Kolesteatoma
Disusun Oleh
Angela Tiana
112016287
Dokter Pembimbing
dr. Swasono R, Sp.THT-KL
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini. Laporan Kasus berjudul Kolesteatoma ini dibuat
dengan tujuan sebagai salah satu syarat kelulusan dalam Kepaniteraan Klinik THT di Rumah Sakit
Pusat TNI AU Dr. Esnawan Antariksa. Dalam pembuatan tinjauan pustaka dari laporan kasus ini,
penulis mengambil referensi dari literatur dan jaringan internet.
Penulis sadar bahwa dalam pembuatan laporan kasus ini masih terdapat banyak kekurangan,
untuk itu penulis menghimbau agar para pembaca dapat memberikan saran dan kritik yang
membangun dalam perbaikan laporan kasus ini.
Penulis berharap agar laporan kasus ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan ilmu
pengetahuan bagi pihak yang memerlukan khususnya bagi penulis sendiri.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi epitel (keratin). Istilah
kolesteatoma mulai diperkenalkan oleh Johanes Muller pada tahun 1838 karena disangka tumor
yang ternyata bukan. Seluruh epitel kulit (keratinizing stratified squamous epithelium) pada tubuh
berada pada lokasi yang terbuka/ terpapar ke dunia luar. Epitel kulit di liang telinga merupakan
suatu daerah cul-de-sac sehingga apabila terdapat serumen padat di liang telinga dalam waktu yang
lama, maka dari epitel kulit yang berada medial dari serumen tersebut seakan terperangkap
sehingga membentuk kolesteatoma.
Kolesteatoma diawali dengan penumpukan deskuamasi epidermis di liang telinga,
sehingga membentuk gumpalan dan menimbulkan rasa penuh serta kurang dengar. Bila tidak
ditanggulangi dengan baik akan terjadi erosi kulit dan bagian tulang liang telinga. Kolesteatoma
mengerosi tulang yang terkena baik akibat efek penekanan oleh penumpukan debris keratin
maupun akibat aktifitas mediasi enzim osteoklas. Etiologinya belum diketahui, sering terjadi pada
pasien dengan kelainan paru kronik, seperti bronkiektasis, juga pada pasien sinusitis. Namun
kejadian kolesteatoma sangat jarang terjadi.
3
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
B. ANAMNESIS
Diambil secara : Autoanamnesis
Pada tanggal : 14 Juni 2017
Jam : 13.00 WIB
1. KELUHAN UTAMA : Telinga kanan bernanah sejak 2 minggu yang lalu
2. KELUHAN TAMBAHAN : Pasien juga merasa nyeri pada bagian di belakang
telinga kanan dan mata sejak 3 hari yang lalu
4
3. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien datang dengan keluhan telinga kanan terdapat nanah saat sedang membersihkan
dengan menggunakan cotton bud sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga
mengeluh rasa tidak enak dan penuh pada telinga yang sama. Pasien juga merasa sakit
pada bagian belakang telinga sejak 3 hari smrs. Pasien juga merasakan telinga kanan
mengalami penurunan pendengaran. Riwayat demam disangkal. Keluhan telinga
berdengung juga tidak ada. Pasien juga mengatakan tidak ada keluhan pada sendi rahang.
Riwayat nyeri tenggorokan maupun nyeri menelan disangkal. Pasien mengaku belum
berobat ke klinik manapun dan belum minum obat apapun untuk menghilangkan keluhan.
C. PEMERIKSAAN FISIK
I. KEADAAN UMUM
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Tekanan Darah :120/80mmHg
Nadi : 80 kali per menit
Suhu : 36o C
Pernapasan : 20 kali/menit
II. TELINGA
Kanan Kiri
5
Kelainan Kongenital Tidak ada Tidak ada
6
Daerah sinus maksilaris : Tidak ada kelainan, nyeri tekan (-)
V. PEMERIKSAAN TRANSILUMINASI
Kanan Kiri
VI. TENGGOROK
Pharynx
o Dinding faring : merah muda, hiperemis (+), granular (-)
o Arcus pharynx : simetris kanan-kiri
o Tonsil : T3-T3, kripti melebar, detritus (+)
o Uvula : simetris di tengah, hiperemis (-)
o Gigi : tidak ada kelainan
o Lain-lain : radang gingiva (-), post nasal drip (-)
Larynx (Laringoskopi)
Tidak dilakukan
VII. LEHER
Kelenjar limfe submandibula : tidak teraba membesar
Kelenjar limfe servikal : tidak teraba membesar
VIII. MAKSILO-FASIAL
Parese nervus cranial : tidak ada
Bentuk : deformitas (-); hematom (-)
7
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan endoskopi telinga :
Kanalis auricularis externus telinga kanan menyempit, nanah (+), serumen (+),
hiperemis (+), edema (+), partikel jamur (-)
Membran timpani tampak perforasi dan terdapat koleteatoma.
E. RESUME
Dari anamnesis didapatkan pasien, seorang laki-laki berumur 28 tahun, datang dengan nyeri
pada telinga kanan dan bernanah sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga
mengeluh telinga terasa tidak nyaman dan terasa penuh. Pasien juga merasa nyeri jika bagian
belakang telinga kanan. Dari pemeriksaan fisik telinga ditemukan telinga kanan hiperemis (+),
edema (+), nanah (+), membran timpani tampak adanya perforasi dan terdapat kolesteatoma, KGB
regional membesar (-). Telinga kiri dalam batas normal.
F. DIAGNOSIS BANDING
Otitis Media Supuratif Kronis Tipe Aman
G. DIAGNOSIS KERJA
Otitis Media Supuratif Kronis Tipe Bahaya disertai dengan kolesteatoma
Dasar diagnosis:
Diagnosis kerja otitis media supuratif kronis tipe maligna diambil berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang didapatkan pada OS.
