Anda di halaman 1dari 17

OUTCOME TRANSPLANTASI HATI

PADA ATRESIA BILIER

Penyaji : Lilis Marpaung


Tanggal : 24 Januari 2017
Pembimbing : - Prof. Dr. Atan Baas Sinuhaji, Sp. A (K)
- Dr. Supriatmo, Sp. A (K)
- Dr. Ade Rachmat Y, M.ked (Ped), Sp.A
- Dr. Arjuna G.T. Sinuhaji, M.ked (Ped), Sp.A

PENDAHULUAN
Penyebab kolestasis ekstrahepatik neonatal yang terbanyak adalah atresia bilier. Atresia
bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif pada
duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran empede. Jadi, atresia bilier
adalah tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan traktus bilier
ekstrahepatik yang menyebabkan hambatan aliran empedu. Akibatnya di dalam hati dan darah
terjadi penumpukan garam empedu dan peningkatan bilirubin direk. Hanya tindakan bedah yang
dapat mengatasi atresia bilier. Bila tindakan bedah dilakukan pada usia 8 minggu, angka
keberhasilannya adalah 86%, tetapi bila pembedahan dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka
keberhasilannya hanya 36%. Oleh karena itu diagnosis atresia bilier hams ditegakkan sedini
mungkin, sebelum usia 8 minggu.1

EPIDEMOLOGI
Atresia bilier ditemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran. Rasio atresia bilier pada anak
perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1. Meski jarang tetapi Jumlah penderita atresia bilier yang
ditangani Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2002-2003, mencapai 37-38
bayi atau 23 persen dari 162 bayi berpenyakit kuning akibat kelainan fungsi hati. Sedangkan Di
Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Sutomo Surabaya antara tahun 1999-2004 dari 19270
penderita rawat inap, didapat 96 penderita dengan penyakit kuning gangguan fungsi hati di
dapatkan atresia bilier 9 (9,4%).2
Dari 904 kasus atresia bilier yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia bilier didapat pada
ras Kaukasia (62%), berkulit hitam (20%), Hispanik (11%), Asia (4,2%) dan Indian Amerika
1
(1,5%). Kasus Atresia Bilier dilaporkan sebanyak 5/100.000 kelahiran hidup di Belanda,
5,1/100.000 kelahiran hidup di Perancis, 6/100.000 kelahiran hidup di Inggris, 6,5/100.000
kelahiran hidup di Texas, 7/100.000 kelahiran hidup di Australia, 7,4/100.000 kelahiran hidup di
USA, dan 10,6/100.000 kelahiran hidup di Jepang.3
DEFINISI
Proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif pada duktus
bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran empedu. Jadi, atresia bilier adalah
tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan traktus bilier ekstrahepatik yang
menyebabkan hambatan aliran empedu. Akibatnya di dalam hati dan darah terjadi penumpukan
garam empedu dan peningkatan bilirubin direk.1, 4,5
Pasien dengan atresia bilier dapat dibagi menjadi 2 grup, yakni :
1. Perinatal form (Isolated Biliary Atresia): 65 90 %
Bentuk ini ditemukan pada neonatal dan bayi berusia 2-8 minggu. Inflmasi atau peradangan
yang progresiv pada saluran empedu extrahepatik timbul setelah lahir. Bentuk ini tidak
muncul bersama kelainan congenital lainnya.
2. Fetal Embrionic form: 10 35 %
Bentuk ini ditandai dengan cholestatis yang muncul amat cepat, dalam 2 minggu kehidupan
pertama. Pada bentuk ini, saluran empedu tidak terbentuk pada saat lahir dan biasanya
disertai dengan kelainan congenital lainnya seperti situs inversus, polysplenia, malrotasi,
dan lain-lain.7, 8
Kasai mengajukan klasifikasi atresia bilier sebagai berikut :
I. Atresia (sebagian atau total) duktus bilier komunis, segmen proksimal paten.
IIa. Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus bilier komunis, duktus sistikus, dan kandung
empedu semuanya normal).
IIb. Obliterasi duktus bilierkomunis, duktus hepatikus komunis, duktus sistikus. Kandung empedu
normal.
III. Semua sistem duktus bilier ekstrahepatik mengalami obliterasi, sampai ke hilus.
Tipe I dan II merupakan jenis atresia bilier yang dapat dioperasi (correctable), sedangkan
tipe III adalah bentuk yang tidak dapat dioperasi (non-correctable). Sayangnya dari semua kasus
atresia bilier, hanya 10% yang tergolong tipe I dan II.1
Gambar 3. Klasifikas Atresia Bilier

