Anda di halaman 1dari 9

EMFISEMA

1. Definisi
Menurut WHO, emfisema merupakan gangguan pengembangan paru yang ditandai dengan
pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan. Sesuai dengan definisi
tersebut, jika ditemukan kelainan berupa pelebaran udara (alveolus) tanpa disertai adanya
destruksi jaringan maka keadaan ini sebenarnya tidak termasuk emfisema, melainkan hanya
sebagai overinflamation (Somantri, 2012).
Emfisema paru didefinisikan sebagai suatu distensi abnormalitas ruang udara di luar
bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli (Smeltzer & Bare, 2013.) Emfisema
merupakan perubahan parenkim paru ditandai dengan pelebaran dinding alveolus, duktus
alveolar, dan destruksi alveolar (Muttaqin, 2008).

2. Klasifikasi
Menurut Somantri (2012), terdapat tiga tipe emfisema yaitu :
a) Emfisema Centrilobular
Merupakan tipe yang sering muncul, menyebabkan kerusakan bronkiolus, biasanya pada
region paru atas. Inflamasi berkembang pada bronkiolus tetapi biasanya kantong alveolar
tetap bersisa
b) Emfisema Panlobular (Panacinar)
Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan biasanya termasuk pada paru bagian bawah.
Bentuk ini bersama disebut centriacinar emfisema, sangat sering timbul pada seorang
perokok
c) Emfisema Paraseprtal
Merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi dari blebs
sepanjang perifer paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumotoraks
spontan. Panacinar timbul pada orang tua dank lien dengan defisiensi enzim alpha-
antitripsin. Pada keadaan lanjut, terjadi peningkatan dispnea dan infeksi pulmoner serta
sering kali timbul kor pulmonal

3. Etiologi
Menurut Muttaqin (2008) , penyebab dari emfisema yaitu :
1) Merokok
Merokok merupakan penyebab utama enfisema. Terdapat hubungan yang erat antara
merokok dan penurunan volume ekspirasi paksa (FEV) (Muttaqin, 2008).
2) Keturunan
Belum diketahui jelas apakah faktor keturunan berperan atau tidak pada emfisema
kecuali penderita dengan defisiensi enzim alfa 1-antitripsin. Keja enzim ini menetralkan
enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan,
termasuk jaringan paru, karena itu kerusakan jaringan lebih jauh dapat dicegah.
Defisiensi enzim alfa 1-antitripsin adalah suatu kelainan yang diturunkan secara autosom
resesif. Orang yang sering menderita emfisema paru adalah penderita yang memiliki gen
S atau Z. Emfisema paru akan lebih cepat timbul bila penderita tersebut merokok
(Muttaqim, 2008).
3) Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan kerusakan paru lebih berat sehingga gejala-gejalanya pun
menjadi lebih berat. Infeksi saluran pernapasan atas pada seorang penderita bronchitis
kronis hamper selalu menyebabkan infeksi paru bagian bawah, dan menyebabkan
kerusakan paru bertambah. Ekserbasi bronchitis kronis disangka paling sering diawali
dengan infeksi virus, yang kemudian menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri
(Muttaqim, 2008).
4) Hipotesis Elastase-Antielastase
Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan antielastase
agar tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan antara keduanya akan
menimbulkan kerusakan pada elastis paru. Stuktur paru akan berubah dan timbul lah
emfisema. Sumber elastase yang penting adalah pancreas, sel-sel PMN, dan makrofag
alveolar (pulmonary alveolar macrophage-PAM). Rangsangan pada paru antara lain oleh
asap rokok dan infeksi menyebabkan elastase bertambah banyak. Aktivitas sistem
antiekastase, yaitu sistem enzim alfa 1-protease-inhibitor terutama enzim alfa 1-
antitripsin menjadi menurun. Akibat yang ditimbulkan karena tidak ada lagi
keseimbangan antara elastase dan antielastase akan menimbulkan kerusakan jaringan
elestis paru dan kemudian emfisema (Muttaqi, 2008).

