Leukemia Akut
Oleh : Akhmad Zahid (H1A013005)
PENDAHULUAN
Leukemia (kanker darah) merupakan penyakit ganas dan progresif pada organ pembentuk
darah yang ditandai dengan perubahan proliferasi dan perkembangan leukosit dan prekursornya
dalam darah dan sumsum tulang. Klasifikasinya berdasarkan derajat diferensiasi sel yaitu
leukemia akut dan kronik, bukan merujuk pada lamanya penyakit. Dan klasifikasi berdasarkan
tipe sel yang predominan yaitu leukemia myelogenik dan limfoblastik.1
Akut leukemia adalah leukemia dengan sedikit atau tanpa differensiasi sel yang terkena,
biasanya terdiri dari sel blast. Akut leukemia terdapat dua tipe yaitu leukemia limfoblastik akut
dan leukemia myelogenik akut. Leukemia akut tipe limfoblastik (LLA) terutama menyerang
anak-anak. Gejalanya antara lain anemia, penurunan berat badan, mudah terluka,
trombositopenia, nyeri tulang, limfadenopati, hepatosplenomegali, dan kadang menyebar ke
susunan saraf pusat. Sedangkan leukemia akut tipe mielogenik (LMA) kebanyakan menyerang
orang dewasa lanjut hingga lansia. Gejalanya meliputi sama seperti leukemia akut tipe
limfoblastik. 2
Bila tidak diobati, penyakit ini akan mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu
beberapa minggu hingga bulan. Kemajuan pengobatan leukemia dewasa ini telah dicapai dengan
regimen kemotrapi yang lebih baik, kemotrapi dosis tinggi dengan dukungan cangkok sumsum
tulang dan terapi suportif yang lebih baik, seperti antibiotik generasi baru dan transfusi
komponen darah untuk mengatasi efek samping pengobatan.1 Insidens leukemia mieloblastik
akut kira-kira 2-3/100.000 penduduk dan lebih sering ditemukan pada orang dewasa (85%)
daripada anak-anak(15%). Sedangkan insidens leukemia limfoblastik akut berkisar 2-3/100.000
dan lebih sering ditemukan pada anak-anak (85%) dari pada orang dewasa (15%).8 Di dalam
tinjauan pustaka ini akan dibahas lebih lanjut mengenai leukemia myeloblatik dan limfoblastik
akut yaitu tentang epidemiologi, etiologi, patofisiologi, manisfestasi klinis, diagnosis,
penetalaksaan, dan prognosisnya.
Leukemia myeloblastik akut (LMA) di negara maju seperti USA, insidennya mencapau
32% dari seluruh kasus leukemia. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang dewasa (85%)
daripada anak-anak (15%). Insidensnya ini umumnya tidak berbeda dari masa anak-anak hingga
dewasa muda. Sesudah usia 30 tahun, insidennya meningkat secara eksponensial sejalan dengan
meningkatnya usia. Insidens LMA pada orang yang berusia 30 tahun adalah 0,8%, pada orang
yang berusia 50 tahun 2,7%, sedang pada orang dewasa yang berusia >65 tahun adalah sebesar
13,7%. Secara umum tidak didapatkan adanya variasi antar etnik tentang insidens LMA,
meskipun pernah dilaporkan adanya insidens LMA tipe M3 yang 2,9 hingga 5,8 kali lebih besar
pada ras Hispanik yang tinggal di USA dibandingkan dengan ras Kaukasia. 4,5
Insidens Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) adalah 1/60.000 orang per tahun, dengan
75% pasien beusia <15 tahun. Insidensi puncaknya usia 3-5 tahun. LLA lebih banyak ditemukan
pada laki-laki daripada perempuan. Saudara kandung dari pasien LLA mempunyai risiko 4 kali
lebih besar untuk berkembang menjadi LLA, sedangkan kembar monozigot pasien LLA
mempunyai risiko 20% untuk berkembang menjadi LLA.4,5
ETIOLOGI
Pada sebagian besar kasus, etiologi dari LMA tidak diketahui. Meskipun demikian ada
beberapa faktor yang diketahui dapat menyebabkan atau setidaknya menjadi faktor predisposisi
LMA pada populasi tertentu. Benzene suatu senyawa kimia banyak digunakan pada industri
penyamakan kulit di negara sedang berkembang, diketahui merupakan zat leukomogenik untuk
LMA. Ini diketahui dari penelitian tentang tingginya insidensi kasus leukemia pada orang yang
selamat dari serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Efek
leukomogenik dari paparan ion radiasi tersebut mulai tampak sejak1,5 tahun sesudah
pengeboman. Faktor lain yang diketahui merupakan faktor predisposisi untuk LMA adalah
trisomi kromosom 21 pada sindrom down. Pasien Sindrom Down dengan trisomi 21 mempunyai
resiko 10 hingga 18 kali lebih tinggi untuk menderita leukemia, khususnya LMA tipe M7. Selain
Faktor lain yang dapat memicu terjadinya LMA adalah pengobatan dengan kemoterapi
sitotoksik pada pasien tumor padat. LMA akibat terapi adalah komplikasi jangka panjang yang
serius dari pengobatan limfoma, mieloma multipel, kanker payudara, kanker ovarium dan kanker
testis. Jenis kemotrapi yang paling sering memicu timbulnya LMA adalah golongan alkilating
agent dan topoisomerase II inhibitor. LMA akibat terapi mempunyai prognosis yang lebih buruk
dibandingkan LMA de novo sehingga di dalam klasifikasi leukemia versi WHO dikelompokkan
sendiri.7,8
Penyebab LLA pada dewasa sebgaian besar tidak diketahui. Faktor keturunan dan
sindroma predisposisi genetik lebih berhubungan dengan LLA yang terjadi pada anak-anak.
