Anda di halaman 1dari 22

Salam

Untuk Senam Gagasan Politik (Political ideal Exercise)


Penulis : Baron Setiabudi Bsetiabudi@hotmail.com

SI MPR dan Kembalinya Orde Baru [1]


B Setiabudi [*]

Tak lama setelah lengsernya Soeharto, MPR hasil pemilu 1997 menciptakan preseden baru dalam
Sidang Istimewa MPR 1998, yang diminta atas kesepakatan Presiden BJ Habibie dan Ketua DPR/
MPR Haji Harmoko: Pertama, mengubah pasal 7 UUD 1945. Kedua, mengaktifkan kontrol MPR
terhadap Presiden dalam Sidang Tahunan. Ketiga, mempercepat pemilu. Ketika MPR hasil pemilu
1999 bersidang, MPR baru memulai pemerintahan baru: memilih Presiden, menetapkan GBHN,
mengubah UUD 1945 dan Tap MPR Tatib MPR.

Sidang Tahunan berakibat tumpang tindihnya fungsi DPR dan fungsi MPR, khususnya, dalam
pengawasan Presiden, dan perubahan UUD merancukan sistim pemerintahan. Kerancuan itu
menghambat berfungsinya pemerintahan demokratis secara normal, menyeret publik politik dan
media kedalam wacana konstitusi yang semu. Kekaburan wacana konstitusi menjadi arena manuver
para politisi menghambat konsolidasi pemerintahan dan mengakibatkan tersendatnya "proses
reformasi." Konstelasi politik di DPR merembes ke MPR, mengakibatkan demokrasi terancam
menjadi oligarki.

Kontroversi Semu
Kontroversi semu tampak pada gejala falsifikasi di bidang hukum dan politik. Falsifikasi politik
tampak pada tiga gejala: Pertama, perangkapan jabatan Ketua MPR, DPR dan Wapres dengan
jabatan puncak ketua partai politik yang diaktifkan. Kedua, terjadinya kesenjangan antara
kepentingan masyarakat dan pertarungan elite politik di Jakarta. Ketiga, tidak adanya pemisahan
institusional dari sistim perwakilan tingkat Nasional dan Daerah-daerah, karena semua partai
bertarung pada semua level pemilihan. Fasilifikasi hukum tampak pada tiga gejala: Pertama,
kontroversi mengenai perubahan UUD yang dilakukan MPR. Kedua, falsifikasi dalam skema "SI
diantara dua ST atau dua SU." Ketiga, kontroversi mengenai sistim pemerintahan.

Dibalik tegangan antara DPR dan Presiden, duduk soalnya ialah cara memecahkan problem
reformasi warisan Orde Baru. Dibalik kontrovesi mengenai sistim Presidensiil duduknya soalnya ialah
cara MPR mempraktekkan UUD. Falsifikasi terjadi dalam dua cara: Pertama, kolusi antara fraksi
DPR dan fraksi MPR. Kedua, manipulasi proses hukum kedalam proses politik. Keduanya kita
saksikan dalam dua proses: Pertama, ketika DPR meminta MPR mengadakan SI melalui
Memorandum yang kontroversial. Kedua, ketika MPR melakukan "perubahan pertama UUD 1945,"
yakni pengubahan pasal 7 UUD.

Menurut Prof. Soematri, sisitim pemerintahan dalam UUD 1945 bukan Presidensiil, karena MPR
bukan badan warganegara sebagai pemegang hak pemilih. Dalam sistim Presidensiil, umumnya
Presiden dipilih secara langsung, masa jabatan bersifat tetap [fix term]. Dalam UUD 1945, Presiden
dipilih oleh MPR. Falsifikasi argumen menolak sistim Presidensiil, tampak pada fakta bahwa UUD
1945 tidak mencantumkan hak pilih warganegara, bukan hanya untuk memilih Presiden, tapi juga
dalam memilih anggota DPR. Pembentukan DPR melalui pemilihan atas dasar konstitusi yang
memuathak pilih warganegara, hanya terjadi dalam UUD Sementara 1950. Setelah UUD 1945
diberlakukan kembali oleh Presiden dengan Dekrit 1959, dan DPR hasil Pemilu 1955 dibubarkan
tahun 1961, DPR Sementara atau DPRGR dibentuk Presiden dengan cara penunjukan.

Jika MPR melakukan kesalahan, kesalahan itu sangat besar, sebanding dengan kekuasaannya.
Meski UUD 1945 tidak lengkap, ada kekosongan hukum, namun MPR tidak boleh mengisi
kekosongan hukum itu dengan membuat aturan di luar sistim konstitusinya. UU pemilu 1971 hingga
1999 dibentuk atas dasar Tap MPRS dan Tap MPR, bukan ketentuan UUD mengenai hak pilih
warganegara. MPR tidak memasukkan pasal mengenai dasar hukum pemilu kedalam UUD 1945,
karena memperlakukan konstitusi sebagai tacit concent, dengan cara itu memonopoli
penggunaannya.

Rasionalitas sebagai aspek substansi dari hukum menjadi kabur. Konstitusi yang memiliki tujuannya
sendiri, yakni rasionalitas, ketika tergantung oleh MPR menjadi terbuka dimanipulasi. Hal itu terjadi
ketika MPRS membentuk Tap MPR sebagai perundangan, dengan cara "menendang keatas" UUD
1945. Falsifikasi direproduksi dari Tap MPR kedalam status perundangan dari Keppres Soeharto,
sehingga kekuasan MPR menelan UUD 1945. Falsifikasi konstitusi mendorong falsifikasi politik,
keduanya bersimbiose selama 32 tahun. Tertelannya konstitusi itu tampak pada fenomen KKN.
"Orde Baru, status perundangan Tap MPR dan KKN" adalah setali tiga uang.

Tertib Hukum Orde Baru


Pandangan mengenai status perundangan Tap MPRditegakkan dalam Tap MPRS XX/MPRS/1966
tentang Memorandum DPRGR tentang Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Perundangan RI.
Status Tap MPR sebagai katagori perundangan diciptakan MPRS dengan mengabstraksikan UUD
1945 dalam satu katagori dengan Pancasila, Proklamasi 17 Agustus 1945, Dekrit Presiden 5 Juli
1959 dan Surat Perintah 11 Maret 1966, sebagai pengertian meta hukum. Dari abstraksi "sumber
tertib hukum" itu, kemudian diturunkan hirarki "tertib hukum" dimana keputusan MPR diberi dua
kualifikasi: yang mengikat kedalam, disebut Tus, yang mengikat keluar dan kedalam disebut Tap.

Dengan itu Tap MPR merupakan perundangan yang diciptakan MPR, dengan cara menjadikan MPR
sebagai hakim. Penyatuan "UUD 1945 beserta Penjelasannya" sebagai kesatuan tafsir MPR atas
UUD 1945, digunakan untuk menciptakan "tertib hukum" Orde Baru. Pandangan ini berbeda dari
UUD 1945 yang dibuat PPKI, yang mengenal dua katagori kuasa legislatif, beserta relasi
competence-competence: Pertama, MPR memegang kuasa konstitusi [pouvoir constitue] dengan
kompetensi legislatifnya dalam pembuatan UUD [high law atau constitution]. Kedua, DPR dan
Presiden memegang kuasa legislatif [pouvoir legislatif] dengan kompetensi legislatifnya dalam
pembuatan UU. Hirarki perundangan MPRS menjadi berbeda dari hirarki UUD 1945, karena Tap
MPR diberi status perundangan, dan diletakkan diantara high law [UUD] dan law [UU].

Dalam ST MPR tahun 2000, urutan perundangan Orde Baru, yang dirumuskan Tap MPRS XX/1966,
memang diubah. Namun, perubahannya tidak mengubah status Tap MPR sebagai katagori
perundangan. Perubahan didasarkan pada analisa keliru mengenai sumber otoriterisme Orde Baru:
Pertama, UUD 1945 dianggap executive havy. Kedua, UUD 1945 memungkin Presiden dipilih
kembali berulang-ulang. Analisis ini mengandung falsifikasi: Pertama, kesimpulan executive havy
didasarkan aspek kuantitatif dari UUD 1945, tanpa mempertimbangkan aspek kualitatif dari setiap
pasalnya. Kedua, praktek konstitusi didasarkan pada tacit concent MPR atas UUD 1945.

