Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyalahgunaan wewenang merupakan salah satu permasalahan yang sering

dihadapi oleh suatu lembaga pemerintahan yang salah satunya yaitu tindakan

KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme). Banyaknya kasus korupsi yang terjadi

akhir-akhir ini menjadikan perhatian besar bagi masyarakat. Masyarakat menuntut

akan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan oleh

lembaga-lembaga sektor publik, diantaranya yaitu lembaga-lembaga pemerintah,

perusahaan milik negara/daerah maupun organisasi publik lainnya yang ada di

negeri ini. Tuntutan pelaksanaan akuntabilitas sektor publik terhadap terwujudnya

good governance di Indonesia semakin meningkat. Tuntutan ini memang wajar,

karena beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadinya krisis ekonomi di

Indonesia ternyata disebabkan oleh buruknya pengelolaan (bad governance) dan

buruknya birokrasi.

Menurut Mardiasmo (2010), terdapat tiga aspek utama yang mendukung

terciptanya pemerintahan yang baik (good governance), yaitu pengawasan,

pengendalian, dan pemeriksaan. Pengawasan merupakan kegiatan yang dilakukan


oleh pihak di luar eksekutif, yaitu masyarakat dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) untuk mengawasi kinerja pemerintahan. Pengendalian (control)

adalah mekanisme yang dilakukan oleh eksekutif untuk menjamin bahwa sistem

dan kebijakan manajemen dilaksanakan dengan baik sehingga tujuan organisasi

dapat tercapai. Sedangkan pemeriksaan (audit) merupakan kegiatan yang

dilakukan oleh pihak yang memiliki independensi dan kompetensi profesional

untuk memeriksa apakah hasil kinerja pemerintah telah sesuai dengan standar

yang ditetapkan.

Audit pemerintahan merupakan salah satu elemen penting dalam penegakan good

government. Namun demikian, praktiknya sering jauh dari yang diharapkan.

Mardiasmo (2010) menjelaskan bahwa terdapat beberapa kelemahan dalam audit

pemerintahan di Indonesia, di antaranya tidak tersedianya indikator kinerja yang

memadai sebagai dasar pengukur kinerja pemerintahan baik pemerintah pusat

maupun daerah dan hal tersebut umum dialami oleh organisasi publik karena

output yang dihasilkan yang berupa pelayanan publik tidak mudah diukur. Dengan

kata lain, ukuran kualitas audit masih menjadi perdebatan.

Salah satu unit yang melakukan pemeriksaan (audit) terhadap pemerintah daerah

adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perwakilan di setiap Provinsi. Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia yang memiliki wewenang memeriksa pengelolaan dan

tanggung jawab keuangan negara. Menurut UUD 1945, BPK RI merupakan

lembaga yang bebas dan mandiri serta dipercaya untuk dapat mewujudkan good

2
corporate dan good governance dengan tugas memeriksa pengelolaan dan

tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat,

Pemerintah Daerah, Lembaga Negara Lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha

Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.

BPK RI dalam melakukan aktifitasnya mengacu pada Peraturan BPK RI Nomor 2

Tahun 2011 tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan yang terdiri dari tiga

nilai dasar kode etik yaitu independensi, integritas, dan profesionalisme. Selain

ketiga nilai tersebut, masih terdapat hal-hal yang mempengaruhi kualitas audit

yaitu kompetensi, motivasi dan etika. Apabila hal ini dapat dijalankan secara

maksimal, maka tidak akan terjadi kasus suap terhadap Auditor BPK Perwakilan

Provinsi Jawa Barat sebagai berikut:

Kasus suap yang melibatkan auditor BPK Perwakilan Provinsi Jawa Barat

merupakan salah satu contoh tidak mematuhinya prinsip tanggung jawab profesi,

Auditor BPK menerima suap dari Pemerintah Kota Bekasi. Pada kasus ini terlihat

auditor BPK memiliki kepentingan lain (tidak independen) dalam memberikan

opini terhadap laporan keuangan. Kasus suap ini mengindikasikan jika Pemerintah

Kota Bekasi menghendaki opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)

(http://wmurtiyasni.blogspot.co.id).

Independensi pada dasarnya mempunyai hubungan dengan kualitas audit yang

dihasilkan, di mana seorang auditor harus memiliki independensi dalam

melakukan audit agar dapat memberikan pendapat atau kesimpulan yang apa

adanya tanpa ada pengaruh dari pihak yang berkepentingan (Badan Pengawas

Keuangan dan Pembangunan, 2013). Pernyataan standar umum kedua Standar

3
Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) Paragrap 14 (2007) adalah: Dalam

semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan, organisasi pemeriksa

dan pemeriksa, harus bebas dalam sikap mental dan penampilan dari gangguan

pribadi, ekstern, dan organisasi yang dapat mempengaruhi independensinya.