ETIOLOGI
Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian ahli menyatakan
bahwa faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan adanya kelainan kromosom trisomy
17,18 dan 21; serta terdapatnya anomali organ pada 30% kasus atresia bilier. Namun, sebagian
besar penulis berpendapat bahwa atresia bilier adalah akibat proses inflamasi yang merusak duktus
bilier, bisa karena infeksi atau iskemi.1 Hal penting yang harus diketahui adalah bahwa atresia
bilier bukanlah penyakit yang diturunkan. Kasus dari atresia bilier pernah terjadi pada bayi kembar
identik, dimana hanya 1 anak yang menderita penyakit tersebut.6

PATOFISIOLOGI
Meskipun histopatologi atresia bilier telah dipelajari secara eksklusif dalam bedah
specimen dari sistem bilier extrahepatic yang didapat dari bayi yang mengalami portoenterostomy,
patogenesis kelainan ini masih kurang dipahami. Masalah Atresia Bilier yang muncul pada bentuk
fetal berhubungan dengan anomali kongenital lain. Namun, pada bentuk yang lebih umum, yakni
tipe neonatal ditandai oleh lesi inflamasi yang progresif, yang diakibatkan infeksi atau racun yang
menyebabkan rusaknya saluran empedu. Agen infeksi yang telah diteliti oleh beberapa studi telah
mengidentifikasi peningkatan titer untuk reovirus antibodi tipe 3 pada pasien dengan atresia bilier
bila dibandingkan dengan kontrol. Virus lainnya yang teridentifikasi, termasuk rotavirus dan
sitomegalovirus (CMV).1,7

GEJALA KLINIS
Tanpa memandang etiologinya, gejala dan tanda klinis utama kolestasis neonatal adalah
iktcrus, tinja akolik, dan urin yang berwarna gelap. Namun, tidak ada satu pun gejala atau tanda
klinis yang patognomonik untuk atresia bilier. Keadaan umum bayi pada waktu lahir biasanya
baik. Ikterus bisa terlihat sejak lahir atau tampak jelas pada minggu ke 3. Kolestasis ekstrahepatik
hampir selalu menyebabkan tinja yang akolik. Sehubungan dengan itu sebagai upaya penjaring
kasar tahap pertama, dianjurkan melakukan pengumpulan tinja 3 porsi. Bila selama beberapa hari
ketiga porsi tinja tctap akolik, maka kemungkinan besar diagnosisnya adalah kolestasis
ekstrahepatik. Sedangkan pada kolestasis intrahepatik, warna tinja dempul berfluktuasi pada
pcmeriksaan tinja 3 porsi
Ikterus
Ikterus timbul dikarenakan hepar yang immatur pada bayi baru lahir. Normalnya icterus akan
menghilang pada 7-10 hari setelah lahir. Tetapi bayi dengan atresia biler, ikterusnya akan semakin
nyata dalam 2-3 minggu.
Urin yang berwarna gelap
Hal ini disebabkan karena bilirubin yang meningkat dalam darah, kemudian bilirubin terfiltrasi
melalui ginjal, dan dibuang melalui urin.
Feses Acholic
Feses acholic timbul dikarenakan tidak adanya bilirubin yang masuk ke dalam usus untuk
mewarnai feses.
Penurunan berat badan.1,4, 9

PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik, tidak ada temuan yang pathognomonic untuk atresia bilier:
Bayi dengan atresia bilier biasanya mengalami pertumbuhan normal dan peningkatan berat badan
selama minggu pertama kehidupan.
Hepatomegali
Splenomegali menunjukkan sirosis yang progresif dengan hipertensi portal.
Murmur jantung menunjukkan adanya kelainan pada jantung

