Glaukoma
I. Definisi
Glaukoma berasal dari kata Yunani glaukos yang berarti hijau kebiruan, yang
memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaucoma.
Glaukoma adalah suatu keadaan dimana tekanan bola mata tidak normal atau lebih tinggi
dari pada normal yang mengakibatkan kerusakan saraf penglihatan dan kebutaan. (Sidarta Ilyas)
Glaukoma adalah kelompok penyakit mata yang dikarakterisasi dengan adanya kerusakan
pada sel ganglion dan saraf optik. Jika kondisi ini dibiarkan tanpa penanganan, dapat
menyebabkan terjadinya kehilangan kemampuan melihat (dengan derajat bervariasi), dan bahkan
sampai kebutaan. (J. Douglas Wurtzbacher)
Glaukoma merupakan kumpulan beberapa penyakit dengan tanda utama tekanan
intraocular yang tinggi dengan segala akibatnya yaitu penggaungan dan atrofi syaraf optic serta
defek lapang pandang yang khas. (Von Graefe)
II. Prevalensi
Prevalensi glaukoma Indonesia sebesar 0,4 %, masih berada di bawah Jamaika (1,4 %),
Inggris (0,64 %) dan Swedia (0,86 %). Survey pada tahun 2002 menempatkan glaukoma menjadi
urutan kedua penyebab kebutaan di seluruh dunia setelah katarak (WHO).
Sekitar 40% dari penderita glaukoma di Indonesia mengalami kebutaan. Penyakit ini
menjadi penyebab ketiga terjadinya kebutaan di Indonesia dan penyebab kebutaan nomor dua di
seluruh dunia dengan jumlah penderita diperkirakan mencapai 50 juta orang. Diperkirakan di
Amerika serikat ada 2 juta orang yang menderita glaukoma dengan hampir setengahnya
mengalami gangguan penglihatan dan hampir 70.000 benar-benar buta yang mengakibatkan
penderita kebutaan bertambah 5500 orang tiap tahun (Sidarta Ilyas).
Insidensi 1,8% pada usia lebih dari 40 tahun
Kebutaan karena glaukoma tidak bisa disembuhkan, tetapi pada kebanyakan kasus
glaukoma dapat dikendalikan
Glaukoma disebut sebagai pencuri penglihatan karena sering berkembang tanpa gejala
yang nyata.
Diperkirakan 50% penderita glaukoma tidak menyadari mereka menderita penyakit
tersebut.
Keterangan :
- Glaukoma Primer : glaukoma yang tidak disebabkan oleh penyakit lain ataupun karena cacat
ketika dilahirkan.
- Glaukoma Sekunder : glaukoma yang disebabkan oleh penyakit lain.
Contoh:
- Pupillary block : kondisi adanya hambatan aliran aqueous humor normal dari bilik posterior
ke bilik anterior melalui pupil.
- Congenital glaucoma : glaukoma yang terjadi pada bayi baru lahir akibat kelainan dalam
pengembangan bilik mata bagian depan yang menghambat aliran aqueous humor tanpa
adanya anomali secara sistemik.
III. Patofisiologi
Septian Dwi Nurcahyo
Mata dibasahi oleh suatu cairan intraokular (aqueous humor) yang diatur oleh suatu
sistem irigasi untuk menjaga fungsi normal/ kesehatan mata.
Aqueus humor secara kontinue diproduksi oleh badan silier (sel epitelprosesus ciliary bilik mata belakang
untuk memberikan nutrien pada lensa. Aqueous humor mengalir melalui jaring-jaring trabekuler, pupil, bilik mata
depan, trabekuler meshwork dan kanal schlem. Tekanan intra okuler (TIO) dipertahankan dalam batas 10-21
mmHg tergantung keseimbangan antara produksi dan pegeluaran (aliran) Aqueous Humor di bilik mata depan.
Peningaktan TIO akan menekan aliran darah ke syaraf optik dan retina sehingga dapat merusak serabut syaraf optik
menjadi iskemik dan mati.Selanjutnya menyebabkan kerusakan jaringan yang dimulai dari perifer menuju ke fovea
sentralis. Hal ini menyebabkan penurunan lapang pandang yang dimulai dari derah nasal atas dan sisa terakhir pada
temporal (SunaryoJoko Waluyo, 2009)
Terdapat tiga faktor penting yang menentukan tekanan bola mata, yaitu:
1. Jumlah produksi aqueous oleh badan siliar
2. Tahanan aliran aqueous humor yang melalui system trabekular meshwork-kanalis Schlem
3. Level dari tekanan vena episklera
Umumnya peningkatan TIO disebabkan peningkatan tahanan aliran aqueous humor
Aqueous humor dibentuk oleh proseus siliaris, dimana masing-masing proseus ini
disusun oleh epitel lapis ganda, dihasilkan 2-2,5mL/menit, mengalir dari kamera okuli posterior,
lalu melalui pupil mengalir ke kamera okuli anterior. Sebagian besar akan keluar melalui system
vena, yang terdiri dari jaringan trabekulum, juxta kanalikuler, kanal Schlemn dan selanjutnya
melalui saluran pengumpul (Collector channel). Aliran aqueous humor akan melewati jaringan
Septian Dwi Nurcahyo
trabekulum sekitar 90%. Sebagian kecil akan melalui struktur lain pada segmen anterior hingga
mencapai ruangan supra khoroid. Untuk selanjtnya akan kleuar melalui sclera yang intak atau
saraf maupun pembuluh darah yang memasukinya. Jalur ini disebut juga dengan jalur uveosklera
(10-15%).
Tekanan bola mata yang umum dianggap norma adalah 10-21 mmHg. Pada banyak kasus
peningkatan tekanan bola mata dapat disebabkan oleh peningkatan resistensi aliran aqueous
humor. Beberapa faktor resiko dapat menyertai perkembangan suatu glaucoma termasuk riwayat
keluarga, umur, sex, ras, genetic, variasi diurnal, olahraga dan obat-obatan.
Proses kerusakan papil saraf optik (Cupping) akibat tekanan intraokuli yang tinggi atau
gangguan vaskuler ini akan bertambah luas seiring dengan terus berlangsungnya kerusakan
jaringan sehingga skotoma pada lapang pandangan makin bertambah luas. Pada akhirnya terjadi
penyempitan lapang pandangan dari yang ringan sampai berat.
Glaucomatous optic neuropati adalah tanda dari semua bentuk glaucoma. Cupping
glaucomatous awal terdiri dari hilangnya akson-akson, pembuluh darah, dan sel glia.
Perkembangan glaucomatous optic neuropati merupakan hasil dari berbagai variasi faktor, baik
intrinsic maupun ekstrinsik. Kenaikan TIO memegang peranan utama terhadap perkembangan
glaucomatous optic neuropati.
The fluid produced in the eye and filling the spaces (anterior and posterior) in front of the
lens and its attachments. (Dorland's Medical Dictionary for Health Consumers)
The clear, watery fluid circulating in the chamber of the eye between the cornea and the lens.
(The American Heritage - Medical Dictionary)
A transparent liquid, contained within the eye, that is composed of water, sugars, vitamins,
proteins, and other nutrients. (Gale Encyclopedia of Medicine)
Fungsi Aqueous Humor:
1. Memelihara tekanan intraokular (TIO) dan mempertahankan bentuk bola mata.
2. Menyediakan nutrisi untuk keperluan metabolisme jaringan okular yang tidak
tervaskularisasi, seperti kornea posterior, jaringan trabekular, lensa, dll.
