Anda di halaman 1dari 35

PROBLEM BASED LEARNING

SISTEM RESPIRASI 2

KASUS PEMICU 1 EMFISEMA

Di Susun Oleh :
Hendri Wahyudi I1031141007

Program Studi Ilmu Keperawatan


Fakultas Kedokteran
Universitas Tanjungpura
Pontinak
2016
Kasus Pemicu 1

Tn. Andrean berusia 75 tahun mengeluhkan eksaserbasi penyakit paru kronik


(empisema). Dia selalu menjaga dan memposisikan kepala dalam posisi yang nyaman siang
dan malam untuk memfasilitasi pernapasan dan mengurangi nyeri belakang yang
dirasakannya. Acetaminophen(Tylenol) tidak efekif untuk mengurangi nyerinya. Kemudian
health providre meresepkan oksicodone/asitaminofen 1 sampai 2 tablet peroral setiap 4
sampai 6 jam untuk nyeri. tn. Andrean mendapatkan 2 liter oksigen dengan nasal kanul dan
pengobatan albuterol (AccuNeb, Preventil, Ventolin) setiap 6 jam jika diperlukan. Tn.
Andrean memerlukan seseorang yang berada disampingnnya ketika dia bergerak atau
berjalan karena dia memiliki ketidakseimbangan dsn sering berhenti sebentar untuk menarik
napas.
Perawat masuk keruang dan menemukan Tn.Andrean membungkuk diatas meja
samping tempat tidurnya yang sedang menonton TV. Dia mengatakan posisi ini membantu
untuk bernapasnya. Suara parunya bersih tetapi tidak bilateral. CRT 4 detik dan kuku sedikit
clubbing. Saturasi oksigen dikaji setiap 2 jam untuk memonitor hipoksia. Saturasi oksigen
(SPO2)antara 90% sampai dengan 94%dan menggunakan nasal kanul.
Tn.Andrean mengatakan terjadi peningkatan nyeri pada belakangnya ketika pergi ke
kamar mandi. Dia menggambarkan nyeri sebagi nyeri tumpuldengan rentang 6 dari 0-10. Dia
meminta 2 tablet Percocrt. Perawat mengkaji TTV (TD:150/78, nadi 90, RR 26) dan
memeberikan Percocet aeaui resep. 45 menit kemudian. Tn.Andrean mengatakan Percocort
telah membantu dalam mengurangi nyeri pungungnya ke skala 2 dan ingin berjalan di
lorong. Perawat kemudian mengecek SPO2 sebelum meninggalkan ruangnya dengan nilai
92%. Menggunakan oksigen portable, perawat berjalan dengan Tn.Andrean dari ruangsnnya
ke ruang perawat (kira-kira 60 kaki). Tn.Andrean berhenti untuk beristirahat di ruang perawat
karena sedikit sesak napas pendek (SPO2 86%). Setelah beberapa kali napas dalam dan
istirahat, SPO2 naik menjadi 91%. Tn. Andrean berjalan kembali keruangannya sambil
menunggu makan siang. SPO2 pada awal 87% kemudian menjadi 91% setelah istirahat
beberapa menit. Perawat melakukan pengkajian dan mendengarkan sheezing ekspirasi.
Sambil menunggu makan siang, perawat memberikan pengobatan albuterol. Pengobatan
respirasi dan istirahat membantu perbaikan sesaknya. SPO2 sekarang 93% dan suara paru
jelas tetapi berkurang secara bilateral.
Step 1

1. Eksaserbasi : -
2. Empisema :
- Pelembaran saluran pernapasan yang abnormal
- Sebuah penyakit pada bronkus, hilang elastisitas bronkus karna rusaknya alveoli
3. Health provider : Petugas kesehatan
4. Oksicodone : obat yg di berikan pd pasien paru kronik untuk menghilangkan rasa nyeri
4-6 jam diberikan peroral
5. Pengobatan albuterol : -
6. Suara parunya bersih tetapi tidak bilateral : bilateral kiri kanan, bunyi paru bersih namun
tidak simetris
7. CRT 4 detik : untuk mengetahui aliran darah kembali ke daerah jari
8. Kuku clubbing :
- Kuku yang berbentuk cembung ke arah dalam, ekstremitas oleh oksigen kurang dari
kebutuhan tubuh
- Kelainan kuku, yang berkaitan dnga penyakit jantung
9. Saturasi oksigen : jumlah oksigen yang ada dalam darah
10. 2 tablet percocet :
- Gabungan dari 2 obat aksitamin dan oksicodone (kombinasi obat)
- Fungsi sebagai penghilang rasa nyeri dengan dosis besar, dan juga proses cepat
11. Wheezing :
- Adanya spasme bronkus dan eskpasinya lebih panjang
- Adanya proses inflamasi, dan terdapat bunyi seperti mengi
12. Hipoksia :
- Kekurangan oksigen, kekurangan oksigen di dalam jaringan, keadaan otak kekurangan
oksigen
13. Nasal kanul :
- Sebuah alat pembantu untuk pernapasan yang mempunyai 2 lubang hidung
- Pemberian oksigen yang di fokus kan ke hidung
- Suatu alat bantu pernapasan yang hanya memiliki kapasitas pemberian 2-4L/mnt
Step 2

1. Hendri : mengapa Tn.Andrean tidak memiliki keseimbang dan sering berhenti sebantar
untuk menarik napas ?
2. Ota : apa penyebab peningkatan nyeri ?
3. Arizal : Mengapa acetominofen tidak efektif u/ mengurangi nyeri ?
4. Puja : Mengapa SPO2 meningkat ketika melakukan aktifitas ?
5. Viditya : mengapa proses posisi membungkuk di atas meja bisa membantu untuk
bernapasnya ?
6. Putri : bagaimana mekanisme precocet u/ mengurangi nyeri ?
7. Rangga : bagaimana penyebab dr ppok (empisema) ?
8. Sultana : mengapa tn. Adrean meminta 2 tablet percocet dan mgp perawat selalu
menghitung SPO2?
9. Luki faktor apa suara tidak bilateral dan bgm intervensi keperawatan pd aktifitas ?
10. Mia bagaimana mekanisme empisema sehingga menyebabkan nyeri tulang belakang ?
11. Ulfa bagaimana mekanisme obat oksicodone ?
12. Indri mengapa di berikan albuteron setiap 6 jam ?
13. Ayu apa komplikasi empisema bila tidak di tangani ?
14. Asti mengapa menggunakan nasal kanul ?
15. Tesar apa dampak jika dia tidak menjaga posisi kepala dlm posisi nyaman ?
16. Baiturrahman adakah tehnik posisi pernapasan selain membungkuk diatas meja ?
17. Utari tindakan apa yang efektif setelah diberikan asetaminofil untuk mengurangi nyeri?
18. Sarah manajemen penanganan nyeri secara umum, mgp ttv meningkat, rehabilitasi pda
kasus ?
19. Della bagaimana tindakan perawat dalam menangani pasien pd kasus empisema ?
20. Ezy apakah ada manifestasi lain, pengkajian apa yg lebih difokuskan pada kasus ini ?,
bgm fungsi obat yg ad d kasus
21. Ainun berapa kadaroksigen dalam darah (nasal / tidak ), apa yg menyebabkan wheezing?
Step 3

