Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus varisela-
zoster yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang
terjadi setelah infeksi primer. Virus varisela zoster yang terbungkus, bentuknya bulat,
diameternya 150-200nm, tunggal, linier, dan molekul DNA. Berasal dari genus
Varicellovirus, famili Herpesviridae, subfamili Alphaherpesvirinae.1

Lebih dari 90% orang dewasa di Amerika Serikat memiliki bukti serologis
tentang infeksi virus varicella zoster dan berisiko terjadi herpes zoster. Insiden herpes
zoster dalam satu tahun adalah sekitar 1,5 sampai 3,0 kasus per 1000 orang. Insiden
2,0 kasus per 1000 orang akan menjadi lebih dari 500.000 kasus setiap tahun di
Amerika Serikat. Meningkatnya usia merupakan faktor risiko utama perkembangan
herpes zoster. Kejadian herpes zoster pada orang yang berusia lebih dari 75 tahun,
melebihi 10 kasus per 1000 orang. Risiko herpes zoster seumur hidup diperkirakan 10
sampai 20 persen.2

Dari total 2232 pasien herpes zoster pada 13 rumah sakit pendidikan di
Indonesia (2011-2013) Puncak kasus herpes zoster terjadi pada usia 45 sampai 64 tahun
851 (37.95 % dari total kasus Herpes Zoster). Total kasus NPH adalah 593 kasus
(26.5% dari total kasus herpes zoster). Puncak kasus NPH pada usia 45 sampai 64 yaitu
250 kasus NPH (42% dari total kasus NPH).3

Etiologi dari Herpes Zoster disebabkan oleh infeksi virus varisela zoster. Virus
varisela zoster adalah virus DNA yang berantai ganda, tergabung dalam famili
Herpesviridae, Genomnya mengkodekan sekitar 70 protein. Pada manusia, infeksi
primer dari virus varisela zoster terjadi saat virus bersentuhan dengan mukosa saluran
pernafasan atau konjungtiva. Kemudian, didistribusikan ke seluruh tubuh. Setelah
terjadi infeksi primer, virus tersebut bermigrasi di sepanjang serabut saraf sensorik ke
sel satelit akar dorsal dari ganglia sehingga menjadi tidak aktif.4

1
Reaktivasi virus varisela zoster yang tidak aktif berada di dalam akar ganglia
dorsal, seringkali selama beberapa dekade setelah paparan awal pasien terhadap virus
varicela (cacar air), dapat berakibat terjadinya herpes zoster. Yang memicu reaktivasi
ini belum diketahui secara pasti, namun kemungkinan yang dapat memicu reaktivasi
yaitu: reeksposur eksternal pada virus, proses penyakit akut atau kronik, akibat
pengobatan penyakit tertentu, dan stress emosional.4

Manifestasi klinis dari herpes zoster dapat dibagi dalam 3 fase yaitu: fase
preeruptif, onset lesinya 48-72 jam pertama. Selama fase ini, pasien mengalami gejala
kulit yang gatal dan sakit, malaise, myalgia, sakit kepala, fotofobia, dan demam. Fase
eruptif akut ditandai dengan munculnya erupsi vesikular. Lesi dimulai dengan makula
dan papula eritematosa yang berkembang dengan cepat menjadi vesikula. Vesikula
akan cepat membesar dan menyatu sehingga membentuk bula. Lesi yang baru
cenderung terbentuk dalam jangka waktu 3-5 hari. Setelah membentuk vesikula, lesi
berkembang di mana akan pecah, mengeluarkan isinya, mengalami ulserasi, dan
akhirnya mengeras dan menjadi kering. Gejala dan lesi pada fase erupsi akut cenderung
sembuh lebih dari 10-15 hari. Fase kronis, ditandai dengan nyeri persisten atau
berulang, yang berlangsung 30 hari atau lebih setelah infeksi akut. Kebanyakan orang
mengeluh kulit terasa terbakar, paresthesia, disestesi, dan hiperestesi.5

Pemeriksaan penunjang untuk Herpes zoster bisa berupa pemeriksaan


laboratorium diperlukan bila terdapat gambaran klinis yang meragukan. Seperti uji
imunofluoresensi lebih sensitif daripada kultur virus dan memiliki keuntungan
tambahan dengan biaya lebih rendah dan waktu penyelesaian yang lebih cepat.
Pemeriksaan Tes Tzanck, adanya perubahan sitologi sel epitel dimana terlihat multi
nucleated giant sel dan pemeriksaan PCR, untuk identifikasi antigen atau asam nukleat
Virus Varisela Zoster.6