Anamnesis:
- Otorhea, berbentuk nanah
- Rasa nyeri, penuh, tidak nyaman di telinga kanan
- Penurunan kemampuan dengar
Pemeriksaan fisik telinga:
- Telinga kanan nyeri (+), (+), CAE sempit, hiperemis (+), sekret (+), edema (+), nanah (+)
- Pendengaran berkurang
8
H. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto rontgen mastoid
2. Kultur dan uji resistensi kuman dari sekret telinga
I. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
Obat pencuci telinga : Larutan H2O2 3% selama 3 5 hari
Antibiotik : Otopain tetes telinga, 2 kali sehari 3 tetes
Non-medikamentosa
J. PROGNOSIS
Ad Vitam : bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam
9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.2 Epidemiologi
Insidensi dari kolesteatoma sangat beragam berdasarkan pada penilitian yang telah
dilakukan dibeberapa negara. Di Skotlandia ditemukan insidensi sebesar 13 per 100.000
mengalami kolesteatoma, sedangkan di Amerika Serikat ditemukan insidensi yang lebih rendah
yaitu 7 per 100.000 per tahunnya. Di Israel insidensi dari penanganan operasi yang dilakukan pada
pasien dengan kolesteatoma sebesar 66 dari 100.000 penduduk.
Insidensi dari kolesteatoma ini beraneka ragam yang dimana salah satu penyebabnya
adalah praktek medis yang berbeda-beda disetiap negara, seperti contohnya di Israel ditemukan
adanya penurunan kejadian dari kolesteatoma, ketika pada pasien yang menderita otitis media
kronik dilakukan penanganan dengan penggunaan grommets ataupun aural ventilation tube.
10
Baik laki-laki ataupun perempuan dapat mengalami kolesteatoma ini, dengan
perbandingan laki-laki berbanding wanita sebesar 3:2. Kolesteatoma yang terjadi pada anak-anak
ditemukan akan lebih sering berdampak pada tuba eustachius, anterior mesotympanum, sel
retrolabirin, dan prosesus mastoid jika dibandingkan dengan orang dewasa. Berdasarkan bukti
klinis dan pemeriksaan histologi diketahui bahwa kolesteatoma yang terjadi pada anak pada
umumnya bersifat lebih agresif.13
3.3 Klasifikasi
a. Kongenital
Kolesteatoma kongenital terjadi sebagai konsekuensi dari epitel skuamosa yang terjebak
dalam tulang temporal selama embriogenesis. Kolesteatoma kongenital biasanya ditemukan di
anterior mesotympanum atau di dalam area perieustachian tube. Mereka diidentifikasi paling
sering pada anak-anak usia 6 bulan hingga 5 tahun. Selama kolesteatoma membesar, kolesteatoma
dapat menyumbat tuba eustachius dan memproduksi cairan telinga tengah kronis dan
mengakibatkan tuli konduktif. Kolesteatoma juga dapat melebar ke arah posterior dan mengelilingi
tulang-tulang pendengaran sehingga menyebabkan tuli konduktif. Tidak seperti tipe kolesteatoma
lainnya, kolesteatoma kongenital biasanya diidentifikasi di belakang membran timpani yang masih
utuh dan terlihat normal. Anak biasanya tidak memiliki sejarah infeksi telinga berulang, tidak
pernah dioperasi telinga sebelumnya, dan tidak memiliki sejarah perforasi membran timpani.15
b. Primary Acquired
Kolesteatoma acquired primer terjadi karena retraksi membran timpani, retraksi ke dalam
11
medial pars flaccida ke dalam epitympanum (scutum) secara progresif. Selama proses ini
berlangsung, dinding lateral epitympanum (scutum) secara perlahan mengalami erosi sehingga
terjadi kerusakan pada dinding lateral epitympanum yang perlahan-lahan meluas. Membran
timpani terus mengalami retraksi kearah medial hingga melewati kepala tulang pendengaran dan
ke dalam epitympanum. Sering terjadi kerusakan pada tulang pendengaran. Bila kolesteatoma
mengarah ke posterior ke dalam aditus ad antrum dan mastoid, erosi dari tegmen mastoideum
dengan eksposur dari dura dan atau erosi dari lateral kanalis semisirkularis hingga terjadi ketulian
dan vertigo juga dapat terjadi.15
Tipe kedua dari acquired kolesteatoma primer terjadi saat kuadran posterior dari membran
timpani teretraksi ke dalam telinga tengah bagian posterior. Drum akan menempel ke bagian
panjang dari incus. Saat retraksi terus terjadi ke arah medial dan posterior, epitel skuamosa akan
menutupi struktur dari stapes dan kemudian mengalami retraksi ke dalam sinus timpani.
Kolesteatoma primer terjadi dari membran timpani posterior akan mudah mengakibatkan eksposur
ke nervus fasialis (dapat mengakibatkan paralisis) dan kerusakan struktur stapedial.15
c. Secondary Acquired
Kolesteatoma acquired sekunder terjadi karena konsekuensi langsung terhadap injuri pada
membran timpani. Kerusakan ini dapat dalam bentuk perforasi yang terjadi karena otitis media
12
akut atau trauma, atau dapat terjadi karena manipulasi operasi dari drum. Prosedur simple seperti
tympanostomy dapat mengakibatkan implantasi epitel skuamosa ke dalam telinga tengah hingga
menyebabkan terbentuknya kolesteatoma. Perforasi posterior marginal paling sering menyebabkan
formasi kolesteatoma. Walaupun perforasi tipe sentral jarang mengakibatkan kolesteatoma,
perforasi sentral juga dapat mengakibatkan kolesteatoma. Kantong retraksi dalam apapun dapat
menyebabkan terjadinya formasi kolesteatoma bila kantong retraksi menjadi cukup dalam untuk
menjebak epitel yang mengalami deskuamasi.15
3.4 Patofisiologi
3.4.1 Kolesteatoma Kongenital
Kolesteatoma Kongenital
Patogenesis kolesteatoma kongenital masih diperdebatkan hingga saat ini. Ada beberapa teori
yang dipakai untuk menjelaskan patogenesis dari kolesteatoma kongenital.19
Epithelial rest theory
Teori ini dipopulerkan oleh Teed pada tahun 1936 kemudian penemuan ini dikonfirmasi
oleh Michaels pada tahun 1986. Teed mengemukakan bahwa ia menemukan adanya sisa
sel epitelial pada tulang temporal fetus yang normalya menghilang pada minggu ke-33
gestasi. Adanya sel epitelial tersebut menjadi pencetus terjadinya kolesteatoma kongenital.