3. Membuang produk sisa metabolisme
4. Mentransportasikan askorbat sebagai antioksidan
5. Mentransportasikan imunoglobulin
Sistem Irigasi
Aqueous Humor Diproduksi oleh epitel badan silia (kelenjar di belakang iris) masuk ke bilik
posterior melewati bagian antara iris dan lensa masuk ke pupil bilik anterior jaringan
trabekular meshwork filtrasi melalui kanal Schlemm masuk ke peredaran darah.
Keterangan : kanal Schlemm membentuk sudut antara iris dan kornea
laju alir (produksi) normal : 2-2,5 mL/menit
Volume normal : 125 mL
laju clearance normal : 1-4 mL/ menit/ mmHg
Tekanan intraokular normal: 10-21 mmHg
Senyawa -adrenergik
Dan diturunkan oleh:
Penghambat 2-, -, dan -adrenergik
Penghambat dopamin
Penghambat karbonik anhidrase
Aliran aqueosu humor yang keluar ditingkatkan oleh:
Senyawa kolinergik, yang menyebakan kontraksi otot siliari
Sebagian orang yang menderita glaukoma namun masih memiliki tekanan di dalam bola
matanya normal, penyebab dari tipe glaukoma semacam ini diperkirakan adanya hubungan
dengan kekurangan sirkulasi darah di daerah syaraf/nervous opticus mata. Meski glaukoma lebih
sering terjadi seiring dengan bertambahnya usia, glaukoma dapat terjadi pada usia berapa saja.
Risiko untuk menderita glaukoma diantaranya adalah riwayat penyakit glaukoma di dalam
keluarga (faktor keturunan), suku bangsa, diabetes, migrain, tidak bisa melihat jauh (penderita
myopia), luka mata, tekanan darah, penggunaan obat-obat golongan kortison (steroid).
Efek peningkatan tekanan intraokular di dalam mata ditemukan pada semua bentuk
glaukoma, yang manifestasinya dipengaruhi oleh perjalanan waktu dan besar peningkatan
tekanan intraokular. Mekanisme kerja utama penurunan penglihatan pada glaukoma adalah atrofi
sel ganglion difus, yang menyebabkan penipisan lapisan serat saraf dan inti bagian dalam retina
dan berkurangnya akson di saraf optikus. Diskus optikus menjadi atrofik, disertai pembesaran
cekungan optikus. Iris dan korpus siliare juga menjadi atrofik, dan prosesus siliaris
memperlihatkan degenarasi hialin.
Pada glaukoma sudut tertutup akut, tekanan intraokular mencapai 60-80 mmHg, sehingga
terjadi kerusakan iskemik pada iris yang disertai edema kornea.
Dua penyebab spesifik dari neuropati optik glaukoma saat ini belum diketahui.
Sebelumnya peningkatan tekanan intraokuler (TIO) dianggap menjadi satu-satunya penyebab
kerusakan, namun saat ini diakui bahwa TIO hanya salah satu dari banyak faktor yang terkait
dengan pengembangan dan perkembangan glaukoma. Peningkatan kerentanan optik saraf ke
iskemia, aliran darah berkurang atau disregulasi, eksitotoksik, reaksi autoimun, dan proses
fisiologis normal kemungkinan merupakan fakor penyebab tambahan. Hasil akhir dari proses
apoptosis sel-sel ganglion retina diyakini menghasilkan degenerasi aksonal dan diakhiri dengan
hilangnya penglihatan secara permanen. Hal yang cukup menarik, tampaknya ada cukup banyak
kesamaan antara kematian sel saraf oleh apoptosis pada penyakit Alzheimer dan glaukoma.
Memang glaukoma sudut terbuka dapat mewakili sejumlah penyakit yang berbeda atau kondisi
yang hanya mewujudkan gejala yang sama. Kerentanan terhadap hilangnya penglihatan pada
TIO bervariasi jauh, dimana beberapa pasien tidak menunjukkan kerusakan pada TIO yang
tinggi, sedangkan pasien lainnya mengalami kehilangan penglihatan yang progresif meskipun
TIO dalam batas normal (normal-normal ketegangan glaukoma).
Nilai TIO yang buruk merupakan salah satu cara prediksi pada pasien yang memiliki
penglihatan yang buruk, resiko kerugian bidang penglihatan jelas meningkat dengan peningkatan
TIO dalam jangkauan apapun. Bahkan studi terbaru menunjukkan bahwa menurunkan TIO, baik
dengan pretreatment TIO dapat mengurangi resiko perkembangan glaukoma atau bahkan dapat
mencegah timbulnya glaukoma awal pada pasien penyakit mata dengan hipertensi.
Mekanisme pada TIO tingkat tertentu meningkatkan kerentanan mata terhadap kerusakan
saraf yang masih kontroversial. Beberapa mekanisme memungkinkan untuk dilakukannya
operasi data spektrum kombinasi untuk menghasilkan kematian sel ganglion retina dan akson
mereka pada glaukoma. Tekanan sensitif astrosit dan sel-sel lainnya dalam disk optic yang
mendukung matriks dapat menghasilkan perubahan dan remodeling disk, mengakibatkan
kematian aksonal. Teori vasogenik menunjukkan bahwa kerusakan saraf mata merupakan hasil
dari aliran darah yang tidak cukup untuk retina sekunder dengan tekanan perfusi yang diperlukan
dalam mata, disregulasi perfusi, atau kelainan dinding pembuluh, dan hasil dalam degenerasi
serat aksonal retina. Teori lain menunjukkan bahwa TIO dapat mengganggu aliran axoplasmal
pada disk optik.
Saat ini, glaukoma terfokus pada mekanisme apoptosis sel ganglion retina dan peranan
kelebihan glutamat serta oksida nitrat yang ditemukan pada pasien glaukoma telah memperluas
fokus penelitian terapi obat untuk mengevaluasi agen yang bertindak sebagai neuroprotektan.
Agen tersebut mungkin sangat berguna pada pasien dengan tekanan normal glaukoma,
diantaranya tekanan faktor independen yang memiliki peran relatif besar dalam perkembangan
penyakit. Agen ini akan menargetkan faktor resiko dan mekanisme patofisiologi yang mendasari
penyakit selain TIO.
Disebut sudut tertutup karena ruang anterior secara anatomis menyempit sehingga iris
terdorong ke depan, menempel ke jaringan trabekular dan menghambat aqueous humor
mengalir ke saluran schlemm.
pupil terjadi akibat iris dan lensa saling bergesekan, menyebabkan sumbatan pada aliran
aqueous dari pupil ke ruang anterior, sehingga terjadi pergeseran iris, yang memblok trabecular
meshwork. Pada umumnya terjadi pada saat pupil mengalami mid dilatasi. Posisi mid dilatasi ini
adalah gabungan penyumbatan pupil dan relaksasi iris, sehingga menyebabkan pergeseran iris.
Pendekatan sudut terjadi selama miosis.
Akan tetapi, closed-angle glaucoma dapat terjadi tanpa adanya penyumbatan pupil, tetapi
karena adanya abnormal yang disebut plateau iris. Siliari terdapat pada anterior, yang
memajukan iris ke depan dan menyebabkan pendekatan pada trabecular meshwork, terutama
pada midriasis. Midriasis yang disebabkan oleh obat antikolinergik atau obat lain dapat
membentuk endapan pada kedua tipe glukoma. Sedangkan obat yang menginduksi miosis dapat
menghasilkan sumbatan pupil.