Penatalaksanaan dari herpes zoster diterapi secara sistemik, untuk nyerinya


diberikan analgetik, jika terjadi infeksi sekunder diberikan antibiotic. Pemberian

2
antivirus asikovir selama 7-10 hari dengan dosis 5x800mg perhari, dosis asiklovir IV
3x10 mg/kg/hari. valasiklovir dosisnya 3x1000mg sehari selama 7 hari dan famsiklovir
dosisnya 3x500 mg sehari selama 7 hari. jika lesi baru masih timbul, obat-obat tersebut
masih dapat diteruskan dan dihentikan sesedah 2 hari sejak lesi baru tidak timbul lagi.
Pengobatan herpes zoster secara topikal ini tidak efektif.7

3
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. Gatot Supriadi

No. RM: : 215590

Umur : 59 tahun

Alamat : Jalan Panglima Sudirman Gang no 7

Tanggal Pemeriksaan : 21 Juni 2017

Pekerjaan : Bengkel

Status : Sudah menikah

Agama : Islam

2.2 Anamnesa

Keluhan Utama : kulit melepuh pada dahi, pipi, hidung, dan daerah atas telinga bagian
kiri sejak 6 hari yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke poli kulit dan kelamin dengan keluhan kulit melepuh pada dahi, pipi,
hidung dan daerah atas telinga bagian kiri sejak 6 hari yang lalu. Awalnya pada hari
jumat sore pasien sedang bekerja las motor, tiba-tiba pasien merasa dijatuhi kayak
kotoran burung yang lengket pada dahi. Pertama timbul bengkak kemerahan di daerah
dahi dan timbul bintil-bintil berisi air. Bintil- bintil ini menyebar ke daerah hidung, pipi
dan atas telinga. Kemudian bintil-bintil ini bergerombol menjadi satu di daerah dahi
dan pecah. Pasien juga mengeluh badan panas sejak 6 hari yang lalu, terasa nyeri
diseluruh badan, matanya terasa nyeri cekot-cekot dan kepalanya terasa pusing.

4
Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien pernah menderita sakit cacar sudah 1 tahun yang lalu

Riwayat Alergi

Tidak ada riwayat alergi

Riwayat Atopi

Tidak ada riwayat atopi

Riawayat Penyakit Keluarga

Tidak ada yang sakit seperti ini

Riwayat Pengobatan

Sudah pernah berobat waktu hari sabtu ke dokter, diberikan obat tetes mata,
amoxicillin, namun tidak sembuh.

Riwayat Sosial

Pasien bekerja di bengkel sebagai tukang las.

2.3 Pemeriksaan Klinis

Status Dermatology

Lokasi : di dahi, hidung, pipi, dan daerah atas telinga bagian kiri

Distribusi : unilateral

Ruam :

- Tampak vesikel yang bergerombol dengan dasar kulit yang eritema, batas tegas,
bentuk irregular, yang ditutupi dengan krusta yang tebal, warna kekuningan,
kehitaman dan kehijauan, dan sebagian masih ada pustula

5
- Tampak bula yang bergerombol dengan dasar kulit yang eritema, bentuk bulat,
batas tegas, ukurannya 1-2 cm, disertai krusta warna kekuningan, dan
sebagian masih ada pus
- Tampak vesikel dengan dasar kulitnya kemerahan, bentuk bulat, batas tegas,
dan ukurannya 8- 9mm.

Gambar 1. Lesi di dahi dan hidung

6
Gambar 2. Lesi di daerah atas telinga

7
Gambar 3 Lesi di daerah pipi

2.4 Diagnosis Banding

1. Herpes Zoster tregiminal sinistra + infeksi sekunder

2. Dermatitis kontak iritan e.c venenata

3. Varisela

4. Impetigo bulosa

2.5 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Tzanck, jika positif ditemukan sel dantia berinti banyak.

8
2.6 Diagnosis

Herpes zoster trigeminal sinistra+ infeksi sekunder

2.7 Terapi

- Tab asiklovir 5x 800 mg diberikan selama 5 hari

- Tab Paracetamol 3x500 mg diberikan selama 5 hari

- Tab Erythromicin 3 x 500 mg diberikan selama 5 hari

- Tab Neurobion 2x1

- Kompres dengan air bersih

- Konsul ke poli mata

2.8 Saran

- Pasien disarankan untuk bed rest di rumah.


- Pasien disankan untuk kompres dengan air bersih pada daerah lesinya, agar
krusta terangkat dan bula yang bergerombol cepat pecah.
- Pasien jangan kontak dengan orang-orang sekitar yang belum pernah menderita
varisela.

2.9 Prognosis

Dubia ad bonam.