Sisa sel epitelial ini ditemukan pada dinding lateral tuba eustachius, di bagian proksimal
tympanic ring, di kuadran anterosuperior dari telinga tengah. Dikemukakan bahwa cedera
13
inflamasi pada membran timpani yang intak akan mengakibatkan mikroperforasi pada
lapisan basalis. Kemudian hal ini membuat invasi dari epitel skuamosa dengan adanya
aktivitas proliferasi epithelial cones. Epithelial cones ini kemudian terus berproliferasi,
menyebar dan terus berekspansi dan membentuk kolesteatoma pada telinga tengah.19,20
14
Fig. 1. Acquired inclusion theory suggested by Tos.
Ada 4 mekanisme yang menjelaskan teori inklusi yang dikemukakan oleh Tos.19
- Membran timpani retraksi dan menempel pada handle malleus, malleus neck, atau process longus
dari incus, yang akan melonggar dan robek, meninggalkan cuff kecil dari epitel keratin yang
menempel pada ossiculus dengan robekan residual kecil pada membran timpani. Ketika robekan
tersebut mengalami pemulihan, epitelium tersebut membuat pembentukan inklusi kolesteatoma.
(A1,2)
- Robekan tangetial terbentuk bersamaan dengan membran timpani yang teretraksi dan menjadi
longgar dari strukturnya yang mengakibatkan sisa sel epiteliaal tertinggal di rongga telinga tengah
tanpa adanya perforasi dari membran timpani yang kemudian mengakibatkan inklusi kolestatoma.
(B1, 2)
- Mikroperforasi dari membran timpani yang mengalami trauma atau perlukaan mengakibatkan
invasi dari lapisan basalis oleh epitelial cones.(C1, 2)
- Sama dengan mekanisme sebelumnya, inflamasi yang berulang pada membran timpani
mengakibatkan proliferasi epitelial cones yang pentrasi ke lapisan basalis dan proliferasi ke ruang
subepitel. (D1, 2)
15
Fig. 2. Site of origin and patterns of spread of congenital cholesteatoma according to (A) Tos acquired inclusion
theory and (B) Teed-Michaels epidermal rest theory.
16
Gambar 11. Kolesteatoma Kongenital
Kolesteatoma congenital, masa berwarna putih terlihat di belakang drum yang utuh
17
terjadi kerusakan pada dinding lateral epitympanum yang perlahan-lahan akan meluas. Membran
timpani terus mengalami retraksi kearah medial hingga melewati kepala tulang pendengaranan
hingga terjadi kerusakan pada tulang pendengaran. Bila kolesteatoma mengarah ke posterior ke
dalam aditus ad antrum dan mastoid, erosi dari tegmen mastoideum dengan eksposur dari dura dan
atau erosi dari lateral kanalis semisirkularis dapat mengakibatkan terjadinya ketulian dan vertigo.15
Perubahan geometris akibat retraksi yang progresif mengakibatkan penyempitan dari jalan
anatomis dan gangguan migrasi epitel hingga mengganggu proses pembersihan debris keratin. Saat
kantung terbentuk semakin kearah dalam dan berada diantara lipatan mukosa dengan crevices, ia
menjadi tidak bisa membersihkan debris dengan sendirinya hingga terjadi penumpukan debris
keratin. Proliferasi bakteri dan infeksi super dari akumulasi debris membentuk suatu biofilm yang
akan mengakibatkan terjadinya infeksi kronik dan proliferasi epitel. Chole dan Faddis menganalisa
adanya matrix biofilm pada debris kolesteatoma. Baru-baru ini , Wang menemukan adanya strain
otopatogenik dari pseudomonas aeruginosa yang mampu memproduksi biofilm dan memiliki
tingkat resisitensi yang tinggi terhadap antimikroba. Penemuan ini secara kuat menunjukan adanya
peran biofilm dalam patogenesis kolesteatoma. Telah ditemukan bahwa kombinasi dari retraksi
membtran timpani dan proliferasi sel basal merupakan penyebab utama formasi dan proses
pembentukan kolesteatoma.19
Saat debris menjadi terinfeksi, proliferasi bakteri dan peradangan mengakibatkan influx dari
sel-sel radang dan produksi sitokin. Progresi ini dengan disertai pengeluaran kolagenase
mengakibatkan kerusakan pada membran basement hingga membolehkan terjadinya formasi cone
epitel yang tumbuh ke dalam stroma (teori papillary ingrowth). Kombinasi dari invasi subepitel
dan proliferasi keratinosit dalam bentuk mikrokolesteatoma merupakan awal dari terbentuknya
stage prekolesteatoma dari kolesteatoma. Saat microcone meluas dan bergabung menjadi satu,
terbentuklah kolesteatoma tipe attic.
