Anda di halaman 1dari 5

Jangan Menghakimi

24 April 2016
Romo Dominikus
Kis 14:21b-27

Dalam masyarakat, golongan orang kecil, miskin kurang diperhatikan dan dihargai.
Contohnya, Bartimeus yang seorang pengemis apalagi buta. Ketika berseru kepada Yesus
malahan ditegur dan dipaksa diam. Tapi ketika jeritan si pengemis buta itu didengar-Nya,
Yesus langsung minta supaya Bartimeus dibawa kepada-Nya. Dan ketika berhadapan
dengan si buta itu Yesus tanya: Apa yang kauhendaki Kuperbuat bagimu? Dan jawab
orang buta itu: Rabuni, semoga aku dapat melihat! Kemudian Yesus berkata: Pergilah,
imanmu telah menyelamatkan engkau!. Bartimeus memang melihat, tetapi bukan hanya
melihat dengan matanya, melainkan yang lebih penting lagi ia melihat dengan hatinya. Ia
memang buta banyak hal, tetapi ia melihat jelas siapa Yesus sebenarnya dengan
imannya . Mukjizat-mukjizat penyembuhan berbagai macam penyakit, yang dilakukan
Yesus, bukan sekedar perubahan atau penyembuhan fisik. Juga penyembuhan rohani:
perubahan pandangan, perbaikan sikap dasar seperti kesombongan, keangkuhan. Semua itu
merupakan kebutaan yang harus disembuhkan atau dihilangkan.Tanpa kita sadari, tidak
jarang kita bersikap dan bertindak seperti orang-orang yang berusaha menghalangi
Bartimeus berjumpa dengan Yesus. Jangan menghakimi! Bukan juga maksudnya kita
tidak peduli dengan kesalahan orang lain, menutup mata dengan kesalahan orang lain,
seolah-olah itu adalah masalah privacy orang lain, bukan urusan kita. Bukan itu poinnya.
Tetapi sikap menghakimi yang dimaksudkan disini adalah lebih kepada sikap yang begitu
fanatik dan agresif terhadap dosa-dosa orang lain, tetapi begitu toleran dengan dosa-dosa
sendiri. Sikap menghakimi disini lebih kepada sikap yang suka mencari-cari kesalahan
orang lain, tetapi dirinya sendiri tidak sadar bahwa dia sebenarnya punya kesalahan yang
jauh lebih besar. Sikap menghakimi disini lebih kepada sikap yang begitu kejam, begitu
keras mengkritik orang lain, judgmental spirit, dan menghukum orang lain tanpa belas
kasihan; tetapi sebaliknya, begitu lemah mengkritik diri sendiri, begitu toleran dengan
kesalahan diri sendiri. Yesus tidak melarang kita untuk mengkritik, atau menegur kesalahan
orang lain. Yang dilarang Yesus adalah mengkritik dengan spirit/jiwa yang salah dengan
tujuan dan motif yang salah. Kritik yang sifatnya menghancurkan, merendahkan orang lain.
Mengkritik dengan sikap arogan, penuh dengan kesombongan rohani. Saudara-saudara,
dunia ini dipenuhi oleh orang-orang yang demikian. Dan ini juga menjadi tantangan dan
ujian bagi kita sebagai hamba Tuhan yang banyak berurusan dengan mengubah hidup orang
lain.
Di gereja zaman sekarang, saling kritik dan menghakimi di kalangan orang Kristen
lazim terjadi. Banyak perselisihan timbul di tengah jemaat sebagai akibat hal itu. Masalah
ini sudah sangat meluas, setiap orang mulai dari kalangan atas sampai bawah, tak peduli
apakah mereka itu penginjil atau orang yang baru percaya semuanya terlibat. Trend yang
bisa kita istilahkan dengan ungkapan mendiskusikan orang lain sudah sedemikian luas
jangkuannya sehingga kita justru menganggap hal tersebut wajar. Karena para pengkhotbah
bisa dengan leluasa mengkritik, menghakimi atau pun memfitnah, mengapa kita tidak
boleh melakukannya? Mengapa Yakobus berkata bahwa hal mengecam dan menghakimi
orang lain ini adalah masalah serius? Kita semua bisa setuju bahwa mengkritik dan
menghakimi orang lain adalah hal yang seharusnya tidak kita perbuat, namun apakah kita
benar-benar sadar akan keseriusan masalah ini? Kesuksesan bukannya membuat kita lebih
peka terhadap orang lain tetapi malah menjadikan kita lupa diri.Melihat orang yang
hidupnya susah atau memiliki cacat tubuh, selintas pikiran bahwa itu akibat dosanya atau
dosa orang tuanya, akibat kutuk dan sebagainya bisa muncul di benak kita dengan mudah
kalau tidak hati-hati. Tanpa melihat lebih jauh mengenai kebenarannya dulu kita sudah
buru-buru menghakimi orang lain.Hal seperti ini bukan saja terjadi di antara orang-orang
dunia, tetapi di antara anak Tuhan sendiri pun sikap seperti ini bisa muncul. Secara tidak
sadar kita bisa mengeluarkan ucapan-ucapan yang secara tidak langsung menyakiti orang
lain, menyudutkan dan menjatuhkan. Komentar-komentar yang selintas, sambil lalu, tanpa
kita tahu kebenarannya tapi menyakitkan orang yang kita komentari. Ini adalah sesuatu