PEMERIKSAAN PENUNJANG1,6
Belum ada satu pun pemeriksaan penunjang yang dapat sepenuhnya diandalkan untuk
membedakan antara kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik. Secara garis besar, pemeriksaan
dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu pemeriksaan :
1. Laboratorium rutin dan khusus untuk menentukan etiologi dan mengetahui fungsi hati
(darah, urin, tinja)
2. Pencitraan, untuk menentukan patensi saluran empedu dan menilai parenkim hati;
3. Biopsi hati, terutama bila pemeriksaan lain belum dapat menunjang diagnosis atresia bilier.

A. Pemeriksaan laboratorium
a) Pemeriksaan rutin
Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar komponen bilirubin untuk
membedakannya dari hiperbilirubinemia fisiologis. Selain itu dilakukan pemeriksaan darah tepi
lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar bilirubin direk < 4 mg/dl tidak sesuai dengan
obstruksi total. Peningkatan kadar SGOT/SGPT > 10 kali dengan pcningkatan gamma- GT < 5
kali, lebih mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler. Sebaliknya, peningkatan SGOT < 5 kali
dengan peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke kolestasis ekstrahepatik.
Menurut Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rendah tidak menyingkirkan kemungkinan
atresia bilier. Kombinasi peningkatan gamma-GT, bilirubin serum total atau bilirubin direk, dan
alkali fosfatase mempunyai spesifisitas 92,9% dalam menentukan atresia bilier.
b) Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya diagnostik yang cukup sensitif,
tetapi penulis lain menyatakan bahwa pemeriksaan ini tidak lebih baik dari pemeriksaan visualisasi
tinja. Pawlawska menyatakan bahwa karena kadar bilirubin dalam empedu hanya 10%, sedangkan
kadar asam empedu di dalam empedu adalah 60%, maka tidak adanya asam empedu di dalam
cairan duodenum dapat menentukan adanya atresia bilier.
B. Pencitraan
a) Pemeriksaan ultrasonografi
Theoni mengemukakan bahwa akurasi diagnostic USG 77% dan dapat ditingkatkan bila
pemeriksaan dilakukan dalam 3 fase, yaitu pada keadaan puasa, saat minum dan sesudah minum.
Bila pada saat atau sesudah minum kandung empedu berkontraksi, maka atresia bilier
kemungkinan besar (90%) dapat disingkirkan. Dilatasi abnormal duktus bilier, tidak ditemukannya
kandung empedu, dan meningkatnya ekogenitas hati, sangat mendukung diagnosis atresia bilier.
Namun demikian, adanya kandung empedu tidak menyingkirkan kemungkinan atresia bilier, yaitu
atresia bilier tipe I / distal.
b) Sintigrafi hati
Pemeriksaan sintigrafi sistem hepatobilier dengan isotop Technetium 99m mempunyai
akurasi diagnostik sebesar 98,4%. Sebelum pemeriksaan dilakukan, kepada pasien diberikan
fenobarbital 5 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis selama 5 hari. Pada kolestasis
intrahepatik pengambilan isotop oleh hepatosit berlangsung lambat tetapi ekskresinya ke usus
normal, sedangkan pada atresia bilier proses pengambilan isotop normal tetapi ekskresinya ke usus
lambat atau tidak terjadi sama sekali. Di lain pihak, pada kolestasis intrahepatik yang berat juga
tidak akan ditemukan ekskresi isotop ke duodenum. Untuk meningkatkan sensitivitas dan
spesifisitas pemeriksaan sintigrafi, dilakukan penghitungan indeks hepatik (penyebaran isotop di
hati dan jantung), pada menit ke-10. Indeks hepatik > 5 dapat menyingkirkan kemungkinan atresia
bilier, sedangkan indeks hepatik < 4,3 merupakan petunjuk kuat adanya atresia bilier.
Teknik sintigrafi dapat digabung dengan pemeriksaan DAT, dengan akurasi diagnosis
sebesar 98,4%. Torrisi mengemukakan bahwa dalam mendetcksi atresia bilier, yang terbaik adalah
menggabungkan basil pemeriksaan USG dan sintigrafi.
c) Liver Scan
Scan pada liver dengan menggunakan metode HIDA (Hepatobiliary Iminodeacetic Acid).
Hida melakukan pemotretan pada jalur dari empedu dalam tubuh, sehingga dapat menunjukan
bilamana ada blokade pada aliran empedu.
d) Pemeriksaan kolangiografi
Pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreaticography) mcrupakan
upaya diagnostik dini yang berguna untuk membedakan antara atresia bilier dengan kolestasis
intrahepatik. Bila diagnosis atresia bilier masih meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan
kolangiografi durante operasionam. Sampai saat ini pemeriksaan kolangiografi dianggap sebagai
baku emas untuk membedakan kolestasis intrahepatik dengan atresia bilier.