1. Hendri : mengapa Tn.Andrean tidak memiliki keseimbang dan sering berhenti sebantar
untuk menarik napas ?
o Ezy : Hipoksia kekurangan oksigen, dalam melakukan aktifitas maka akan menjadi
sesak napas
2. Ota : apa penyebab peningkatan nyeri ?
3. Arizal : Mengapa acetominofen tidak efektif u/ mengurangi nyeri ?
o Puja : menurunkan suhu tubuh gol paracetamol
4. Puja : Mengapa SPO2 meningkat ketika melakukan aktifitas ?
5. Viditya : mengapa proses posisi membungkuk di atas meja bisa membantu untuk
bernapasnya ?
o Sarah : posisi membungkuk bernapasan lebih nyaman dan u/ ekspansi paru agar tidk
terjadi kompresi
o Baiturrahman : posisi membungkuk membuat lebih relaks
6. Putri : bagaimana mekanisme precocet u/ mengurangi nyeri ?
7. Rangga : bagaimana penyebab dr ppok (empisema) ?
o Viditya : merokok pasif / aktif polusi udara
o Hendri : gas yang merangsang, infeksi virus, terjadi kerusakan di alveoli
8. Sultana : mengapa tn. Adrean meminta 2 tablet percocet dan mgp perawat selalu
menghitung SPO2?
o Utari : untuk mengatasi nyeri, perawat harus slalu memonitor suplay oksigen
o Arizal : kombinasi penghilang nyeri (osksicodone)
perawat menghitung presentasi SPO2 normal atau tidak 95-100%, wajib untuk di
hitung dan untuk mengurangi dosis pemberian
9. Luki faktor apa suara tidak bilateral dan bgm intervensi keperawatan pd aktifitas ?
o Luki : adanya obstruksi, sbg perawat dpt memberikan kursi roda karna posisi
10. Mia bagaimana mekanisme empisema sehingga menyebabkan nyeri tulang belakang ?
11. Ulfa bagaimana mekanisme obat oksicodone ?
o Arizal : kontra indikasi gagal ginjal obt gol short action
12. Indri mengapa di berikan albuteron setiap 6 jam ?
13. Ayu apa komplikasi empisema bila tidak di tangani ?
o Luki : sianosis penyerapan oksigen tidak terpenuhi. Bila terjadi himoptisis
o Baiturahman : penurunan H+, hipoksemia
14. Asti mengapa menggunakan nasal kanul ?
o Rangga : memposisikan kepala, masih berfungsi otot pernapasan, tidak terlalu parah
maka di berikan nasal
o Sultana : untuk memenuhi kebutuhan pernapasan
o Ezy : hanya kekurangan oksigen 80an tdk mggunakan
15. Tesar apa dampak jika dia tidak menjaga posisi kepala dlm posisi nyaman ?
o Asti : nyeri semakin bertambah dan pernapasan terganggu
16. Baiturrahman adakah tehnik posisi pernapasan selain membungkuk diatas meja ?
o Utari : semi fowler dan memeluk guling dan fowler
17. Utari tindakan apa yang efektif setelah diberikan asetaminofil untuk mengurangi nyeri?
18. Sarah manajemen penanganan nyeri secara umum, mgp ttv meningkat, rehabilitasi pda
kasus ?
o Ulfa : kompres panas-dingin, masase, distraksi
o Mia : relaksasi ajarkan napas dalam
o Arizal : ttv penyempitan pd bronkus, pemompaan jantung bekerja lebih keras,
memperlebar elastisiatas bronkus termasuk gol obat sabutamol
o Baiturahman : rehabilitasi fisioterapi dada, latihan olahraga dng menyesuaikan
kebutuhan tubuh
o Ezy : purlips breathing dan latihan otot diagfragma
19. Della bagaimana tindakan perawat dalam menangani pasien pd kasus empisema ?
o Luki : Menngunakan kursi roda
20. Ezy apakah ada manifestasi lain, pengkajian apa yg lebih difokuskan pada kasus ini ?,
bgm fungsi obat yg ad d kasus
o Putri : sulit bernapas, batuk edema kaki mudah lelah ansietas
o Rangga : kelemahan susah bernapas
21. Ainun berapa kadaroksigen dalam darah (nasal / tidak ), apa yg menyebabkan wheezing?
-
Step 4

1. Akserbasi ?
2. Pengobatan albuterol ?
3. Penyebab peningkatan nyeri ?
4. Mengapa SPO2 meningkat ketika melakukan aktifitas ?
5. Bagaimana mekanisme precocet untuk mengurangi rasa nyeri ?
6. Bagaimana mekanisme empisema sehingga menyebabkan nyeri tulang belakang ?
7. Mengapa diberikan albuteron setiap 6 jam ?
8. Apa tindakan yang efektif setelah diberikan asetaminofil untuk mengurangi nyeri?
9. Berapa kadar oksigen dalam darah (yg menggunakan nasal atau masker ), apa yang
menyebabkan wheezing?
Step 5

EMPISEMA

Definisi Etiologi Manifestasi Patofisiologi+Pathway Komplikasi


Klinis

Nyeri

Pemeriksaan
Diagnostik

Penatalaksaan (nyeri lebih dalam)

- Non Farmakologi
- Farmakologi
- Jenis Oksigen yg diberikan
- Pencegahan
- Rehabilitasi

- Jenis Obat
- Efek Samping
- Cara Kerja

Askep + (penanganan pemberian oksigen)

spt : dosis, waktu pemberian, masker yg


digunakan
PPOK : EMFISEMA

1. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Onstructive Pulmonary Disease
(COPD) merupakam suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-
paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara
sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan
yang dikenal dengan COPD adalah asma bronkial, bronchitis kronis, dan emfisema paru-paru
(Somantri, 2012).
Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM) merupakan sejumlah gangguan sejumlah
gangguan yang mempengaruhi pergerakan udara dari dank e luar paru. Gangguan yang
penting adalah bronchitis obstruktif, emfisema, dan asma bronkial (Muttaqin, 2008).
Menurut WHO, emfisema merupakan gangguan pengembangan paru yang ditandai
dengan pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan. Sesuai dengan
definisi tersebut, jika ditemukan kelainan berupa pelebaran udara (alveolus) tanpa disertai
adanya destruksi jaringan maka keadaan ini sebenarnya tidak termasuk emfisema, melainkan
hanya sebagai overinflamation (Somantri, 2012).
Emfisema paru didefinisikan sebagai suatu distensi abnormalitas ruang udara di luar
bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli (Smeltzer & Bare, 2013.) Emfisema
merupakan perubahan parenkim paru ditandai dengan pelebaran dinding alveolus, duktus
alveolar, dan destruksi alveolar (Muttaqin, 2008).

