

2008).

8. Prognosis

Prognosis penderita demam chikungunya cukup baik sebab penyakit

ini tidak menimbulkan kematian. Belum ada penelitian yang secara jelas

memperlihatkan bahwa demam chikungunya dapat secara langsung

menyebabkan kematian. Karena infeksi virus chikungunya baik klinis

ataupun silent akan memberikan imunitas seumur hidup, maka penyakit

ini sulit menyerang penderita yang sama. Tubuh penderita akan

membentuk antibodi yang akan membuatnya kebal terhadap serangan

virus ini di kemudian hari (Sam, 2006).


7.5 Demam Tifoid

1. Definisi
Demam tifoid (tifus abdominalis, enteric fever) adalah penyakit

infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala

demam yang lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran pencernaan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran (Aru, 2006).

2. Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi), basil

gram negatif, berflagel, dan tidak berspora. S. typhi memiliki 3 macam

antigen yaitu antigen O (somatik berupa kompleks polisakarida), antigen

H (flagel), dan antigen Vi. Dalam serum penderita demam tifoid akan

terbentuk antibodi terhadap ketiga macam antigen tersebut (Aru, 2006)

3. Patogenesis
Infeksi S.typhi terjadi pada saluran pencernaan. Basil diserap di

usus halus kemudian melalui pembuluh limfe masuk ke peredaran darah

sampai di organ-organ terutama hati dan limpa. Basil yang tidak

dihancurkan berkembang biak dalam hati dan limpa sehingga organ-

organ tersebut akan membesar disertai nyeri pada perabaan. Kemudian

basil masuk kembali ke dalam darah (bakteremia) dan menyebar ke

seluruh tubuh terutama ke dalam kelenjar limfoid usus halus,

menimbulkan tukak pada mukosa diatas plaque peyeri. Tukak tersebut

dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Gejala demam

disebabkan oleh endotoksin yang dieksresikan oleh basil S.typhi


sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada

usus (Aru, 2006).

4. Gejala Klinis
Masa inkubasi demam tifoid 10-14 hari, rata rata 2 minggu.

Gejala timbul tiba tiba atau berangsur angsur. Penderita Demam tifoid

merasa cepat lelah, malaise, anoreksia, sakit kepala, rasa tak enak di perut

dan nyeri seluruh tubuh. Minggu ! : demam (suhu berkisar 39-400C),

nyeri kepala, pusing, nteri otot, anoreksia, mual muntah, konstipasi,

diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epiktasis. Minggu 2 :

demam, bradikardi, lidah khas berwarna putih, hepatomegali,

splenomegali, gangguan kesadaran. Demam pada Demam tifoid

umumnya berangsur angsur naik selama minggu pertama, demam

terutama pada sore hari dan malam hari (bersifat febris reminent). Pada

minggu kedua dan ketiga demam terus menerus tinggi (febris kontinua).

Kemudian turun secara lisis. Demam ini tidak hilang dengan pemberian

antipiretik, tidak ada menggigil dan tidak berkeringat. Kadang kadang

disertai epiktasis. Gangguan gastrointestinal : bibir kering dan pecah

pecah, lidah kotor, berselaput putih dan pinggirnya hiperemis. Perut agak

kembung dan mungkin nyeri tekan. Limpa membesar dan lunak dan

nyeri pada penekanan. Pada permulaan penyakit umumnya terjadi diare,

kemudian menjadi obstipasi (Widodo, 2008).

5. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium meliputi pemeriksaan hematologi,

urinalis, kimia klinik, imunoserologi, mikrobiologi, dan biologi


molekular. Pemeriksaan ini ditujukan untuk membantu menegakkan

diagnosis (adakalanya bahkan menjadi penentu diagnosis), menetapkan

prognosis, memantau perjalanan penyakit dan hasil pengobatan serta

timbulnya penyulit (Hoffman, 2010).

1. Hematologi

Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi

penyulit perdarahan usus atau perforasi.

Hitung leukosit sering rendah (leukopenia), tetapi dapat pula

normal atau tinggi.

Hitung jenis leukosit: sering neutropenia dengan limfositosis

relatif.

LED ( Laju Endap Darah ) : Meningkat

Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia).

2. Urinalis

Protein: bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam)

Leukosit dan eritrosit normal; bila meningkat kemungkinan

terjadi penyulit.

3. Kimia Klinik

Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran

peradangan sampai hepatitis Akut.