IV. Etiologi
a. Etiologi dari Open-Angle Glaucoma
Genetik
Terjadi pada usia dewasa
Penyebab utama adalah: Peningkatan TIO yang mungkin disebabkan karena penurunan
fungsi Trabecular meshwork
Faktor lainnya adalah: Iskemia, penurunan dan ketidakteraturan aliran darah,
eksitotoksisitas, reaksi autoimun, dll
Pada glaukoma sudut lebar sekunder, diakibatkan oleh penyakit lain yang sistemik,
inflamasi, obat, operasi, dll
Seperti yang dinyatakan sebelumnya, kerusakan saraf optic di POAG (Primary Open-
Angle Glaucoma) terjadi pada cakupan luas dari intraokular, dan tingkat perkembangannya
sangat bervariasi. Pasien mungkin menunjukkan tekanan dalam kisaran 20 sampai 30 mmHg
selama bertahun-tahun sebelum penyakit penglihatan ini berkembang. Itulah sebabnya glaukoma
sudut terbuka sering disebut sebagai pencuri penglihatan.
Sumber : DiPiro edisi 6, hal. 1715-1716
Genetik
Pupillary Block : Penghambatan jaringan trabekular oleh iris secara mekanik
Tanpa Pupillary Block : Terjadi pada keadaan plateau iris
Mekanisme peningkatan tekanan intraokular pada closed-angle glaucoma (CAG) adalah
karena penyumbatan cairan aqueous humor, yang terjadi antara bagian iris dan trabecular
meshwork pada mata. Dengan adanya sumbatan, terjadi gangguan aliran aqueous humor, padahal
tubuh tetap menghasilkan cairan aqueous humor sehingga tekanan intraokular (IOP) akan
meningkat. Nilai IOP yang terlalu tinggi (>40mmHg) dapat menyebabkan kerusakkan pada saraf
mata. Tekanan yang lebih tinggi (>60mmHg) dapat menyebabkan kehilangan penglihatan
dimulai dari hitungan jam sampai hari. Kontak antara iris dan trabecular meshwork yang terlalu
lama akan membentuk luka (synechiae) permanen.
Salah satu tipe closed-angle glaucoma, dikenal sebagai creeping pendekatan sudut,
terjadi pada pasien dengan sudut sempit yang menyebabkan iris menempel pada trabecular
meshwork.
c. Glaukoma congenital
Glaukoma kongenital merupakan gangguan glaukoma dimana tekanan intraokular
meningkat sebagai akibat dari abnormalitas dari perkembangan struktur okular dari infant. Hal
ini mungkin terjadi berkaitan dengan abnormalitas-abnormalitas atau anomali lain yang mungkin
terjadi seperti homocystinuria dan syndrom Marfan.
Gejala
1. Glaukoma Sudut Lebar (GSL)
GSL berkembang GSL berkembang dengan pelan dan biasanya asimptomatik sampai onset
kehilangan jarak pandang.
V. DIAGNOSIS
Diagnosa Glaukoma
a. Pengukuran tekanan intra okular (TIO)
Rentang tekanan intraokular normal adalah 10-21 mmHg. Pada usia lanjut, rerata tekanan
intraokularnya lebih tinggi sehingga batas atasnya adalah 24 mmHg. Tekanan bola mata
untuk satu mata tak selalu tetap, tetapi dapat dipengaruhi seperti pada saat bernapas
mengalami fluktuasi 1-2 mmHg dan pada jam 5-7 pagi paling tinggi, siang hari menurun,
malam hari naik lagi. Hal ini dinamakan variasi diurnal dengan fluktuasi 3 mmHg. Pada
glaukoma sudut terbuka primer, 32-50% individu yang terkena akan memperlihatkan
tekanan intraokular yang normal saat pertama kali diperiksa. Sebaliknya, peningkatan
tekanan intraokular semata tidak selalu diartikan bahwa pasien mengedap glaukoma
sudut terbuka primer; untuk menegakkan diagnosis diperlukan bukti-bukti lain seperti
adanya diskus optikus glaukomatosa atau kelainan lapangan pandang. Apabila tekanan
intraokular terus-menerus meninggi sementara diskus optikus dan lapangan pandang
normal (hipertensi okular), pasien dapat diobservasi secara berkala sebagai tersangka
glaukoma. Pada penderita tersangka glaukoma, harus dilakukan pemeriksaan serial
tonometri. Variasi diurnal tekanan intraokular pada pada orang normal berkisar 6 mmHg
dan pada pasien glaukoma variasi dapat mencapai 30 mmHg.
Tonometer aplanasi Goldman merupakan instrumen yang paling luas digunakan.
b. Gonioskopi
Pada pemeriksaan gonioskopi, dapat dilihat struktur sudut bilik mata depan. Lebar sudut
bilik mata depan dapat diperkirakan dengan pencahayaan bilik mata depan. Apabila
keseluruhan trabecular meshwork, scleral spur dan prosesus siliaris dapat terlihat, sudut
dinyatakan terbuka. Apabila hanya Schwalbes line atau sebagian kecil dari trabecular
meshwork yang dapat terlihat, dinyatakan sudut sempit. Apabila Schwalbes line tidak
terlihat, sudut dinyatakan tertutup.
Selain itu, dapat pula disertai pembesaran konsentrik cawan optik atau pencekungan
(cupping) superior dan inferior dan disertai pembentukan takik (notching) fokal di tepi
diskus optikus. Kedalaman cawan optik juga meningkat karena lamina kribrosa tergeser
ke belakang dan terjadi pergeseran pembuluh darah di retina ke arah hidung. Hasil
akhirnya adalah cekungan bean-pot, yang tidak memperlihatkan jaringan saraf di bagian
tepinya. Pada penilaian glaukoma, rasio cawan-diskus adalah cara yang berguna untuk
mencatat ukuran diskus optikus. Apabila terdapat kehilangan lapangan pandang atau
peningkatan tekanan intraokuli, rasio cawan-diskus lebih dari 0,5 atau terdapat asimetri
yang bermakna antara kedua mata sangat diindikasikan adanya atrofi glaukomatosa.
Normal Glaukoma
Cedera fisik
Trauma parah, seperti mata terkena pukulan, dapat meningkatkan tekanan pada mata. Cedera
juga dapat mengeser letak lensa, sehingga sudut drainase tertutup.
Penyakit hipertensi
Tekanan darah yang tinggi dapat secara langsung memicu kenaikan tekanan intraokular yang
menjadi faktor utama penyebab glaukoma. Hipertensi atau sindrom prahipertensi sering
dikaitkan dengan sindrom praglaukoma.
3. Laser iridoplasti
Digunakan untuk terapi glaukoma sudut tertutup. Laser ini digunakan ketika setelah
terapi dengan laser iridotomi, sudut antara iris dan trabecular meshwork tetap sempit atau sudah
terbuka sedikit tetapi sempit kembali. Laser ini menggunakan kontraksi panas yang diberikan
pada iris perifer untuk menariknya menjauhi trabecular meshwork sudut menjadi tidak sempit
lagi.
2. Siklodekstruksi
Pada siklodestruksi dilakukan perusakan sebagian badan siliar sehingga pembentukan
cairan mata berkurang.
3. Iridektomi
Iridektomi adalah operasi pengangangkatan sebagian iris. Prosedur ini paling sering
dilakukan dalam pengobatan glaukoma sudut tertutup dan melanoma iris. Kelebihan iridektomi
adalah dapat digunakan pada pasien dengan opaque cornea yang tidak berhasil dengan terapi
laser. Risiko iridektomi juga lebih besar dibanding dengan laser seperti pada pasien glaucoma
sudut tertutup primer, risiko komplikasi seperti glaukoma malignan dan hemorrhage koroid dan
TIO harus diturunkan dulu sebelum dilakukan operasi bedah.
c. Edukasi
Akupuntur, meditasi, mengonsumsi vitamin (A) dalam jumlah banyak atau diet khusus
tidak signifikan pengaruhnya dalam pengobatan glaukoma.