Invasi epitel oleh kolesteatoma merupakan factor penting dalam penyakit ini. Kolesteatoma
meluas dengan menginvasi ke sekitar jaringan lunak telinga tengah serta ke tulang. Tokuriki
menemukan bahwa adanya peningkatan atau induksi gen yang menyangkut proliferasi sel
(calgranulin A, calgranulin B, psoriasin, thymosin b-10) pada sitoplasma dari semua lapisan epitel
kolesteatoma. Family cathepsin merupakan grup protease lysosomal yang memegang peranan
penting dalam degradasi protein intrasel serta ekstrasel di epidermis. Cathepsin B memegang
peranan penting dalam osteolysis pada kolesteatoma. Peningkatan proliferasi keratinosit
18
bergabung dengan peningkatan kematian sel mengakibatkan lebih banyak produksi debris keratin
yang bertanggung jawab untuk ekspansi dan akumulasi keratin pada kolesteatoma.19
Setelah terbentuk, kolesteatoma akan memicu peradangan oleh sitokin yang akan
menyebabkan aktivasi osteoclast dan lysozyme yang akan merusak tulang pendengaran hingga
menyebabkan tuli konduktif, dan saat kerusakan sampai ke kanalis semisirkularis akan
menyebabkan terjadinya tuli sensorineural hingga akhirnya dapat terjadi komplikasi dan
menginvasi kanalis fasialis hingga menyebabkan eksposur ke nerves fasialis dan menyebabkan
terjadinya paralisis nerves fasialis.19
Penemuan di atas menunjukan perbedaan antara kolesteatoma dengan epidermal keratinosit
normal sehingga menjelaskan sifat agresif klinis dari kolesteatoma serta bagaimana ia menginvasi
dan menyebabkan kerusakan tulang.19
19
Tipe kedua dari acquired kolesteatoma primer terjadi saat kuadran posterior dari membran
timpani teretraksi ke dalam telinga tengah bagian posterior. Drum akan menempel ke bagian
panjang dari incus. Saat retraksi terus terjadi ke arah medial dan posterior, epitel skuamosa akan
menutupi struktur dari stapes dan kemudian mengalami retraksi ke dalam sinus timpani.
Kolesteatoma primer terjadi dari membran timpani posterior akan mudah mengakibtakan eksposur
ke nerves fasialis (dapat mengakibatkan paralisis) dan kerusakan struktur stapedial.15
Kolesteatoma dapat menyebar sesuai letak asalnya. Kolesteatoma epitympanic posterior
dapat menyebar melalui superior incudal space dan aditus ad antrum. Lalu kolesetatoma
mesotympanic superior dapat menginvasi sinus timpani dan resesus fasialis. Sedangkan
kolesteatoma epitympanic anterior dapat meluas ke ganglion geniculate.21
Prussaks space : area antara pars flaccida lateral dengan leher malleus
3. Teori Metaplasia
Epitel yang terdeskuamasi bertransformasi menjadi epitel skuamosa karena disebabkan oleh otitis
media kronik atau berulang.20
20
3.4.3 Kolesteatoma Acquired Sekunder
Kolesteatoma yang didapat secara sekunder dijelaskan sebagai akibat dari terjadinya
migrasi sel-sel epidermis yang berasal dari membran timpani ke dalam rongga telinga tengah pada
tempat terjadinya perforasi marginal ataupun sebagai hasil dari implantasi keratinosit ke rongga
telinga tengah. Implantasi dapat terjadi ketika terdapat kerusakan membran timpani yang
disebabkan karena suara ledakan yang akan menyebabkan terjadinya implantasi dari keratin
kedalam rongga telinga tengah dan terjebak disana ketika terjadi penyembuhan dari membran
timpani. Selain dari trauma pada membran timpani, implantasi dari keratin ini juga dapat terjadi
ketika terjadi fraktur pada tulang temporal ataupun implantasi yang disebabkan karena tindakan
medis atau yang biasa kita sebut sebagai iatrogenik. Beberapa tindakan operasi yang berhubungan
dengan telinga tengah seperti stapedectomy, tympnaoplasty, pemasangan pressure equalization
tube, dah tindakan eksplorasi dari telinga tengah dapat menjadi penyebab dari terjadinya
kolesteatoma sekunder.
Sebuah percobaan dilakukan oleh Wolf dan teman-teman dari 210 telinga yang mengalami
kerusakan membran timpani karena ledakan, kejadian dari kolesteatoma yang bersifat invasif
sebesar 4,8% dan ditemukan 3 kasus kolesteatoma pada pasien yang mengalami fraktur dari tulang
temporal. Pada pasien dengan fraktur dari tulang temporal ditemukan bahwa keratin dapat masuk
ketelinga tengah melalui celah yang terbentuk yang disebabkan karena terjadinya fraktur dari
tulang temporal.
Sebuah penilitian baru yang dilakukan oleh Massuda dan Oliveira juga mendapatkan bukti
fisiopatologis yang menyokong migrasi dari epitel yang berasal dari tepi perforasi yang terjadi
pada membran timpani sebagai penyebab dari terjadinya kolesteatoma. Percobaan ini dilakukan
dengan cara membuat sebuah perforasi dari membran timpani dan diberikan latex dengan 50%
propylene glycol akan menyebabkan terjadinya kolesteatoma pada 80-90% bahan percobaan.