C. Biopsi hati
Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang paling dapat diandalkan. Di
tangan seorang ahli patologi yang berpengalaman, akurasi diagnostiknya mencapai 95%, sehingga
dapat membantu pengambilan keputusan untuk melakukan laparatomi eksplorasi, dan bahkan
berperan untuk penentuan operasi Kasai. Keberhasilan aliran empedu pasca operasi Kasai
ditentukan oleh diameter duktus bilier yang paten di daerah hilus hati.
Desmet dan Ohya menganjurkan agar dilakukan frozen section pada saat laparatomi
eksplorasi, untuk menentukan apakah portoenterostomi dapat dikerjakan. Gambaran
histopatologik hati yang mengarah ke atresia bilier mengharuskan intervensi bedah secara dini.
Yang menjadi pertanyaan adalah waktu yang paling optimal untuk melakukan biopsi hati. Harus
disadari, terjadinya proliferasi duktuler (gambaran histopatologik yang menyokong diagnosis
atresia bilier tetapi tidak patognomonik) memerlukan waktu. Oleh karena itu tidak dianjurkan
untuk melakukan biopsi pada usia < 6 minggu

DIAGNOSA
Diagnosis atresia bilier ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Manifestasi klinis utama atresia bilier adalah tinja akolik, air kemih
seperti air teh, dan ikterus. Ada empat keadaan klinis yang dapat dipakai sebagai patokan untuk
membedakan antara kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik, yaitu: berat badan lahir, warna tinja,
umur penderita saat tinja mulai akolik, dan keadaan hepar.
Tabel 1. Empat kriteria klinis terpenting untuk membedakan Kolestasis
Intrahepatik dan Ekstrahepatik

DIAGNOSA BANDING
Hipoplasia bilier, stenosis duktus bilier
Perforasi spontan duktus bilier
Massa (neoplasma, batu)
Inspissated bile syndrome
Hepatitis neonatal idiopatik
Displasia arteriohepatik (sindrom Alagille)
Penyakit Caroli (pelebaran kistik pada duktus intrahepatik).
Hepatitis

PENATALAKSANAAN
Terapi medikamentosa1
1) Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu (asam
litokolat), dengan memberikan:
Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral. Fenobarbital akan merangsang enzim
glukuronil transferase (untuk mengubah bilirubin indirek menjadi bilirubin direk); enzim sitokrom
P-450 (untuk oksigenisasi toksin), enzim Na+ K+ ATPase (menginduksi aliran empedu).
Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal pemberian susu. Kolestiramin
memotong siklus enterohepatik asam empedu sekunder.
2) Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan:
Asam ursodeoksikolat, 310 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis, per oral. Asam ursodeoksikolat
mempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam litokolat yang hepatotoksik.

Terapi nutrisi
Terapi nutrisi dilakukan bertujuan untuk memungkinkan anak tumbuh dan berkembang seoptimal
mungkin, yaitu :
1) Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides (MCT) untuk mengatasi
malabsorpsi lemak.
2) Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larutdalam lemak.