2. Klasifikasi
Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah
asma bronkial, bronchitis kronis, dan emfisema paru-paru (Somantri, 2012).
1) Asma Bronkial
Asma adalah suatu gangguan pada saluran bronkial yang mempunyai cirri
bronkospasme periodik (kontraksi spasme pada saluran napas) terutama pada
percabangan trakeobronkial yang dapat diakibatkan oleh berbagai stimulus seperti oleh
faktor biokemikal, endokrin, infeksi, otonomik, dan psikologi (Somantri, 2012).
2) Bronkitis Kronis
Istilah bronchitis kronis menunjukkan kelainan pada bronkus yang sifatnya
menahun (berlangsung lama) dan disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang sifatnya
berasal dari luar bronkus maupun dari bronkus itu sendiri. Bronkitis kronis merupakan
keadaan yang berkaitan dengan produksi mucus takeobronkial yang berlebihan,
sehingga cukup untuk menimbulkan batuk dengan ekspektorasi yang sedikitnya 3 bulan
dalam setahun dan paling sedikit 2 tahun secara berturut-turut (Somantri, 2012).
3) Emfisema
Menurut WHO, emfisema merupakan gangguan pengembangan paru yang ditandai
dengan pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan. Sesuai
dengan definisi tersebut, jika ditemukan kelainan berupa pelebaran udara (alveolus)
tanpa disertai adanya destruksi jaringan maka keadaan ini sebenarnya tidak termasuk
emfisema, melainkan hanya sebagai overinflamation (Somantri, 2012).

Menurut Somantri (2012), terdapat tiga tipe emfisema yaitu :


a) Emfisema Centrilobular
Merupakan tipe yang sering muncul, menyebabkan kerusakan bronkiolus, biasanya
pada region paru atas. Inflamasi berkembang pada bronkiolus tetapi biasanya
kantong alveolar tetap bersisa Somantri (2012).
b) Emfisema Panlobular (Panacinar)
Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan biasanya termasuk pada paru bagian
bawah. Bentuk ini bersama disebut centriacinar emfisema, sangat sering timbul pada
seorang perokok Somantri (2012).
c) Emfisema Paraseprtal
Merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi dari blebs
sepanjang perifer paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari
pneumotoraks spontan. Panacinar timbul pada orang tua dank lien dengan defisiensi
enzim alpha-antitripsin. Pada keadaan lanjut, terjadi peningkatan dispnea dan infeksi
pulmoner serta sering kali timbul kor pulmonal Somantri (2012).

3. Etiologi
Menurut Muttaqin (2008) , penyebab dari emfisema yaitu :
1) Merokok
Merokok merupakan penyebab utama enfisema. Terdapat hubungan yang erat antara
merokok dan penurunan volume ekspirasi paksa (FEV) (Muttaqin, 2008).
2) Keturunan
Belum diketahui jelas apakah faktor keturunan berperan atau tidak pada emfisema
kecuali penderita dengan defisiensi enzim alfa 1-antitripsin. Keja enzim ini
menetralkan enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak
jaringan, termasuk jaringan paru, karena itu kerusakan jaringan lebih jauh dapat
dicegah. Defisiensi enzim alfa 1-antitripsin adalah suatu kelainan yang diturunkan
secara autosom resesif. Orang yang sering menderita emfisema paru adalah penderita
yang memiliki gen S atau Z. Emfisema paru akan lebih cepat timbul bila penderita
tersebut merokok (Muttaqim, 2008).
3) Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan kerusakan paru lebih berat sehingga gejala-gejalanya pun
menjadi lebih berat. Infeksi saluran pernapasan atas pada seorang penderita bronchitis
kronis hamper selalu menyebabkan infeksi paru bagian bawah, dan menyebabkan
kerusakan paru bertambah. Ekserbasi bronchitis kronis disangka paling sering diawali
dengan infeksi virus, yang kemudian menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri
(Muttaqim, 2008).
4) Hipotesis Elastase-Antielastase
Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan
antielastase agar tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan antara
keduanya akan menimbulkan kerusakan pada elastis paru. Stuktur paru akan berubah
dan timbul lah emfisema. Sumber elastase yang penting adalah pancreas, sel-sel
PMN, dan makrofag alveolar (pulmonary alveolar macrophage-PAM). Rangsangan
pada paru antara lain oleh asap rokok dan infeksi menyebabkan elastase bertambah
banyak. Aktivitas sistem antiekastase, yaitu sistem enzim alfa 1-protease-inhibitor
terutama enzim alfa 1-antitripsin menjadi menurun. Akibat yang ditimbulkan karena
tidak ada lagi keseimbangan antara elastase dan antielastase akan menimbulkan
kerusakan jaringan elestis paru dan kemudian emfisema (Muttaqi, 2008).

4. Manifestasi Klinis
PPOK memiliki tanda dan gejala yang khas yaitu batuk dan ekspektorasi, dimana
cenderung meningkat dan maksimal pada malam hari dan menandakan adanya pengumpulan
sekresi semalam sebelumnya. Batuk produktif pada awal intermiten dan kemudian terjadi
hampir setiap hari seiring waktu. Sputum berwarna bening dan mukoid, namun dapat pula
menjadi tebal, kuning dan bahkan terkadang ditemukan darah selama terjadinya infeksi
bakteri respiratorik (Kusumawati, 2013)
Tanda dan gejala PPOK menurut Utami (2014), yaitu :
a) Batuk produktif
b) Dispnea saat aktivitas
c) Sering mengalami traktus respiratorik
d) Hipoksemia intermiten atau terus-menerus
e) Batuk tingkat atas: deformitas thoraks, ketidakmampuan yang sangat parah, gagal
respiratorik parah, dan kematian

