Anda di halaman 1dari 12

Jawaban Metodologis untuk Orang yang

Gemar Menvonis Bidah


Ahad, 01 Oktober 2017 15:00 Syariah

Bagikan

Ilustrasi ( NU Online)
Perkataan yang sering dikemukakan oleh sebagian orang ketika membidahkan suatu amalan,
Itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi, dan para sahabat tidak pernah melakukannya.
Seandainya itu perkara baik, niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya.

Tark Tak Selalu Bermakna Tahrim

Ketika Nabi tidak melakukan suatu haldalam istilah ilmu Ushul Fiqh disebut at-tark
mengandung beberapa kemungkinan selain tahrim (pengharaman). Mungkin saja Nabi tidak
melakukan suatu hal hanya karena tidak terbiasa, atau karena lupa atau karena memang tidak
terpikirkan sama sekali oleh beliau (sebab sebagai manusia, Nabi yang suci dari dosa
[mashum] diliputi pula oleh keterbatasan fisik dan lingkungan kulturalred), atau karena
takut hal tersebut difardlukan atas umatnya sehingga memberatkan atau karena hal tersebut
sudah masuk dalam keumuman sebuah ayat atau hadits atau kemungkinan-kemungkinan
yang lain. Jelas bahwa tidak mungkin Nabi bisa melakukan semua hal yang dianjurkan,
karena begitu sibuknya beliau dengan tugas-tugas dakwah, kemasyarakatan atau kenegaraan.
Jadi, hanya karena Nabi tidak melakukan sesuatu lalu sesuatu itu diharamkan, ini adalah
istinbath yang keliru.

Demikian juga ketika para ulama salaf tidak melakukan suatu hal itu mengandung beberapa
kemungkinan. Mungkin saja mereka tidak melakukannya karena kebetulan saja, atau karena
menganggapnya tidak boleh atau menganggapnya boleh tetapi ada yang lebih afdlal sehingga
mereka melakukan yang lebih afdlal, dan beberapa kemungkinan lain. Jika demikian halnya
at-tark (tidak melakukan) saja tidak bisa dijadikan dalil, karena kaidah mengatakan:

"Dalil yang mengandung beberapa kemungkinan tidak bisa lagi dijadikan dalil (untuk salah
satu kemungkinan saja tanpa ada dalil lain)".

Oleh karena itu al Imam asy-Syafi'i mengatakan:

"Setiap perkara yang memiliki sandaran dari syara' bukanlah bid'ah meskipun tidak pernah
dilakukan oleh ulama salaf."

Jadi, perlu diketahui bahwa ada sebuah kaidah ushul fiqh:

"Tidak melakukan sesuatu tidak menunjukkan bahwa sesuatu tersebut terlarang".

At-tark yang dimaksud adalah ketika Nabi tidak melakukan sesuatu atau salaf tidak
melakukan sesuatu, tanpa ada hadits atau atsar lain yang melarang (untuk melakukan) sesuatu
(yang ditinggalkan) tersebut yang menunjukkan keharaman atau kemakruhannya. Jadi at-tark
saja tidak menunjukkan keharaman sesuatu. At-tark saja jika tidak disertai nash lain yang
menunjukkan bahwa al-matruk dilarang bukanlah dalil bahwa sesuatu itu haram, paling jauh
itu menunjukkan bahwa meninggalkan sesuatu itu boleh. Sedangkan bahwa sesuatu itu
dilarang tidak bisa dipahami dari at-tark saja, tetapi harus diambil dari dalil lain yang
menunjukkan pelarangan, jika tidak ada berarti tidak terlarang dengan dalil at-tark saja.

Perlu diketahui bahwa pengharaman sesuatu hanya bisa diambil dari salah satu di antara tiga
hal: ada (1) nahy (larangan), atau (2) lafazh tahrim atau (3) dicela dan diancam pelaku suatu
perbuatan dengan dosa atau siksa. Karena at-tark tidak termasuk dalam tiga hal ini berarti at-
tark bukan dalil pengharaman. Karena itulah Allah berfirman:



Maknanya: "..Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah" (Q.S. al Hasyr: 7)

Allah tidak menyatakan:

"Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang ditinggalkannya
maka tinggalkanlah."

Al Imam Abu Sa'id ibn Lubb mengatakan:


"

" .

"Jadi at-tark tidak memiliki akibat hukum apa pun terhadap al Matruk kecuali hanya
kebolehan meninggalkan al Matruk dan ketiadaan cela dalam meninggalkan hal tersebut.
Sedangkan pengharaman atau pengenaan kemakruhan terhadap al Matruk itu tidak ada
padanya, apalagi dalam hal yang tentangnya terdapat dalil umum dan global dari syara'
seperti doa misalnya".