Terapi bedah2,6
Kasai Prosedur
Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan empedu ke
usus. Tetapi prosedur ini hanya mungkin dilakukan pada 5-10% penderita. Untuk melompati
atresia bilier dan langsung menghubungkan hati dengan usus halus, dilakukan pembedahan yang
disebut prosedur Kasai. Pembedahan akan berhasil jika dilakukan sebelum bayi berusia 8 minggu.
Biasanya pembedahan ini hanya merupakan pengobatan sementara dan pada akhirnya perlu
dilakukan pencangkokan hati.

Gambar 5. Kasai Prosedure


Prosedur Kasai bisa membuat sebagian pasien berumur panjang. Namun, fungsi hati pada
sebagian pasien lainnya semakin memburuk. Umumnya, pasien datang ke rumah sakit dalam
kondisi yang sudah buruk, yakni saat bayi berusia lebih dari dua bulan. Penderita penyakit ginjal
memiliki alternatif pengobatan dialisa, tetapi tidak demikian halnya dengan penderita penyakit hati
yang berat. Jika hati sudah tidak berfungsi lagi, maka satu-satunya pilihan pengobatan adalah
pencangkokkan hati.

Pencangkokan atau Transplantasi Hati


Transplantasi hati memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk atresia bilier dan
kemampuan hidup setelah operasi meningkat secara dramatis dalam beberapa tahun terakhir.
Anak-anak dengan atresia bilier sekarang dapat hidup hingga dewasa, beberapa bahkan telah
mempunyai anak. Kemajuan dalam operasi transplantasi telah juga meningkatkan kemungkianan
untuk dilakukannya transplantasi pada anak-anak dengan atresia bilier. Di masa lalu, hanya hati
dari anak kecil yang dapat digunakan untuk transplatasi karena ukuran hati harus cocok. Baru-baru
ini, telah dikembangkan untuk menggunakan bagian dari hati orang dewasa, yang disebut "reduced
size" atau "split liver" transplantasi, untuk transplantasi pada anak dengan atresia bilier.
Kemajuan dalam teknik dan imunosupresi pada tahun 1980 menambahkan transplantasi
hati ke pilihan yang tersedia untuk mengobati anak dengan atresia bilier. Meskipun telah diusulkan
bahwa transplantasi hati menggantikan portoenterostomi sebagai terapi primer, beberapa argumen
yang bertentangan dapat dibuat. Persentase pasien yang signifikan mencapai kelangsungan hidup
jangka panjang dengan hanya portoenterostomi (50% kelangsungan hidup 5 tahun dan 25%
kelangsungan hidup ke masa remaja). Imunosupresi pada bayi mengekspos anak pada resiko
infeksi dan malignansi yang lebih besar. Biaya operasi, pemeliharaan imunosupresi, pemantauan,
dan tindakan lanjutan jauh lebih besar pada penerima transplantasi. Lambat laun, beberapa telah
menyatakan bahwa operasi Kasai berpengaruh negatif pada hasil dari prosedur transplantasi;
namun studi banding tidak mampu memperlihatkan efek. Karenanya, kita meyakini bahwa
transplantasi tidak seharusnya menggantikan operasi Kasai namun harus berfungsi sebagai
jaringan pengaman bagi kegagalan awal atau nantinya penurunan fungsi sintetis atau komplikasi
hipertensi portal.7
Proses operasi transplantasi hati dimulai dengan mengambil organ hati dari pasien dan
menggantinya dengan hati yang berasal dari donor. Operasi ini tergolong operasi besar yang
memakan waktu sekitar 6 hingga 12 jam. Selama operasi hingga beberapa hari kemudian, pasien
akan menggunakan beberapa tabung khusus sebagai penunjang fungsi tubuh.7

Sebelum dokter memutuskan seseorang dapat menerima transplantasi hati, dibutuhkan


beberapa tes dan konsultasi, termasuk tes darah dan urine, ultrasound untuk memastikan kondisi
hati, tes jantung, tes kesehatan tubuh menyeluruh serta konsultasi nutrisi. Selain itu, yang tak kalah
penting adalah evaluasi psikologis untuk memastikan seseorang memahami risiko dari prosedur
transplantasi hati. Tak jarang dibutuhkan juga konsultasi keuangan.8