Menurut Smeltzer & Bare (2013), tanda dan gejala emfisema yaitu :
a) Dispnea adalah gejala utama emfisema dan mempunyai awitan yang membahayakan.
Pasien biasanya mempunyai riwayat merokok dan riwayat batuk kronis yang lama,
mengi serta peningkatan napas pendek dan cepat (takipneu)
b) Pada infeksi, pasien biasanya mempunyai barrel chest akibat udara tereprangkapnya,
penipisan massa otot, dan pernapasan dengan bibir dirapatkan. Pernapasan dada,
pernapasan abnormal tidak efektif, dan penggunaan otot-otot aksesori pernapasan
(sternokleidomastoid) adalah umum terjadi
c) Ketika dada diperiksa, ditemukan hiperesonans dan penurunan fremitus ditemukan
pada seluruh bidang paru. Auskultasi menunjukkan tidak terdengarnya bunyi napas
dengan krekels, ronki, dan perpanjangan ekspirasi. Kadar O2 rendah (hipoksemia) dan
kadar CO2 yang tinggi (hiperkapnia) terjadi pada tahap lanjut penyakit
d) Pada waktunya, bahkan gerakan ringan sekali pun, seperti membungkuk untuk
mengikatkan tali sepatu, mengakibatkan dispnea dan keletihan (dispnea eksersional).
Paru yang mengalami emfisematosa tidak berkontraksi saat ekspirasi dan bronkioles
tidak dikosongkan secara efektif dari sekresi yang dihasilkan
e) Pasien rentan terhadap reaksi inflamasi dan infeksi akibat pengumpulan sekresi ini.
Setelah infeksi ini terjadi, pasien mengalami mengi yang berkepanjangan saat ekspirasi
f) Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan umum terjadi
g) Vena leher mungkin mengalami distensi selama ekspirasi
5. Patofisiologi
Adanya inflamasi, pembengkakan bronkhi, produksi lendir yang berlebihan, kehilangan
rekoil elastisitas jalan napas, dan kolaps bronkhiolus, serta penurunan redistribusi udara ke
alveoli menimbulkan gejala sesak pada klien dengan emfisema (Muttaqin, 2008).
Pada paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru ke
luar (yang disebabkan tekanan intrapleural dan otot-otot dinding dada) dengan tekanan yang
menarik jaringan paru ke dalam (elastisitas paru). Keseimbangan timbul karena kedua
tekanan tersebut, volume paru yang terbentuk disebut functional residual capacity (FRC)
yang normal. Bila elastisitas paru berkurang timbul keseimbangan baru yang menghasilkan
FRC yang lebih besar. Volume residu bertambah pula, tetapi VC menurun. Pada orang
normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan
berkurang, sehingga saluran napas bagian bawah paru akan tertutup (Muttaqin, 2008).
Pada klien dengan emfisema, saluran-saluran pernapasan tersebut akan lebih cepat dan
lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran pernapasan menutup dan dinding alveoli
yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Namun, semua itu
tergantung pada kerusakannya. Mungkin saja terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak
ada, tetapi perfusinya baik sehingga penyebaran udara pernapasan maupun aliran darah ke
alveoli tidak sama dan merata. Atau dapat dikatakan juga tidak ada keseimbangan antara
ventilasi dan perfusi di alveoli (V/Q rasio yang tidak sama) (Muttaqin, 2008).
Pada tahap akhir penyakit, sistem eliminasi karbon dioksida mengalami kerusakan. Hal
ini mengakibatkan peningkatan tekanan karbon dioksida dalam darah arteri (hiperkapnea) dan
menyebabkan asidosis respiratorik. Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan,
maka jaring-jaring kapiler pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan
ventrikel kanan dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam area
pulmonal (Muttaqin, 2008).
Sekresi yang meningkat dan tertahan menyebabkan klien tidak mampu melakukan
batuk efektif untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis menetap dalam paru yang
mengalami emfisema ini memperberat masalah. Individu dengan emfisema akan mengalami
obstruksi kronis yang ditandai oleh peningkatan tahanan jalan napas aliran masuk dan aliran
keluar udara dari paru. Jika demikian paru berada dalam keadaan hiperekspansi (Muttaqin,
2008).
Untuk mengalirkan udara ke dalam dan ke luar paru dibutuhkan tekanan negatif selama
inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat adekuat yang harus dicapai dan dipertahankan
selama ekspirasi berlangsung. Kinerja ini membutuhkan kerja keras otot-otot pernapasan
yang berdampak pada kekakuan dada dan iga-iga terfiksasi pada persendiannya dengan
bermanifestasi pada berubahan bentuk dada dimana rasio diameter AP:Transversal
mengalami peningkatan (barrel chest). Hal ini terjadi akibat hilangnya elastisitas paru karena
adanya kecenderungan yang berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang (Muttaqin,
2008).
Pada bebrapa kasus, barrel chest terjadi akibat kifosis dimana tulang belakang bagian
napas secara abnormal bentuknya membulat atau cembung. Beberapa klien membungkuk ke
depan untuk dapat bernapas, menggunakan otot-otot bantu napas. Retraksi fosa
supraklavikula yang terjadi pada inspirasi mengakibatkan bahu melengkung ke depan. Pada
penyakit lebih lanjut, otot-otot abdomen juga ikut berkontraksi saat inspirasi. Terjadi
penurunan progresif dalam kapasitas vital paru. Ekshalasi normal menjadi lebih sulit dan
akhirnya tidak memungkinkan terjadi. Kapasitas vital total (VC) mungkin normal, tetapi rasio
dan volume ekspirasi kuat dalam 1 detik dengan kapasitas vital (FEV1:VC) rendah. Hal ini
terjadi karena elastisitas alveoli sangat menurun. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya bagi
klien untuk menggerakkan udara dari alveoli yang mengalami kerusakan dan jalan napas
yang menyempit meningkatkan upaya pernapasan (Muttaqin, 2008).
Pathway (Muttaqin, 2008)
Faktor prediposisi : familial
Faktor prediposisi: merokok, pulusi udara, agen-
agen infeksius, alergen, lingkungan kerja
Defisiensi enzim alfa 1-antitripsi

Inflamasi dan pembengkakan bronkus,


produksi lendiri yang berlebihan Nyeri
Kehilangan recoil eleastisitas jalan napas,
kolaps bronkiolus, dan penurunan
Penurunan kemampuan batuk efektif redistribusi udara ke alveoli

Peningkatan tahanan jalan napas aliran masuk


Ketidakefektifan bersihan jalan napas dan aliran keluar udara dari paru-paru
Risiko tinggi infeksi pernapasan

Peningkatan kerja pernapasan, hipoksemia Peningkatan usaha dan frekuensi


secara reversibel pernapasan, penggunaan otot bantu
pernapasan

Respons sistemik dan psikologis


Gangguan pertukaran gas

Keluhan sistemis, mual, muntah, intake nutrisi tidak Keluhan psikososial,


adekuat, malaise, kelemahan, dan keletihan fisik kecemasan, ketidaktahuan akan
prognosos
Perubahan pemenuhan nutrisi yang kurang dari kebutuhan Kecemasan
ADL Ketidaktahuan/pemenuhan
informasi
Gangguan pemenuhan ADL
6. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Muttaqin (2008) sebagai berikut :
1) Pengukuran Fungsi Paru (Spirometri)
Pengukuran fungsi biasanya menunjukkan peningkatan kapasitas paru total (TLC) dan
volume residual (RV). Terjadi penurunan dalam kapasitas vital (VC) dan volume
ekspirasi paksa (FEV). Temuan-temuan ini menegaskan kesulitasn yang dialami klien
dalam mendorong udara ke luar dan paru
2) Pemeriksaan Laboratorium
Hemoglobin dan hematokrit mungkin normal pada tahap awal penyakit. Dengan
berkembangnya penyakit, pemeriksaan gas darah arteri dapat menunjukkan adanya
hipoksia ringan dengan hiperkapnea
Menurut Somantri (2012) sebagai berikut :
1) Chest X-Ray : dapat menunjukkan hyperinflation paru, flattened diafragma,
peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda vaskular/bullae
2) Kapasitas Inspirasi : menurun pada emfisema
3) Arterial Blood Gasses (ABGs) : menunjukkan proses penyakit kronis, sering kali
PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau meningkat. pH normal atau asidosis, alkalosis
respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang)
4) Bronkogram : dapat menunjukkan dilatasi dari bronki saat inspirasi, kolaps bronkial
oada tekanan ekspirasi
5) Darah lengkap : terjadi peningkatan hemoglobin (emfisema berat)
6) Kimia darah : alfa 1-antitripsin kemungkinan kurang pada emfisema primer
7) Elektrokardiogram (EKG) : gelombang P pada leads II, III, dan AVF panjang, tinggi
dan aksis QRS vertical