Beberapa faktor lingkungan dan kondisi klinis yang berhubungan dengan LLA adalah : 1)
Radiasi ionik. Orang-orang yang selamat dari ledakan bom atom Hiroshima dan Nagasaki
mempunyai risiko relatif keseluruhan 9,1 untuk berkembang menjadi LLA; 2) Paparan dengan
benzene kadar tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang, kerusakan kromsom, dan
leukemia; 3) Merokok sedikit meningkatkan risikol LLA pada usia di atas 60 tahun; 4) Obat
kemoterapi; 5) Infeksi virus Epstein Barr berhubungan kuat dengan LLA L3; 6) Pasien dengan
sindroma Down dan Wiscott-Aldrich mempunyai risiko yang meningkat untuk menjadi LLA.8
KLASIFIKASI
PATOFISIOLOGI
Penelitian morfologi dan kinetika sel menunjukkan bahwa pada leukemia akut pada
limfoblasitik atau myeloblastik terjadi hambatan pada diferensiasi dan bahwa sel blas neoplastik
memperlihatkan waktu generasi yang memanjang, bukan memendek. Oleh karena itu, akumulasi
sel blas terjadi akibat ekspansi klonall dan kegagalan pematangan progeni menjadi sel matur
fungsional. Akibat penumpukan sel blas di sumsum tulang, sel bakal hematopoietik mengalami
tekanan. Hal ini menimbulkan dua dampak klinis yang penting : (1) Manifestasi utama leukemia
akut terjadi akibat kurangnya eritrosit, leukosit, trombosit dari normal, (2) Tujuan pengobatan
adalah mengurangi populasi klona leukemia sedemikian sehingga terjadi rekunstitusi progeni sel
bakal normal yang masih tersisa.8
Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade maturitas yang menyebabkan proses
differensiasi sel-sel seri mieloid terhenti pads sel-sel muda (blast) dengan akibat terjadi
akumulasi blast di sumsum tulang. Akumulasi blast di dalam sumsum tulang akan menyebabkan
gangguan hematopoesis normal dan pada gilirannya akan mengakibatkan sindrom kegagalan
sumsum tulang yang ditandai dengan adanya pansitopenia. Adanya anemia akan menyebabkan
pasien mudah lelah, dan pada kasus yang lebih berat sesak nafas, adanya trombositopenia akan
menyebabkan tanda-tanda perdarahan, sedang leukopenia akan menyebabkan pasien rentan
infeksi, termasuk infeksi oportunitis dari flora bakteri normal yang ada dalam tubuh manusia.
Selain itu sel-sel blast yang terbentuk juga akan punya kemampuan untuk bermigrasi keluar
sumsum tulang dan berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak dan
sistem syaraf pusat dan merusak organ-organ tersebut dengan segala akibatnya.6,7
Kelainan yang lain yaitu -7, +8, dan karyotipe hipodiploid behubungan dengan prognosis
yang buruk; sedangkan t(10;14) dan karyotipe hiperdiploid tinggi berhubungan dengan prognosis
yang baik. Mekanisme umum lain dari pembentukan kanker adalah hilangnya atau inaktivasi gen
supresor tumor yang mempunyai peranan penting dalam mengontrol progesi siklus sel, misalnya
p16(INK4A) dan p15(INK4B). Kejadian yang sering adalah delesi, mikrodelesi, dan penyusunan
kembali gen yang melibatkan gen p16(INK4A) dan p16(INK4B). kelainan ekspresi dari gen
supresor tumor Rb dan p53 ternyata lebih sering terjadi. Kelainan yang melibatkan dua atau lebih
gen-gen ini ditemukan pada sepertiga pasien LLA dewasa.6,8
MANIFESTASI KLINIS
Leukesitosis pada LMA terjadi sekitar 50% pasien, dan 15% pasien yang leuksoitnya normal,
dan 35% pasien yang leukositnya netropenia. Pasien dengan leukostitosis berat sering terjadi
leukostatis, yaitu terjadi sumbutan akibat gumpalan leukosit yang menyimbat aliran darah.