4. Manifestasi Klinis
Menurut Smeltzer & Bare (2013), tanda dan gejala yaitu :
a) Dispnea adalah gejala utama emfisema dan mempunyai awitan yang membahayakan.
Pasien biasanya mempunyai riwayat merokok dan riwayat batuk kronis yang lama, mengi
serta peningkatan napas pendek dan cepat (takipneu)
b) Pada infeksi, pasien biasanya mempunyai barrel chest akibat udara tereprangkapnya,
penipisan massa otot, dan pernapasan dengan bibir dirapatkan. Pernapasan dada,
pernapasan abnormal tidak efektif, dan penggunaan otot-otot aksesori pernapasan
(sternokleidomastoid) adalah umum terjadi
c) Ketika dada diperiksa, ditemukan hiperesonans dan penurunan fremitus ditemukan pada
seluruh bidang paru. Auskultasi menunjukkan tidak terdengarnya bunyi napas dengan
krekels, ronki, dan perpanjangan ekspirasi. Kadar O2 rendah (hipoksemia) dan kadar CO2
yang tinggi (hiperkapnia) terjadi pada tahap lanjut penyakit
d) Pada waktunya, bahkan gerakan ringan sekali pun, seperti membungkuk untuk
mengikatkan tali sepatu, mengakibatkan dispnea dan keletihan (dispnea eksersional). Paru
yang mengalami emfisematosa tidak berkontraksi saat ekspirasi dan bronkioles tidak
dikosongkan secara efektif dari sekresi yang dihasilkan
e) Pasien rentan terhadap reaksi inflamasi dan infeksi akibat pengumpulan sekresi ini.
Setelah infeksi ini terjadi, pasien mengalami mengi yang berkepanjangan saat ekspirasi
f) Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan umum terjadi
g) Vena leher mungkin mengalami distensi selama ekspirasi

5. Patofisiologi
Adanya inflamasi, pembengkakan bronkhi, produksi lendir yang berlebihan, kehilangan
rekoil elastisitas jalan napas, dan kolaps bronkhiolus, serta penurunan redistribusi udara ke
alveoli menimbulkan gejala sesak pada klien dengan emfisema (Muttaqin, 2008).
Pada paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru ke luar
(yang disebabkan tekanan intrapleural dan otot-otot dinding dada) dengan tekanan yang menarik
jaringan paru ke dalam (elastisitas paru). Keseimbangan timbul karena kedua tekanan tersebut,
volume paru yang terbentuk disebut functional residual capacity (FRC) yang normal. Bila
elastisitas paru berkurang timbul keseimbangan baru yang menghasilkan FRC yang lebih besar.
Volume residu bertambah pula, tetapi VC menurun. Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi
maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang, sehingga saluran napas bagian
bawah paru akan tertutup (Muttaqin, 2008).
Pada klien dengan emfisema, saluran-saluran pernapasan tersebut akan lebih cepat dan
lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran pernapasan menutup dan dinding alveoli
yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Namun, semua itu
tergantung pada kerusakannya. Mungkin saja terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak ada,
tetapi perfusinya baik sehingga penyebaran udara pernapasan maupun aliran darah ke alveoli
tidak sama dan merata. Atau dapat dikatakan juga tidak ada keseimbangan antara ventilasi dan
perfusi di alveoli (V/Q rasio yang tidak sama) (Muttaqin, 2008).
Pada tahap akhir penyakit, sistem eliminasi karbon dioksida mengalami kerusakan. Hal
ini mengakibatkan peningkatan tekanan karbon dioksida dalam darah arteri (hiperkapnea) dan
menyebabkan asidosis respiratorik. Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan, maka
jaring-jaring kapiler pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel kanan
dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam area pulmonal (Muttaqin,
2008).
Sekresi yang meningkat dan tertahan menyebabkan klien tidak mampu melakukan batuk
efektif untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis menetap dalam paru yang
mengalami emfisema ini memperberat masalah. Individu dengan emfisema akan mengalami
obstruksi kronis yang ditandai oleh peningkatan tahanan jalan napas aliran masuk dan aliran
keluar udara dari paru. Jika demikian paru berada dalam keadaan hiperekspansi (Muttaqin,
2008).
Untuk mengalirkan udara ke dalam dan ke luar paru dibutuhkan tekanan negatif selama
inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat adekuat yang harus dicapai dan dipertahankan selama
ekspirasi berlangsung. Kinerja ini membutuhkan kerja keras otot-otot pernapasan yang
berdampak pada kekakuan dada dan iga-iga terfiksasi pada persendiannya dengan bermanifestasi
pada berubahan bentuk dada dimana rasio diameter AP:Transversal mengalami peningkatan
(barrel chest). Hal ini terjadi akibat hilangnya elastisitas paru karena adanya kecenderungan yang
berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang (Muttaqin, 2008).
Pada bebrapa kasus, barrel chest terjadi akibat kifosis dimana tulang belakang bagian
napas secara abnormal bentuknya membulat atau cembung. Beberapa klien membungkuk ke
depan untuk dapat bernapas, menggunakan otot-otot bantu napas. Retraksi fosa supraklavikula
yang terjadi pada inspirasi mengakibatkan bahu melengkung ke depan. Pada penyakit lebih
lanjut, otot-otot abdomen juga ikut berkontraksi saat inspirasi. Terjadi penurunan progresif
dalam kapasitas vital paru. Ekshalasi normal menjadi lebih sulit dan akhirnya tidak
memungkinkan terjadi. Kapasitas vital total (VC) mungkin normal, tetapi rasio dan volume
ekspirasi kuat dalam 1 detik dengan kapasitas vital (FEV1:VC) rendah. Hal ini terjadi karena
elastisitas alveoli sangat menurun. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya bagi klien untuk
menggerakkan udara dari alveoli yang mengalami kerusakan dan jalan napas yang menyempit
meningkatkan upaya pernapasan (Muttaqin, 2008).

6. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Muttaqin (2008) sebagai berikut :
1) Pengukuran Fungsi Paru (Spirometri)
Pengukuran fungsi biasanya menunjukkan peningkatan kapasitas paru total (TLC) dan
volume residual (RV). Terjadi penurunan dalam kapasitas vital (VC) dan volume
ekspirasi paksa (FEV). Temuan-temuan ini menegaskan kesulitasn yang dialami klien
dalam mendorong udara ke luar dan paru
2) Pemeriksaan Laboratorium
Hemoglobin dan hematokrit mungkin normal pada tahap awal penyakit. Dengan
berkembangnya penyakit, pemeriksaan gas darah arteri dapat menunjukkan adanya
hipoksia ringan dengan hiperkapnea
Menurut Somantri (2012) sebagai berikut :
1) Chest X-Ray : dapat menunjukkan hyperinflation paru, flattened diafragma, peningkatan
ruang udara retrosternal, penurunan tanda vaskular/bullae
2) Kapasitas Inspirasi : menurun pada emfisema
3) Arterial Blood Gasses (ABGs) : menunjukkan proses penyakit kronis, sering kali PaO2
menurun dan PaCO2 normal atau meningkat. pH normal atau asidosis, alkalosis
respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang)
4) Bronkogram : dapat menunjukkan dilatasi dari bronki saat inspirasi, kolaps bronkial oada
tekanan ekspirasi
5) Darah lengkap : terjadi peningkatan hemoglobin (emfisema berat)
6) Kimia darah : alfa 1-antitripsin kemungkinan kurang pada emfisema primer
7) Elektrokardiogram (EKG) : gelombang P pada leads II, III, dan AVF panjang, tinggi dan
aksis QRS vertical