Presiden Soeharto dipilih berulang-ulang adalah akibat penafsiran MPR atas pasal 7 UUD 1945.
Dalam tacit concent Tap MPR, tidak ada kesalahan MPR. Akibatnya, tidak ada tanggung jawab MPR.
Keputusannya bersifat kondisional atau tacit. Hukum yang kondisional tidak secara langsung
menghasilkan pemerintahan rasional. Melalui argumen falsifikasi, kondisonalitas hukum
dipertahankan dalam praktek Tap MPR. Keadaan ini menimbulkan dua akibat:

Pertama, falsifikasi terjadi dalam perubahan konstitusi. Perubahan yang dilakukan atas Tap MPR,
dan pasal-pasal UUD 1945, adalah verbalisme murni. Mulai dari Tap MPR XI/1999 mengenai KKN,
erubahan atas Tap MPRS XX/1966 dan perubahan pasal 7 UUD. Kedua, krisis pemerintahan akibat
tidak ada kepastian hukum dipecahkan dengan cara menciptakan mekanisme ekstra-konstitusi. SI
MPR diperlukan untuk memindahkan problem konstitusi menjadi problem politik, dengan mendaur
ulang pemilihan Presiden. Agenda SI MPR 2001 untuk meminta pertanggungjawab Presiden
memanipulasi pertanggungjawab MPR dengan menjadikan dirinya sendiri hakim bagi keputusan dan
tindakannya sendiri, sehingga raison d etre konstitusi sebagai hukum positip.
Macetnya reformasi dan kembalinya Tap MPR sebagai Tertib Hukum Orde Baru, adalah lonceng
kematian demokrasi. Problem pemerintahan demokrasi akibat tidak bekerjanya sistim konstitusi
dipecahkan secara ekstrakonstitusi dengan cara mengorbankan komitmen demokrasi Sekalipun
rakyat Indonesia menginginkan demokrasi, namun MPR bukannya mewujudkannya,
melainkanmalahan mempermainkan hukum dengan cara memanipulasi sumber hambatan macetnya
demokrasi. Disintegrasi teritorial atau separatisme itu telah diperingatkan Presiden Wahid, memang
tidak sertamerta, melainkan menjadi resultante logis dari tegangan antara dorongan otoriterisme dan
resistensi demokrasi.

Kalau perampasan kedaulatan rakyat dengan menggunakan Tap MPR bisa dibenarkan, maka
konstitusi menjadi absurd: Pertama, MPR dapat digunakan pemerintah otoriter untuk menindas
rakyat, sepanjanag otoriterisme itu mendapat dukungan DPR, atau disebut konstitusional, sehingga
terjadi diskriminasi terhadap hak-hak warganegara. Kedua, sebagai reaksi dari yang pertama,
karena prinsip souvereignity of the people atau self determination disalahgunakan, maka aspirasi
sebagian rakyat Indonesia akan keadilan akan bermuara pada legitimasi untuk mendirikan negara
baru yang terpisah. Orang sinis akan menyimpulkan: hanya ada tiga type manusia Indonesia: type
tolol, type penipu, atau type korban ketololan dan penipuan. [bagian pertama dari enam tulisan]. [*]
penulis anggota PBHI,caktivis LSM. SI MPR dan Kembalinya Orde Baru [2]

B Setiabudi [*]

Selama Orde Baru, MPR berpendapat pasal 7 UUD 1945 tidak membatasi masa jabatan Presiden.
Atas dasar itu MPR memilih Presiden Soeharto sampai 6 kali berturut-turut, yakni, karena kata-kata
"dan sesudahnya dapat dipilih kembali" dari pasal 7 dianggap tidak membatasi atau mengatur
batasan masa abatan Presiden. Namun, pada 21 Mei 1998, ketika Presiden Soeharto menyatakan
"berhenti" dengan merujuk
pasal 8, dan UUD 1945 diaktifkan secara langsung tanpa
melalui Tap MPR. Artinya, UUD 1945 tidak dijalankan
dengan Tap MPR, tapi ditafsirkan langsung dari
pasal-pasalnya, oleh Presiden Soeharto.

Meski banyak orang menilai motivasi Presiden Soeharto


menggunakan pasal 8 untuk mundur karena ia menghindari
pertanggunganjawab politik dari Sidang Istimewa MPR,
ada prinsip hukum yang menyatakan norma hukum yang
lebih tinggi menyingkirkan norma hukum yang lebih
rendah. Karena UUD lebih tinggi dari Tap MPR, maka
para ahli hukum menyatakan berhentinya Presiden
Soeharto, dan dengan itu juga perpindahan kekuasaan
kepada BJ Habibie, adalah absah atau konstitusional.

Setelah Presiden Soeharto mundur, atas kesepakatan


Presiden BJ Habibie dan DPR hasil Pemilu 1997
diselenggarakan SI MPR Oktober 1998. MPR memutuskan
masa jabatan Presiden dibatasi. Artinya, UUD 1945
dijalankan lagi dengan Tap MPR. Kemudian, MPR yang
dibentuk dari DPR hasil Pemilu 1998, mengubah pasal 7
UUD 1945 sesuai Tap MPR tahun 1998 mengenai pembatasan
masa jabatan Presiden tersebut. Disatu fihak, materi
Tap MPR tahun 1998 diintegrasikan kedalam UUD 1945
melalui perubahan pasal 7 UUD itu, namun di fihak lain
praktek Tap MPR berlaku lagi seperti sebelum 21 Mei
1998.
Tidak heran kalau ada pengamat, meski saya tidak
sependapat, mengatakan sebenarnya "reformasi" sudah
mati sebelum lahir. Ibarat pintu yang dibuka, ketika
praktek konstitusi langsung menggunakan UUD 1945, lalu
ditutup kembali, ketika praktek konstitusi meggunakan
lagi Tap MPR. Tanpa desakan mahasiswa, Presiden
Soeharto tidak akan mundur. Namun, setelah berhasil
melengserkan Soeharto, mahasiswa tidak mampu mengubah
praktek konstitusi sehingga praktek Tap MPR berulang
lagi justru ketika dilakukan perubahan UUD 1945.
Timbul pertanyaan: apakah yang terjadi?

Pasal 7 UUD 1945

Dalam mengubah UUD 1945, telah terjadi falsifikasi,


yang mengakibatkan relasi kausal tidak bisa bekerja.
MPR tidak mendefinisikan "perubahan UUD" secara
spesifik. Suatu perubahan konstitusi disebut amandemen
apabila perubahannya tidak mengubah substansi dari
yang diubah, disebut revisi apabila perubahan yang
terjadi mengubah substansi dari yang diubahnya.
Perubahan bersifat substansi apabila menyangkut:
kuantitas atau jumlahnya, dan kualitas atau
perspektifnya. Tapi perubahan pasal 7 UUD 1945 disebut
"amandemen" tapi dianggap "revisi," antara perkataan
dan prakteknya tidak konsisten. Hal itu menimbulkan
konsekuensi serius pada penilaian atas praktek
konstitusi MPR.

Jika perubahan pasal 7 UUD 1945 dikatakan tidak


mengubah substansi, artinya, terpilihnya Presiden
Soeharto lebih dari 2 kali adalah kesalahan praktek
konstitusi di masa lalu, oleh MPR, karena UUD
dijalankan dengan Tap MPR. Jika dikatakan perubahan
itu mengubah secara subtansi, maka Presiden Soeharto
yang lebih dari 2 kali menjabat Presiden merupakan
konsekuensi dari pasal 7 UUD yang tidak membatasi masa
jabatan Presiden. Tapi apakah perubahan pasal 7 UUD
1945 mengubah substansi? Apakah benar pasal 7 tidak
membatasi masa jabatan Presiden?

Untuk jelasnya kita kutip dua rumusan pasal 7 itu,


pada Tabel. Konsep masa jabatan merujuk pada waktu,
dan ada dua macam perspektif mengenai waktu: Pertama,
perspektif waktu sirkuler. Seperti siang dan malam,
perspektif ini merupakan warisan pra-sejarah, ketika
manusia hidup dalam otoritas yang bersifat tertutup,
atau alam pikiran mitis. Kedua, perspektif waktu
linier, perspektip ini merupakan hasil sejarah, ketika
manusia hidup dalam otoritas yang bersifat terbuka,
atau alam pikiran ontologis. Kalau kita perhatikan,
perubahan atas pasal 7 dilakukan dengan cara
menambahkan anak kalimat "dalam jabatan yang sama,
hanya untuk satu kali masa jabatan." Dengan demikian,
anak kalimat tambahan itu menerangkan kata "kembali,"
pada pasal 7 yang lama.