7. Penatalaksanaan
1) Farmakologi
a) Kortikosteroid
Penggunaan kortikoteroid tetap controversial dalam pengobatan emfisema.
Kortikosteroid digunakan untuk melebarkan bronkiolus dan membuang sekresi
setelah tindakan lain tidak menunjukkan hasil. Prednison biasanya diresepkan
(Muttaqin, 2008).
Dosis sesuaikan untuk menjaga klien pada dosis yang serendah mungkin. Efek
samping jangka pendek termasuk gangguan gastrointestinal dan peningkatan nafsu
makan. Pada jangka panjang, klien mungkin mengalami ulkus peptikum,
osteoporosis, supresi adrenal, miopati steroid, dan pembentukkan katarak
(Muttaqin, 2008).
b) Oksigenasi
Terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada klien dengan
emfisema berat. Hipoksemia berat diatasi dengan konsentrasi oksigen rendah
untuk meningkatkan PaO2 hingga antara 65 dan 80 mmHg. Pada emfisema berat,
oksigen diberikan sedikitnya 16 jam per hari dengan 24 jam lebih baik. Modalitas
ini dapat menghilangkan gejala-gejala klien dan memperbaiki kualitas hidup klien
(Muttaqin, 2008).
c) Bronkodilator
Bronkodilator diresepkan untuk mendilatasi jalan napas karena preparat ini
melawan baik edema mukosa maupun spasme muscular dan membantu baik
dalam mengurangi obstruksi jalan napas maupun dalam memperbaiki pertukaran
gas (Smeltzer & Bare, 2013).
Medikasi ini mencakup agonis b-adrenergik (metaproterenol, isoproterenol)
dan metilxantin (teofilin, aminofilin), yang menghasilkan dilatasi bronkial melalui
mekanisme yang berbeda. Bronkodilator mungkin diresepkan per oral, sub kutan,
intravena, per rectal atau inhalasi. Medikasi inhalasi dapat diberikan melalui
aerosol bertekanan, nebulizer balon-genggam, nebulizer dorongan pompa, inhaler
dosis-terukur, atau IPPB (Smeltzer & Bare, 2013).
Bronkodilator mungkin menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan,
yang termasuk takikardi, disritmia jantung, dan perangsangan sistem saraf pusat.
Metilxantin dapat juga menyebabkan gangguan gastrointestinal seperti mual dan
muntah. Karena efek samping umum, dosis dapat disesuaikan dengan cermat
sesuai dengan toleransi pasien dan respons klinis (Smeltzer & Bare, 2013).
d) Terapi Aerosol
Aerosolisasi (proses membagi partikel menjadi serbuk yang sangat halus) dari
bronkodilator salin dan mukolitik sering kali digunakan untuk membantu dalam
bronkodilatasi. Ukuran partikel dalam kabut aerosol harus cukup kecil untuk
memungkinkan medikasi dideposisikan dalam-dalam di dalam percabangan
trakeobronkial (Smeltzer & Bare, 2013).
Aerosol yang dinebulizer menghilangkan bronkospasme, menurunkan edema
mukosa, dan mengencerkan sekresi bronkial. Hal ini memudahkan proses
pembersihan bronkiolus, membantu mengendalikan proses inflamasi, dan
memperbaiki fungsi ventilasi. Alat nebulizer dengan balon genggam dan aerosol
dosis terukur memberikan peredaan yang cepat bagi pasien. Nebulizer dengan
tenaga listrik dan nebulizer dengan tenaga udara sangat membantu jika pasien
mengalami kerusakan ventilasi yang lebih parah. Perbaikan saturasi oksigen dari
darah arteri dan reduksi kandungan CO2 membantu dalam menghilangkan
hipoksia pasien dan memberikan peredaan besar akibat keletihan pernapasan yang
konstan (Smeltzer & Bare, 2013).
e) Pengobatan Infeksi
Pasien dengan emfisema rentan terhadap infeksi paru dan harus diobati pada
saat awal timbulnya tanda-tanda infeksi. S. pneumonia, H. Influenzae, dan
Branchamella catarrhalis adalah organism yang paling umum pada infeksi
tersebut. Terapi antimikroba dengan tetrasiklin, ampisilin, amoksilin, atau
trimetoprim-sulfametoxazol (Bactrim) biasanya diresepkan. Regimen antimikroba
digunakan pada tanda pertama infeksi pernapasan, seperti yang dibuktikan dengan
sputum purulen, batuk meningkat, dan demam (Smeltzer & Bare, 2013).

2) Nonfarmakologi
Terapi nonfarmakologi yang dapat digunakan adalah latihan pernapasan, yaitu
Pursed lips breathing. Pursed lips breathing adalah tehnik pernapasan dengan
menghirup udara melalui hidung dan mengeluarkan udara dengan cara bibir
dirapatkan, yang dapat memperbaiki transport oksigen, membantu menginduksi pola
napas lambat dan dalam, dan membantu passion untuk mengontrol pernapasan,
tujuannya untuk melatih otot-otot ekspirasi untuk memperpanjang ekshalasi dan
meningkatkan tekanan jalan napas selama ekspirasi (Smeltzer & Barre dalam Astuti,
2014).
Menurut Smeltzer & Bare (2013) sebagai berikut :
a) Pemeliharaan kondisi lingkungan yang sesuai untuk memudahkan pernapasan
b) Dukungan psikologis
c) Penyuluhan pasien dan rehabilitasi yang bersinambungan
8. Pencegahan
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2003), pencegahan yaitu :
1) Mencegah agar tidak terjadi
b. Hindari asap rokok
c. Hindari polusi udara
d. Hindari infeksi saluran napas berulang
2) Mencegah perburukan
a. Berhenti merokok
b. Gunakan obat-obatan adekuat
c. Mencegah eksaserbasi berulang

9. Komplikasi
Emfisema paru harus cepat ditangani. Diagnosis emfisema paru mungkin tertunda atau
gagal karena gejala-gejala emfisema paru umumnya berkembang perlahan selama bertahun-
tahun dan mungkin tidak dapat jelas menunjukkan emfisema paru. Keterlambatan dan
ketidakmampuan pengobatan dapat menyebabkan berbagai komplikasi, menurut Artanugraha
& Adiyana (2011) yaitu :
1) Hipoksemia
Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg, dengan
nilai saturasi oksigen 85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan mood,
penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul sianosis
2) Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan PaCO2 (hiperkapnea). Tanda yang muncul antara lain :
nyeri kepala, fatigure, lethargi, dizziness, takipnea
3) Infeksi Respiratory
Infeksi pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mucus, peningkatan
rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terabatasnya aliran udara akan
meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dispneu
4) Gagal Jantung
Terutama kor pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi
terutama pada klien dengan dispnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan
dengan bronchitis kronis, tetapi klien emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini
5) Cardiac Disritmia
Timbul akibat hipksemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis respiratory
6) Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asam bronkial. Penyakit ini
sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak berespon terhadap
terapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernfasan dan distensi vena leher
seringkali terlihat

