Tak lama setelah lengsernya Soeharto, MPR hasil pemilu 1997 menciptakan preseden baru dalam
Sidang Istimewa MPR 1998, yang diminta atas kesepakatan Presiden BJ Habibie dan Ketua DPR/
MPR Haji Harmoko: Pertama, mengubah pasal 7 UUD 1945. Kedua, mengaktifkan kontrol MPR
terhadap Presiden dalam Sidang Tahunan. Ketiga, mempercepat pemilu. Ketika MPR hasil pemilu
1999 bersidang, MPR baru memulai pemerintahan baru: memilih Presiden, menetapkan GBHN,
mengubah UUD 1945 dan Tap MPR Tatib MPR.
Sidang Tahunan berakibat tumpang tindihnya fungsi DPR dan fungsi MPR, khususnya, dalam
pengawasan Presiden, dan perubahan UUD merancukan sistim pemerintahan. Kerancuan itu
menghambat berfungsinya pemerintahan demokratis secara normal, menyeret publik politik dan
media kedalam wacana konstitusi yang semu. Kekaburan wacana konstitusi menjadi arena manuver
para politisi menghambat konsolidasi pemerintahan dan mengakibatkan tersendatnya "proses
reformasi." Konstelasi politik di DPR merembes ke MPR, mengakibatkan demokrasi terancam
menjadi oligarki.
Kontroversi Semu
Kontroversi semu tampak pada gejala falsifikasi di bidang hukum dan politik. Falsifikasi politik
tampak pada tiga gejala: Pertama, perangkapan jabatan Ketua MPR, DPR dan Wapres dengan
jabatan puncak ketua partai politik yang diaktifkan. Kedua, terjadinya kesenjangan antara
kepentingan masyarakat dan pertarungan elite politik di Jakarta. Ketiga, tidak adanya pemisahan
institusional dari sistim perwakilan tingkat Nasional dan Daerah-daerah, karena semua partai
bertarung pada semua level pemilihan. Fasilifikasi hukum tampak pada tiga gejala: Pertama,
kontroversi mengenai perubahan UUD yang dilakukan MPR. Kedua, falsifikasi dalam skema "SI
diantara dua ST atau dua SU." Ketiga, kontroversi mengenai sistim pemerintahan.
Dibalik tegangan antara DPR dan Presiden, duduk soalnya ialah cara memecahkan problem
reformasi warisan Orde Baru. Dibalik kontrovesi mengenai sistim Presidensiil duduknya soalnya ialah
cara MPR mempraktekkan UUD. Falsifikasi terjadi dalam dua cara: Pertama, kolusi antara fraksi
DPR dan fraksi MPR. Kedua, manipulasi proses hukum kedalam proses politik. Keduanya kita
saksikan dalam dua proses: Pertama, ketika DPR meminta MPR mengadakan SI melalui
Memorandum yang kontroversial. Kedua, ketika MPR melakukan "perubahan pertama UUD 1945,"
yakni pengubahan pasal 7 UUD.
Menurut Prof. Soematri, sisitim pemerintahan dalam UUD 1945 bukan Presidensiil, karena MPR
bukan badan warganegara sebagai pemegang hak pemilih. Dalam sistim Presidensiil, umumnya
Presiden dipilih secara langsung, masa jabatan bersifat tetap [fix term]. Dalam UUD 1945, Presiden
dipilih oleh MPR. Falsifikasi argumen menolak sistim Presidensiil, tampak pada fakta bahwa UUD
1945 tidak mencantumkan hak pilih warganegara, bukan hanya untuk memilih Presiden, tapi juga
dalam memilih anggota DPR. Pembentukan DPR melalui pemilihan atas dasar konstitusi yang
memuathak pilih warganegara, hanya terjadi dalam UUD Sementara 1950. Setelah UUD 1945
diberlakukan kembali oleh Presiden dengan Dekrit 1959, dan DPR hasil Pemilu 1955 dibubarkan
tahun 1961, DPR Sementara atau DPRGR dibentuk Presiden dengan cara penunjukan.
Jika MPR melakukan kesalahan, kesalahan itu sangat besar, sebanding dengan kekuasaannya.