Dalam perspektip waktu sirkuler, maka kata "kembali"


sinonim dengan "berulang-ulang." Tapi dalam persepktif
waktu linier, maka kata "kembali" hanya mengenal satu
kali pengulangan, karena lebih dari satu kali
pengulangan akan mengubah persepktif waktu dari
perspektif linier menjadi persepektif sirkuler. Dari
pembuktian logika, kata "kembali" dari pasal 7 UUD
1945 membatasi masa jabatan Presiden, apabila
kalimatnya dibaca dengan menggunakan perspektif waktu
linier.

Pasal 7 sebelum diubah


Pasal 7 setelah diubah

Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama


lima tahun,
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama
lima tahun,

dan sesudahnya dapat dipilih kembali.


dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan
yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Dalam membaca pasal 7 UUD 1945, MPR menggunakan


perspektif waktu sirkuler maka diperlukan anak kalimat
tambahan "dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu
kali masa jabatan." Dikiranya kata "kembali" pada
pasal 7 UUD 1945 yang asli itu berarti
"berulang-ulang" seperti siang dan malam, seakan
kemarin dan esok hari yang sama. Memang, secara verbal
kata "kembali" menjadi mudah dimengerti, namun apakah
kedua pasal itu, sebelum dan setelah diubah, berbeda
perspektifnya? Jawabnya: tidak. Pasal 7 berubah, namun
perubahan yang terjadi tidak ada relasi kausalnya.
Apakah setelah pasal 7 diubah, maka perspektif MPR
dalam membacanya juga berubah? Jawabnya: tidak juga.
Cara MPR membaca UUD 1945 tidak berubah, bahkan
setelah MPR mengubah UUD itu.

Signifikansi dari perubahan praktek konstitusi tidak


terutama terletak pada dirubahnya UUD oleh MPR, tapi
pada cara MPR membaca UUD. Di masa Orde Baru, Presiden
Soeharto mendikte MPR, sekarang ketika real politics
tersebar, tapi praktik Orde Baru masih berlangsung.
Skema pemerintahan dengan ST [diantara dua SU] dan SI
[selain SU dan ST] adalah bukti MPR dalam praktek
konstitusinya terperangkap kembali dalam perspektif
sirkuler. Status perudangan Tap MPR menjungkirkan
perspektif linier UUD 1945 menjadi persepktif
sirkuler, dan relasi kausal dari pasal-pasal UUD 1945
tidak bekerja.

Problem pemutusan relasi Presiden dan MPR, terjadi


pada Presiden Soekarno dan MPRS tahun 1966,
disimpulkan Suwoto Mulyosudarmo, dalam "Peralihan
Kekuasaan, Kajian Teoretis dan Yuridis terhadap Pidato
Nawaksara" [Gramedia: Jakarta, 1997]. Kesimpulannya,
"Fungsi mandataris dan fungsi Presiden selaku pemegang
kuasa eksekutif harus dibedakan, sebab tidak benar
jika Presiden selaku kepala eksekutif adalah
mandataris MPR. Tugas dan fungsi Presiden selaku
kepala eksekutif sifatnya atributif, artinya
kekuasaannya diperoleh langsung dari UUD 1945 sehingga
untuk melaksanakan kekuasaan eksekutif tidak perlu
perlu pelimpahan kekuasaan lagi dari MPR."

Menurutnya Suwoto, kekuasan Presiden memiliki dua


segi. Segi pertama, kuasa atributif, yakni kuasa
Presiden sebagai eksekutip menurut UUD 1945. Segi
lainnya, kuasa derivatif, yakni kuasa Presiden sebagai
Mandataris MPR ketika Presiden menjalankan kuasa MPR.
"Selaku pemegang kuasa, Presiden bertanggungjawab
secara intern kepada MPR, namun secara hukum pemegang
kuasa tidak bertanggung-gugat. Rakyat tidak dapat
menggugat Presiden dalam fungsinya selaku pemegang
kuasa MPR." [hal. 64]. Implikasi dari analisisnya,
penolakan MPR atas pertanggungjawab Presiden tidak
bisa dirumuskan Tap MPR sebagai konsekuensi
pemecatatan MPR atau impeachment. Penolakan MPR
berakibat hilangnya status Mandataris MPR, namun
Presiden masih memegang kuasa eksekutif menurut pasal
4 UUD 1945.

Dibalik dorongan partai-partai agar Megawati


menggantikan Presiden Wahid dalam SI MPR 2001, "proses
reformasii" hendak ditukar MPR dengan cara mendaur
ulang mekanisme SI MPRS. Dengan mendaur ulang SI MPRS,
maka MPR menghidupkan lagi "politik adalah panglima."
Tapi, politik untuk apa? Kalau Presiden Wahid dianggap
gagal, maka kegagalan itu harus dipikul MPR yang
memilihnya. Dengan menjadikan proses reformasi
terperangkap kedalam falsifikasi hukum dan politik,
proses pemutihan KKN dan pelanggaran HAM di masa lalu
sedang dipertaruhkan dalam SI MPR. Orang sinis akan
menyimpulkan: hanya ada tiga type manusia Indonesia:
type tolol, type penipu, atau type korban ketololan
dan penipuan. [bagian kedua dari enam tulisan]. [*]
penulis anggota PBHI, aktivis LSM.
SI MPR dan Kembalinya Orde Baru [3]

B Setiabudi [*]

Ada dua alasan mengapa MPR tidak dapat digunakan DPR


untuk menjatuhkan Presiden: Pertama, UUD 1945 tidak
menganut sistim parlementer. Kedua, parlemen
dijalankan DPR, bukan dijalankan MPR. Wewenang MPR
diatur dalam pasal 1 yat 2, pasal 3, pasal 6 dan pasal
37, atas dua katagori: Pertama, dalam fungsi
perundangan high law [constitution], yakni pasal 1
ayat 2, sebagian pasal 3, dan pasal 37. Kedua, dalam
fungsi pemerintahan, yakni sebagian pasal 3 dan pasal
6 ayat 2. Fungsi pemerintahan MPR adalah memulai
pemerintahan: memilih Presiden [pasal 6 ayat 2] dan
menetapkan GBHN [pasal 3].

Di luar pasal 3 dan pasal 6 ayat 2, MPR tidak kompeten


mengurusi jalannya pemerintahan. Sekali Presiden
terpilih, MPR tidak dapat mengintervensi karena akan
mengakibatkan berlakunya konstitusi paralel dengan
jalannya pemerintahan, atau terjadinya proses
sirkuler. Bila konstitusi berlaku secara sirkuler,
maka hukum bersifat kesepakatan kondisional [tacit
concent] karena kepastian hukum tidak otomatis, tapi
setiap kali memerlukan jaminan para fihak untuk
menyepakatinya. Akibatnya, kontribusi hukum terhadap
pemerintahan rasional menjadi kabur.

Preseden SI MPRS mengganti Presiden Soekarno, kini


didaur ulang SI MPR. Agenda mengganti Presiden dengan
Tap MPR bukan hanya mendaur ulang kesalahan
konstitusional MPRS, karena Tap MPR menjadi di atas
UUD 1945, tapi sekaligus membuktikan macetnya
reformasi. Kemacetan itu oleh MPR hendak dicari
kambing hitamnya sebagai kegagalan Presiden Wahid.
Proses SI MPR melalui Memorandum I dan II mengangkat
materi "Yanatera/Bulogate" dan "Bruneigate," untuk
membuktikan Presiden tidak mampu memenuhi Tap MPR
IX/1999 mengenai pemberantasan KKN. Falsifikasinya,
sebagaimana telah dikemukakan: Tap MPR, KNN dan Orde
Baru adalah setali tiga uang.

Daur Ulang SI MPRS

Falsifikasi itu paling jelas pada penggunaan


"kekuasaan MPR tak terbatas" untuk menciptakan
perundangan ekstra-konstitusional dan mencampuri
jalannya pemerintahan, yang keduanya berada di luar
kompetensi konstitusional dari MPR. Proses memecat
Presiden Soekarno, diciptakan MPRS, dengan cara
menciptakan status Tap MPR sebagai perundangan
ekstra-konstitusi. Prosedur yang ditempuh ialah:

Pertama, klaim bahwa "sebelum MPR hasil pemilu


terbentuk, MPRS berkedudukan dan berfungsi seperti MPR
sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945" [Tap MPRS
X/1966]. Kedua, MPRS "yang berfungsi seperti MPR
sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945" menciptakan
status hukum dari Tap MPR yang ditempatkan diantara
UUD dan UU [Tap MPRS XX/1966]. Ketiga, memperlakukan
Penjelasan sebagai norma konstitusi. Empat, dengan
membangun hiraki perundangannya sendiri, dan merujuk
pada Dekrit Presiden, keputusan MPRS yang bersifat
ekstra-konstitusional, dirasionalisasikan.