Dengan pernyataan standar umum kedua ini, organisasi pemeriksa dan para

pemeriksanya bertanggung jawab untuk dapat mempertahankan independensinya

sedemikian rupa, sehingga pendapat, simpulan, pertimbangan atau rekomendasi

dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tidak memihak dan dipandang tidak

memihak oleh pihak manapun.

Menurut Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor

PER/05/M.PAN/03/2008 tentang Standar Audit Aparat Pengawas Intern

Pemerintah (APIP), pengukuran kualitas audit atas laporan keuangan, khususnya

yang dilakukan oleh APIP, wajib menggunakan Standar Pemeriksaan Keuangan

Negara (SPKN) yang tertuang dalam Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan

Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2007. Pernyataan standar umum pertama

SPKN adalah: Pemeriksa secara kolektif harus memiliki kecakapan profesional

yang memadai untuk melaksanakan tugas pemeriksaan.

Adanya Pernyataan Standar Pemeriksaan ini semua organisasi pemeriksa

bertanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap pemeriksaan dilaksanakan

oleh para pemeriksa yang secara kolektif memiliki pengetahuan, keahlian, dan

pengalaman yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas tersebut. Oleh karena itu,

organisasi pemeriksa harus memiliki prosedur rekrutmen, pengangkatan,

4
pengembangan berkelanjutan, dan evaluasi atas pemeriksa untuk membantu

organisasi pemeriksa dalam mempertahankan pemeriksa yang memiliki

kompetensi yang memadai.

Kompetensi seorang auditor pemerintah akan berpengaruh terhadap kualitas audit

yang dilaksanakannya, hal ini memperlihatkan bahwa pengetahuan dan

pengalaman auditor akan mempengaruhi terhadap kualitas audit. Dengan adanya

kompetensi yang baik, maka kegiatan pemeriksaan (auditing) akan dapat

terlaksana tepat pada waktunya, walaupun kuantitas dari audit tergolong masih

belum memadai. Hal ini dapat dilihat dari hasil observasi yang penulis lakukan,

bahwa BPK Perwakilan Provinsi Lampung dalam melaksanakan tugas dan

kewajibannya di bidang pemeriksaan (audit) sering dihadapkan kuantitas sumber

daya manusia apabila dibandingkan dengan wilayah kerja yang harus

dilaksanakan yaitu 15 kabupaten/kota di Provinsi Lampung, dimana jumlah

pemeriksa pada BPK Perwakilan Provinsi Lampung hanya 45 orang pemeriksa

yang turun ke lapangan. Rata-rata pemeriksa pertama menanganai 5 kabupaten/

kota dan pemeriksa muda menangani 6 kabupaten/kota di Provinsi Lampung.

Kondisi ini berdampak pada kualitas Laporan Hasil Pemeriksaan yang harus

direviu ulang sebanyak 10 LHP, yang mana dalam proses pengumpulan dan

pengujian bukti walaupun sudah dilakukan dengan maksimal untuk mendukung

kesimpulan, temuan audit serta rekomendasi yang lengkap akan tetapi hal ini

ternyata sulit untuk dilaksanakan.

5
Kompetensi dan independensi yang dimiliki oleh seorang audit BPK Perwakilan

Provinsi Lampung pada dasarnya untuk mengoptimalkan kualitas audit yang

dihasilkan. Dari hasil observasi yang penulis lakukan bahwa ketepatan waktu

dalam pelaksanaan auditing di lapangan sering menjadi kendala tersendiri, hal ini

disebabkan belum tercukupinya jumlah auditor pada BPK Perwakilan Provinsi

Lampung.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis bermaksud untuk

mengetahui dan menganalisis pengaruh antara kompetensi dan independensi

terhadap kualitas audit yang dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan

(BPK) Perwakilan Provinsi Lampung dengan judul Pengaruh Kompetensi dan

Independensi Terhadap Kualitas Audit (Studi Pada Badan Pemeriksa

Keuangan Perwakilan Provinsi Lampung).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah kompetensi berpengaruh terhadap kualitas audit pada BPK

Perwakilan Provinsi Lampung?

2. Apakah independensi berpengaruh terhadap kualitas audit pada BPK

Perwakilan Provinsi Lampung?

6
1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh kompetensi terhadap kualitas

audit pada BPK Perwakilan Provinsi Lampung.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh independensi terhadap kualitas

audit pada BPK Perwakilan Provinsi Lampung.

1.4 Manfaat Penelitian

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai

berikut:

1. Bagi penulis. Penelitian ini diharapkan akan menambah pengetahuan dan

wawasan terutama penerapan teori yang diperoleh selama studi dalam bidang

auditing.

2. Bagi Akademis. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan yang berarti dalam pengembangan ilmu ekonomi secara umum,

khususnya pada bidang auditing.

3. Bagi auditor. Penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dan bahan

evaluasi dalam rangka menjaga dan meningkatkan kinerjanya.

Anda mungkin juga menyukai