Gaya hidup sehat dan kestabilan emosi dapat membantu memperlambat keparahan
penyakit dan membantu pasien untuk dapat tetap beraktivitas secara normal.
(National Collaborating Centre for Acute Care, 2009).
Menjaga mata tetap bersih.
Kosmetik pada mata, harus berhati-hati dan pilihlah produk yang tidak menyebabkan
alergi
Tidak menggaruk mata
Saat berenang, menggunakan kacamata berenang
Menggunakan kaca pembesar untuk membaca
Pola hidup sehat (istirahat cukup, makan makanan sehat, tidak mengonsumsi kafein
terlalu banyak tidak mengonsumsi garam terlalu banyak, menghindari stres dan
melakukan exercise)
Mengonsumsi obat atau memakai obat tetes secara teratur dan sesuai dosis
Periksa kondisi mata secara teratur
Peningkatan
pigmentasi pada
iris
Analog
Penebalan bulu
prostamide
mata
Bimatoprost
Reversible
Travoprost
macular oedema
Reactivation of
herpetic infection
Iritis/uveitis
CAI (Carbonic Menurunkan sekresi aqueous Rasa terbakar dan Sakit kepala
Anhydrase humor dari cilliary body dengan menyengat Muntah
Inhibitors) cara memblok secara aktif sekresi sementara Kelelahan
natrium dan ion bikarbonat dari Ketidaknyamanan Mulut kering
Topikal ciliary body ke aqueous humor okular Pusing
Brinzolamid Penglihatan kabur Anafilaksis
Dorzolamid sementara
Jarang terjadi
Sistemik konjungtivitis, lid
Acetazolamid reaction, fotofobia
Dichlorphenamid
Methazolamid
Meningkatkan pengeluaran Sakit mata Sakit kepala
aqueous humor sebagai hasil dari Berkurangnya Salivasi
terbuka dan tertutupnya ketajaman Frekuensi urinasi
trabecular meshwork pada penglihatan di meningkat
Parasimpatomim kontraksi otot ciliary sehingga malam hari Kejang perut
etik / Kolinergik menurunkan resistensi Penglihatan kabur Tremor
pengeluaran aqueous humor Miosis asma
Pilokarpin Myopic shift Hipotensi
Karbakol Retinal detachment Muntah dan Mual
Ketidaknyamanan
dalam pemblokan
pupil
Lakrimasi
Agonis 2-receptormediated Rasa terbakar Sakit kepala
adrenergik meningkatkan laju pengeluaran Ocular discomfort Hilang kesadaran
nonspesifik aqueous humor Alis sakit Tekanan darah
Dipivefrin Hiperemia meningkat
Alergi Takikardia
Blepharoconjuncti Aritmia
vitis Tremor
Kegelisahan
Jarang terjadi: Laju pernafasan
Tidak meningkat
menimbulkan
Rontok pada bulu
mata
Stenosis saluran
Nasolakrimal
Penglihatan kabur
Penggunaan dalam
waktu lama (>1
tahun) dapat
menyebabkan
deposisi pigmen
dalam konjungtiva
dan kornea
Hiperosmotik Mengurangi volume cairan - Sakit kepala
vitreous Menggigil
Manitol, Gliserin, Pusing
Isosorbid Hipotensi
Takikardia
Mulut kering
Pulmonary oedema
Sistemik
Septian Dwi Nurcahyo
Acetazolamide
Dichlorphenamide
Methazolamide
Asma
Parasimpatomimetik / Uveitis
Obstruksi saluran kemih
Kolinergik Glaukoma sekunder yang
Miopi yang parah
berhubungan dengan hambatan
Aphakia
Pilokarpin pengeluaran cairan aqueous
Degenerasi perifer retina
Karbakol humor
Hipertensi
Agonis adrenergik
Arteriosclerosis
nonspesifik Glaukoma sudut sempit akut
Jantung koroner
Hipersensitif terhadap obat
Diabetes
Dipivefrin
Hyperparathyroidism
Dehidrasi
Hiperosmotik Gangguan fungsi ginjal dan retensi
Hipersensitif terhadap gliserin,
urin
manitol
Manitol, Gliserin, Kegalalan jantung kongestif
Intrakranial hematoma akut
Isosorbid Diabetes insipidus
Geriatri
Terapi Farmakologi
1. Terapi Hipertensi Okular
Hipertensi okular adalah kondisi dimana tekanan intraokular mata lebih besar dari tekanan
intraokular (TIO) mata normal yaitu > 22 mmHg. Hipertensi okular ini menyebabkan seseorang
memiliki kemungkinan menderita glaukoma akan tetapi belum positif glaukoma. Terapi untuk
mengatasi hipertensi okular diperlukan untuk meminimalisir faktor risiko yang dapat
menyebabkan berkembangnya hipertensi okular menjadi glaukoma. OHTS (Ocular Hypertensive
Treatment Study) adalah studi terapi yang dapat membantu mengidentifikasi faktor-faktor risiko
yang dapat dijadikan pertimbangan untuk terapi hipertensi okular tersebut. Pasien dengan TIO >
25mmHg, rasio vertical cup:disk lebih dari 0.5, ketebalan pusat kornea kurang dari 555m
mempunyai risiko yang besar berkembang menjadi glaukoma. Faktor risiko lain seperti riwayat
keluarga, ras (kulit hitam), miopi yang parah, dan pasien yang hanya mempunyai satu mata
fungsional, juga perlu dipertimbangkan untuk memilih terapi yang tepat. Pasien tanpa faktor
risiko, tidak perlu mendapatkan terapi akan tetapi harus tetap dikontrol untuk mencegah
berkembangnya glaukoma.
Pasien dengan faktor risiko yang signifikan harus diterapi dengan agen topikal yang sesuai
seperti -bloker, agonis 2, inhibitor karbonik anhidrase (CAI), atau analog prostaglandin yang
disesuaikan dengan kondisi pasien. Agar terapi berjalan optimal maka hendaknya dimulai pada
satu mata untuk menilai keberhasilan terapi dan toleransi pasien. Penggunaan agen terapi lini
kedua dan ketiga (seperti pilokarpin dan epinefrin) diberikan ketika agen terapi lini pertama
gagal menurunkan tekanan intra okular yang bergantung pada rasio risiko-benefit pada setiap
pasien. Pertimbangan biaya, ketidaknyamanan penggunaan, dan timbulnya efek samping yang
sering muncul pada terapi kombinasi, inhibitor antikolinesterase, dan CAI oral menghasilkan
rasio risiko-benefit yang tidak diharapkan oleh pasien.
Tujuan terapi hipertensi okular adalah untuk menurunkan tekanan intra okular (TIO) pada
level yang memungkinkan penurunan risiko kerusakan syaraf optik, umumnya 20% atau 25%-
30% penurunan dari TIO awal pasien. Penurunan yang lebih besar mungkin dibutuhkan pada
pasien dengan risiko tinggi atau pasien yang mempunyai TIO awal yang tinggi. Terapi obat
sebaiknya dimonitor dengan pengukuran TIO, pemeriksaan optic disk, penilaian lapang pandang
dan evaluasi efek samping obat serta kepatuhan pasien. Pasien yang tidak memberikan respon
terhadap obat atau intoleran terhadap obat maka hendaklah obat tersebut diganti dengan alternatif
obat lain. Banyak praktisi yang lebih memilih untuk menghentikan semua jenis pengobatan pada
pasien yang gagal merespon terapi topikal, melakukan monitoring yang intensif terhadap
perkembangan perubahan optic disk atau hilangnya bidang pandangan, kemudian dilakukan
pengobatan kembali ketika terjadi perubahan kondisi pa
Algoritma terapi
Perubahan bidang pandang dan optic disc dipantau setiap tahun atau lebih awal jika glaukoma
tidak stabil atau bersamaan dengan kondisi lain yang dapat memperburuk.