Latex ini digunakan sebagai bahan yang akan merangsang terjadinya neoangiogenesis dan juga
sebagai jembatan dari migrasi epitel. Keadaan lainnya yang juga akan mendukung untuk terjadinya
pembentukan kolesteatoma adalah kejadian inflamasi baik pada fase akut ataupun kronik yang
dimana banyak dihasilkan sitokin-sitokin yang disebabkan karena terdapatnya benda asing pada
percobaan ini, namun pada klinis keadaan jaringan yang mengalami inflamasi ini terjadi pada otitis
media baik yang akut maupun yang kronik. Oleh karena itu dari percobaan ini disimpulkan bahwa
migrasi dari sel epitel yang berkeratin pada tempat terjadinya perforasi dari membran timpani dan
21
disertai oleh keadaan lingkungan yang sedang mengalami inflamasi merupakan penyebab utama
dari terjadinya kolesteatoma sekunder ini.19
22
Pada beberapa kasus, namun jarang terjadi, dapat dijumpai juga vertigo, yang merupakan akibat
dari proses inflamasi pada telinga tengah, atau juga akibat dari erosi langsung dari labirin oleh
kolesteatoma. Facial nerve twitching, palsy, atau kelumpuhan saraf fasialis dapat juga muncul
sebagai akibat dari proses inflamasi atau kompresi mekanik pada saraf.16
Gejala khas dari kolesteatoma adalah otorrhea tanpa rasa nyeri, baik itu terus-menerus
maupun sering berulang. Apabila kolesteatoma terinfeksi, maka infeksi tersebut akan sulit
dihilangkan. Hal ini dikarenakan kolesteatoma tidak memiliki suplai darah sehingga antibiotik
sistemik tidak dapat mencapai pusat infeksi. Oleh karena itu, untuk kolesteatoma yang terinfeksi
dapat digunakan antibiotik topikal, namun untuk area infeksi yang luas, kolesteatoma yang
terinfeksi umumnya resisten terhadap semua jenis antimikroba. Akibatnya, gejala ottorhea akan
tetap atau berulang walaupun sudah diberikan pengobatan yang agresif.15
Pada pemeriksaan fisik pada kolesteatoma akuisital primer dapat dijumpai retraksi dari
pars flacidda di kebanyakan kasus, dan pars tensa pada sedikit kasus. Pada kedua tipe retraksi akan
berisi matriks epitel skuamosa dan debris keratin. Temuan lainnya adalah otorrhea yang purulen,
polip, jaringan granulasi, dan erosi ossicular. Pada kolesteatoma akuisital sekunder, bila
kolesteatoma berkembang dari perforasi membran timpani, maka matriks epitel skuamosa dan
debris keratin pada umumnya dapat dilihat melalui perforasi. Bila kolesteatoma berkembang dari
implantasi dari epitel skuamosa pada prosedur operasi atau perforasi yang telah menutup, maka
membrani akan tampak normal.16
Pada kasus kolesteatoma kongetinal, gejala klinis sangat tergantung dari letak kolesteatom,
ukuran dan komplikasi yang ditimbulkanya. Kolesteatom yang terbatas pada kuadran
anterosuperior dari membran timpani tidak menimbulkan gejala atau asimptomatis. Gejala dapat
muncul jika terjadi perluasan atau menyebabkan kerusakan pada daerah sekitarnya. Gejala klinis
yang timbul dapat berupa gangguan pendengaran, otitis media efusi, gangguan keseimbangan,
kelumpuhan saraf fasialis, fistula retroaurikuler, maupun gejala akibat perluasan ke intrakranial.16
3.6 Diagnostik
Diagnosis OMSK dibuat berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan THT terutama
pemeriksaan otoskopi. Pemeriksaan penala merupakan pemereriksaan sederhana untuk
mengetahui gangguan pendengaran. Untuk mengetahui jenis dan derajat gangguan pendengaran
dapat dilakukan pemeriksaan audiometric nada murni, audiometric tutur (speech audiometric), dan
23
pemeriksaan BERA (brainstem evoked response audiometric) bagi pasien anak yang tidak
koperatif dengan pemeriksaan audiometric nada murni.
Berdasarkan gejala klinik didapatkan pasien mengeluh:
- penurunan kemampuan mendengar
- otorrhea, biasanya kuning dan berbau tidak enak
- otalgia
- obstruksi nasal
- tinnitus, intermiten dan unilateral
- vertigo
Didapatkan juga riwayat penyakit sebelumnya seperti :
- otitis media kronik
- perforasi membran timpani
- operasi telinga sebelumnya
Pada pemeriksaan otoskopi pasien dengan kolesteatoma dapat ditemukan :
- perforasi tipe marginal atau atik
- terdapat kolesteatoma di liang telinga tengah (epitimpanum)
- abses atau fistel retroaurikuler (belakang telinga) pada kasus lanjut
- polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar (berasal dari telinga tengah)
- secret berbentuk nanah dan berbau khas (aroma kolesteatoma)
Pemeriksaan penunjang
1. RADIOLOGI
Dapat dilakukan foto rontgen mastoid, CT scan, atau MRI.
Foto rontgen mastoid
24
Xray mastoid normal dengan honey comb appearance dari mastoid air cells
25
CT scan mastoid normal
Terlihat kolesteatoma di telinga tengah dengan terlihat destruksi pada dinding lateral cavum
timpani. Tubuh dari incus yang juga lateral dari kepala maleus mengalami erosi. (panah kuning)
26
o tegmen timpani
o incus dan stapes
27
MRI menunjukan kolesteatoma
2. Audiometri harus dilakukan sebelum operasi kapanpun dapat dilakukan kecuali operasi
dilakukan segera karena komplikasi.15 Pada audiometri didapatkan :
- tuli konduktif sedang hingga berat yaitu lebih dari 40 dB : mengindikasikan diskontinuitas tualng
pendengaran
3. Histologi
Pemeriksaan histologi dari kolesteatoma yang telah diangkat menunjukan sel epitel skuamosa.15
Patologi Anatomi Kolesteatoma20
1. Konten kistik : pusat keratin yang mengalami deskuamasi
2. Matrix : keratinizing stratified squamos epitel
3. Perimatrix : jaringan granulasi, mensekresi enzim proteolitik yang dapat menyebabkan
erosi tulang
4. Hiperkeratosis
28
- Proses peradangan pada OMSK tipe aman terbatas pada mukosa saja, dan biasanya tidak
mengenai tulang
- Perforasi terletak di sentral
- Jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya
- Tidak terdapat kolesteatoma
29
Perforasi tipe atic di pars flaccida
Kolesteatoma
30
Fistula retroauricular
3.8 Penatalaksanaan
Terapi Non Bedah
Tujuan awal dari terapi kolesteatoma adalah menurunkan derajat inflamasi dan aktivitas
infeksi pada bagian telinga yang terinfeksi. Prinsip pengobatan medikasi kolesteatoma adalah
membuang debris dari liang telinga. Irigasi harus dilakukan dengan tepat, air harus dikeluarkan
seluruhnya dari telinga untuk mencegah kelanjutan kontaminasi. Selain irigasi, diperlukan juga
antimikroba topikal untuk menekan infeksi, yang umumnya disebabkan oleh organisme sebagai
berikut : Pseudomonas aeruginosa, Streptococci, Staphylococci, Proteus, dan Enterobacter.