Dengan Tap MPRS yang ekstra-konstitusional, MPRS


merumuskan sanksi pemecatan terhadap konsekuensi
pertanggungjawab Presiden. Letak falsifikasinya:
Pertama, Presiden Soekarno tidak dipilih MPRS. Kedua,
bahkan dalam hal Presiden dipilih MPR, tidak berarti
MPR bisa memecat Presiden, sepanjang tidak ada
pasalnya dalam UUD 1945. MPR memilih Presiden untuk
menjalankan pasal 6 ayat 2 UUD 1945. Presiden memegang
kekuasaan pemerintahan menurut pasal 4. Baik Presiden
dan MPR harus tunduk pada UUD 1945. Ketiga, pasal 1
ayat 2 tidak dapat digunakan MPR untuk memecat
Presiden, karena pasal ini bukan mengatur kewenangan
MPR dalam pemerintahan.

Bagian yang dirujuk MPR dalam pertangungawab Presiden


adalah Penjelasan, bukan UUD 1945. Pejelasan memuat
pengertian bahwa Presiden adalah "Mandataris MPR" yang
"bertanggungjawab kepada MPR," dan "kekuasan MPR tak
terbatas." Namun sanksi pemecatan dalam hal
pertanggungjawaban Presiden kepada MPR, bukan rumusan
Penjelasan. Falsifikasi terjadi dengan disatukannya
"UUD 1945 beserta Penjelasannya" sehingga mebalikkan
relasi logisnya: UUD 1945 digunakan MPR untuk
menjelaskan "Penjelasan UUD 1945 sebagai dasar hukum
Tap MPRS." Pemecatan Presiden oleh MPR adalah
inkonstitusional, di luar UUD 1945, atau dasar hukum
ekstra-konstitusional.

Tap MPR mengangap pemecatan Presiden adalah sah dengan


argumen "ekstra-konstitusional tidak berarti
inkonstitusional." Falsifikasi argumen
ekstra-konstitusional adalah tidak membedakan
jenis-jenis kewenangan MPR dalam UUD 1945. Teori
mengenai karakter ekstra-konstitusional Tap MPR ini,
dianut para Staf Ahli BP MPR dan banyak pakar hukum
tatanegara sekarang, berasal dari praktek MPRS dalam
masa peralihan Demokrasi Terpimpin ke Orde Baru,
yakni: Pertama, perumusan lembaga-lembaga "pada posisi
dan fungsi menurut UUD 1945." Kedua, penggunaan pasal
1 ayat 2 UUD 1945 secara eksesif. [Lihat Tabel 1].
Pasal ini terdiri atas dua preposisi: [a] "Kedaulatan
ada ditangan rakyat" dan [b] preposisi [a] "dilakukan
sepenuhnya oleh MPR." Apakah yang diatur pasal ini?
MPR ataukah "kedaulatan rakyat"? Ataukah keduanya?
Jika keduanya di atur dalam UUD, apakah "kedaulatan
rakyat" bias diatur?

Pemilu Dipercepat

Penjelasan UUD 1945 mengenai "Sistim Pemerintahan


Negara" memuat dua konsep: Pertama, sebutan Mandataris
MPR. Kedua, pertanggungjawab Presiden dalam Sidang
Istimewa yang diminta DPR. Penjelasan yang memuat
kalimat "Presiden / Mandataris MPR" dan SI MPR meminta
pertanggungjawab Presiden bila Presiden sungguh
melanggar haluan negara atau keputusan Majelis," oleh
MPR dirumuskan kedalam Tap MPR. Normanya sendiri,
kalau Tap MPR diperlakukan sebagai norma, muncul dalam
Tatib MPR tahun 1973, tapi prakteknya yang merujuk
Penjelasan telah dilakukan MPRS tahun 1966. Akibatnya
hukum berlaku mundur: normanya sudah berjalan sebelum
dirumuskan.

Penjelasan UUD 1945 bukanlah norma konstitusi, karena


tidak dirumuskan badan pembentuk konstitusi.
Penjelasan UUD 1945 ialah pedoman membaca UUD. Pedoman
itu dibuat, oleh Prof. Soepomo, mungkin atas
permintaan pemerintah atau inisiatip sendiri, karena
kebutuhan agar rakyat mempelajarinya, mungkin pula
atas pertimbangan atau kesadaran mengenai keterbatasan
pasal-pasal UUD 1945 yang bersifat garis besar,
dibikin dalam suasana penjajahan. Namun Penjelasan
bukan perluasan dari UUD yang dijelaskan. Kegunaan
"Penjelasan" dalam praktek konstitusi, tidak bisa
digunakan sebagai rujukan normatif "seperti yang
dimaksud UUD," untuk menciptakan status hukum dari
keputusan MPR.

Tap MPR Sebagai Tertib Hukum Orde Baru

TAP MPRS
TITEL
DASAR KONSTITUSI

1
Tap MPRS IX/1966
Surat Perintah Presiden / Pangti ABRI / PBR /
Mandataris MPRS
Pasal 1 ayat 2, Pasal 2 ayat 3 UUD 1945
2
Tap MPRS X/1966
Kedudukan Semua Lembaga Negara Tingkat Pusat dan
Daerah Pada Posisi Dan Fungsi Yang Diatur Dalam UUD
1945
Pasal 1 ayat 2 UUD 1945

3
Tap MPRS XX/1966
Memorandum DPRGR Mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan
Tata Urutan Perundangan RI
Pasal 1 ayat 2 UUD 1945

4
Tap MPRS XXV/1966
Pembubaran PKI, Pernyataan Sebagai Organisasi
Terlarang di Seluruh Wilayah Negara RI Bagi PKI, dan
Larangan Setiao Kegiatan Untuk Menyebarkan atau
Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme /
Marxisme-Leninisme
Pasal 1 ayat 2, Pasal 2 ayat 3 UUD 1945

5
Tap MPRS XXXIII/1966
Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari
Presiden Soekarno
Pembukaan UUD 1945, UUD 1945 beserta Penjelasannya

Meskipun relasi Presiden dan MPR a-simetri, namun


Presiden tidak dependen ["neben"], melainkan
interdependen ["untergordnet"]. Penggantian Presiden
baik terjadi pada akhir jabatan atau di tengah jalan,
bisa diselesaikan dengan mengganti Presiden dan MPR
sekaligus. Kalau relasi "untergordnet" antara Presiden
dan MPR rusak ketika pemerintahan sedang berjalan,
Pemilu dipercepat menjadi solusi yang logis untuk
memecahkan tidak bekerjanya konsensus nasional dalam
SI MPR. Dengan itu MPR baru dapat memilih Presiden
baru, tanpa menjadikan konstitusi berjalan secara
sirkuler. Opsi politik ini lebih baik karena tidak
menjatuhkan baik Presiden maupun MPR, sebab keduanya
menimbulkan kembalinya perundangan
ekstra-konstitusional, baik Dekrit MPR atau Tap MPR
maupun Dekrit Presiden.

Sebaliknya, dengan MPR memecat Presiden Wahid, Tap MPR


sebagai Tertib Hukum Orde Baru dengan karakteristik
ekstra-konstitusionalnya muncul kembali. Dengan
menempatkan diri sebagai hakim dalam relasinya dengan
Presiden, MPR dapat melepaskan tanggungjawab hanya
dengan mengubah pandangan normatifnya dari waktu ke
waktu. Harapan reformasi yang diletakkan pada landasan
hukum, dengan demikian ikut dihancurkan. Demokrasi
yang konstitusional menjadi oligarki: siapa menguasai
MPR, dialah yang de facto berkuasa. SI MPR dapat
digunakan DPR untuk memanipulasi kegagalannya dalam
memecahkan falsifikasi hukum dan politik Orde Baru
dengan menyalahkan Presiden.

Dengan mendorong Megawati menggantikan Gus Dur,


memetik buah tragedi Soekarno, seluruh idealisme Bung
Karno akan dibayar lunas. Ditangan MPR, kedaulatan
rakyat sebagai konsep UUD 1945 sudah tidak lagi
dikenali sehingga menyesatkan. Orang sinis akan
menyimpulkan: hanya ada tiga type manusia Indonesia:
type tolol, type penipu, atau type korban ketololan
dan penipuan. [bagian ketiga dari enam tulisan]. [*]
penulis anggota PBHI, aktivis LSM.