Meski UUD 1945 tidak lengkap, ada kekosongan hukum, namun MPR tidak boleh mengisi
kekosongan hukum itu dengan membuat aturan di luar sistim konstitusinya. UU pemilu 1971 hingga
1999 dibentuk atas dasar Tap MPRS dan Tap MPR, bukan ketentuan UUD mengenai hak pilih
warganegara. MPR tidak memasukkan pasal mengenai dasar hukum pemilu kedalam UUD 1945,
karena memperlakukan konstitusi sebagai tacit concent, dengan cara itu memonopoli
penggunaannya.
Rasionalitas sebagai aspek substansi dari hukum menjadi kabur. Konstitusi yang memiliki tujuannya
sendiri, yakni rasionalitas, ketika tergantung oleh MPR menjadi terbuka dimanipulasi. Hal itu terjadi
ketika MPRS membentuk Tap MPR sebagai perundangan, dengan cara "menendang keatas" UUD
1945. Falsifikasi direproduksi dari Tap MPR kedalam status perundangan dari Keppres Soeharto,
sehingga kekuasan MPR menelan UUD 1945. Falsifikasi konstitusi mendorong falsifikasi politik,
keduanya bersimbiose selama 32 tahun. Tertelannya konstitusi itu tampak pada fenomen KKN.
"Orde Baru, status perundangan Tap MPR dan KKN" adalah setali tiga uang.
Dengan itu Tap MPR merupakan perundangan yang diciptakan MPR, dengan cara menjadikan MPR
sebagai hakim. Penyatuan "UUD 1945 beserta Penjelasannya" sebagai kesatuan tafsir MPR atas
UUD 1945, digunakan untuk menciptakan "tertib hukum" Orde Baru. Pandangan ini berbeda dari
UUD 1945 yang dibuat PPKI, yang mengenal dua katagori kuasa legislatif, beserta relasi
competence-competence: Pertama, MPR memegang kuasa konstitusi [pouvoir constitue] dengan
kompetensi legislatifnya dalam pembuatan UUD [high law atau constitution]. Kedua, DPR dan
Presiden memegang kuasa legislatif [pouvoir legislatif] dengan kompetensi legislatifnya dalam
pembuatan UU. Hirarki perundangan MPRS menjadi berbeda dari hirarki UUD 1945, karena Tap
MPR diberi status perundangan, dan diletakkan diantara high law [UUD] dan law [UU].
Dalam ST MPR tahun 2000, urutan perundangan Orde Baru, yang dirumuskan Tap MPRS XX/1966,
memang diubah. Namun, perubahannya tidak mengubah status Tap MPR sebagai katagori
perundangan. Perubahan didasarkan pada analisa keliru mengenai sumber otoriterisme Orde Baru:
Pertama, UUD 1945 dianggap executive havy. Kedua, UUD 1945 memungkin Presiden dipilih
kembali berulang-ulang. Analisis ini mengandung falsifikasi: Pertama, kesimpulan executive havy
didasarkan aspek kuantitatif dari UUD 1945, tanpa mempertimbangkan aspek kualitatif dari setiap
pasalnya. Kedua, praktek konstitusi didasarkan pada tacit concent MPR atas UUD 1945.
Presiden Soeharto dipilih berulang-ulang adalah akibat penafsiran MPR atas pasal 7 UUD 1945.
Dalam tacit concent Tap MPR, tidak ada kesalahan MPR. Akibatnya, tidak ada tanggung jawab MPR.
Keputusannya bersifat kondisional atau tacit. Hukum yang kondisional tidak secara langsung
menghasilkan pemerintahan rasional. Melalui argumen falsifikasi, kondisonalitas hukum
dipertahankan dalam praktek Tap MPR. Keadaan ini menimbulkan dua akibat:
Pertama, falsifikasi terjadi dalam perubahan konstitusi. Perubahan yang dilakukan atas Tap MPR,
dan pasal-pasal UUD 1945, adalah verbalisme murni. Mulai dari Tap MPR XI/1999 mengenai KKN,
erubahan atas Tap MPRS XX/1966 dan perubahan pasal 7 UUD. Kedua, krisis pemerintahan akibat
tidak ada kepastian hukum dipecahkan dengan cara menciptakan mekanisme ekstra-konstitusi. SI
MPR diperlukan untuk memindahkan problem konstitusi menjadi problem politik, dengan mendaur
ulang pemilihan Presiden. Agenda SI MPR 2001 untuk meminta pertanggungjawab Presiden
memanipulasi pertanggungjawab MPR dengan menjadikan dirinya sendiri hakim bagi keputusan dan
tindakannya sendiri, sehingga raison d etre konstitusi sebagai hukum positip.