Antimikroba yang umum dipakai adalah ofloxacin atau neomycin-polymyxin B. Apabila telinga
tengah terpapar, dikemukakan bahwa penggunaan aminoglikosida bersifat ototoksik dan
berbahaya. Akan tetapi, belum ada studi yang adekuat yang mendukung teori tersebut. Namun,
untuk kepentingan pasien, dianjurkan untuk menghindari penggunaan agen ototoksik dan tetap
menggunakan ofloxacin. Selain itu, beberapa klinisi juga menggunakan steroid topikal untuk
menurunkan inflamasi, namun studi lebih lanjut masih diperlukan untuk menilai efektivitas dari
penggunaan agen ini.17
Pada beberapa kasus, infeksi yang berlangsung tidak sepenuhnya teratasi. Hal ini biasanya
terjadi pada kasus adanya kolesteatoma sac dengan debris keratin yang tidak diobati dengan
antimikroba lokal secara efektif. Namun, setelah tindakan bedah, umumnya keluhan otorrhea akan
teratasi.
31
Terapi Pembedahan
Tujuan dari terapi pembedahan adalah mengangkat atau menyingkirkan kolesteatoma.
Teknik operatif yang umum dilaksanakan antara lain canal-wall-up (closed) dan canal-wall-down
(open). Apabila pasien memiliki riwayat episode kekambuhan kolesteatoma, dan berharap dapat
menghindari tindakan operatif di kemudian hari, teknik canal-wall-down merupakan pilihan yang
tepat dan lebih aman.
Tujuan utama terapi kolesteatoma adalah menciptakan kondisi telinga yang kering dan
aman. Proses-proses yang menyebabkan erosi tulang, inflamasi kronik dan infeksi harus
ditangani secara tuntas. Oleh karena itu, seluruh matriks kolesteatoma harus disingkirkan
sepenuhnya. Apabila hal ini gagal dilakukan, kemungkinan yang muncul adalah kekambuhan dari
kolesteatoma. Tabel di bawah ini menunjukaan beberapa teknik pembedahan disertai keuntungan
dan kerugiannya.16
Teknik canal-wall-down memiliki probabilitas tertinggi dalam membersihkan
kolesteatoma secara permanen. Canal-wall-up prosedur memiliki keuntungan mempertahankan
penampilan normal, tetapi mereka memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap kolesteatoma
persisten atau berulang. Risiko kekambuhan cukup tinggi sehingga ahli bedah menyarankan suatu
tympanomastoidectomy kedua setelah 6 bulan sampai 1 tahun setelah operasi awal.
Di Amerika Serikat, kebanyakan prosedur bedah kolesteatoma dilakukan dengan insisi
pada belakang telinga dikombinasikan dengan insisi pada ekternal auditory kanal. Kemudian
menyingkirkan air cell dari mastoid secara keseluruhan. Mengelevasi membran timpani dan
evaluasi mastoid. Singkirkan kolesteatoma. Apabila ossiculus juga terlibat, maka bagian tersebut
perlu disingkirkan jug auntuk menghindari kekambuhan dari kolestetoma. Membran timpani pada
umumnya juga direkonstruksi pada prosedur ini. Apabila dilakukan canal-wall-up, tulang
direkonstruksi dengan cartilage graft. Bila menggunakan teknik canal-wall-down, maka perlu
dibuat meatoplasty yang besar agar ada sirkulasi udara yang adekuat ke cavitas telinga.15
Karakteristik prosedur canal-wall-up :
Menyingkirkan semua air cell
Functional tuba eustachius
Ruang telinga tengah yang dipertahankan dengan baik
Komunikasi adekuat antara mastoid dengan ruang telinga tengah melalui additus ad
antrum.
32
Eliminasi dari tulang attic dilengkapi dengan cartilage atau bone graft.
Karakteristik teknik canal-wall-down :
Membersihkan semua air cell termasuk yang dalam retrofacial, retrolabyrinthine, and
subarcuate air cell tracts.
Pembersihan dinding lateral dan posterior dari epitimpanun sehingga tegmen mastoideum
dan tegmen timpani menjadi lembut.
Biasanya amputasi dari mastoid tip dianjurkan.
Saucerization dari lateral margin kavitas.
Perbesarana meatus
Terapi postoperatif yang diberikan antara lain antimikroba yang sesuai dan steroid bila
diperlukan. Antimikroba yang dipakai adalah antimikroba topikal, contohnya ialah
aminoglycoside and fluoroquinolone topikal. Jenis antimikroba ini efektif untuk bakteri gram
negatif. Selain itu, untuk menghindari efek ototoksik, dapat juga dipakai ciprofloxacin (Ciloxan)
or ofloxacin (Floxin Otic). Selain antimikroba, agen yang umum diberikan adalah steroid, yaitu
steroid cream. Steroid berfungsi untuk mengontrol perkembangan dari jaringan granulasi.15
Setelah tindakan bedah dilakukan, pasien dianjurkan untuk kontrol secara rutin. Pasien
yang menjalani prosedur canal-wall-down dianjurkan untuk kontrol setiap 3 bulan untuk
pembersihan liang telinga. Tujuannya ialah untuk menjaga agar telinga pasien tetap bebas daei
deskuamasi epitel dan serumen. Pada pasien yang menjalani prosedur canal-wall-up umumnya
memerlukan tindakan operatif kedua, setelah 6-9 bulan setelah tindakan operatif pertama.