Pasien yang memberikan respon tetapi intoleran pada terapi awal yang diberikan dapat
beralih ke obat lain atau dosis alternatif dari obat yang sama. Untuk pasien yang tidak dapat
merespon konsentrasi toleran yang tertinggi, harus mengganti obat tersebut dengan agen
alternatif setelah sehari terapi konkuren dengan obat tersebut. Apabila hanya timbul respon
parsial, maka dimungkinkan kombinasi dengan agen topikal lainnya yang ditentukan melalui
percobaan. Karena frekuensi efek samping, karbakol, inhibitor kolinesterase topikal, dan CAI
oral dipertimbangkan sebagai agen terakhir yang diberikan pada pasien yang gagal merespon
terapi dengan kombinasi topikal yang kurang toksik.
Sumber : Japan Glaucoma Society, Guidelines for Glaucoma (2nd Edition), Sept 2006
tidak mencapai target TIO yang diharapkan, maka dilakukan terapi tambahan dengan
menggunakan obat lain yang dikombinasi dengan dan atau terapi laser dan operasi bedah.
Sementara jika terapi menggunakan laser iridotomi belum berhasil maka dilajutkan dengan
operasi bedah iridektomi. Lalu TIO kembali dilihat apakah telah mencapai target yang
diharapkan atau tidak. Jika telah mencapai target TIO yang diharapkan, maka langkah
selanjutnya dilakukan follow up yang meliputi pemeriksaan TIO, pemeriksaan lapang pandang
dan optic disc serta pemeriksaan terhadap syaraf optik. Namun jika tidak mencapai target TIO
yang diharapkan, maka dilakukan terapi tambahan dengan menggunakan obat lain yang
dikombinasi dengan dan atau terapi laser dan operasi bedah.
Algoritma terapi
1. -Blocker
Betatoxolol, carteolol, levobunolol, metipranolol, timolol
Memblok adrenoreseptor 2 pada prosesus siliaris sehingga menurunkan sekresi
aqueous. Memblok reseptor pada pembuluh darah aferen yang memperdarahi
prosesus siliaris. Hal tersebut menyebabkan vasokonstriksi yang kemudian
4. Parasympathomimetic Agents
Septian Dwi Nurcahyo
may occur.
Ergot alkaloids: Peripheral ischemia, manifested by cold extremities
and possible gangrene, may occur.
Insulin: Prolonged hypoglycemia with masking of symptoms may
occur.
NSAIDs: Some agents may impair antihypertensive effect.
Prazosin: Orthostatic hypotension may be increased.
Theophyllines: Elimination of theophylline may be reduced. Effects of
both drugs may be reduced.
Verapamil: Effects of both drugs may be increased.
2-Adrenergic Agonis
Antihypertensives, beta blockers, cardiac glycosides: Brimonidine
may reduce pulse and BP; use with caution.
CNS depressants (eg, alcohol, anesthetics, barbiturates, opiates,
Brimonidine sedative): Additive or potentiating CNS depressant effect.
MAO inhibitors: Concurrent use contraindicated.
Tricyclic antidepressants: May decrease the effect of brimonidine by
altering the metabolism and uptake of circulating amines.
Carbonic Anhydrase
Inhibitor
Diflunisal: May cause significant decrease in IOP.
Primidone: Primidone concentrations may be decreased.
Acetazolamide Quinidine: Quinidine serum levels may be increased.
Salicylates: May cause acetazolamide accumulation and toxicity,
including CNS depression and metabolic acidosis.
Parasympathomimetic
Agents
Pilocarpine Anticholinergics: May antagonize action of pilocarpine (PO and
ophthalmic).
Beta-blockers: Potential for cardiac conduction disturbances with oral
pilocarpine.
Parasympathomimetics: Additive pharmacologic effects and increased
toxicity possible.
Alpha-Adrenergic Blockers (eg, Phentolamine): Vasoconstricting and
hypertensive effects are antagonized.
Antihistamines: Epinephrine effects may be potentiated. Beta
Blocking Agents: May decrease effects of these agents, resulting in
hypertension.
Diuretics: Vascular response may be decreased.
Ergot Alkaloids/Phenothiazines/Nitrates: Pressor effects of
epinephrine may be reversed.
General Anesthetics (eg, Halothane, Cyclopropane)/Cardiac
Glycosides: The potential for the myocardium to be sensitized to the
Epinephrine effects of sympathomimetic amines is increased. Arrhythmias may
result with coadministration and may respond to beta-blockers.
Guanethidine: May increase pressor response.
Levothyroxine: Epinephrine effects may be potentiated.
Oxytoxic Drugs: May cause severe persistent hypertension.
Rauwolfia Alkaloids, Methyldopa, Furazolidone: May cause
hypertension.
Tricyclic Antidepressants: May potentiate epinephrines vasopressive
effects.
INCOMPATIBILITIES: Epinephrine is unstable in alkaline solutions
(eg, sodium bicarbonate); avoid admixture.
TUJUAN: Untuk mengevaluasi efek dari operasi filtrasi pada ketajaman visual dan bidang visual
dalam pasien dengan endstage glaukoma selama periode pasca operasi dan untuk menilai risiko
terjadinya kebutaan mendadak.
METODE: Penelitian prospektif mencakup pasien secara berurutan dengan stadium akhir
glaukoma yang menjalani trabeculectomy dengan mitomycin-C. Kriteria inklusi adalah lapang
pandang sebelum operasi dengan Advanced Glaukoma Intervensi Study skor lebih dari 16. Hasil
pengukuran utama termasuk perubahan terbaik dikoreksi log-MAR ketajaman visual, dalam
mean deviasi (MD) tes lapang pandang, di sejumlah titik di antara empat pusat titik lapang
pandang dengan sensitivitas kurang dari 5 dB dan sensitivitas rata-rata dari empat pusat titik
lapang pandang setelah operasi. Insiden intraoperatif dan pasca operasi komplikasi juga dicatat.
HASIL: Dua puluh satu pasien (21 mata) yang terdaftar. Rata-rata usia 64 tahun (kisaran 31-78).
Operasi mengakibatkan penurunan tekanan intraokular (TIO) sebesar 14,1 9.2 mm Hg (P
<.001) dan penurunan penggunaan obat pasca operasi antiglaucoma (P <.001). Sebelum operasi
ketajaman visual rata-rata adalah 0,77 0,78, dan nilai rata-rata deviasi rata-rata di tes bidang
visual itu - 27.94 2.7 dB. Tiga bulan setelah operasi, tidak ada perbedaan yang signifikan
dalam ketajaman visual (0,74 0,79, P = .73) Dan rata-rata deviasi ( - 27.50 2.6 dB, P = .1).
Demikian pula tidak ada perubahan signifikan pada parameter bidang visual teruji untuk menilai
Septian Dwi Nurcahyo
sensitivitas lapang pandang pusat. Tidak ada komplikasi intraoperatif. Hypotony Transient terjadi
pada tiga pasien mata tersebut.