Macetnya reformasi dan kembalinya Tap MPR sebagai Tertib Hukum Orde Baru, adalah lonceng
kematian demokrasi. Problem pemerintahan demokrasi akibat tidak bekerjanya sistim konstitusi
dipecahkan secara ekstrakonstitusi dengan cara mengorbankan komitmen demokrasi Sekalipun
rakyat Indonesia menginginkan demokrasi, namun MPR bukannya mewujudkannya,
melainkanmalahan mempermainkan hukum dengan cara memanipulasi sumber hambatan macetnya
demokrasi. Disintegrasi teritorial atau separatisme itu telah diperingatkan Presiden Wahid, memang
tidak sertamerta, melainkan menjadi resultante logis dari tegangan antara dorongan otoriterisme dan
resistensi demokrasi.
Kalau perampasan kedaulatan rakyat dengan menggunakan Tap MPR bisa dibenarkan, maka
konstitusi menjadi absurd: Pertama, MPR dapat digunakan pemerintah otoriter untuk menindas
rakyat, sepanjanag otoriterisme itu mendapat dukungan DPR, atau disebut konstitusional, sehingga
terjadi diskriminasi terhadap hak-hak warganegara. Kedua, sebagai reaksi dari yang pertama,
karena prinsip souvereignity of the people atau self determination disalahgunakan, maka aspirasi
sebagian rakyat Indonesia akan keadilan akan bermuara pada legitimasi untuk mendirikan negara
baru yang terpisah. Orang sinis akan menyimpulkan: hanya ada tiga type manusia Indonesia: type
tolol, type penipu, atau type korban ketololan dan penipuan. [bagian pertama dari enam tulisan]. [*]
penulis anggota PBHI,caktivis LSM. SI MPR dan Kembalinya Orde Baru [2]
B Setiabudi [*]
Selama Orde Baru, MPR berpendapat pasal 7 UUD 1945 tidak membatasi masa jabatan Presiden.
Atas dasar itu MPR memilih Presiden Soeharto sampai 6 kali berturut-turut, yakni, karena kata-kata
"dan sesudahnya dapat dipilih kembali" dari pasal 7 dianggap tidak membatasi atau mengatur
batasan masa abatan Presiden. Namun, pada 21 Mei 1998, ketika Presiden Soeharto menyatakan
"berhenti" dengan merujuk
pasal 8, dan UUD 1945 diaktifkan secara langsung tanpa
melalui Tap MPR. Artinya, UUD 1945 tidak dijalankan
dengan Tap MPR, tapi ditafsirkan langsung dari
pasal-pasalnya, oleh Presiden Soeharto.
B Setiabudi [*]
Pemilu Dipercepat
TAP MPRS
TITEL
DASAR KONSTITUSI
1
Tap MPRS IX/1966
Surat Perintah Presiden / Pangti ABRI / PBR /
Mandataris MPRS
Pasal 1 ayat 2, Pasal 2 ayat 3 UUD 1945
2
Tap MPRS X/1966
Kedudukan Semua Lembaga Negara Tingkat Pusat dan
Daerah Pada Posisi Dan Fungsi Yang Diatur Dalam UUD
1945
Pasal 1 ayat 2 UUD 1945
3
Tap MPRS XX/1966
Memorandum DPRGR Mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan
Tata Urutan Perundangan RI
Pasal 1 ayat 2 UUD 1945
4
Tap MPRS XXV/1966
Pembubaran PKI, Pernyataan Sebagai Organisasi
Terlarang di Seluruh Wilayah Negara RI Bagi PKI, dan
Larangan Setiao Kegiatan Untuk Menyebarkan atau
Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme /
Marxisme-Leninisme
Pasal 1 ayat 2, Pasal 2 ayat 3 UUD 1945
5
Tap MPRS XXXIII/1966
Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari
Presiden Soekarno
Pembukaan UUD 1945, UUD 1945 beserta Penjelasannya
B Setiabudi [*]
B Setiabudi [*]