3.9 Komplikasi
Perikondritis atau kondritis terjadi pada kurang dari 1% pasien. Eksposur dan
devaskularisasi karena pembedahan menjadi penyebab mudahnya terjadi infeksi. Gejala dari
perikondritis adalah nyeri yang meningkat, eritema, dan edema pada kulit yang melapisi kartilago
aurikula. Gejala lainnya adalah adanya fluktuasi.20
Komplikasi yang paling ditakutkan dari operasi tympanomastoid adalah perlukaan pada
nerves fasialis. Perlukaan pada nerves fasialis biasanya diketahui saat prosedur berlangsung namun
kadang diketahui pada saat pasien berada di ruang pemulihan. Langkah pertama untuk menangini
perlukaan nerves fasialis adalah dengan dekompresi nerves di sekitar area yang terlihat terjadi
perlukaan. Jauhkan tulang beberapa millimeter proksimal dan distal dari segmen yang rusak
33
sehingga perlukaan dapat jelas terlihat.15 Bila lebih dari 50% dari diameter nerves mengalami
perlukaan seperti terpotong, tertarik, terjepit, dilakukan reseksi pada segmen yang mengalami
perlukaan dan dilakukan reanastomisis atau graft dari nerves.15
Bila perlukaan pada nerves fasialis tidak diketahui selama operasi berlangsung dan pasien
bangun dengan paralisis fasial, dokter harus menunggu beberapa jam untuk memastikan bahwa ini
bukan efek dari anestesi local. Bila dokter tidak yakin bahwa nerves fasialis utuh, pasien harus
dilakukan operasi secepatnya untuk dilakukan dekompresi nerves secepatnya dan derajat
perlukaan diukur lalu diputuskan apakah segmen yang mengalami perlukaan perlu dieksisi.15
Kadang fistula labyrinthine diketahui dari preoperative CT scan image atau fistula terlihat
tanpa diprediksi sebelumnya. Bila hal ini terjadi, epitel yang mengalami dekskuamasi diangkat
hingga meninggalkan matrix di kanal horizontal. Bila fistula muncul di permukaan, matrix
perlahan diangkat dan sisanya ditutupi dengan fascia.15
Bila fistula besar dan matrix kolesteatoma tertempel ke labirin membranous itu sendiri,
matrix dibiarkan pada posisinya. Bila labirin membranous terbuka saat operais, antibiotik IV
spectrum luas dan steroid harus diberikan secepatnya. Kadang, fistula kanal terbentuk selama
prosedur operasi. Bila fistula itu menyangkut salah satu dari kanalis semisirkularis, harus dilapisi
dengan jaringan lunak (mislanya fascia) dan diberikan antibiotik IV dan steroid. Pasien ini akan
mengalami gangguan keseimbangan setelah operasi namun dapat kembali normal bila antibiotik
dan steroid diberikan pada waktu yang tepat.15
Drainase yang persisten dapat terjadi dan yang paling sering karena adanya sel udara yang
tersekuestrasi yang terus memicu infeksi. Solusi satu-satunya adalah dengan mengangkat area
yang bersangkutan. Bila area osteitis besar dan otorrhea postoperative terjadi terus-terusan selama
berbulan-bulan atau tahunan, perlu dipikirkan untuk dilakukan skin graft.15
Benda asing yang berada di kavitas mastoid atau luka dapat menjadi focus infeksi. Benda
asing yang paling sering ditemukan adalah fragmen metal dari bor yang mengenai ujung alat
suction irigasi saat operasi.15
Herniasi otak melalui tegmen fossa tengah terlihat mengkilap. Adanya cairan bening
dengan lesi mengkilap seperti di atas menunjukan adanya kemungkinana herniasi otak dan leakage
cairan serebrospinal. Dapat dilakuakn MRI atau CT scan untuk memastikan.15
34
3.10 Prognosis
Melakukan proses eliminasi dari kolesteatoma hampir selalu berhasil, namun terkadang
membutuhkan tindakan operasi yang berkali-kali. Karena penanganan dari kolesteatoma dengan
pembedahan pada umumnya berhasil dengan sempurna, oleh karena itu komplikasi yang timbul
dari pertumbuhan kolesteatoma yang tidak terkontrol sangatlah jarang terjadi.
Pada penanganan canal-wall-down tympanomastoidectomy akan memberikan angka
persentase rekurensi ataupun persistensi yang rendah dari kolesteatoma. Reoperasi dari
kolesteatoma hanya terjadi pada 5% atau bahkan lebih sedikit. Oleh karena itu tehnik ini jauh lebih
menguntungkan jika dibandingkan dengan closed-cavity technique yang memiliki angka rekurensi
antara 20-40%.15
Meskipun begitu, karena tulang-tulang pendengaran dan ataupun membran timpani tidak
dapat mengalami resolusi secara sempurna kembali kedalam keadaan normal, kolesteatoma tetap
secara relatif merupakan penyebab yang cukup sering dari tuli konduktif yang bersifat permanent.
35
KESIMPULAN
Kolesteatoma atau epidermosis atau keratoma merupakan lesi destruktif dasar tengkorak
yang dapat mengikis dan menghancurkan struktur penting pada tulang temporal. Kolestetaoma
dibagi menjadi 3 tipe yaitu kongenital, primary acquired, dan secondary acquired. Kolesteatoma
congenital terjadi sebagai konsekuensi dari epitel skuamosa yang terjebak dalam tulang temporal
selama embriogenesis. Kolesteatoma congenital biasanya ditemukan di anterior mesotympanum
atau di dalam area perieustachian tube. Mereka diidentifikasi paling sering pada anak-anak usia 6
bulan hingga 5 tahun. Kolesteatoma acquired primer terjadi karena retraksi membran timpani,
retraksi ke dalam medial pars flaccida ke dalam epitympanum secara progresif. Kolesteatoma
acquired sekunder terjadi karena konsekuensi langsung terjadap injuri pada membran timpani.
Kerusakan ini dapat dalam bentuk perforasi yang terjadi karena otitis media akut atau trauma,
atau dapat terjadi karena manipulasi operasi dari drum. Prosedur simple seperti tympanostomy
dapat mengakibatkan implantasi epitel skuamosa ke dalam telinga tengah hingga menyebabkan
terbentuknya kolesteatoma. Gejala khas dari kolesteatoma adalah otorrhea tanpa rasa nyeri, baik
itu terus-menerus maupun sering berulang. Apabila kolesteatoma terinfeksi, maka infeksi
tersebut akan sulit dihilangkan. Pada pemeriksaan fisik pada kolesteatoma akuisital primer dapat
dijumpai retraksi dari pars flacidda di kebanyakan kasus, dan pars tensa pada sedikit kasus. Pada
kedua tipe retraksi akan berisi matriks epitel skuamosa dan debris keratin. Temuan lainnya
adalah otorrhea yang purulen, polip, jaringan granulasi, dan erosi ossicular. Pada kolesteatoma
akuisital sekunder, bila kolesteatoma berkembang dari perforasi membran timpani, maka matriks
epitel skuamosa dan debris keratin pada umumnya dapat dilihat melalui perforasi. Penanganan
untuk kolesteatoma dibagi menjadi penanganan bedah dan non bedah. Untuk non bedah,
diberikan antibiotik untuk mengatasi infeksi, steroid untuk menurunkan inflamasi, dan juga
drainase. Pembedahan dapat dilakukan canal-wall-up dan canal-wall-down.