Ada kontroversi seputar kebutaan potensial, setelah operasi filtrasi pada pasien dengan stadium
akhir glaukoma. Telah dilaporkan bahwa prosedur penyaringan dalam lanjutan glaukoma dapat
dikaitkan dengan risiko langsung dijelaskan pasca operasi kehilangan lapang visual, yang
mencakup fiksasi dengan perubahan yang menyertainya dalam ketajaman visual pusat ("wipe-
out" fenomena). 1-4
Penurunan penglihatan setelah operasi glaukoma pada pasien dengan glaukoma stadium lanjut
mungkin disebabkan komplikasi yang mudah dikenali termasuk katarak, edema cystoid makula,
perdarahan suprachoroidal atau vitreous, lepasan retina, dan endophthalmitis uveitis. 1 Namun,
dalam sejumlah kasus, kehilangan penglihatan sentral lapangan dapat menyertai suatu operasi
dinyatakan sukses dengan tidak ada komplikasi yang disebutkan di atas ada , 1-4 Ada laporan yang
bertentangan, dengan beberapa mengidentifikasi risiko "wipe-out" fenomena, setinggi 14% pada
pasien dengan defek lapang tingkat lanjut, 2 sedangkan yang lain menganggap fenomena ini
sebagai .5 sangat jarang terjadi
Kerangka utama dari evidence klinis didasarkan terutama pada studi retrospektif yang memiliki
beberapa keterbatasan dan yang gagal untuk memberikan bukti kuat dan pedoman praktek untuk
pengelolaan yang optimal pada pasien dengan stadium akhir glaucoma. 1-9 Penelitian ini
dilakukan untuk prospektif mengevaluasi pengaruh operasi filtrasi pada ketajaman visual dan
bidang visual pada pasien dengan stadium akhir glaukoma selama periode pasca operasi segera
dan untuk menilai risiko kehilangan penglihatan mendadak. Hal ini juga bertujuan untuk
mengatasi faktor penentu yang mungkin dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko kehilangan
penglihatan pasca operasi pada pasien.
Prospektif, intervensi, berturut-turut studi ini serangkaian kasus terdaftar subyek dengan stadium
akhir glaukoma yang karena menjalani operasi filtrasi antara Maret 2001 dan April 2004 di
Rumah Sakit AHEPA, Universitas Aristoteles Thessaloniki, Yunani. Tahap akhir glaukoma
didefinisikan berdasarkan hasil lapangan visual. Pasien dengan risiko tinggi untuk "wipe-out"
fenomena yang dipilih. Secara khusus, pasien ini memiliki skor bidang visual di mata
dioperasikan lebih dari 16 menurut Advanced Glaucoma Intervention Study (AGIS) sistem
penilaian .10 Dalam bidang visual dengan skor AGIS lebih besar dari 16, hanya pulau tengah visi
hadir sementara sebagian dari titik-titik bidang visual tidak memiliki sensitivitas sama sekali (0
dB).
Studi ini disetujui oleh Komite Etika lokal dan informed consent tertulis diperoleh dari masing-
masing peserta.
Sebelum operasi, wawancara terstruktur dilakukan oleh staf penelitian dan termasuk pertanyaan
tentang penggunaan obat antiglaucoma, bersamaan penyakit sistemik yang sedang diderita atau
penyakit mata lainnya, penggunaan obat sistemik, dan prosedur bedah intraokular sebelumnya.
Sebuah pemeriksaan mata awal dilakukan dalam waktu 2 hari sebelum operasi. Koreksi
ketajaman visual untuk jarak diukur dengan pencahayaan ambien standar oleh ETDRS grafik
retroilluminated, ditempatkan di 4 m. Visual ketajaman tercatat sebagai jumlah huruf dibaca
dengan benar dari 0 (20/250) sampai 70 (20/10) .11
Selanjutnya, a 30-2 penuh ambang batas uji lapangan visual (Humphrey Field Analyzer 750-
A10.1) dan garis dasar pemeriksaan celah-lampu dilakukan. Selain itu, Goldmann applanasi
tonometry, gonioscopy, dan fundoscopy melebar dengan dilakukan penilaian dari cup / disk rasio
secara vertikal. Jenis glaukoma, jenis dan jumlah obat sebelum operasi antiglaucoma digunakan,
dan status lensa didokumentasikan.
Teknik bedah adalah standar pada semua subjek dan semua operasi dilakukan oleh dokter bedah
yang sama (FT). Teknik ini melibatkan flap konjungtiva berbasis forniks dan ketebalan 4 mm
parsial x 4 mm tutup scleral persegi panjang. Pada semua pasien antimetabolites digunakan
sebagai tambahan untuk operasi filtrasi dengan 0,3 mg / mL mitomycin-C yang diaplikasikan
dengan spons di bawah lipatan konjungtiva selama 3 menit intraoperatively setelah flap scleral
dibuat. Daerah ini kemudian diirigasi dengan larutan garam seimbang (BSS). Sebuah saluran
paracentesis dibuat pada kornea perifer. Sclerostomy ini dibuat dengan pisau asurgical dan
Vannas gunting (Carl Teufel, GMBH & CO, Liptingen, Jerman) diikuti oleh iridectomy. The Flap
scleral itu dijahit dengan tiga terganggu 10,0 jahitan nilon. Setelah suntikan BSS ke bilik anterior
melalui saluran paracentesis, ruang anterior tetap terbentuk dengan kebocoran ini terlihat di
sekitar flap scleral pada kondisi ekuilibrium. The Flap konjungtiva ditutup dengan jahitan 8.0
Vicryl (Ethicon Inc, Somersville, NJ).
Pasien diamati 1 hari, 1 minggu, 1 bulan, dan 3 bulan pasca operasi dengan didokumentasi
ketajaman visual, TIO, status disk yang optik, dan jumlah agen antiglaucoma yang diperlukan
untuk mencapai tingkat optimal dari IOP. Penilaian disk yang terlibat optik evaluasi cup disk
ratio. Kunjungan tambahan dijadwalkan sebagaimana yang dijaminkan secara klinis. Insiden
Septian Dwi Nurcahyo
intraoperatif dan komplikasi pasca operasi seperti ruang COA, hypotony, edema makula,
detasemen choroidal, dan lepuh bocor (Seidel) tercatat pada setiap kunjungan. Hypotony
didefinisikan sebagai TIO kurang dari 5 mm Hg, dan itu dianggap sementara ketika durasi
kurang dari 15 hari. Bidang Visual diulangi pada 3 bulan setelah operasi.
Hasil pengukuran utama termasuk terbaik dikoreksi ketajaman visual dan deviasi mean (MD)
dari bidang visual 3 bulan setelah operasi dibandingkan dengan nilai sebelum operasi. Selain itu,
empat titik bidang visual sentral dianggap dalam dua cara dalam analisis. Pertama, jumlah titik di
antara empat pusat titik bidang visual dengan sensitivitas kurang dari 5 dB dimasukkan sebagai
ukuran hasil utama. Kami ingin titik cut-off dalam sensitivitas yang akan dianggap oleh
konsensus klinis menjadi sangat rendah dan 5 dB secara acak dipilih. Selain itu, sensitivitas rata-
rata dari empat titik sentral digunakan untuk memberikan pendekatan yang berbeda untuk
mengevaluasi status dari empat titik pusat.