7. Penatalaksanaan
1) Farmakologi
a) Kortikosteroid
Penggunaan kortikoteroid tetap controversial dalam pengobatan emfisema.
Kortikosteroid digunakan untuk melebarkan bronkiolus dan membuang sekresi
setelah tindakan lain tidak menunjukkan hasil. Prednison biasanya diresepkan
(Muttaqin, 2008).
Dosis sesuaikan untuk menjaga klien pada dosis yang serendah mungkin. Efek
samping jangka pendek termasuk gangguan gastrointestinal dan peningkatan nafsu
makan. Pada jangka panjang, klien mungkin mengalami ulkus peptikum,
osteoporosis, supresi adrenal, miopati steroid, dan pembentukkan katarak (Muttaqin,
2008).
b) Oksigenasi
Terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada klien dengan
emfisema berat. Hipoksemia berat diatasi dengan konsentrasi oksigen rendah untuk
meningkatkan PaO2 hingga antara 65 dan 80 mmHg. Pada emfisema berat, oksigen
diberikan sedikitnya 16 jam per hari dengan 24 jam lebih baik. Modalitas ini dapat
menghilangkan gejala-gejala klien dan memperbaiki kualitas hidup klien (Muttaqin,
2008).
c) Bronkodilator
Bronkodilator diresepkan untuk mendilatasi jalan napas karena preparat ini
melawan baik edema mukosa maupun spasme muscular dan membantu baik dalam
mengurangi obstruksi jalan napas maupun dalam memperbaiki pertukaran gas
(Smeltzer & Bare, 2013).
Medikasi ini mencakup agonis b-adrenergik (metaproterenol, isoproterenol) dan
metilxantin (teofilin, aminofilin), yang menghasilkan dilatasi bronkial melalui
mekanisme yang berbeda. Bronkodilator mungkin diresepkan per oral, sub kutan,
intravena, per rectal atau inhalasi. Medikasi inhalasi dapat diberikan melalui aerosol
bertekanan, nebulizer balon-genggam, nebulizer dorongan pompa, inhaler dosis-
terukur, atau IPPB (Smeltzer & Bare, 2013).
Bronkodilator mungkin menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, yang
termasuk takikardi, disritmia jantung, dan perangsangan sistem saraf pusat.
Metilxantin dapat juga menyebabkan gangguan gastrointestinal seperti mual dan
muntah. Karena efek samping umum, dosis dapat disesuaikan dengan cermat sesuai
dengan toleransi pasien dan respons klinis (Smeltzer & Bare, 2013).
d) Terapi Aerosol
Aerosolisasi (proses membagi partikel menjadi serbuk yang sangat halus) dari
bronkodilator salin dan mukolitik sering kali digunakan untuk membantu dalam
bronkodilatasi. Ukuran partikel dalam kabut aerosol harus cukup kecil untuk
memungkinkan medikasi dideposisikan dalam-dalam di dalam percabangan
trakeobronkial (Smeltzer & Bare, 2013).
Aerosol yang dinebulizer menghilangkan bronkospasme, menurunkan edema
mukosa, dan mengencerkan sekresi bronkial. Hal ini memudahkan proses
pembersihan bronkiolus, membantu mengendalikan proses inflamasi, dan
memperbaiki fungsi ventilasi. Alat nebulizer dengan balon genggam dan aerosol
dosis terukur memberikan peredaan yang cepat bagi pasien. Nebulizer dengan tenaga
listrik dan nebulizer dengan tenaga udara sangat membantu jika pasien mengalami
kerusakan ventilasi yang lebih parah. Perbaikan saturasi oksigen dari darah arteri dan
reduksi kandungan CO2 membantu dalam menghilangkan hipoksia pasien dan
memberikan peredaan besar akibat keletihan pernapasan yang konstan (Smeltzer &
Bare, 2013).
e) Pengobatan Infeksi
Pasien dengan emfisema rentan terhadap infeksi paru dan harus diobati pada saat
awal timbulnya tanda-tanda infeksi. S. pneumonia, H. Influenzae, dan Branchamella
catarrhalis adalah organism yang paling umum pada infeksi tersebut. Terapi
antimikroba dengan tetrasiklin, ampisilin, amoksilin, atau trimetoprim-
sulfametoxazol (Bactrim) biasanya diresepkan. Regimen antimikroba digunakan pada
tanda pertama infeksi pernapasan, seperti yang dibuktikan dengan sputum purulen,
batuk meningkat, dan demam (Smeltzer & Bare, 2013).
2) Nonfarmakologi
Terapi nonfarmakologi yang dapat digunakan adalah latihan pernapasan, yaitu
Pursed lips breathing. Pursed lips breathing adalah tehnik pernapasan dengan menghirup
udara melalui hidung dan mengeluarkan udara dengan cara bibir dirapatkan, yang dapat
memperbaiki transport oksigen, membantu menginduksi pola napas lambat dan dalam,
dan membantu passion untuk mengontrol pernapasan, tujuannya untuk melatih otot-otot
ekspirasi untuk memperpanjang ekshalasi dan meningkatkan tekanan jalan napas selama
ekspirasi (Smeltzer & Barre dalam Astuti, 2014).
Menurut Smeltzer & Bare (2013) sebagai berikut :
a) Pemeliharaan kondisi lingkungan yang sesuai untuk memudahkan pernapasan
b) Dukungan psikologis
c) Penyuluhan pasien dan rehabilitasi yang bersinambungan

8. Komplikasi
Emfisema paru harus cepat ditangani. Diagnosis emfisema paru mungkin tertunda atau
gagal karena gejala-gejala emfisema paru umumnya berkembang perlahan selama bertahun-
tahun dan mungkin tidak dapat jelas menunjukkan emfisema paru. Keterlambatan dan
ketidakmampuan pengobatan dapat menyebabkan berbagai komplikasi, menurut Artanugraha &
Adiyana (2011) yaitu :
1) Hipoksemia
Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg, dengan
nilai saturasi oksigen 85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan mood,
penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul sianosis
2) Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan PaCO2 (hiperkapnea). Tanda yang muncul antara lain :
nyeri kepala, fatigure, lethargi, dizziness, takipnea
3) Infeksi Respiratory
Infeksi pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mucus, peningkatan
rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terabatasnya aliran udara akan
meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dispneu
4) Gagal Jantung
Terutama kor pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi
terutama pada klien dengan dispnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan
bronchitis kronis, tetapi klien emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini
5) Cardiac Disritmia
Timbul akibat hipksemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis respiratory
6) Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asam bronkial. Penyakit ini
sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak berespon terhadap terapi
yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernfasan dan distensi vena leher seringkali
terlihat

Anda mungkin juga menyukai