Donor Organ

Tidak mudah untuk memperoleh donor hati, apalagi yang benar-benar sesuai. Ini bisa
memakan waktu beberapa hari, bahkan bulan. Dokter akan berusaha mengatasi komplikasi akibat
gagal fungsi hati selama masa tersebut. Pada umumnya ada dua jenis pilihan transplantasi hati.
Pertama, hati yang berasal dari pendonor yang masih hidup. Pilihan kedua, hati yang berasal dari
pendonor yang sudah meninggal dunia.6

Pendonor hidup. Pendonor ini bisa berasal dari saudara kandung, pasangan atau teman
yang harus mengikuti evaluasi medis dan psikologis terlebih dahulu. Beberapa persyaratan
pendonor antara lain berniat untuk mendonor, memiliki kondisi kesehatan yang prima,
golongan darah yang sama dengan penerima donor, berusia antara 18 tahun hingga 60
tahun, serta profil ukuran tubuh sama atau lebih besar dari penerima donor.5,6

Prosedur dari donor jenis ini adalah dengan mengangkat sebagian dari organ hati pendonor dan
menanamkannya pada tubuh penerima yang mengalami penyakit hati. Diharapkan hati dari
pendonor akan tumbuh hingga ukuran normal dalam beberapa minggu.

Pendonor yang sudah meninggal dunia. Agar hati pendonor dapat digunakan dalam
transplantasi, pendonor yang dipilih umumnya yang mengalami kematian fungsi otak
dengan jantung yang masih berdetak.

Risiko Komplikasi10
Meski dapat mengatasi gagal fungsi hati, namun prosedur transplantasi hati tidaklah bebas risiko.
Ada dua risiko komplikasi yang paling sering ditemui setelah tindakan transplantasi hati, yaitu :

Terjadi penolakan. Hal ini disebabkan imunitas bekerja untuk menghancurkan materi
yang dianggap asing yang masuk dalam tubuh. Ini disebut masa penolakan, dialami sekitar
64% dari pasien transplantasi hati, terutama pada enam minggu pertama. Untuk itu, dokter
dapat memberikan obat anti penolakan transplantasi hati.
Rentan terserang infeksi. Obat anti penolakan transplantasi hati yang baru diberikan akan
menekan imunitas tubuh, sehingga dapat memperbesar risiko infeksi. Umumnya, infeksi
jenis ini akan membaik seiring waktu.

Selain itu, risiko lain pascaoperasi transplantasi hati yang dapat terjadi adalah pendarahan,
komplikasi saluran empedu, penggumpalan darah hingga masalah dengan memori atau ingatan.
Pasien operasi transplantasi hati kemungkinan harus terus mengonsumsi obat seumur hidup.
Sayangnya, obat tersebut juga memiliki beberapa risiko efek samping, antara lain diare, sakit
kepala, diabetes, tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi dan penipisan tulang.

Proses Pemulihan10

Salah satu faktor yang menentukan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk pulih setelah
operasi transplantasi hati, yaitu seberapa parah kondisi pasien sebelum operasi. . Umumnya untuk
benar-benar sembuh diperlukan waktu sekitar 6 bulan hingga satu tahun.