Tabel dan histogram digunakan untuk meringkas distribusi. Hubungan dari ukuran hasil dengan
karakteristik dasar dan variabel penjelas mungkin dievaluasi dengan uji t independen untuk
variabel terdistribusi secara normal. Mann-Whitney U, uji korelasi Spearman rank, dan uji
Wilcoxon signed-rank digunakan untuk variabel yang menunjukkan abnomality. Hubungan
antara variabel kategori dievaluasi oleh 2 tes. Semua tes asosiasi dianggap signifikan secara
statistik jika P < .05. Analisis dilakukan dengan menggunakan SPSS (versi 10.0, SPSS Inc,
Chicago. Illinois, USA).
Hasil
Septian Dwi Nurcahyo
Dua puluh satu mata berturut-turut 21 pasien (14 laki-laki dan 7 perempuan) memenuhi
kriteria inklusi dan direkrut ke dalam penelitian. Skor rata-rata AGIS mata ini adalah 19,24
0.56 (kisaran 17 sampai 20). Karakteristik klinis demografi dan baseline dari semua pasien
dirangkum pada Tabel 1. Usia rata-rata dari subyek adalah 64 13 tahun (kisaran 31-78 tahun),
dan interval rata-rata antara diagnosis glaukoma dan operasi filtrasi adalah 10 12 bulan (mulai 1
sampai 37 bulan). Trabeculectomy sendiri dilakukan pada 19 mata (91%) sedangkan pada dua
mata (9%), operasi dikombinasikan dengan fakoemulsifikasi dan implantasi lensa intraokular.
Glaukoma jenis sudut terbuka primer dari tujuh pasien (33%), dua pasien (10%)
memiliki glaukoma kronis sudut tertutup, 11 pasien (52%) memiliki glaukoma
pseudoexfoliation, dan satu pasien (5%) memiliki glaukoma disebabkan uveitis kronis. Kasus
terakhir memiliki riwayat idiopatik iritis kronis tanpa melibatkan segmen posterior, yang diam
selama minimal 6 bulan sebelum operasi. Satu pasien pseudoexfoliative dihadapkan dengan
penutupan sudut (Tabel 1 dan 2). Enam dari pasien buta di mata lain saat datang. Dalam lima dari
pasien ini, kebutaan disebabkan glaukoma. Lima pasien menjalani operasi filtrasi pada penelitian
mata sebelumnya.
Tidak ada komplikasi intraoperatif. Transien hypotony terjadi pada tiga mata saat satu
mata dihadapkan dengan hypotony yang lebih luas. Tiga mata ini mengalami kebocoran bleb
(Seidel). Dalam semua kasus kebocoran bleb (Seidel) dianggap ringan. Tidak ada kasus
dangkalnya COA, edema makula, atau ablasi koroid. Sepuluh pasien (48%) yang diperlukan
suturelysis dengan Laser argon. Salah satu pasien mengembangkan hypotony berikutnya untuk
jangka waktu lebih dari 15 hari yang berhasil dikelola dengan injeksi pada daerah kebocoran
bleb tersebut. Selain itu, suntikan 5-fluoruracil (5-FU) dilakukan pada sembilan pasien (43%)
selama periode pasca operasi.
Visus sebelum operasi adalah 20/40 atau lebih baik dalam sembilan mata (43%)
sedangkan lima mata (29%) memiliki ketajaman visual dari 20/200 atau lebih buruk. Tidak ada
perubahan yang signifikan dalam mean logMAR ketajaman visual (Wilcoxon signed-rank, P -
=73) 3 bulan setelah operasi filtrasi (Tabel 3).
Semua pasien mata glaukoma tingkat lanjut memiliki defek lapang pandang sebelumnya.
Sebelum operasi deviasi rata-rata kurang dari 26 dB dalam enam mata (29%), 10 mata (48%)
Septian Dwi Nurcahyo
memiliki deviasi rata-rata antara 26 dan 30 dB, dan lima mata (23%) memiliki deviasi rata-rata
lebih besar dari 30 dB. Perubahan minimal (penurunan sebesar 0,4 1,4 dB) yang diamati pada
deviasi mean (MD) 3 bulan setelah operasi, tetapi perubahan ini gagal untuk mencapai tingkat
yang signifikan secara statistik (uji Wilcoxon signed-rank, P= 0,159) (Tabel 3).
Demikian pula, jumlah rata-rata dari pusat titik lapang pandang dengan sensitivitas
kurang dari 5 dB tetap pada sebelum operasi (2,8 1,0 dan 2,5 1,0 sebelum dan setelah
operasi, masing-masing, P = 14). Ketika perubahan sensitivitas rata-rata dari empat titik lapang
pandang tengah diuji, hasil menunjukkan perbaikan sebesar 1,4 3.6 dB (P = .05). Peningkatan
ini lebih besar pada pasien dengan skor AGIS awal yang lebih tinggi (P = 0,031). Namun hasil di
atas kehilangan signifikansi statistik (uji Wilcoxon signed-rank, P = 0,061 dan P = 0,073,
masing-masing) ketika dua pasien dengan katarak gabungan dan operasi glaukoma tidak
termasuk dalam analisis (Tabel 3).
Tak satu pun dari peserta berkembang menjadi "wipe-out" fenomena. Perubahan minimal
dalam ketajaman visual dan lapang pandang diamati dalam beberapa kasus. Dalam dua pasien
(Tabel 2, 3 dan 21 pasien), Visus diganti dengan lebih dari satu baris 3 bulan setelah operasi.
Pada pasien 3, ini diyakini karena perkembangan katarak. Enam bulan setelah operasi, dan
setelah ekstraksi katarak, Visus adalah 20/20. Pada pasien 21, penurunan Visus transien 20/80
diamati disebabkan hypotony setelah suturelysis dengan laser argon satu minggu setelah operasi.
Pada kunjungan 3 bulan, dan setelah keberhasilan pengelolaan hypotony dengan injeksi darah
autologus, ketajaman visual ditingkatkan untuk 20/40 (Tabel 2). Pada 6 bulan setelah operasi,
perbaikan lebih lanjut diamati dan Visus kembali ke nilai sebelum operasi. Analisis lebih lanjut
menunjukkan bahwa perubahan dalam ketajaman visual atau bidang penglihatan setelah
trabeculectomy tidak terkait dengan usia, jenis kelamin, jenis operasi (trabeculectomy sendiri
atau dikombinasikan dengan ekstraksi katarak), jenis glaukoma, hidup bersama penyakit
sistemik, penggunaan obat sistemik, penggunaan 5 aplikasi-FU, atau perubahan TIO (uji
Spearman rank korelasi, P > .05).
Diskusi
Potensi resiko kehilangan penglihatan pasca operasi filtrasi pada glaukoma stadium akhir
telah menjadi perhatian banyak dokter mata sejak diperkenalkannya prosedur drainase ."Wipe-
out" fenomena telah digambarkan sebagai penurunan tiba-tiba visus setelah operasi filtrasi dalam
stadium akhir glaukoma, dan tidak tampak kelainan patologi pada mata yang jelas untuk
memperhitungkan penurunan visus ini.1 Hanya sejumlah studi retrospektif didominasi ada, dan
ini gagal untuk menyediakan data konklusif pada prognosis visual pasien dengan maju cacat
bidang visual yang menjalani prosedur glaukoma.1-9
Kolker dan rekan melaporkan kejadian 13,6% (3/22) kehilangan penglihatan sentral
dalam periode pasca operasi.2 Dalam setiap contoh, ketajaman visual menurun menjadi <20/200
pada setiap pemeriksaan visus berikutnya. Salah satu pasien yang telah bertahan hypotony pasca
operasi dan yang lain lebih parah, uveitis fibrin dan setelah operasi katarak. Selain itu, para
penulis menyatakan bahwa semua pasien, pra operasi cacat bidang visual yang dengan fiksasi,
sehingga menunjukkan bahwa komplikasi ini sangat jarang ketika penglihatan sentral terhindar.