yang tidak pantas dilakukan apapun alasannya. Sifat-sifat buruk orang lain tampak begitu
besar dan nyata, sehingga kita terdorong untuk menegur dan menghakiminya. Padahal
tanpa sadar kita pun punya sifat buruk itu, bahkan mungkin lebih parah. Kadang-kadang,
kita begitu peka, begitu sensitif dengan dosa-dosa orang lain, tetapi tidak peka dan sensitif
dengan dosa kita sendiri. Kita begitu cepat dan mudah menemukan kesalahan orang lain,
tetapi seringkali sulit menemukan kesalahan diri sendiri. Kita cenderung membesar-
besarkan kesalahan orang lain, tetapi mengecilkan kesalahan diri sendiri, bahkan kadang-
kadang menutup rapat-rapat supaya orang lain tidak ada yang tahu kesalahan kita itu. Kita
seringkali sibuk dengan dosa-dosa orang lain, sampai-sampai lupa atau kurang mencermati
kehidupan kerohanian kita sendiri. Seringkali tanpa sadar, kita menerapkan standar ganda
dalam relasi dengan orang lain. Kita menerapkan standar dan tuntutan yang sangat tinggi
terhadap orang lain, tetapi kita menurunkan standar itu bagi diri kita sendiri. Sebuah
perbuatan munafik yang tidak akan berhasil. Seseorang harus menyadari dulu sifat-sifat
buruknya sendiri, lalu berusaha mengatasinya, sebelum bisa menegur orang dengan penuh
wibawa. Sikap suka menghakimi kerap muncul dalam keluarga. Bisa terjadi dalam
hubungan antara orangtua dan anak, atau suami dan istri. Kedekatan membuat kita sangat
mengenal cacat cela orang-orang yang kita kasihi. Akibatnya, kita menjadi sangat mudah
menemukan kesalahan mereka. Ini yang harus kita waspadai. Lain kali, sebelum menuduh
dan mencaci-maki, periksalah diri sendiri dulu. Belum tentu kita lebih baik dari mereka.
Jadi, lebih baik saling menasihati daripada saling menghakimi. Sikap seperti ini nyatanya
pernah terjadi di antara murid-murid Yesus sendiri. Pada suatu hari ketika Yesus sedang
berjalan bersama murid-muridNya ada seorang pengemis yang buta sejak lahir melewati
mereka. Melihat orang buta itu, murid-murid Yesus spontan bertanya kepadaNya: "Rabi,
siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan
buta?" (Yohanes 9:2). Bayangkan seandainya kita yang ada di posisi orang buta tadi, pasti
sakit sekali rasanya dikatai seperti itu. Orang buta itu tentu sudah menderita karena tidak
bisa melihat. Hidupnya susah dengan keterbatasannya sehingga ia pun terpaksa mengemis.
Lihatlah sikap para murid itu. Bukannya di bantu, diberi sedekah, disapa dengan ramah,
tapi malah dikomentari. Tentu hal itu akan semakin menambah penderitaannya. Sepertinya
murid-murid itu lupa bahwa mereka sendiri adalah manusia yang berdosa juga, dan belum
tentu lebih baik dari si pengemis buta. Mengeluarkan komentar seperti ini menunjukkan
bahwa mereka pun buta, buta secara rohani. Mereka tampaknya lupa diri, menjadi pongah
dengan status mereka sebagai murid Yesus sehingga merasa berhak mengeluarkan kata-
kata seperti itu. Menanggapi komentar murid-muridNya, Yesus memilih untuk melakukan
sesuatu secara nyata. Kemudian Yesus pun menyembuhkan pengemis buta tadi sehingga
dia bisa melihat, sesuatu yang belum pernah ia alami sejak lahir. Tidak hanya itu saja, Yesus
pun berkata: "Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan
Allah harus dinyatakan di dalam dia." (ayat 3). Yesus mengatakan bahwa pekerjaan Allah
harus dinyatakan dalam dia. Tidakkah itu luar biasa bagi seorang pengemis buta yang
mungkin tidak ada yang peduli? Sebelum bertemu Yesus, hidup baginya hanyalah
kegelapan, dia tidak berguna. Tiba-tiba dia mendapat perhatian, disembuhkan sehingga kini
bisa melihat terang, bahkan dilibatkan dalam pekerjaan Allah! Ini sesuatu yang sungguh
luar biasa. Perjumpaannya dengan Yesus merubah hidupnya. Ia dipulihkan dan menjadi
kesaksian bagi banyak orang. Dan juga, dosa kemunafikan adalah dosa yang paling sulit
kita lihat, paling sulit kita sadari, karena dosa ini membutakan diri kita sendiri. Dosa
kemunafikan berakar dalam sikap pembenaran diri sendiri. Orang munafik lebih percaya
pada diri sendiri daripada percaya kepada Allah. Orang munafik mengukur dan menilai
segala sesuatu menurut ukuran sendiri, standar sendiri, dan menganggap penilaiannya
yang paling objektif. Dengan menghakimi orang lain, dia sebenarnya sedang menikmati
pembenaran atas diri sendiri tanpa rasa bersalah. Dengan menghakimi orang lain, kita
ingin mengabsahkan kebenaran diri sendiri: Sejelek-jeleknya saya, ada orang lain lho
yang lebih jelek.