36
DAFTAR PUSTAKA
1. Moller, A. R. (2006). Hearing : Anatomy, Physiology, and Disorders of the Auditory
System. California: El-Sevier.
2. Nugraha, S. (2011). Anatomy Ear. Retrieved July 2, 2017 from http://journal-
kesehatan.blogspot.com/2011/12/anatomy-ear.html
3. Adams, G. R., Boies, L. R. & Hilger, P. A. (1989). Boies Fundamentals of Otolaryngology
: A Textbook of Ear, Nose and Throat Diseases.Philadeplphia: Saunders Company
4. Ear (2007). Retrieved July 2, 2017 from
http://www.virtualmedicalcentre.com/anatomy/ear/29
5. El GH, Peng P. Anatomi dan Fisiologi; dalam buku: Ilmu THT Esensial Edisi kelima.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2011.5-11
6. Bhatt RA, Gest TR. Ear Anatomy. [homepage on the Internet]. 2011 [cited 2017 July 2].
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1948907-overview
7. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran (Tuli); dalam buku:
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007. 10-22
8. View-normal-tympanic-membrane. [homepage on the Internet]. 2010 [cited 2017 July 2].
Available from: http://commons.wikimedia.org/wiki/File:View-normal-tympanic-
membrane.svg
9. Maleus, Incus, Stapes. [homepage on the Internet]. 2007 [cited 2017 July 2]. Available
from: www.sciencedirect/maleusincusstapes.com
10. Inner Ear Anatomy. [homepage on the Internet]. 2006 [cited 2017 July 2]. Available from:
http://nursingcomments.com/?s=inner+ear
11. Organ Korti. [homepage on the Internet]. 2012 [cited 2017 July 2]. Available from:
http://id.wikipedia.org/wiki/Organ_Korti
12. Johnson DH. Auditory Pathways. [homepage on the Internet]. 1997 [cited 2017 July 2].
Available from: RICE University, Web site: http://www.ece.rice.edu/~dhj/pathway.html
13. Cholesteatoma. [homepage on the Internet]. 2012 [cited 2017 July 2]. Available from:
BMJ, Web site: http://bestpractice.bmj.com/best-
practice/monograph/1033/basics/epidemiology.html
37
14. Snow, J. B. & Ballenger, J. J. (2002). Ballenger's Otorhinolaryngology Head and Nech
Surgery Sixteenth Edition. Ontario: B.C.Decker.
15. Roland PS, Meyers AD. Cholesteatoma. [homepage on the Internet]. 2012 [cited 2017 July
2]. Available from: Medscape, Web site: http://emedicine.medscape.com/article/860080-
overview#showall
16. Lalwani, A. K. (2007). Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head & Neck
Surgery. Phoenix: McGraw Hill.
17. Dhingra, P. L. & Dhingra, S. (2005). Diseases of Ear, Nose & Throat 5th Edition. Bombay:
El Sevier India.
18. Ear Nose Throat J. 2009 November;88(11):1196-1198
19. Semaan MT, Magerian CA. The Pathophysiology of Cholesteatoma. [serial on the
Internet]. 2011 [cited 2017 July 2]. Available from: University Hospitals of Cleveland, Web
site: http://scribd.com/doc/23179340/The-Pathophysiology-of-Cholesteatoma
20. Rothholtz, Vanessa. Cholesteatoma. Department of otolaryngology Head and Neck
Surgery. University of California. [cited 2017 July 2]. Available from
www.utmb.edu/otoref/grnds/.../Cholest-slides-060125.ppt.
21. Makishima, Tomoko. Cholesteatoma. University of Texas Medical Branch. Department of
Otolaryngology. [cited 2017 July 4]. Available from
telemed.shams.edu.eg/ASTP/mod/resource/view.php?id=526.
22. Elizabeth M. Rash, PhD, FNP-C . Recognize Cholesteatomas Early. University of Central
Florida. February 2004.
23. Disease of Ear, Nose, and Throat,5th Edition. Cholesteatoma and Otitis Media. Chapter 11.
2010
24. Hauptman G, Quinn FB, Ryan MW. Cholesteatoma. [homepage on the Internet]. 2006
[cited 2017 July 3]. Available from: UTMB, Web site:
http://utmb.edu/otoref/grnds/Cholest-060125/Cholest-060125.doc
25. The middle ear. [homepage on the Internet]. 2008 [cited 2017 July 2]. Available from:
SpringerImages, Web site:http://www.springerimages.com/ Images/RSS/1-10.1007_978-
3-642-02210-4_2-6
38
26. Best Practice. Cholesteatoma. [homepage on the Internet]. 2008 [cited 2017 July 2].
Available from : http://bestpractice.bmj.com/best-
practice/monograph/1033/diagnosis/differential.html.
27. Mastoid antrum and air cells. [homepage on the Internet]. 2008 [cited 2017 July 2].
Available from: www.sites.google.com/site/entglimpse/mastoidaircell system
28. The Radiology Assistant. Cholesteatoma. Radiology department of the University Medical
Centre of Utrecht, the Netherlands. Cited. homepage on the Internet]. 2008 [cited 2017
July 2]. Available from
http://www.radiologyassistant.nl/en/p49c62abe0880e#i49c69c065e6f5.
29. Essentials of Otolaryngologylogy. 2007. Staff member of Otolaryngology Department
Faculty of Medicine Mansoura University Egypt.
30. Cunningham DJ & Robinson A Cunningham's Text Book of Anatomy. 5th ed. New York:
William Wood and Company; 1998
39