Gejala leukostatis sangat bervariasi bergantung lokasi sumbatannya. Gejala yang sering dijumpai
adalah gangguan kesadaran, sesak nafas, nyeri dada, dan priapismus. Leukositosis berat juga
menyebabkan gangguan metabolisme berupa hiperurisemia dan hipoglikemia. Hiperuriesmia
DIAGNOSIS
Pendekatan diagnosis8 :
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemerikasaan laboratorium : hitung darah lengkap, apus darah tepi, pemeriksaan
koagulasi, kadar fibronogen, kimia darah, golangan darah ABO dan Rh, penentuan HLA.
Foto thoraks / computed tomography
Pungsi lumbal
Aspirasi dan biopsi sumsum tulang : pewaraan sitokimia, analisis sitogenik, analisis
imunofenotip, analisis moleuler BCR-ABL
Pemeriksaan penentuan imunofenotip adalah salah satu teknik pengecatan modern yang
dikembangkan berdasarkan reaksi antigen dan antibodi. Diketahui bahwa permukaan membran
sel-sel darah mengekspresikan antigen yang berbeda tergantung dari jenis dan tingkat
differensiasi sel-sel darah tersebut. Sel blast mengekspresi antigen yang berbeda dengan sel-sel
yang lain leukosit yang matur. Identifikasi sel dengan teknik immunofenotip biasanya diberi
label CD (cluster of differentiation). Saat ini terdapat lebih dari 200 CD yang menjadi penanda
berbagai jenis dan tingkat maturitas sel-sel darah.
Bila memungkinkan terapi LMA direncanakan untuk tujuan kuratif. Penderita yang
mempunyai peluang besar untuk mencapai tujuan kuratif adalah mereka yang usianya <60 tahun,
tanpa komorbiditas yang berat serta mempenyai profil sitogenik yang favorable. Untuk mendapat
hasil pengobatan yang maksimal, dilakukan skrining awal untuk mendeteksi kemungkinan
adanya infeksi, gangguan fungsi jantung, dan adanya koagulopati yang sering ditemukan pada
penderita LMA. Untuk pasien LMA yang memiliki leukosit yang sangat tinggi, maka untuk
menghidari leukostatis dan sindrom tumor lisis akibat induksi diperlukan tindakan leukoparesis.
Untuk mencapai hasil pengobatan kuratif harus dilakukan eradikasi sel-sel klonal
leukemia dan memulihkan hematopoesis normal di dalam sumsum tulang. Survival jangka
panjang hanya didapatkan pada pasien yang mencapai remisi komplit. Eradikasi sel-sel
leukemia yang maksimal, memerlukan strategi pengobatan yang baik. Umumnya regimen
kemotrapi untuk pasien LMA terdiri dari dua fase : fase induksi dan fase konsolidasi. Kemotrapi
fase induksi adalah regimen terapi yang intensif yang bertunjuan untuk mengeradikasi sel-sel
leukemia secara maksimal sehingga tercapai remisi komplit [remisi komplit adalah : bila jumlah
sel-sel darah di peredaran darah tepi kembali normal serta pulihnya populasi sel di sumsum
tulang termasuk tercapainya jumlah sel-sel blast <5%]. Meskipun terjadi remisi komplit bukan
berarti sel-sel leukemik telah tereradikasi seluruhnya, karena sel-sel leukemia akan terdeksi
secara klinik jika melebihi 109 log. Bila dibiarkan sel-sel leukemia itu akan berpotensi kambuh
di masa yang akan datang. Oleh karena itu, setelah terjadi remisi komplit perlu ditindaklanjuti
dengan pengobatan lanjutan yaitu kemoterapi konsolidasi.
Pada saat pengobatan kemoterapi, tindakan ini juga akan mengeradikasi sel sisa-sisa sel
hematopoesis normal yang ada di dalam sumsum tulang, sehingga pasien LMA akan mengalami
periode aplasia pasca terapi induksi. Pada saat itu pasien sangat rentan terhadap infeksi dan
perdarahan. Oleh karena itu terapi suportif berupan penggunaan antibiotik dan transfusi
komponen darah (eritrosit dan trombosit) penting untuk menunjang keberhasilan LMA.