Usia harapan hidup setelah transplantasi hati sangat beragam, tergantung dari kondisi
masing-masing. Secara umum, lebih dari 70% pasien yang menjalani transplantasi hati berhasil
bertahan hidup selama setidaknya 5 tahun setelah operasi. Meski belum ada metode yang tepat
dalam memperkirakan usia harapan hidup seseorang pascaoperasi, namun ada data yang mencatat
bahwa usia harapan hidup sekitar 58% penerima donor hati mencapai 15 tahun. Kegagalan
penerimaan hati yang diperoleh dari pendonor muncul sekitar 10%-15% dan disebabkan oleh
beragam komplikasi. Transplantasi hati merupakan salah satu prosedur yang dapat mengatasi
kegagalan fungsi hati, namun perlu juga dicermati beberapa resikonya.
KOMPLIKASI10
Kolangitis:
Aliran langsung dari saluran empedu intrahepatic ke usus, dengan aliran empedu yang tidak
baik, dapat menyebabkan ascending cholangitis. Hal ini terjadi terutama dalam minggu-minggu
pertama atau bulan setelah prosedur Kasai sebanyak 30-60% kasus. Infeksi ini bisa berat dan
kadang- kadang fulminan. Ada tanda-tanda sepsis (demam, hipotermia, status hemodinamik
terganggu), ikterus yang berulang, feses acholic dan mungkin timbul sakit perut. Diagnosis dapat
dipastikan dengan kultur darah dan / atau biopsi hati.

Portal hipertensi
Portal hipertensi terjadi setidaknya pada dua pertiga dari anak-anak setelah portoenterostomy. Hal
paling umum yang terjadi adalah varises esofagus.

Hepatopulmonary syndrome dan hipertensi pulmonal


Seperti pada pasien dengan penyebab lain secara spontan (sirosis atau prehepatic hipertensi portal)
atau diperoleh (bedah) portosystemic shunts, shunts pada arterivenosus pulmo mungkin terjadi.
Biasanya, hal ini menyebabkan hipoksia, sianosis, dan dyspneu. Diagnosis dapat ditegakan dengan
scintigraphy paru.Selain itu, hipertensi pulmonal dapat terjadi pada anak-anak dengan sirosis yang
menjadi penyebab kelesuan dan bahkan kematian mendadak.
Transplantasi liver dapat membalikan shunts, dan dapat membalikkan hipertensi pulmonal ke
tahap semula.

Keganasan
Hepatocarcinomas, hepatoblastomas, dan cholangiocarcinomas dapat timbul pada pasien dengan
atresia bilier yang telah mengalami sirosis. Skrining untuk keganasan harus dilakukan secara
teratur dalam tindak lanjut pasien dengan operasi Kasai yang berhasil.

HASIL SETELAH OPERASI KASAI GAGAL


Sirosis bilier bersifat progresif jika operasi Kasai gagal untuk memulihkan aliran empedu,
dan pada keadaan ini harus dilakukan transplantasi hati. Hal ini biasanya dilakukan di tahun kedua
kehidupan, namun dapat dilakukan lebih awal (dari 6 bulan hidup) untuk mengurangi kerusakan
dari hati. Atresia bilier mewakili lebih dari setengah dari indikasi untuk transplantasi hati di masa
kanak-kanak. Hal ini juga mungkin diperlukan dalam kasus-kasus dimana pada awalnya sukses
setelah operasi Kasai tetapi timbul ikterus yang rekuren (kegagalan sekunder operasi Kasai), atau
untuk berbagai komplikasi dari sirosis (hepatopulmonary sindrom).

PROGNOSIS
Keberhasilan portoenterostomi ditentukan oleh usia anak saat dioperasi, gambaran
histologik porta hepatis, kejadian penyulit kolangitis, dan pengalaman ahli bedahnya sendiri. Bila
operasi dilakukan pada usia < 8 minggu maka angka keberhasilannya 71,86 %, sedangkan bila
operasi dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka keberhasilannya hanya 34,43%. Sedangkan
bila operasi tidak dilakukan, maka angka keberhasilan hidup 3 tahun hanya 10% dan meninggal
rata-rata pada usia 12 bulan. Anak termuda yang mengalami operasi Kasai berusia 76 jam.
Jadi, faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan operasi adalah usia saat dilakukan operasi > 60
hari, adanya gambaran sirosis pada sediaan histologik had, tidak adanya duktus bilier ekstrahepatik
yang paten, dan bila terjadi penyulit hipertensi portal.