10. Rehabilitasi
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2003), yaitu :
1) Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan
Latihan ini diprogramkan bagi penderita PPOK yang mengalami kelelahan pada
otot pernapasannya sehingga tidak dapat menghasilkan tekanan insipirasi yang cukup
untuk melakukan ventilasi maksimum yang dibutuhkan. Latihan khusus pada otot
pernapasan akan mengakibatkan bertambahnya kemampuan ventilasi maksimum,
memperbaiki kualitas hidup dan mengurangi sesak napas.
Pada penderita yang tidak mampu melakukan latihan endurance, latihan otot
pernapasan ini akan besar manfaatnya. Apabila ke dua bentuk latihan tersebut bisa
dilaksanakan oleh penderita, hasilnya akan lebih baik. Oleh karena itu bentuk latihan
pada penderita PPOK bersifat individual. Apabila ditemukan kelelahan pada otot
pernapasan, maka porsi latihan otot pernapasan diperbesar, sebaliknya apabila
didapatkan CO2 darah tinggi dan peningkatan ventilasi pada waktu latihan maka
latihan endurance yang diutamakan.
2) Endurance exercise
Respons kardiovaskuler tidak seluruhnya dapat terjadi pada penderita PPOK.
Bertambahnya cardiac output maksimal dan transportasi oksigen tidak sebesar pada
orang sehat. Latihan jasmani pada penderita PPOK akan berakibat meningkatnya
toleransi latihan karena meningkatnya toleransi karena meningkatnya kapasiti kerja
maksimal dengan rendahnya konsumsi oksigen. Perbaikan toleransi latihan
merupakan resultante dari efisiensinya pemakaian oksigen di jaringan dari toleransi
terhadap asam laktat.
11. Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian Keperawatan
a) Anamnesa
Biodata
Nama : Tn. Andrean
Umur : 75 Tahun
Keluhan Utama
Mengeluhkan eksaserbasi penyakit paru kronik (empisema), nyeri
Riwayat Penyakkit Sekarang
Riwayat Penyakit Lalu
Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat Psikososial
Kaji riwayat penggunaan rokok, kaji apakah mengalami trauma yang
berkontribusi terhadap peningkatan penggunaan rokok
b) Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Pada klien dengan emfisema terlihat adanya peningkatan usaha dan
frekuensi pernapasan serta penggunaan otot bantu napas. Pada inspeksi, klien
biasanya tampak mempunyai bentuk dada barrel chest (akibat udara yang
terperangkap), penipisan massa otot, dan pernapasan dengan bibir dirapatkan.
Pernapasan abnormal tidak efektif dan penggunaan otot-otot bantu napas
(sternokleidomastoideus). Pada tahap lanjut, dispnea terjadi saat aktivitas bahkan
pada aktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan, minum, dan mandi.
Pengkajian batuk produktif dengan sputum purulen disertai demam
mengidentifikasikan adanya tanda perta infeksi pernpasan (Muttaqin, 2008).
Palpasi
Pada palpasi, ekspansi meneingkat dan taktil fremitus biasanya menurun
(Muttaqin, 2008).
Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma
menurun (Muttaqin, 2008).
Auskultasi
Sering didapatkan adanya bunyi napas ronkhi dan wheezing sesuai tingkat
beratnya obstruksi pada bronkiolus. Pada pengkajian lain, didapatkan kadar
oksigen yang rendah (hipoksemia) dan kadar karbon dioksida yang tinggi
(hiperkapnea) terjadi pada tahap lanjut penyaki ini. Pada waktunya, bahkan
gerakan ringan sekali pun seperti membungkuk untuk meningkat untuk mengikat
tali sepatu, mengakibatkan dispnea dan keletihan (dispnea eksersional). Paru
yang megalami emfisematosa tidak berkontriksi saat ekspirasi dan bronkiolus
tidak dikosongkan secara efektif dari sekresi yang dihasilkannya. Klien rentan
terhadap reaksi inflamasi dan infeksi akibat pengumpulan sekresi ini. Setelah
infeksi ini terjadi, klien mengalami mengi yang berkepanjangan saat ekspirasi.
Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan merupakan hal yang umum
terjadi. Vena jugularis mungkin mengalami distensi selama ekspirasi (Muttaqin,
2008).
c) Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Somantri (2012) sebagai berikut :
1) Chest X-Ray : dapat menunjukkan hyperinflation paru, flattened diafragma,
peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda vaskular/bullae
2) Kapasitas Inspirasi : menurun pada emfisema
3) Arterial Blood Gasses (ABGs) : menunjukkan proses penyakit kronis, sering kali
PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau meningkat. pH normal atau asidosis,
alkalosis respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang)
4) Bronkogram : dapat menunjukkan dilatasi dari bronki saat inspirasi, kolaps
bronkial oada tekanan ekspirasi
5) Darah lengkap : terjadi peningkatan hemoglobin (emfisema berat)
6) Kimia darah : alfa 1-antitripsin kemungkinan kurang pada emfisema primer
7) Elektrokardiogram (EKG) : gelombang P pada leads II, III, dan AVF panjang,
tinggi dan aksis QRS vertical
2) Rumusan Diagnosa
Menurut Smeltzer & Bare (2013) yaitu :
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan pembengkakan bronkus
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan bronkokonstriksi,
peningkatan produksi lender, batuk tidak efektif, dan infeksi bronkopulmonal
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi
4. Resiko tinggi infeksi pernapasan berhubungan dengan peningkatan kerja pernapasan,
hipoksemia secara reversible/menetap (Muttaqin, 2008).
3) Asuhan Keperawatan
Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan pembengkakan bronkus
Diagnosa NOC NIC
Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan Tujuan : 1) Lakukan pengkajian secara komprehensif
pembengkakan bronkus Nyeri klien berkurang atau hilang termasuk lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
Batasan Karakteristik : Kriteria Hasil : 2) Observasi reaksi nonverbal dari
a) Perubahan tekanan darah a) Mampu menontrol nyeri (tahu penyebab ketidaknyamanan
b) Perilaku distraksi (mis., berjalan mondar- nyeri, mampu menggunakan teknik 3) Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
mandir mencari orang lain dan atay nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, 4) Kontrol lingkungan yang dapat
aktivitas lain, aktivitas yang berulang) mencari bantuan) mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
c) Mengekspresikan perilaku (mis., gelisah, b) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan pencahayaan, dan kebisingan
merengek, menangis) menggunakan manajemen nyeri 5) Pilih dan lakukan penanganan nyeri
d) Sikap melindungi nyeri c) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, (farmakologi, nonfarmakologi, dan
e) Indikasi nyeri yang dapat diamati frekuensi dan tanda nyeri) interpersonal)
f) Perubahan posisi untuk menghindari nyeri d) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri 6) Kaji tipe dan sumber nyeri
g) Sikap tubuh melindungi berkurang 7) Pilih analgesic yang diperlukan atau
h) Melaporkan nyeri secara verbal kombunasi dari analgesic ketika pemberian
lebih dari Satu
8) Tentukan analgesic pilihan, rute pemberian,
dan dosis optimal
9) Berikan analgesic tepat waktu terutama
nyeri sangay berat
10) Evalusai efektivitas analgesic, tanda dan
gejala
Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan bronkokonstriksi, peningkatan produksi lender, batuk tidak efektif, dan
infeksi bronkopulmonal
Diagnosa NOC NIC
Bersihan jalan napas tidak efektif Tujuan : 1) Beri pasien 6-8 gelas cairan/hari kecuali
berhubungan dengan bronkokonstriksi, Pencapaian klirens jalan napas terdapat kor pulmonal
peningkatan produksi lender, batuk tidak 2) Ajarkan dan berikan dorongan
efektif, dan infeksi bronkopulmonal Kriteria Hasil : penggunaan teknik pernapasan
a) Mendemonstrasikan batuk efektif dan diafragmatik dan batuk
Batasan Karakteristik : suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis 3) Bantu dalam pemberian tindakan
a) Klien mengeluh sulit untuk bernapas dan dyspneu (mampu mengeluarkan nebilizer, inhaler dosis terukur, atau IPPB
b) Perubahan kedalaman/jumlah napas, sputum, mampu bernapas dengan mudah) 4) Lakukan drainase postural dengan perkusi
penggunaan otot bantu pernapasan b) Menunjukkan jalan napas yang paten dan vibrasi pada pagi hari dan malam hari
c) Suara napas abnormal seperti wheezing, (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, sesuai yang diharuskan
ronchi, crackles frekuensi nafas dalam rentang normal, 5) Instruksikan pasien untuk menghindari
d) Batuk (persisten) dengan/tanpa produksi tidak ada suara nafas yang abnormal) iritasn seperti asap rokok, aerosol, suhu
sputum c) Mampu mengidentifikasikan dan yang ekstream, dan asap
e) Sianosis mencegah factor yang dapat menghambat 6) Berikan antibiotic sesuai yang diharuskan
f) Dispneu jalan napas 7) Berikan dorongan pada pasien untuk
melakukan imunisasi terhadap influenza
dan streptococcus pneumonia
8) Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi
yang harus dilaporkan pada dokter
dengan segera :
a. Peningkatan sputum
b. Perubahan dalam warna sputum
c. Peningkatan kekentalan sputum
d. Peningkatan napas pendek, rasa sesak
di dada, keletihan
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi
Diagnosa NOC NIC
Gangguan pertukaran gas berhubungan Tujuan : 1) Berikan bronkodilator sesuai yang
dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi Perbaikan dalam pertukaran gas diharuskan :
a) Dapat diberikan per oral, IV, rectal, atau
Batasan Karakteristik : Kriteria Hasil : dengan inhalasi
a) Dispnea a) Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi b) Berikan bronkodilator oral atau IV pada
b) confusion, lemah dan oksigenasi yang adekuat waktu yang berselingan dengan tindakan
c) Sianosis b) Memelihara kebersihan paru-paru dan nebulizer, inhaler dosis terukur, atau
d) Tidak mampu mengeluarkan secret bebas dari tanda-tanda distress pernapasan IPPB untuk memperpanjang keefektifan
e) Nilai ABGs abnormal (hipoksia dan c) Mendemonstrasikan batuk efektif dan obat
hiperkapnea) suara napas bersih, tidak ada sianosis dan c) Observasi efek samping takikardi,
f) Perubahan tanda vital dispnea (mampu mengeluarkan sputum, disritmia, eksitasi system saraf pusat,
g) Menurunnya toleransi terhadap aktuvitas mampu bernapas dengan mudah) mual, dan muntah
d) Tanda vitasl dalam rentang normal
2) Evaluasi efektivitas tindakan nebulizer,
inhaler dosis terukur, atau IPPB
a) Kaji penurunan sesak napas, penurunan
mengi dan krekels, kelonggoran
seksresi, penurunan ansietas
b) Pastikan bahwa tindakan diberikan
sebelum makan untuk mengurangi
keletihan yang menyertai aktivitas
makan