Laporan yang lebih baru menunjukkan bahwa risiko kehilangan pasca operasi dapat dijelaskan
Septian Dwi Nurcahyo
dari bidang visual pusat tidak ada tetapi lebih rendah dari 1% dan lebih mungkin terjadi pada
pasien yang lebih tua dengan membelah makula di bidang visual pra operasi. 1 Aggarwal dan
rekan, dalam studi prospektif , melaporkan tiga kasus hilangnya bidang visual pusat setelah
trabeculectomy dari sembilan pasien dengan bidang visual sangat kecil (<100) karena glaucoma
stadium akhir.3 Namun, dua kasus tersebut telah mengembangkan pasca operasi edema makula
cystoid atau hypotony bertahan dengan hanya pasien ketiga tidak memiliki penyebab yang dapat
diidentifikasikan kerugian visual ini. Otto juga melaporkan tentang hilangnya fiksasi setelah
cyclodialysis dan trephining operasi.4 Dia menyatakan bahwa kejadian pada komplikasi ini
adalah sangat rendah dan terutama disebabkan oleh insufisiensi jantung dan gangguan gizi.
Meskipun mekanisme yang tepat dari "wipe-out" fenomena tetap sulit dipahami, telah
disimpulkan bahwa dapat berhubungan dengan timbul mendadak intraoperatif okular hypotony
selama operasi glaukoma. Hal ini dapat mengakibatkan perdarahan saraf optik dan penurunan
tekanan perfusi yang sudah mengganggu suplai darah ke saraf optik. Hal ini juga dapat
menyebabkan microemboli yang dapat merusak serat saraf yang tersisa .5,7
Sebaliknya, peneliti lain menunjukkan bahwa intervensi bedah pada glaukoma tingkat
lanjut jarang, jika pernah, dikaitkan dengan pengurangan kolom visual yang berada di pusat. 6
Chandler dan rekan menyatakan bahwa ia belum pernah melihat kasus kehilangan penglihatan
secara mendadak yang tidak dapat dijelaskan pasca operasi terlepas dari sempitnya bidang visual
pada praoperasi .12 Lichter dan Ravin dalam studi retrospektif dari 52 pasien mata dengan cacat
bidang visual glaukoma, dengan atau tanpa keterlibatan fiksasi, melaporkan tidak ada kasus
kehilangan ketajaman visual mendadak, komplikasi yang jarang terjadi penyaringan operasi. 5
Hasil serupa juga telah dilaporkan oleh O'Connell dan rekan, dan lebih baru-baru ini oleh
Martinez dan rekan dalam studi retrospektif yang menunjukkan bahwa pada pasien dengan
glaukoma tingkat lanjutpenurunan pasca operasi mendadak ketajaman visual terlepas dari
penyebab yang mendasari (edema makula, hypotony maculopathy , atau keratopathy) sangat
jarang.6,7
Keragaman ini laporan tentang kejadian hilangnya penglihatan yang tidak dapat
dijelaskan setelah operasi filtrasi dapat mengakibatkan kebingungan di kalangan dokter. Hal ini
mungkin disebabkan ketidak jelasan definisi nya, karena beberapa studi telah
mempertimbangkan kasus dengan jelas patologi dari makula termasuk edema makula pasca
operasi dan lipatan retina sentral sebagai "wipe-out" fenomena. Bahkan di mata tanpa kerusakan
makula pra operasi, penggunaan intraoperatif mitomycin-C dapat mempengaruhi makula dan
menyebabkan hilangnya penglihatan. Selain itu, kurangnya evaluasi yang sistematis penurunan
bidang visual dengan cara skor penilaian standar untuk mengklasifikasikan glaukoma berdasar
tingkat kerusakan , Tidak adanya definisi kriteria pasien glaucoma, dan keterbatasan yang terkait
dengan sifat retrospektif dari penelitian sebelumnya telah memberikan kontribusi pada
ketidaksesuaian mencatat dalam literatur yang ada.
Studi kami secara prospektif meneliti efek dari operasi glaukoma pada visus dan bidang
visual dalam serangkaian pasien secara berturut-turut . Penggunaan sistem penilaian AGIS
memastikan perekrutan kelompok yang homogen dari pasien dengan stadium akhir glaukoma
stadium akhir. Penggunaan empat titik bidang visual berada di pusat di samping berarti deviasi
(MD) memungkinkan penghitungan akurat pasca operasi perubahan bidang visual. Pada stadium
akhir glaukoma di mana sebagian besar titik kolom visual yang tidak memiliki sensitivitas sama
Septian Dwi Nurcahyo
sekali (0 dB), deviasi mean (MD) yang mewakili semua titik kolom visual yang mungkin kurang
sensitif terhadap perubahan kecil, yang bisa terjadi di pulau tengah yang tersisa pada
penglihatan. Dengan menggunakan empat titik bidang visual berada di pusat sebagai ukuran
hasil, kami mampu mengukur perubahan kecil yang bisa terjadi pada bidang visual berada di
pusat yang tersisa. Selain itu, pengukuran ketajaman visual dilakukan dengan metode standar
(grafik ETDRS pada cahaya ambient standar). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada
peserta mengembangkan "wipe-out" fenomena dalam 3 bulan pasca operasi.
Penelitian kami termasuk pasien dengan risiko tinggi "wipe-out" fenomena menurut
laporan sebelumnya.1,3 Sebagian besar pasien kami berada di kelompok usia yang lebih tua,
sementara mereka semua memiliki kolom visual yang sangat kecil (<100) pada awal. Kurangnya
kehilangan penglihatan atau komplikasi perioperatif penting lainnya didampingi oleh penurunan
yang cukup besar dari TIO setelah operasi.filtasi Hal ini mengakibatkan kontrol optimal lebih
TIO dan penurunan besar dari penggunaan obat pasca operasi, dengan hampir 80% dari subyek
tidak memerlukan pengobatan setelah prosedur drainase.
Berdasarkan hasil yang kami peroleh , kami menyimpulkan bahwa mendadak hilangnya
penglihatan pasca operasi yang tidak dapat dijelaskan dari penglihatan pada pasien dengan
glaukoma stadium akhir yang menjalani operasi filtrasi paling banyak, komplikasi yang jarang
terjadi. Oleh karena itu kami merekomendasikan intervensi awal bedah meskipun kehadiran
tingkat lanjut kerusakan bidang visual ketika kontrol kesehatan mata denagan TIO yang tinggi
telah gagal, dan ada bukti kerusakan glaukoma progresif pada saraf optik. Penelitian prospektif
lebih lanjut, dengan sejumlah besar pasien, akan diperlukan untuk mengkonfirmasi temuan kami
dan lebih baik menentukan risiko dan faktor risiko untuk "wipe-out" fenomena setelah operasi .
Daftar Pustaka
1. Costa VP, Smith M, Spaeth GL, Gandham S, Markovitz B. Loss of visual acuity after
trabeculectomy. Ophthalmology 1993;100:599612.
2. Kolker AE. Visual prognosis in advanced glaucoma: a comparison of medical and
surgical therapy for retention of vision in 101 eyes with advanced glaucoma. Trans Am
Ophthalmol Soc 1977;75:539 555.
Septian Dwi Nurcahyo
https://www.scribd.com/doc/151075687/jurnal-glaukoma