SI MPR dan Kembalinya Orde Baru [4]

B Setiabudi [*]

Dalam dua tahun terakhir ini, hampir setiap hari


wacana "reformasi" mengenai rule of law, demokrasi,
civil society, dan human rights ditulis media, seakan
itulah tema-tema zaman kita. Pemulihan rule of law,
demokrasi, civil society, dan hak-hak asasi manusia
mengandaikan adanya pengertian "apakah" yang telah
disalahgunakan atau keliru, yang telah diputarbalikkan
selama Orde Baru? Apakah law [hukum] dan pemahaman
mengenai law making [pembentukan hukum]? Kemudian,
menjadi jelas bahwa elite politik tidak memiliki
kecakapan dalam membangun demokrasi, karena tidak
dapat mengaitkan masalah pemulihan ekonomi dan
demokratisasi, sehingga keduanya tidak bekerja. Adanya
resistensi untuk memanipulasi hubungan antara
pemulihan ekonomi dan penataan politik, sehingga
hegemoni tertib hukum Orde Baru didaur ulang.

Kerusakan tertib konstitusi dan hukum sekarang ini,


sangat mendasar. SI MPR hendak digunakan elite politik
memanipulasi reformasi sebagai cara membentuk
pemerintahan kuat, sekalipun anti demokrasi.
Kembalinya siklus praktek ekstrakonstitusi Tap MPR
merupakan arus balik counter reformasi warisan Orde
Baru. Falsifikasi itu tampak pada argumen DPR yang
mereduksi sumber segala masalah pada ketidakmampuan
Presiden. Proses politik tidak menyeleksi pandangan
yang keliru secara otomatis atau apa yang disebut
Thomas Kuhn sebagai heuristic refutation. Kesadaran
publik mengenai "hal ihwal" tidak berkembang secara
wajar dan nalar, media dan partai politik tertelan
dalam "kebebasan tanpa hukum." Proses "reformasi"
tertahan pada elite, sehingga demokrasi dan kebebasan
tidak mencapai sasaran.
Apa yang oleh Emanuel Kant disebut civil society,
ketika dua tahun lalu dipindahkan oleh Nurcholis Majid
sebagai "masyarakat madani," kini berubah 180 derajad
maknanya. Konstitusi bukan merupakan wujud kebebasan
yag diperoleh warganegara dengan mentaati hukum
positip, melainkan dimengerti MPR sebagai hukum yang
berlakunya kondisional tergantung pada penggunanya.
Kita tidak menemukan civil society Emanuel Kant, tapi
pra-histori dari civil society yang sebelumnya oleh
Hobes, John Lock dan Russeau disebut state of nature:
ketika setiap orang menjadi hakim atas keputusannya
sendiri dan tindakannya sendiri.

Dari pengamatan di atas, bisa disimpulkan kendala


pemindahan reformasi dari moral reform kedalam legal
reform, karena dua sebab: Pertama, ketidaksiapan
partai politik merumuskan moral reform kedalam
political reform. Perubahan bersifat tacit concent
dari elite politik yang menduduki DPR, sebagai reaksi
atas perubahan realitas politik dengan jatuhnya
Presiden Soeharto. Reformasi "menjadi layu sebelum
berkembang" karena liberalisasi partai politik
dimengerti sebagai pluralisme kepartaian, kebebasan
pers secara formal dicapai pembubaran Departemen
Penerangan, dan berfungsi parlemen secara formal
dicapai dalam mengubah komposisi keanggotaan DPR dan
MPR.

Kedua, ketidakmampuan parlemen merumuskan political


reform kedalam legal reform. Sekalipun ada keputusan
mengubah UUD 1945, namun perubahan dilakukan tanpa
mengenali karakteristik peralihan UUD 1945, dengan
akibat tidak ada dampaknya bagi reformasi hukum.
Perubahan konstitusi terutama dilakukan untuk
membatasi kekuasaan Presiden, namun sama sekali tidak
membatasi kekuasaan MPR. Arah perubahan yang ditempuh
akhirnya tidak mengubah teori kekuasaan negara dan
karakteristik konstitusi yang otoriter, karena
kekuasaan tak terbatas MPR tidak disinggung sama
sekali.

Mengubah Undang-undang Dasar" menjadi agenda politik


menonjol selain "memberantas KKN," namun tidak jelas
"apakah" itu semua, apalagi kaitan satu dengan
lainnya. Apakah definisi yang diberikan hukum terhadap
KKN atau "kolusi," "korupsi" dan "nepotisme" sebagai
katagori kejahatan, karenanya harus diberantas? Apakah
definisi Konstitusi Demokrasi sehingga untuk mencapai
rule of law perlu "mengubah Undang-undang Dasar?"

Identifikasi yang dilakukan terhadap jatuhnya Orde


Baru tidak secara menyeluruh dipahami. Pengubahan
"Undang-undang Dasar" telah kehilangan arah, dan
berlangsung tanpa metode pengubahan yang
mempertimbangkan karakteristik yang hendak diubah.
Tujuan dari pengubahan itu tidak dirumuskan, sehingga
arahnya tidak berketentuan. Perubahan ditujukan
terutama pada formulasi kekuasaan Presiden, dalam dua
aspek: masa jabatan Presiden, yang hanya bisa diulang
satu kali; membatasi kewenangan legislatifnya,
terutama dalam pembentukan Perpu.

Pemilu yang diselenggarakan tidak ada hubungannya


dengan menata relasi negara dan hak-hak warganegara,
atau tertib hukum bagi demokrasi. Elite politik
menggunakan pemilu untuk melakukan sirkulasi elite
dengan cara mempertahankan bangunan politik lama.
Keguguran reformasi dalam arti legal reform, berasal
dari peletakan fokus dalam pendefinisian masalah yang
dihadapi, yang dilakukan oleh kekuatan politik MPR
hasil pemilu 1997. Ketika Wahid dan Megawati terpilih
sebagai sebagai Presiden dan Wakilnya, kerangka
politik yang digunakan telah didefinisikan sebelum
pemilu 1999 berlangsung.

Arus balik "Counter Reformasi"

Dalam mengevaluasi pemerintahan Presiden Wahid secara


objektip, perlu dipertimbangkan faktor laten
perpindahan paradigmatik dari Orde Baru, atau problem
transformasi demokrasi. Demokratisasi hendak
diletakkan dalam perspektif mengembalikan rule of law,
bukan mendaur ulang pembentukan paradigma baru seperti
terjadi dalam perpindahan dari Demokrasi Terpimpin ke
Orde Baru dihindari. Kalau UUD 1945 tidak lengkap,
cara melengkapinya bukan dengan mendaur ulang Tap MPR
yang ekstra konstitusional. Secara konklusip, dapat
dikatakan, refomasi sebagai legal reform "belum
terjadi." Kelemahan identifikasi masalah tersebut,
mengakibatkan proses politik setelah pemilu 1999 tidak
mengarah pada solusi dari krisis politik Orde Baru.
Kerusakan berfikir ini perlu mendapatkan penilaian
saksama sebelum beranjak kepada pertanyaan apa yang
harus dilakukan.

Pengertian kekuasaan "tidak terbatas" MPR adalah


pemahaman yang salah atas UUD 1945, dan menimbulkan
komplikasi karena dua hal: Pertama, Tap MPR
mengkacaukan konstitusi dan ekstra-konstitusi yang
mengakibatkan UUD 1945 dimanipulasi MPR sebagai rule
by law. Kedua, Tap MPR mencampuri relasi Presiden dan
DPR, sehingga model pemerintahan demokratis dalam UUD
1945 tidak pernah jalan secara normal, karena
didasarkan pada konvensi atau kesepakatan kondisional.
Pemerintahan yang stabil tidak terutama dijamin oleh
konstitusi, melainkan tergantung pada konvensi MPR,
yakni kesepakatan kondisional [tacit concent].
Jika kita tengok kebelakang, naiknya Presiden Wahid
terjadi karena kombinasi dua faktor: pertama,
ketentuan pasal 6 ayat 2 UUD 1945. Kedua, legitimasi
kepemimpinan sosial Gus Dur. Dalam pertarungan
Presiden, posisi poros tengah" di luar orbit PDI P
dan Golkar adalah kartu Gus Dur yang digunakan Amien
Rais, bukan kartu Amien Rais yang digunakan Gus Dur.
Legitimasi sosial Gus Dur pada level bawah, daerah,
dan masyarakat, ikut mendukung profil Gus Dur sebagai
figur "poros reformasi" yang sesungguhnya,
memungkinkan pencalonannya mengatasi orbit yang
dibentuk Megawati dan Habibie. Bukan karena didukung
Amien Rais maka Gus Dur menjadi Presiden, tapi karena
mendukung pencalonan Gus Dur maka Amien Rais menjadi
ketua MPR. Tidak fair mengatakan bahwa Gus Dur tidak
punya modal, atau ia naik karena persekongkolan Golkar
dan partai-partai Islam terhadap PDI P.