3) Instruksikan dan berikan dorongan pada


pasien pada pernapasan diafragamatik dan
batuk yang efektif
4) Berikan oksigen dengan metoda yang
diharuskan
a) Jelaskan pentingnya tindakan ini pada
pasien
b) Evaluasi efektivitas, amati tanda-tanda
hipoksia. Ingatkan dokter jika timbul
gelisah, ansietas, somnolen, sianosis,
atau takikardi
c) AGD arteri dan bandingkan dengan
nilai-nilai dasar. Bila pungsi arteri
dilakukan dan sampai darah diambil,
tekan tempat pungsi selama 5 menit
untuk mencegah perdarahan arteri
d) Lakukan oksimetri nadi untuk memantau
saturasi oksigen
e) Jelaskan bahwa tidak merokok
dianjurkan pada pasien atau pengunjung
ketika oksigen digunakan
Jawaban Pertanyaan LO
1. Eksaserbasi ?
Kambuh, keadaan dimana penyakit yang biasanya kronis tiba-tiba menjadi lebih
buruk dari pada biasanya
2. Pengobatan albuterol ?
Albterol (salbutamol) merupakan salah satu bronkodilator yang paling aman dan
efektif. Tidak salah jika obat ini banyak digunakan untuk pengobatan asma. Selain untuk
membuka saluran pernapasan yang menyempit, obat ini juga efektif untuk mencegah
timbulnya exercise induced broncospasm (penyempitan saluran pernapasan akibat
olahraga) (Hakim dkk, 2010).
Efek samping yang paling sering ditemui adalah tremor (getaran pada jari jari yang
tidak dapat dikendalikan), rasa gugup, dan kesulitan tidur. Efek samping yang lebih jarang
antara lain mual, demam, muntah, sakit kepala, pusing, batuk, keram otot, reaksi alergi,
mimisan, peningkatan napsu makan, mulut kering, dan berkeringat.
Dosis salbutamol tersedia dalam bentuk tablet, sirup, cairan untuk penguapan saluran
napas, dan inhaler. Efek salbutamol timbul setelah 5 15 menit penggunaan dan bertahan
35 jam.
Dosis tablet
Anak di bawah 6 tahun: 0,3 mg/kg/hari dibagi menjadi 3 kali pemberian setiap 8 jam,
maksimal 6 mg/hari.
Anak 6 12 tahun: 2 mg sebanyak 3 4 kali per hari, maksimal 24 mg/hari.
Dewasa dan anak di atas 12 tahun: 2 4 mg sebanyak 3 4 kali per hari, maksimal 32
mg/hari.
Dosis sirup
Anak 2 6 tahun: dimulai dari dosis 0,1 mg/kg/pemberian sebanyak 3 kali; maksimal 3
x 2 mg. Jika diperlukan dapat ditingkatkan menjadi 0,2 mg/kg/pemberian sebanyak 3
kali, maksimal 3 x 4 mg.
Anak 6 14 tahun: 2 mg sebanyak 3 4 kali; dapat ditingkatkan sampai maksimal 24
mg/hari.
Dosis penguapan
Anak di bawah 2 tahun: 0,2 0,6 mg/kg/hari dibagi menjadi setiap 4 6 jam.
Anak 2 12 tahun: 0,63 2,5 mg/pemberian, diberikan 2 3 kali.
Dewasa: 2,5 mg diuapkan setiap 4 8 jam sesuai kebutuhan.
Dosis inhaler untuk
Anak di atas 4 tahun dan dewasa: 1 2 tarikan napas setiap 4 6 jam.
Inhaler harus dikocok dengan baik dan dicoba disemprotkan di udara sebelum
penggunaan awal.