KESIMPULAN13,14,15
Atresia bilier adalah tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan
traktus bilier ekstrahepatik yang menyebabkan hambatan aliran empedu. Akibatnya di dalam hati
dan darah terjadi penumpukan garam empedu dan peningkatan bilirubin direk
Klasifikasi atresia bilier sebagai berikut :
I. Atresia (sebagian atau total) duktus bilier komunis, segmen proksimal paten.
IIa. Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus bilier komunis, duktus sistikus, dan kandung
empedu semuanya normal).
IIb. Obliterasi duktus bilierkomunis, duktus hepatikus komunis, duktus sistikus. Kandung empedu
normal.
III. Semua sistem duktus bilier ekstrahepatik mengalami obliterasi, sampai ke hilus.
Pada atresia bilier operasi lebih baik dilakukan pada usia <8 minggu karena tingkat
keberhasilannya lebih baik daripada operasi dilakukan pada usia >8 minggu. Tetapi bila dengan
operasi Kasai tidak berhasil atau tidak membaik, maka harus dilakukan transplantasi hati.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hartley JL, Davenport M, Kelly DA. Biliary atresia. Lancet. 2009 Nov 14;374
(9702):1704-13.
2. Superina R, Magee JC, Brandt ML, Healey PJ, Tiao G, Ryckman F, et al. The anatomic
pattern of biliary atresia identified at time of Kasai hepatoportoenterostomy and early
postoperative clearance of jaundice are significant predictors of transplant-free survival.
Ann Surg. 2011 Oct;254(4):577-85.
3. Bassett MD, Murray KF. Biliary atresia: Recent progress. J Clin Gastroenterol. 2008
Jul;42(6):720-9.
4. Schieppati A, Henter JI, Daina E, Aperia A. Why rare diseases are an important medical
and social issue. Lancet. 2008 Jun 14;371 (9629):2039-41.
5. Davenport M, Ong E, Sharif K, Alizai N, McClean P, Hadzic N, et al. Biliary atresia in
England and Wales: Results of centralization and new benchmark. J Pediatr Surg. 2011
Sep;46(9):1689-94.
6. Davenport M. Biliary atresia: Clinical aspects. Semin Pediatr Surg. 2012 8;21(3):175- 84.
7. Fouquet V, Alves A, Branchereau S, Grabar S, Debray D, Jacquemin E, et al. Longterm
outcome of pediatric liver transplantation for biliary atresia: A 10-year follow-up in a
single center. Liver Transpl. 2005 Feb;11(2):152-60.
8. Parlin Ringoringo. Atresia Bilier. Ilmu Kesahatan Anak, FKUI, RSCM, Jakarta.
Availablefrom:url:http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15AtresiaBilier086.pdf/15
Atresa Bilier 06.html
9. Widodo Judarwanto. Atresia Bilier, Waspadai Bila Kuning Bayi Baru Lahir yang
berkepanjangan.Available from : url
:http://koranindonesiasehat.wordpress.com/2010/02/07/atresia-bilier-waspadai-bila-
kuning-bayi-baru-lahir-yang-berkepanjangan
10. ST. Louis Children's Hospital. Biliary Atresia. Washington University School of
Medicine. 2010. Available from : url
:http://www.stlouischildrens.org/content/greystone_779.htm
11. North American Society For Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition.
Biliary Atresia. Available from : url : http://www.naspghan.org/user
assets/Documents/pdf/diseaseInfo/BiliaryAtresia-E.pdf
12. Steven M. Biliary Atresia. Emedicine. 2009. Available from: url
http://emedicine.medscape.com/article/927029-overview
13. Sjamsul Arief. Deteksi Dini Kolestasis Neonatal. Divisi Hepatologi Ilmu Kesehatan Anak
FK UNAIR. Surabaya. 2006. Available from : url
http://www.pediatrik.com/pkb/20060220-ena504-pkb.pdf
14. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases. Biliary Atresia. USA :
2006. Available from : url:http:// digestive.niddk.nih.gov/ ddiseases/ pubs/atresia/ Biliary
Atresia.pdf
15. Cincinnati Childrens Hospital Medical Center. Biliary Atresia. 2010. Available from :
url: http://www.cincinnatichildrens.org/svc/alpha/l/liver/diseases/biliary.htm

Anda mungkin juga menyukai