Dengan bercermin pada dua tahun terakhir, diperlukan


analisis yang objektip atas jalannya proses reformasi.
Selama MPR dibenarkan menciptakan hukumnya sendiri di
luar UUD 1945, yakni wewenang ekstrakonstitusi, kedua
kondisi itu menyumbangkan tegangan yang terus menerus
antara Presiden dan DPR. Stabilitas hanya terjadi
dengan menyatukan MPR dan Presiden, dengan akibat
mengulangi lagi Kolusi dan Nepotisme Orde Baru. Karena
masa lalu tidak dipahami dengan makin baik,
pengulangan kesalahan yang sama pun didaur ulang.

Namun MPR tidak melihat tegangan ini sebagai kelemahan


UUD 1945 dan praktek konstitusi MPR warisan Orde Baru.
Karena problem pemerintahan efektip dinisbahkan kepada
dukungan DPR di luar ketentuan UUD 1945 mengenai
sistim Presidensiil, maka solusinya adalah penyatuan
MPR dan Presiden. Penyatuan ini, apakah dengan partai
tunggal atau aliansi partai, hanya akan mendaur ulang
KKN atau otoriterisme, dan solusi kemacetan
pemerintahan dilakukan dengan mengganti Presiden tanpa
menyentuh sumbernya: kesalahan praktik MPR terhadap
UUD 1945, dan kelemahan UUD 1945 sebagai sistim
konstitusi yang tidak dipecahkan. Kesimpulan yang
salah kerena subjektifisme bisa-bisa tak terbayarkan
bila akumulasi masalah yang tidak tertangani mengancam
disentegrasi teritorial.

Tidak ada faktor tunggal di balik naiknya Presiden


Wahid tahun 1999, juga tidak ada faktor tunggal bagi
kejatuhannya. Kekecewaan tidak boleh menyerahkan
reformasi kedalam solusi manipulatif MPR Orde Baru.
Dengan menghalangi Presiden Wahid menyerap aspirasi di
luar partai, dari gerakan mahasiswa, media, LSM yang
muncul dalam reformasi, arus balik "Counter Reformasi"
dalam SI MPR hendak mematikan konsolidasi demokrasi.
Dibalik itu, kepentingan statusquo menghambat proses
reformasi dari pembongkaran kejahatan yang telah
tertanam dalam sejarah nasional. Orang sinis akan
menyimpulkan: hanya ada tiga type manusia Indonesia:
type tolol, type penipu, atau type korban ketololan
dan penipuan. [bagian empat dari enam tulisan]. [*]
penulis anggota PBHI, aktivis LSM.

SI MPR dan Kembalinya Orde Baru [5]

B Setiabudi [*]

Krisis di Indonesia memperlihatkan problem mendasar


dalam demokrasi, rule of law, hak-hak asasi manusia,
dan tertib sosial atau negara hukum. Krisis itu
manifes awalnya terjadi akibat krisis moneter Asia
yang berkomplikasi dengan bangunan politik domestik
dari era Perang Dingin, yang tercermin pada tertib
hukumnya. Pecahnya krisis Asia membuka selubung
kerapuhan stabilitas institusional yang dipelihara
"sistim MPR" ketika kemerosotan ekonomi melahirkan
ungkapan KKN. Jatuhnya Soeharto terjadi pada akhir
Perang Dingin dan dimulainya globalisme, ketika
stagnasi politik tiga dekade dan pengelolaan
kekerasaan selektip tidak mendapat dukungan
internasional.

Dalam sejarah Indonesia, konflik idiologis dan agama


berakar pada konflik etnik, sebagai bentuk sentimen
kolektip di daerah-daerah. Untuk menjadikan perubahan
secara konstruktip memerlukan analisa yang tepat dan
perangkat untuk melaksanakan perubahan. Kedua syarat
ini tidak memadai sekarang. Elite politik justru
memperlebar perseteruan dengan memanipulasi sentimen
etnik kedalam konflik idiologis dan politik. Reduksi
ini merupakan penyederhanaan atas masalah yang tidak
secara memadai didefinisikan, dan perseteruan elite
yang mengimbas pada pendukungnya merupakan akibat yang
muncul kepermukaan. Gagasan mendaur ulang solusi Orde
Baru tidak memperhitungkan dialektika ketika reformasi
mendapat umpan balik dari daerah-daerah, masing-masing
dengan muatan lokalnya, seperti di daerah: Aceh,
Papua, Maluku, dan Jawa Timur.

Tiga Level Masalah Politik

Tegangan dalam relasi-relasi pada level "political


society" selalu mengimbas pada relasi-relasi pada
level "civil society." Hal ini sebenarnya menunjukkan
pembedaan katagoris antara kedua wilayah publik dan
private itu tipis, mengingat kuatnya reproduksi
hegemoni negara Orde Baru selama tiga dekade. Di fihak
lain, tegangan pada level "political society" selalu
berimplikasi terhadap relasi-relasi pada level state
menunjuk pada tidak ada etika dalam politik yang
muncul dalam reformasi. Ada tiga tingkat problem yang
perlu mendapatkan penelitian guna memposisikan
persoalan yang dihadapi untuk tidak menimpakan seluruh
solusinya kepada kebijakan pemerintah:

Pertama, problem pada tingkat civil society. Sebelum


Pemilu 1999, tuntutan "reformasi" diartikulasikan
sebagai moral reform oleh "kelompok-kelompok civil
society" [LSM, mahasiswa, asosiasi-asosiasi]. Tuntutan
itu mencakup: [1] diakhirinya peran militer dalam
politik dan pembentukan civic culture; [2] pembentukan
pemerintahan demokratis, [3] jaminan negara atas human
rights, [4] bekerjanya sistim konstitusi melalui
perubahan, [5] bekerjanya rule of law, [6] diakhirinya
dominasi pusat atas daerah-daerah, [7] diakhirinya
praktik "kolusi, korupsi dan nepotisme," [8] pemulihan
ekonomi, [9] peradilan atas kejahatan di masa lalu,
[10] rekonsiliasi dan perdamaian.

Setelah pemilu 1999, DPR dan MPR terbentuk,


"reformasi" diformulasikan political society di MPR
dan DPR. Namun, dalam pemindahan itu, disain
"reformasi" melembagakan situasi transisi pemerintahan
Sidang Tahunan MPR, sehingga berlarut-larut. Fokusn
MPR bukan pada reformasi hukum, melainkan pada
kobnsekuensi pemerintahan menurut Tap MPR dan
pertarungan partai politik dalam pemerintahan. Media
dan parlemen menjadi ajang komoditifikasi "reformasi"
dimana politik menjadi instrumen persaingan dalam
pemerintahan, dan kekerasan menjadi instrumen
pertarungan elite. Hasil pemilu 1999 diikuti oleh
proses penghentian demokratisasi.

Proses ini tampak pada dua hal: Pertama, secara


internal, terjadi duplikasi kepemimpinan dalam state
dan political society dengan perangkapan jabatan Ketua
Partai dan jabatan pemerintahan kunci. Trend ini
dimulai Partai Golkar, yang menunda konggresnya justru
untuk mempertahankan Akbar Tanjung sebagai Ketua,
karena menduduki jabatan Ketua DPR. Kedua, secara
eskternal, melambatnya reformasi terjadi di DPR yang
digunakan partai-partai politik memertentangkan antara
prioritas pemulihan ekonomi dengan pemberantasan KKN
dan reformasi hukum. Trend setter Golkar diikuti oleh
PAN, dan kemudian pada PDI-P sehingga mengisolir
relasi DPR dan Presiden. Isolasi itu mengakibatkan
hambatan terbentuk kerjasama antara kedua cabang
pemerintahan, antara fungsi legislasi dan eksekusi.

Pada level civil society, meskipun liberalisasi pers


menyumbang keberhasilan Pemilu 1999, namun sumbangan
bagi demokratisasi dibatasi persaingan industri media
dan pemberitaan yang sensasional mendorong posisioning
editorial berkorespons dengan kecerendungan political
society. Apa yang normal menjadi problematik karena
etika profesional tidak muncul. Pada sisi lain,
kelompok-kelompok civil society lainnya, seperti LSM
dan mahasiswa, semakin kehilangan kontrol atas proses
reformasi hukum.Partai-partai politik mereduksi
seluruh problem reformats pada tingkat kebijakan
eksekutip, dan media, para pengamat dan tokoh-tokoh
elite menjual diri ramai-ramai ditengah kebingungan
kolektip. Tidak ada pendalaman di bidang reformasi
hukum yang dilakukan setelah Sidang Umum MPR tahun
1999. Akibatnya, politik menjadi pragmatis pada saat
diperlukan idealisme untuk membangun tatanan baru.