3. Penyebab peningkatan nyeri ?


a. Transduksi Proses inflamasi akan menyebabkan teraktifasinya reseptor nyeri akibat
proses kimiawi. Sensitisasi perifer dapat mengakibatkan keadaan meningkatnya ambang
nyeri pada seseorang. Apabila pada rangsangan yang lemah terasa nyeri maka keadaan
ini disebut dengan Allodinia. Sedangkan apabila pada rangsangan yang kuat terasa
sangat nyeri, maka disebut dengan hiperalgesia. Proses transduksi dihambat oleh obat
non steroid anti inflamasi.
b. Transmisi Proses penyaluran impuls saraf sensorik dilakukan oleh serabut A delta
bermielin dan serabut C tak bermielin. Impuls ini akan dilanjutkan menuju traktus 15
spinothalamikus, sebelum akhirnya disalurkan menuju area somatik primer di korteks
serebri. Proses transmisi dapat dihambat oleh anestetik lokal di perifer maupun sentral.
c. Modulasi Pada tahap ini impuls akan mengalami fase penyaringan intensitas di medula
spinalis sebelum dilanjutkan ke korteks serebri. Modulator penghambat nyeri di medula
spinalis terdiri dari analgetik endogen seperti endorfin, sistem inhibisi sentral seretonin
dan noradrenalin, dan aktifitas serabut A beta.
d. Persepsi Proses ini merupakan tahap akhir dari semua proses yang sudah disebutkan
diatas. Pada tahap ini akan dihasilkan suatu persepsi nyeri secara subjektif.

4. Mengapa SPO2 meningkat ketika melakukan aktifitas ?


Pada PPOK (Emfisema) terjadi gangguan otot pernapasan yang dipengaruhi
konstraksi otot dan kekuatan otot pernapasan. Hilangnya daya elastis paru pada PPOK
(Emfisema) menyebabkan hiperinflasi dan obstruktif jalan napas kronik yang mengganggu
proses ekspirasi sehingga volume udara yang masuk dan keluar tidak seimbang serta
terdapat udara yang terjebak (air trapping). Air Trapping dalam keadaan lama
menyebabkan diafragma mendatar, kontraksi otot kurang efektif dan fungsinya sebagai
otot utama pernapasan berkurang terhadap ventilasi paru.
Berbagai kompensasi otot interkostal dan otot inspirasi tambahan yang biasa dipakai
pada kegiatan tambahan akan dipakai terus-menerus sehingga peran diafragma menurun
sampai 65%. Volume napas mengecil dan napas menjadi pendek sehingga menjadi
hipoventilasi alveolar yang akan meningkatkan konsumsi O dan menurunkan daya cadang
penderita. Frekuensi Pernapasan atau Respiratory Rate (RR) meningkat sebagai upaya
untuk mengkompensasi volume alun napas yang kecil sehingga mengakibatkan SPO2
meningkat (Hafiiizh,2013).
5. Bagaimana mekanisme precocet untuk mengurangi rasa nyeri ?
6. Bagaimana mekanisme empisema sehingga menyebabkan nyeri tulang belakang ?
7. Mengapa diberikan albuteron setiap 6 jam ?
8. Apa tindakan yang efektif setelah diberikan asetaminofil untuk mengurangi nyeri?
9. Berapa kadar oksigen dalam darah (yg menggunakan nasal atau masker ), apa yang
menyebabkan wheezing?
1) Sistem Aliran Rendah
a) Kateter Nasal
Oksigen : Aliran 1 - 6 liter/ menit menghasilkan oksigen dengan konsentrasi 24-
44 % tergantung pola ventilasi pasien.
Bahaya : Iritasi lambung, pengeringan mukosa hidung, kemungkinan distensi
lambung, epistaksis.
b) Kanula Nasal
Oksigen : Aliran 1 - 6 liter / menit menghasilkan 02 dengan konsentrasi 24 - 44
% tergantung pada polaventilasi pasien.
Bahaya : Iritasi hidung, pengeringan mukosa hidung, nyeri sinus dan epitaksis
c) Sungkup muka sederhana
Oksigen : Aliran 5-8 liter/ menit menghasilkan 0 2 dengan konsentrasi 40 - 60 %.
Bahaya : Aspirasi bila muntah, penumpukan C02 pada aliran 02 rendah,
Empisema subcutan kedalam jaringan mata pada aliran 02 tinggi dan nekrose,
apabila sungkup muka dipasang terlalu ketat.
d) Sungkup muka" Rebreathing " dengan kantong 02
Oksigen : Aliran 8-12 l/menit menghasilkan oksigen dnegan konsentrasi 60 -
80%.
Bahaya : Terjadi aspirasi bila muntah, empisema subkutan kedalam jaringan
mata pada aliran 02 tinggi dan nekrose, apabila sungkup muka dipasang terlalu
ketat.
e) Sungkup muka" Non Rebreathing" dengan kantong 02
Oksigen : Aliran 8-12 l/menit menghasilkan konsentrasi 02 90 %.
Bahaya : Sama dengan sungkup muka "Rebreathing".

2) Sistem Aliran tinggi


a) Sungkup muka venturi (venturi mask)
Oksigen : Aliran 4 -14 It / menit menghasilkan konsentrasi 02 30 55 %.
Bahaya : Terjadi aspirasi bila muntah dan nekrosis karena pemasangan sungkup
yang terialu ketat.
b) Sungkup muka Aerosol (Ambu Bag)
Oksigen : Aliran lebih dan 10 V menit menghasilkan konsentrasi 02 100 %.
Bahaya : Penumpukan air pada aspirasi bila muntah serta nekrosis karena
pemasangan sungkup muka yang terialu ketat.

3) Saturasi O2 normal adalah 96 % hingga 98 % sesuai dengan (Pa O2) yang berkadar
sekitar 80 mmHg hingga 100 mmHg (Price dan Wilson, 2006).
Daftar Pustaka
Artanugraha, I Putu G.W & I Made B.A. 2011. Lung Emphysema. Denpasar: Program
Studi Pendidikan Dokter Universitas Warmadewa.

Astuti, Laily W. 2014. Pengaruh Pursed Lips Breathing Terhadap Pola Pernapasan Pada
Pasien dengan Emfisema Di Rumah Sakit Paru Dr. Ario Wirawan Salatiga.
Semarang: Program Studi Ilmu Keperawatan Stikes Ngudi Waluyo Ungaran.

Kusumawati, Risala. 2013. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Penyakit Paru Obstruktif


Kronik (PPOK) Eksaserbasi Akut di RSUP DR. Sardjito Yogyakarta. Suarakarta:
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Nurarif, Amin Huda & Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asukan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: MediAction.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).
Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Smeltzer, Suzanne & Brenda G.B. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner
Suddarth. Vol.1, Edisi 8. Jakarta: EGC.

Somantri, Irman. 2012. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika,

Utami, Nur Wahyu. 2014. Pemberian Diafragmatic Breathing Exercise Terhadap Penurunan
Sesak Nafas pada Asuhan Keperawatan Ny. D dengan Penyakit Paru Obstruktif
Kronis di Ruang Anggrek I RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Surakarta: Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan Kusuma Husada

Anda mungkin juga menyukai