9
BAB III

PEMBAHASAN

Herpes zoster adalah adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh reaktivasi
virus varisela zoster yang laten menyerang kulit dan mukosa. Penyebarannya ke
dermatom atau jaringan saraf yang sesuai dengan segmen yang dipersarafinya.1 Herpes
zoster terjadi pada orang yang pernah menderita varisela sebelumnya karena varisela
dan herpes zoster disebabkan oleh virus yang sama yaitu virus varisela zoster. Setelah
sembuh dari varisela, virus yang ada di ganglion sensoris tetap hidup dalam keadaan
tidak aktif dan dapat aktif kembali jika daya tahan tubuh menurun.4 Masa tunas dari
herpes zoster 7-12 hari. Gejala herpes zoster dibagi menjadi 3 fase, yaitu fase
preeruptif, fase eruptif akut, dan fase kronik. Fase preeruptif onset lesi 48 -72 jam
pertama. Ditandai dengan kulit terasa sakit atau gatal, demam, malese, pusing, sakit
kepala, fotofobia, dan nyeri otot. Fase eruptif lesi dimulai dengan makula dan papula
yang eritema, kemudian berkembang cepat menjadi vesikel- vesikel yang bergerombol
dengan dasar kulit yang eritama dan edema. Lesi vesikel ini akan pecah kemudian
menjadi erosi, dan akhirnya mengeras, menjadi kering atau krusta. Fase kronis, ditandai
dengan nyeri yang persisten atau berulang yang berlangsung 30 hari atau lebih setelah
infeksi akut atau setelah semua lesi pecah. Gejalanya seperti rasa terbakar, paresthesia,
hiperestesi. Rasa sakit bisa parah dan membutuhkan waktu lama untuk sembuh.5
Herpes zoster sering terjadi pada usia tua, lebih dari 2/3 kasus berusia diatas 50 tahun.
Insiden herpes zoster pada pria dan wanita sama banyaknya, dan tidak tergantung pada
musim.9 Pada pasien ini berusia berusia 59 tahun yang merupakan usia yang tersering.
Pada hasil anamnesa, pasien mengeluh kulitnya melepuh pada dahi, hidung, pipi dan
atas telinga bagian kiri sejak 6 hari yang lalu. Awalnya kulitnya bengkak dan
kemerahan pada dahi sejak 6 hari yang lalu, kemudian timbul bintil-bintil berisi air
yang bergerombol di dahi dengan kulit yang kemerahan, bintil-bintil ini menyebar ke
daerah hidung, pipi, dan atas telinga bagian kiri. Kemudian bintil-bintil pecah,
terbentuk krusta yang tebal warna kekuningan, kehitaman dan kehijauan. Pasien ini

10
juga mengeluh demam sejak 6 hari yang lalu, nyeri seluruh badan, terasa nyeri cekot-
cekot pada mata, dan kepala terasa pusing. Riwayat penyakit dahulu pasien pernah
menderita varisela sudah 1 tahun yang lalu. Pada pasien ini belum termasuk fase kronik
karena lesi dan gejala prodromal baru berlangsung 6 hari. kalau pada fase kronik
berlangsung 30 hari dan gejalanya berulang atau persisten. Pada pasien ini gejalanya
baru timbul sejak 6 hari yang lalu. Dan lesinya belum semuanya pecah, masih ada
berbentuk bula yang bergerombol yang belum pecah.

Reaktivasi virus varisela zoster yang tidak aktif berada di dalam akar ganglia
dorsal, seringkali selama beberapa dekade setelah paparan awal pasien terhadap virus
varicela (cacar air), dapat berakibat terjadinya herpes zoster. Yang memicu terjadinya
reaktivasi yaitu: reeksposur eksternal pada virus, proses penyakit akut atau kronik,
akibat pengobatan penyakit tertentu, dan stress emosional.4 Pada pasien ini reaktivasi
kembali diakibatkan pasien stres dalam pekerjaannya. Pasien yang bekerja di bengkel
modif motor, karena banyak target motor yang harus diselesaikan sampai lembur.