Kedua, problem pada tingkat political society. Pada


level political society, disain representasi politik
yang digunakan dalam Pemilu dan sistim kepartaian
tidak berbeda secara prinsip dari sebelumnya.
Liberalisasi partai politik terjadi tanpa efek
pemutusan dari hegemoni politik yang lama, dari 3
menjadi 48, diorganisikan atas basis pengelompokan
sosio-kultural, programnya tidak berbeda satu sama
lain. Bahkan gagasan pemilihan sistim distrik,
sekalipun gagasan lama yang sudah muncul sebelum
reformasi, mendapat tantangan dari partai-partai
besar, yang khawatir kehilangan kontrol atas
wakil-wakilnya di parlemen pusat maupun daerah.
Liberalisasi pers dibuka untuk mendukung merestorasi
sistem Pemilu, yang digunakan lebih untuk mendapatkan
legitimasi baru dari rakyat terhadap DPR dan MPR.
Selanjutnya, simbiose antara industri pers dan praktek
politisi di parlemen dan di luar parlemen cenderung
tidak mendukung proses reformasi hukum.

Ketiga, problem pada tingkat the state. Perubahan


UUD'1945 yang dilakukan secara tergesa-gesa, dan tanpa
melibatkan partisipasi rakyat, akhirnya hanya menjadi
arena yang melegitimasi pertarungan politik. Perubahan
konstitusi tidak menjernihkan rumusan pembagian
kekuasaan dan hubungan antar lembaga-lembaga negara,
sehingga tidak efektip sebagai panduan penyelenggaraan
pemerintahan yang demokratis. Model perwakilan politik
dalam DPR dan DPRD tidak berkorelasi dengan
deferensiasi kepartaian, berakibat berlanjutnya
reproduksi kepentingan pusat ke daerah-daerah, melawan
keragaman artikulasi kepentingan lokal.

Disain pada level state dan political society itu


memperkuat pengelompokan "politik aliran," yakni
pengelompokan simbolik-kultural dan agama, di atas
keadaan geografis kepulauan dan sebaran penduduk yang
terpusat di Jawa. Konflik lokal mudah dipolitisir
elite nasional, sebagaimana dalam kasus kerusuhan
etnik di Sampit, dan konflik elite nasional mudah
merembes ke tingkat lokal, sebagaimana dalam kasus
memorandum DPR terhadap Presiden. Kedua kendala itu
mengakibatkan pemerintahan demokrasi dan pemerintahan
yang efektip saling meniadakan satu sama lain.

Dalam dua tahun ini, pemerintahan demokratis dan


sekaligus efektip sulit diwujudkan karena jalannya
pemerintahan dirorongrong parlemen, yang dimungkinkan
karena dua faktor: [a] kekacauan pemahaman mengenai
UUD, serta [b] iklim "kebebasan tanpa hukum" dari
media dan partai-partai politik. Pemilu 1999 telah
dilakukan dan menyusun komposisi "Majelis Negara"
[MPR] dan parlemen [DPR], serta memilih Presiden, pada
Oktober 1999. Perubahan UUD tidak memenuhi persyaratan
suatu pembentukan atau perubahan konstitusi, tidak
pula menyediakan ruangan bagi pemerintahan demokratis.
Sidang Tahunan MPR bukan menjadi ajang penyelesaian
masalah secara gradual, tapi ajang suksesi
pemerintahan, dengan mendaur ulang SI MPRS untuk
mengganti Presiden.

Moral reform tidak berlanjut menjadi political reform


pada tingkat partai politik [political society] dan
legal reform pada tingkat negara [state]. Karena
berhentinya Presiden Soeharto dilihat sebagai masalah
legitimasi pemerintahan, maka titik berat solusi
bersifat sirkuler dengan membentuk pemerintahan baru
tanpa memeriksa kesalahan yang terjadi. Pengidentikan
antara "kedaulatan rakyat" dan "kedaulatan negara"
berlanjut pada kekuasaan MPR yang tak tertabatas terus
berlanjut. Gagasan "reformasi elitis" yang didukung
midle class [dengan jargon moralitas ketika
mendelegitimasi Soeharto] mengarah pada perumusan
keseimbangan pemerintahan tanpa menata ulang model
representasi politik untuk memecahkan kesenjangan
pusat dan daerah yang selama Orde Baru dipecahkan
dengan melibatkan TNI, maupun secara ekstrakonstitusi.

Solusi ekstrakonstitusi dalam SI MPR mengabaikan tiga


hal: Pertama, "keseimbangan baru" tidak bisa
diwujudkan di atas structural imperative dari sistim
konstitusi yang tidak memenuhi syarat kepastian hukum.
Kedua, memanipulasi masalah yang dihadapi, karena
selalu akan menemui masalah yang sama. Ketiga,
bertolak dari anggapan "negara pejabat" sehingga
kedaulatan rakyat dikesampingkan. Orang sinis akan
menyimpulkan: ada tiga type manusia Indonesia: type
tolol, type penipu, atau type korban ketololan dan
penipuan. [bagian kelima dari enam tulisan] [*]
penulis anggota PBHI, aktivis LSM.

SI MPR dan Kembalinya Orde Baru [6]


B Setiabudi [*]

Tiga tahun krisis Indonesia tidak dapat dilokalisir


sebagai sekedar problem legitimasi pemerintahan. Pada
satu sisi, situasinya seperti lima tahun pertama
setelah kemerdekaan, ketika dalam elite politik ada
kecerendungan pragmatis dan idealis dalam
menyelesaikan tahap revolusi. Pada sisi yang lain,
"transisi demokrasi" menampakkan ciri seperti lima
tahun kedua setelah kemerdekaan, ketika pusat dan
daerah saling bertentangan. Krisis di Indonesia sukar
pemecahannya karena tidak dipenuhinya dua kebutuhan
yang niscaya oleh konsitusi, yakni kebebasan dan
kesatuan, sebagai akibat kegagalan Konstituante pada
tahun 1956-59 dalam meletakkan landasan institusional
bagi konstitusi demokrasi. Dengan itu, UUD 1945
kembali digunakan tanpa menyadari kesalahan MPR yang
menyumbang bagi terjadinya krisis. Problem konstitusi
yang melekat pada sejarah UUD 1945 yang selama tiga
dekade digunakan untuk melegitimasi penguasa otoriter
ada di luar identifikasi. Kekuasaan ekstarkonstitusi
MPR hendak diandalkan dengan memecat Presiden di dalam
SI MPR. Reformasi diberi rumusan melokalisir
demokratisasi meluas dari pusat ke daerah-daerah,
dengan cara melakukan pemilu 1999, tanpa memperbaiki
bangunan politiknya.

Namun tiga dekade Orde Baru telah memutus ingatan atas


sejarah proklamasi RI tahun 1945, ketika pemuda
memainkan peran menentukan dalam revolusi. Berbeda
dari dekade pertama kemerdekaan, krisis yang sekarang
tidak terjadi di atas kalkulasi risiko dari keputusan
politik, melainkan kecemasan dan ketidakpastian yang
melumpuhkan akal sehat. Perasaan cemas itu digunakan
oleh para politisi sebagai unsur mobilisasi karena:
Pertama, masih kuatnya unsur-unsur otoritarianism
akibat sistim representasi politik lama selama tiga
dekade, yang menyuburkan patronase elite dan massa
dengan membungkus xenofobisme dalam ikatan
primordialitas dan sentimen komunalitas. Kedua,
sedikitnya pengetahuan demokrasi yang bisa digunakan
mengenali situasi, karena masa lampau yang
dimanipulasi.

Ketidaksiapan elite politik mendorong menggunakan


wacana akademisi sebelum krisis terjadi, untuk suatu
persoalan di luar kemampuan akademisi menelahnya.
Kesalahan menganilis krisis itu mengakibatkan
dirasionalisaikan sebagai serangan dari luar, dan
jawaban "reformasi" ialah menciptakan tacit concent
[kesepakatan kondisional] dalam SI dan ST MPR.
Gejala-gejala merosotnya kontrol pusat atas
daerah-daerah yang disebut desintegrasi itu dilihat
lagi sebagai ancaman laten, tanpa kemampuan mengenali
persoalannya.

