Anda di halaman 1dari 2

1. Menurut Pasal 15 UU No.

2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris (UUJN), yang menjadi


kewenangan notaris atau dapat disebut juga sebagai pekerjaan-pekerjaan atau jasa utama
yang dapat diberikan notaris kepada masyarakat atau pihak lain adalah:
a. Membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang
diharuskan oleh Undang-Undang dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik. (Pasal 15 ayat (1) UUJN);
b. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan
dengan mendaftarkan di dalam buku khusus, atau dapat disebut juga melakukan
legalisasi atas surat-surat di bawah tangan (Pasal 15 ayat (2a) UUJN);
c. Membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus, atau
dapat disebut juga melakukan Waarmerking (Pasal 15 ayat (2b) UUJN);
d. Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian
sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan (Pasal 15 ayat
(2c) UUJN);
e. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya (Pasal 15 ayat (2d)
UUJN);
f. Memberikan penyuluhan hokum sehubungan dengan pembuatan akta (Pasal 15 ayat
(2e) UUJN);
g. Membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan (Pasal 15 ayat (2f) UUJN);
h. Membuat Akta risalah lelang (Pasal 15 ayat (2g) UUJN);

2. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (1) UUJN, Notaris adalah pejabat
umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam UU ini atau berdasarkan UU. Akta yang dibuat dihadapan
atau oleh Notaris berkedudukan sebagai akta otentik menurut bentuk dan tata cara yang
ditetapkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, hal ini sesuai dengan pendapat Irawan
Soerodjo, bahwa ada 3 (tiga) unsur esenselia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta
otentik, yaitu:
a. Didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal 38 UUJN);
b. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum yang berwenang. Dalam hal ini, Notaris
harus telah diangkat, menerima SK, mengucap sumpah (pasal 3 UUJN), atau sedang
tidak dalam masa cuti (pasal 11 UUJN) maupun tidak sedang diberhentikan dengan
hormat (Pasal 9 UUJN);
c. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu dan
di tempat dimana akta itu dibuat (Pasal 19 UUJN).

Apabila terdapat kelalaian dari Notaris dalam membuat akta sehingga tidak sesuai dengan
yang diatur oleh undang-undang, maka unsur akta otentik yang diatur dalam pasal 1868
BW tidak terpenuhi sehingga akta tersebut tidak lagi memiliki kekuatan pembuktian
sebagaimana akta otentik, namun hanya memiliki kekuatan pembuktian akta di bawah
tangan yang sangat tergantung dari pengakuan dari orang-orang yang
menandatanganinya, ahli warisnya serta orang-orang yang mendapat hak dari
mereka. Hal ini dipertegas oleh Pasal 41 UUJN dengan menyebutkan sebagai
berikut: Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal
39, dan Pasal 40 mengakibatkan Akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai
akta di bawah tangan. Apabila kelalaian dari Notaris tersebut mengakibatkan suatu
kerugian bagi para pihak yang memiliki kepentingan terhadap akta tersebut maka
berdasarkan pasal 84 UUJN, para pihak dapat menuntut biaya, kerugian berikut bunganya
kepada Notaris yang telah melakukan kelalaian tersebut.

Akta menjadi hanya mempunyai kekuatan di bawah tangan seperti yang dikemukakan
diatas merupakan risiko hukum yang ditimbulkan apabila melanggar apa yang telah jelas
diatur dalam pasal-pasal UUJN dan pelanggaran terhadap bentuk atau syarat formil dari
akta notaris. Namun, apabila yang dilanggar diluar hal-hal yang berkaitan dengan pasal-
pasal tersebut atau diluar pelanggaran terhadap syarat formil dan bentuk akta notaris,
maka dapat berakibat suatu akta tersebut Batal Demi Hukum atau Dapat Dibatalkan.
Seperti yang diatur dalam pasal 1320 BW, terdapat 4 syarat sahnya perjanjian yaitu
sepakat mereka yang mengikatkan diri, kecakapan membuat suatu perjanjian, suatu hal
tertentu, dan kausa yang halal. Syarat pertama dan kedua adalah syarat subjektif dari
perjanjian, yang apabila dilanggar maka berakibat akta batal demi hukum, sedangkan
syarat ketiga dan keempat adalah syarat objektif yang apabila dilanggar maka berakibat
akta dapat dibatalkan.

3.

Anda mungkin juga menyukai