- Induksi remisi
- Intensifikasi atau konsolidasi
- Profilaksis susunan saraf pusat
- Pemeliharaan jangka panjang
#Metabolic
#Infeksi
Selain mielosupresi, terapi LLA dapat menekan imunitas seluler sehingga ada yang
memberikan pencegahan terhadap infeksi virus herpes dan pneumonytis corini.
#Hematologic
Batas pemebrian transfuse sel darah merah tegantung dari keadaan fisiologik pasien.
Transfuse sel darah merah harus dihindari pada pasien dengan hiperleukositosis karena dapat
meningkatkan secara mendadak viskositas darah dan mempresipitasi leukostasis. Pada keadaan
leukositosis (leukosit > 100.000/mm3) dilakukan leukoferesis atau pemberian frednison selama 7
hari atau vinkristin sebelum terapi induksi remisi dimulai.
Terapi dengan prednisone dan vinkristin menghasilkan CR pada sekitar 50% pasien LLA
de novo. Penambahan antrasiklin memperbaiki CR menjadi 70-85%. Daunorubisin biasanya
diberikan seminggu sekali, tapi beberapa penelitian memberikan dosis intensifikasi (30-60mg/m3
2-3 hari). Dosis intensifikasi berhubungan dengan mortalitas yang tinggi, sehingga diperlukan
terapi suportif intensif dan pemberian faktor pertumbuhan (granulocyte colony-stimulating
Setelah tercapai remisi komplit, dilakukan terapi intensifikasi yang bertujuan untuk
mengeliminasi sel leukemia residual untuk mencegah relaps dan juga timbulnya sel yang resisten
obat. Terapi ini juga dilakukan 6 bulan kemmudian . studi cancer leukemia grup B menunjukkan
durasi remisi dan kelangsungan hidup yang lebih baik pada pasien LLA yang mencapai remisi
dan mendapat 2 kali terapi intensifikasi daripada pasien yang tidak mendapat terapi intensifikasi.
Berbagai dosis mielosupresi dari obat yang berbeda diberikan tergantung protocol yang dipakai.
Profilaksis SSP
Profilaksis SSP sangat penting dalam terapi LLA. Sekitar 50-75% pasien LLA yang tidak
mendapat terapi profilaksis ini akan mengalami relaps pada SSP. SSP dapat terdiri dari
kombinasi kemoterapi intratekal, radiasi cranial dan pemberian sistemik obat yamng mempunyai
bioavailabilitas SSP yang tinggi seperti metotreksat dan sitarabin dengan dosis tinggi.
Terapi ini terdiri dari 6-merkaptopurin tiap hari dan metotreksat seminggu sekali selama
2-3 tahun. Pada LLA anak terapi ini memperpanjang didease free survival, sedangkan pada
dewasa angka relaps tetap tinggi.
Pada pasien LLA yang mempunyai resiko tinggi untuk relaps dilakukan transplantasi
sumsum tulang alogenik pada remisi komplit yang pertama. Resiko tinggi untuk relaps yaitu:
- Komponen philodelphia
- Perubahan susunan gen MLL
- Hiperleukositosis
- Gagal mencapai remisi komplit dalam waktu 4 minggu
PROGNOSIS
Kebanyakan pasien LLA dewasa dapat mencapai remisi tapi tidak sembuh dengan
kemoterapi saja, dan hanya 30% yang bertahan hidup lama. Kebanyakan pasien yang sembuh
dengan kemoterapi adalah usia 15-20 tahun dengan faktor prognostic baik lainnya. Harapan
sembuh untuk pasien LLA dewasa lainnya tergantung dari target yang lebih intensif dengan
transplantasi sumsum tulang. Overall disease- free survival rate untuk LLA dewasa kira-kira
30%. Pasien usia >60 tahun mempunyai disease-free survival rate 10% setelah remisi komplit.6
KESIMPULAN
Leukemia akut adalah keganasan klonal dari sel-sel prekursor yang ditandai dengan
adanya sel blast. Gejala leukemia akut adalah anemia, rentan infeksi, demam, perdarahan,
hepatospelomegali, nyeri tulang. Dalam penegakkan diagnosa leukemia akut didapatkan dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, untuk diagnosa pasti dari leukemia akut bisa dilakukan dengan
pemeriksaan laboratorium [hitung darah lengkap & apus darah tepi]. Talaksaan leukemia adalah
dengan kemoterapi untuk mengeradikasi ganas leukemia. Setelah pemberian terapi kemoterapi
induksi maka dilanjutkan dengan kemoterapi konsolidasi untuk mencegah rekurensi. Harapan
sembuh untuk pasien leukemia aku t dewasa lainnya tergantung dari target yang lebih intensif
dengan transplantasi sumsum tulang. Overall disease- free survival rate untuk dewasa kira-kira
30%. Pasien usia >60 tahun mempunyai disease-free survival rate 10% setelah remisi komplit.