Saya selama ini juga terkadang masih men-judge seseorang berdasarkan penilaian saya
sendiri. Saya melihat hanya dengan menggunakan mata saya, langsung mengangggap
seseorang tidak baik dari suatu perisitiwa tanpa mau mengkaji/ mencari tau tentang dia
secara lebih lanjut. Saya pernh membaca suatu kalimat di internet, yang bahwa seseorang
dengan timeline penuh ayat belum tentu tidak mau diajak berbuat bejat juga. Dan disini
saya sadar, bahwa memang seringkali iman kita hanya sekedar cover, termasuk saya,
seperti contoh dalam menghakimi orang lain. Walau Tuhan telah mengajari kita untuk
melihat orang melalui hati. Tapi memang saya rasa inilah salah satu kesombongan yang
dimiliki manusia, merasa dirinya lebih superior dibanding orang lain. Saya bertekad untuk
berusaha tidak secepat itu menghakimi orang lain lagi, apalagi melalui hal hal yang hanya
dilihat oleh mata. Saya akan berusaha tidak menganggap remeh orang lain lagi, apalagi
menjadikan iman sebagai alasan dalam menghakimi orang. Saya rasa tidak ada orang yang
tidak pernah terjerumus dalam dosa. Banyak diantara kita, termasuk saya sendiri yang masa
lalunya juga penuh dengan kekelaman. Betapa luar biasanya Tuhan yang memberi
pengampunan ketika kita bertobat. Bayangkan dalam posisi manusia yang pantas dihukum
semua dosa-dosanya, Tuhan malah mengirim Yesus Kristus ke dunia untuk membayar
lunas semua dosa kita. Dia mati di atas kayu salib untuk kita semua, menggantikan tempat
yang seharusnya kita tanggung. Kemudian Tuhan memberikan kita berkat melimpah,
diantaranya kehidupan kekal, pengampunan, sukacita, damai sejahtera dan pengharapan
yang semuanya diberikan lewat Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat kita. Jika kita
benar-benar menyadari hal ini, kita pun akan semakin mengurangi kecenderungan untuk
menilai dan menghakimi orang lain. Jika kita bersyukur atas segala pengampunan dan
kesempatan yang diberikan Tuhan pada kita, sudah selayaknya kita pun memberikan
kesempatan bagi siapapun untuk berbalik dari kejahatan dan dosa. Yesus juga menjungkir
balikkan pandangan-pandangan keliru. Yesus meluruskan persepsi-persepsi yang salah
yang ada di dunia selama ini. Jika kita selama ini merasa paling tahu apa yang benar, maka
Yesus membawa kebenaran yang sesungguhnya dari Bapa. Jika kita menolak kebenaran
dan menganggap kita lebih tahu, maka sesungguhnya kitalah yang buta dan akan tetap buta.
Kedatangan Kristus pun menjadi sia-sia bagi kita yang keras hati seperti ini, sehingga kita
luput dari anugerah keselamatan yang telah diberikan lewat Kristus kepada kita. Jangan
cuma bicara, apalagi membicarakan dosa orang lain, gosip, mengatai orang dan sebagainya.
Berhentilah melakukan itu. Mulailah mengambil tindakan nyata, selagi "hari masih siang".
Mengatai, menggosipkan atau membicarakan orang lain adalah sia-sia dan sama dengan
memberi tuduhan palsu. Hal tersebut tajam adanya dan bisa sangat melukai. Daripada
melakukan hal yang mendatangkan masalah bagi kita dan menyakiti orang lain, lebih baik
kita mengambil tindakan nyata dengan mengasihi dan memberkati orang lebih banyak lagi.
Masih begitu banyak pekerjaan yang bisa kita lakukan di ladang Tuhan, dan lakukanlah itu
secara nyata selagi masih ada waktu.

"Tetapi engkau, mengapakah engkau menghakimi saudaramu? Atau mengapakah engkau


menghina saudaramu? Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan
Allah." (Roma 14:10)

"Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya: "Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini
sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?" (yohanes 9:2)

"Orang yang bersaksi dusta terhadap sesamanya adalah seperti gada, atau pedang, atau
panah yang tajam." (Amsal 25:18)

Anda mungkin juga menyukai