4. Imunologi (Widal)

Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi

(didalam darah) terhadap antigen kuman Samonella typhi.


6. Diagnosis
Diagnosis pasti ditegakkan dengan cara menguji sampel feses atau

darah untuk mendeteksi adanya bakteri Salmonella spp dalam darah

penderita, dengan membiakkan darah pada 14 hari pertama setelah

terinfeksi. Gambaran darah juga dapat membantu menentukan diagnosis.

Jika terdapat leukopeni polimorfonuklear dengan limfositosis yang

relatif pada hari kesepuluh dari demam, maka arah demam tifoid menjadi

jelas. Sebaliknya jika terjadi lekositosis polimorfonuklear, maka berarti

terdapat infeksi sekunder bakteri di dalam lesi usus. Peningkatan yang

cepat dari lekositosis polimorfonuklear ini mengharuskan kita waspada

akan terjadinya perforasi dari usus penderita. Tidak selalu mudah

mendiagnosis karena gejala yang ditimbulkan oleh penyakit itu tidak

selalu khas seperti di atas. Bisa ditemukan gejala- gejala yang tidak khas.

Ada orang yang setelah terpapar dengan kuman S.typhi, hanya

mengalami demam sedikit kemudian sembuh tanpa diberi obat. Hal itu

bisa terjadi karena tidak semua penderita yang secara tidak sengaja

menelan kuman ini langsung menjadi sakit. Tergantung banyaknya

jumlah kuman dan tingkat kekebalan seseorang dan daya tahannya,

termasuk apakah sudah imun atau kebal. Bila jumlah kuman hanya

sedikit yang masuk ke saluran cerna, bisa saja langsung dimatikan oleh

sistem pelindung tubuh manusia. Namun demikian, penyakit ini tidak

bisa dianggap enteng, misalnya nanti juga sembuh sendiri (Widodo,

2008)
7. Penatalaksanaan
Management atau penatalaksanaan secara umu yang baik serta

asupan gizi yang baik merupakan aspek penting dalam pengobatan

demam tifoid selain pemberian antibiotik. Sampai saat ini masih dianut

trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu (Widodo, 2008) :

1. Istirahat dan Perawatan

Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk

mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya

di tempat tidur akan membantu dan mempercepat masa

penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan

tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai.

2. Managemen Nutrisi

Penderita penyakit demam Tifoid selama menjalani

perawatan haruslah mengikuti petunjuk diet yang dianjurkan oleh

dokter untuk di konsumsi, antara lain :

a. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein.

b. Tidak mengandung banyak serat.

c. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.

d. Makanan lunak diberikan selama istirahat.

e. Makanan dengan rendah serat dan rendah sisa bertujuan untuk

memberikan

3. Managemen Medik :

Pengobatan simtomatik diberikan untuk menekan gejala-

gejala simtomatik yang dijumpai seperti demam, diare, sembelit,


mual, muntah, dan meteorismus. Sembelit bila lebih dari 3 hari perlu

dibantu dengan paraffin atau lavase dengan glistering. Pengobatan

suportif dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan penderita,

misalnya pemberian cairan, elektrolit, bila terjadi gangguan

keseimbangan cairan, vitamin, dan mineral yang dibutuhkan oleh

tubuh dan kortikosteroid untuk mempercepat penurunan demam.

8. Prognosis

Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia,

keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi.

Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan

hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan

morbiditas dan mortalitas yang tinggi dapat terjadi karena keterlambatan

diagnosis, perawatan, dan pengobatan (Hoffman, 2010).

7.6 Hepatitis
7.7 Penyakit Akibat Infeksi Malaria
DAFTAR PUSTAKA

1. Sumarno S et all, 2008 : Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis hal 226-
223
2. Sam, MRCPath, S AbuBakar, PhD, 2006 : Chikungunya Virus Infection
dari Med J Malaysia Vol 61 No 2
3. Eppy, 2008. Demam chikungunya dari Jurnal Kedokteran Medicinus
edisi April-Juni, hal. 22., Jakarta
4. Aru W. 2006. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi I. Jilid II.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: 1774.
5. Widodo D. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid III.
Jakarta : Interna Publishing. 2009:2797-2800.
6. Hoffman SL. 2010. Typhoid Fever. Dalam : Strickland GT, Ed. Hunters
Textbook of Pediatrics, edisi 7. Philadelphia : WB Saunders :344-358.

Anda mungkin juga menyukai