Kebebasan dan Kesatuan

Ada dua substansi dari fungsi sistim konstitusi


demokrasi yang tidak dipenuhi UUD 1945 dan praktek
ekstrakonstitusi MPR: Pertama, fungsi konstitusi
sebagai hukum positip dalam memenuhi kebutuhan akan
kebebasan bagi rakyat melalui kepastian hokum. Kedua,
fungsi konstitusi dalam memberikan solusi bagi
kesatuan politik melalui pengaturan sistim
pemerintahan. Pemulihan demokrasi dan pemulihan
konstitusi dari kesalahan di masa lalu adalah paralel,
tidak bisa dipertentangkan. Keduanya merupakan
komitmen dari reformasi, sehingga mengabaikan salah
satu diantaranya akan mematikan keduanya.

Pernyataan Megawati, yang mau dipilih menjadi Presiden


kalau ada tiga syarat tidak ada SI, tidak ada ST dan
dijamin sampai 2004 menunjukkan kegenitan oportunis
yang kurang rasa tanggungjawab, suatu yang menjadi
karakteristik elitis para penasihat politiknya: Ujian
dari survival Negara Kesatuan adalah sikap politik
Presiden Wahid, tapi ujian demokrasi adalah apakah
duet Presiden Wahid-Megawati bisa bertahan hingga
2004, tanpa menjadi otoriter. Mengandaikan Megawati
dapat mengendalikan demokrasi adalah spekulasi gila,
mengandaikan bisa bertahan sampai 2004, adalah
perjudian.

Jatuhnya Presiden Wahid memecah pendukung Negara


Kesatuan, kembalinya Orde Baru yang membonceng naiknya
Megawati mengikis harapan memperbaiki Negara Kesatuan.
Jatuhnya Presiden Megawati sebelum 2004, akan menjadi
indikator tidak adanya kesesuaian antara Negara
Kesatuan dan kebutuhan demokrasi. Ketika harapan tidak
bisa diwujudkan di atas structural imperative dari
sistim konstitusi yang tidak memenuhi syarat minimal
bagi kepastian hukum, kontradiksi lama kebutuhan akan
kebebasan bagi rakyat solusi bagi kesatuan politik
akan bermunculan.

SI MPR adalah sebuah perjudian, dalam jangka pendek


perjudian demokrasi dan dalam jangka panjang perjudian
nasib Negara Kesatuan sebagai bentuk kesatuan politik
RI. Bahaya keruntuhan Negara Kesatuan seperti
diperingatkan Presiden Wahid, bukan isapan jempol.
Eite politik tidak memiliki persepsi: kembalinya Orde
Baru dalam jangka pendek adalah keruntuhan Negara
Kesatuan dalam jangka panjang. Karakteristik
geopolitik Indonesia yang luas dan beragam, secara
empiris lebih menguntungkan Federalisme, sehingga masa
depan Negara Kesatuan amat tergantung pada kemampuan
memperbaiki institusi dan etika politik, dua unsur
yang tidak muncul dalam reformasi hingga sekarang..

Kalau kita teliti sejarah Indonesia, trend


perkembangan politik domestiknya sangat dipengaruhi
oleh trend poltik internasional pada masanya. Mulai
dari peristiwa 3 Juli 1946, peristiwa Madiun 1948,
Gestapu 1965, sampai naik dan tumbangnya Jendral
Soeharto setelah tiga dekade berkuasa, semua
pergolakan ini terjadi dalam setting Perang Dingin
yang tidak menguntungkan demokrasi. Dalam konflik
antara kebutuhan demokrasi dan kesatuan politik, maka
yang disebut terakhir mendapatkan dukungan
internasional, karena ketakutan demokrasi akan
menguntungkan komunisme. Namun, dengan berakhirnya
Perang Dingin di seluruh dunia, ketika komunisme
sebagai kekuatan global sudah tidak significant, maka
konflik dalam setting globalisasi itu akan dimenangkan
demokrasi, dengan akibat karakteristik kesatuan
politik harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan
demokrasi.

Dalam kontroversi atas penyelenggaraan SI MPR,


Presiden Wahid sejak awal menilai sebagai menyalahi
UUD 1945. Dalam persepsi Presiden Wahid, keselamatan
NKRI hanya bias dipertahankan apabila proses reformasi
berhasil mengembalikan fungsi konstitusi UUD 1945
untuk menjadi landasan bagi demokrasi. Atas dasar itu,
ia menolak setiap risiko kesalahan terjadi dalam SI
MPR, yang akan mengakibatkan dirinya kehilangan
kepercayaan pada dua sekutu strategisnya dalam membela
Negara Kesatuan RI: kaum nasionalis dan TNI-Polri.

Tiga pernyataan terakhir akan dikutip di sini:


Pertama, pernyataan Megawati bahwa bagi PDI P tidak
ada agenda lain dalam SI MPR kecuali menolak atau
menerima pertanggungjawab Presiden [28 Juni, 2001]
Kedua, pernyataan Presiden akan mengeluarkan Dekrit
apabila SI MPR mengagendakan pertanggungjawab Presiden
[27 Juni, 2000]. Ketiga, pernyataan TNI tidak akan
mendukung usaha menghentikan SI MPR oleh Presiden,
apabila Presiden mengeluarkan Dekrit. [28 Juni, 2000].

Baik Megawati dengan PDI P, maupun TNI-Polri, kedua


kekuatan politik ini diwakili dalam MPR dan DPR,
memiliki persepsi yang sama dengan Presiden Wahid
mengenai perlunya mempertahankan Negara Kesatuan RI.
Namun, baik fraksi TNI maupun PDI P tidak bertolak
dari komitmen demokrasi yang sama dengan Presiden.
Bagi TNI dan Megawati tidak ada dilemma dalam urutan
prioritas, apabila terjadi konflik antara demokrasi
dan Negara Kesatuan, maka PDI P mengabaikan demokrasi
demi Negara Kesatuan RI.
Abdurahman Wahid, dalam konflik antara Negara Kesatuan
dan kebutuhan demokrasi, akan menghadapi dilemma.
Tanpa menjadi Presiden, ia tidak bisa meyakinkan
pendukungnya untuk membela Negara Kesatuan, apabila
ketika menjadi Presiden tidak mendapat dukungan
sekutunya. Pernyataan Akbar Tanjung bahwa setalah ST
MPR 2001, ST MPR bisa dihapuskan atau diganti sebagai
progress report DPR [Kompas, 30 Juni 2001], tidak ada
pengaruhnya terhadap persiapan SI MPR, dan usaha
Presiden Wahid mencari win win solution. Hal ini
menunjukkan skema politik ST MPR yang dibuat MPR tahun
1999, yang menjadi sumber instabilitas dalam dua tahun
terakhir, harus diubah dengan mengorbankan Presiden
Wahid. Ada dua perbandingan yang bisa dirujuk: situasi
tahun 1946 sampai 1948.

Rezim elite politik Indonesia selalu dibangun dengan


menciptakan kambing hitam. Presiden Soekarno
membubarkan Konstituante mengkambinghitamkan demokrasi
liberal. Presiden Soeharto menjatuhkan Soekarno dengan
mengkambinghitamkan PKI. Pada tahun 1946 ketika
oposisi perjuangan bersenjata yang menolak jalan
diplomasi telah melumpuhkan kabinet Syahrir, kesatuan
politik dibentuk melalui sirkulasi elite dengan
menjadikan Tan Malaka sebagai kambing hitam. Pada
tahun 1948, Amir Syarifuddin, yang menggantikan
kabinet Syahrir, dijatuhkan KNI Pusat, atas alasan
penandatanganan perjanjian Linggajati. Namun, kabinet
Hatta yang menggantikan Amir juga menyetujui jalan
diplomasi, kesatuan politik dibentuk melalui sirkulasi
elite dengan menjadikan peristiwa Madiun sebagai
kambing hitam.

Dan kini Megawati membiarkan MPR digunakan


mengkambinghitam Presiden Wahid, memetik buah tragedi
Soekarno. Namun dengan memintal simbol kembalinya
Soekarno," apakah Megawati tidak sedang digunakan
memanipulasi kembalinya Orde Baru yang membonceng
kenaikannya? Dalam semua kejadian itu, TNI membiarkan
dirinya terombang-ambing dalam dua pilihan: diperalat
atau memperalat. Dalam suasana semacam itu, unsur anti
demokrasi mendapatkan peluang untuk memainkan
kartunya. Dengan menghindari taruhan politik semakin
besar, Presiden Wahid menginginkan win win solution
dalam SI MPR. Terlepas apakah Megawati menolak
kompromi karena pelintiran politik" atau tidak,
namun, kesalahan politik ini akan disesalinya. Orang
sinis akan menyimpulkan: ada tiga type manusia
Indonesia: type tolol, type penipu, atau type korban
ketololan dan penipuan. [*] penulis anggota PBHI,
aktivis LSM.

Anda mungkin juga menyukai