Efloresensi dari herpes zoster adalah daerah lesinya eritematosa dan edematosa,
diatasnya ini terdapat vesikel, pustul, krusta kekuningan, dalam waktu singkat vesikel
dapat berkelompok dengan dasar kulit yang kemerahan dan edema. Kemudian vesikel
ini dapat pecah dan membentuk krusta. Kelainan pada mata: kemosis, vesikel di
kelopak mata, ulkus kornea, iridosiklitis, serta paresis saraf dan otot.9 Pada
pemeriksaan dermatologi pasien ini terdapat vesikel yang bergerombol dengan dasar
kulit yang eritema, batas tegas, bentuk irregular, yang ditutupi dengan krusta yang
tebal, warna kekuningan kehitaman dan kehijauan dan sebagian masih berbentuk
pustul. Pada daerah pipi, tampak vesikel dengan dasar kulitnya kemerahan, bentuk
bulat, batas tegas, dan ukurannya 8- 9mm. Pada daerah atas telinga kiri terdapat bula
yang bergerombol dengan dasar kulit yang eritema, bentuk bulat, batas tegas,
ukurannya 1-2 cm, disertai krusta warna kekuningan, dan sebagian masih ada pus.
Pada mata pasien tampak kelopak matanya bengkak, terdapat vesikel di kelopak
matanya, kunjungtiva yang kemerahan,dan belum terjadi paresis saraf dan otot.

11
Herpes zoster trigeminal merupakan herpes zoster sangat jarang ditemukan.
Lesi herpes zoster trigeminal ini melibatkan tiga dermatom sekaligus, yaitu nevus
opthalmikus, nervus maxilaris, dan nervus mandibularis. Pada pasien ini di diagnosa
herpes zoster trigeminal sinistra karena ruamnya sudah mengenai nervus opthalmikus
sinistra, nervus maxilaris sinistra, dan nervus mandibularis sinistra.

Diagnosis banding pada penyakit ini yaitu dermatitis kontak iritan e.c venenata,
varisela dan impetigo bulosa. Kami dapat menyingkirkan dermatitis kontak iritan e.c
venenata sebagai diagnosis banding karena pada dermatitis kontak iritan lesinya
biasanya timbul setalah kontak dengan bahan iritan, tidak disertai dengan gejala
prodromal, lesinya berupa vesikel, bula sampai dengan erosi, eritema numular sampai
dengan plak. Selanjutnya varisela disingkirkan karena lesinya menyebar secara
sentrifugal, vesikel berukuran miliar sampai lentikular, beratap tipis, bentuk bulat atau
lonjong menyerupai tetesan air sehingga disebut teardrop vesikel. Perkembangan
lesinya dimulai dari eritema, vesikel, pustul, skuama, hingga sampai sikatriks.
Selanjutnya impetigo bulosa disingkirkan karena lokasi pada impetigo bulosa pada
ketiak, dada, punggung, serta ekstremitas atas dan bawah, lebih sering menyerang
anak-anak, tidak begitu nyeri, vesikel dan bula mudah pecah karena dinding bula tipis
dan menjadi krusta.

Pemeriksaan penunjang untuk herpes zoster yaitu pemeriksaan Tzanck, caranya


pilih bula yang utuh dan terinfeksi. Bila tidak didapatkan bula yang utuh, gunakan
daerah erosi yang bersih atau membuat lesi baru dengan cara menggosok-gosokan
epidermis. Dengan scalpel atau gunting, angkat dinding bula dan isap air atau serum
yang terdapat di dalamnya menggunakan kaca spon. Kerok dasar erosi bula dengan
menggunakan scapel dan hasil kerokan di buat hapusan di gelas obyek. Kerokan
difiksasi pada preparat dengan cara dilewatkan diatas api 3x. kemudian ditetesi larutan
giemsa selama 30 menit, bilas dengan air mengalir dan lalu keringkan. Periksa di
mikroskop dengan 100x pembesaran. Hasilnya positif, akan ditemukan sel dantia

12
berinti banyak.10 Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan Tzanck, karena
keterbatasan alat.

Penatalaksanaan herpes zoster bertujuan untuk mengatasi infeksi virus akut,


mengatasi nyeri akut yang ditimbulkan oleh virus herpes zoster, dan mencegah
timbulnya neuralgia pasca hepatik. Terapi sistemik umumnya diberikan simtomatik,
untuk nyerinya diberikan analgetik, jika ada infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik
dan dapat ditambahkan obat neurotropik. Obat untuk antivirus yang biasa digunakan
yaitu asiklovir, sebaiknya diberikan dalam 3 hari pertama sejak lesi muncul. Dosis
asiklovir yang diberikan 5x 800 mg sehari, diberikan selama 7 hari, asiklovir intravena
dosis 3x 10mg/kg/hari pada multi segmental atau diseminata, valasiklovir dosisnya 3x
1000mg sehari, famsiklovir dosisnya 3x 500 mg/hari karena konsentrasi dalam plasma
lebih tinggi. Jika lesi baru tetap timbul obat dapat diteruskan dan dihentikan sesudah 2
hari lesi baru tidak timbul. Untuk neuralgia pascaherpetik belum ada obat pilihan. Obat
yang direkomendasikan adalah gabapentin dosisnya 1.800 mg- 2.400 mg sehari.
Awalnya dosis rendah kemudian dinaikan secara bertahap untuk menghindari efek
samping diantaranya nyeri kepala dan rasa melayang. Hari pertama dosisnya 300 mg
sehari diberikan sebelum tidur, setiap 3 hari dosis dinaikkan 300 mg sehari, sehingga
mencapai 1.800 mg sehari. Pemberian obat topikal, bila lesi masih basah dapat
dikompres dengan larutan garam faali, atau menggunakan salep sodium fusidate dan
lesinya kering dapat menggunakan bedak salicyl 2%, dan pemberian obat asiklovir
secara topikal tidak efektif.7,8

Pada pasien ini diberikan obat asiklovir 5x800 mg ini merupakan obat antivirus
yang paling sering digunakan. Selanjutnya pemberian asiklovir pada pasien ini selama
5 hari, karena masa tunas dari herpes zoster 7- 12 hari, dan pasien ini datang berobat
ke poli sudah hari ke-6. Setelah itu pasien disuruh kontrol lagi, jika lesi baru masih
tetap timbul. Pemberian obat asiklovir ini dapat diteruskan sampai 2 hari setelah lesi
baru tidak timbul lagi. Pemberian paracetamol 3x 500 mg sebagai terapi
simtomatisnya. karena paracetamol sebagai obat analgetik antipiretik, pasien juga

13
mengeluh badanya panas sudah 6 hari, terasa nyeri di seluruh badanya dan kepalanya
terasa pusing. Pada pasien ini diperlukan pemberian antibiotic eritromisin 3x 500mg
selama 5 hari, karena pada pasien ini sudah terjadi infeksi sekunder, seperti krusta yang
tebal berwarna kekuningan kehitaman dan kehijauan, dan sebagian masih terdapat
pustule, dan terdapat bula yang bergerombol disertai krusta yang tebal dan sebagian
masih terdapat pus. Dapat juga ditambahkan vitamin B complek, sebagai neurotropik
untuk vitamin sarafnya. Obat neurotropik yang diberikan tablet Neurobion 2x1sehari.
Pada kasus ini, tidak diberikan obat topikal, karena pemberian obat asiklovir secara
topikal tidak efektif. Disarankan pasien untuk kompres dengan air bersih setiap hari
untuk mengangkat krusta- krusta yang tebal dan bulanya cepat pecah.

Herpes zoster memiliki prognosis yang baik, meskipun dapat menimbulkan


neuralgia pascahepertik yaitu rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas penyembuhan.
Nyerinya bisa berlangsung bertahun-tahun dan cendrung dijumpai pada orang yang
diatas 40 tahun. Tetapi pasien diharapkan kontrol yang rutin, dan minum obat yang
teratur.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Makos. C, Noussios, et all Herpes zoster of the trigeminal nerve-two cases


reports, The Internet Journal of Neurology, vol 13, no.2, 2010.
2. Wung PK, Holbrot JT, Hoffman GS, Tibbs AK, Specks U, et al. Herpes
Zoster in Immunocompromised patience: incidence, timing, and risk
factor. AM J Med. 2005 118(12): 1416
3. Pusponegoro E, Nilasari H, Lumintang H, dkk. Buku Panduan Herpes
Zoster Indonesia. 2014
4. Norman J, Politz D. Shingles (Varisella Zoster) outbreaks in patients with
hyperparathyroidism and their relationship to hypercalcemia. Clin Infect
Dis. 2008 46(9) :1452-4
5. Pasqualucci A, Pasqualucci V, et al. Prevention of post herpetic neuralgia.
Acyclovir and prednisolone versus epidural local anesthetic and
methylprednisolone. Acta Anessthesiol scand 2000. 44(8) 910-8
6. Cohen JI. Herpes zoster. N Engl J Med 2013;369(18):1766-7.
7. Dubinsky RM, Kabbani H, El-Chami Z, Boutwell C, Ali H. Practice
Parameter: treatment of postherpetic neuralgia: An evidence based report
of the Quality Standards Subcommittee of the American Academy of
Neurology Neurology. 2004;63:959-65.
8. Djuanda A., Hamzah M., Aisah A. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Ed6 ,Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Badan FKUI, hal 110-112
9. Siregar R. S. 2013. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Ed3 , Penerbit
Buku Kedokteran ECG, Jakarta.
10. Gupta L.K., Singhi M.K. 2005. Tzanck Smear: A Useful Diagnostic Tool.
Department of Dermatology, Verology and Leprosy Jul-Agus 2005, Vol 7.

15

Anda mungkin juga menyukai