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Syarh al Bukhari:

-

:

"Ibnu Baththal mengatakan, Perbuatan Rasulullah jika tidak ada qarinah (konteks, red) lain
demikian pula tark-nyatidak menunjukkan kewajiban dan keharaman." (Kitab Fathul
Bari, 9/14)

Jadi perkataan al Hafizh Ibnu Hajar " " menunjukkan bahwa at-tark saja (mujarrad at-
tark) tidak menunjukkan pengharaman.

Perihal Tuntutan Mana Dalilnya?

Sebagian kalangan sering mengatakan ketika melihat orang melakukan suatu amalan, Ini
tidak ada dalilnya!, dengan maksud tidak ada ayat atau hadits khusus yang berbicara tentang
masalah tersebut.

Pertama, dalam ushul fiqh dijelaskan bahwa jika sebuah ayat atau hadits dengan
keumumannya mencakup suatu perkara, itu menunjukkan bahwa perkara tersebut masyru'.
Jadi keumuman ayat atau hadits adalah dalil syar'i. Dalil-dalil umum tersebut adalah seperti:

Maknanya: Dan lakukan kebaikan supaya kalian beruntung (Q.S. al Hajj: 77)

Jadi dalil yang umum diberlakukan untuk semua cakupannya. Kaidah mengatakan:


"Dalil yang umum diterapkan (digunakan) dalam semua bagian-bagian (cakupannya)."

Ini sangat bertentangan dengan kebiasaan sebagian orang. Sebagian orang tidak menganggap
cukup sebagai dalil dalam suatu masalah tertentu bahwa hal tersebut dicakup oleh keumuman
sebuah dalil. Mereka selalu menuntut dalil khusus tentang masalah tersebut.

Sikap seperti ini sangat berbahaya dan bahkan bisa mengantarkan kepada kekufuran tanpa
mereka sadari. Karena jika setiap peristiwa atau masalah disyaratkan untuk dikatakan masyru'
dan tidak disebut sebagai bid'ah bahwa ada dalil khusus tentangnya, niscaya akan tidak
berfungsi keumuman Al-Qur'an dan Sunnah dan tidak sah lagi berdalil dengan keumuman
tersebut.

Ini artinya merobohkan sebagian besar dalil-dalil syar'i dan mempersempit wilayah hukum
dan itu artinya bahwa syari'at ini tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan tentang hukum
peristiwa-peristiwa yang terus berkembang dengan berkembangnya zaman. Ini semua adalah
akibat-akibat yang bisa mengantarkan kepada penghinaan dan pelecehan terhadap syari'at,
padahal jelas penghinaan terhadap syari'at merupakan kekufuran yang sangat nyata.

Kedua, dalam menetapkan hukum suatu permasalahan tidak diharuskan ada banyak dalil;
berupa beberapa ayat atau beberapa hadits misalnya. Jika memang sudah ada satu hadits saja,
misalnya, dan para mujtahid menetapkan hukum berdasarkan hadits tersebut maka hal itu
sudah cukup.

Ketiga, dalam beristidlal sering dijumpai adanya hadits yang diperselisihkan status dan
kehujjahannya di kalangan para ulama hadits sendiri. Perbedaan penilaian terhadap suatu
hadits inilah salah satu faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para
ulama mujtahid. Seandainya bukan karena hal ini, niscaya para ulama tidak akan berbeda
pendapat dalam sekian banyak masalah furu dalam bab ibadah dan muamalah.

Oleh karenanya, jika ada hadits yang statusnya masih diperselisihkan di kalangan para ahli
maka sah-sah saja jika kita mengikuti salah seorang ulama hadits, apalagi jika yang kita ikuti
betul-betul ahli di bidangnya seperti Ibnu Hibban, Abu Dawud, at-Tirmidzi, al Hakim, al
Bayhaqi, an-Nawawi, al Hafizh Ibnu Hajar, as-Sakhawi, as-Suyuthi dan semacamnya. Karena
memang menurut para ulama hadits sendiri, hadits itu ada yang muttafaq ala shihhatihi dan
ada yang mukhtalaf fi shihhatihi (Lihat as-Suyuthi, al-Hawi lil Fataawi (2/210), Risalah
Bulugh al Mamul fi Khidmah ar-Rasul).

Dari penjelasan ini diketahui bahwa jika ada sebagian kalangan yang mengira bahwa hanya
mereka yang mengetahui hadits yang sahih dan hanya mereka yang memiliki hadits yang
sahih, hadits yang ada pada mereka saja yang sahih dan semua hadits yang ada pada selain
mereka tidak sahih, maka orang seperti ini betul-betul tidak mengerti tentang apa yang dia
katakan. Orang seperti ini tidak tahu menahu tentang ilmu hadits dan para ahli hadits yang
sebenarnya.

Hati-hati Terperosok!

Ada sebuah kaidah yang sangat penting dalam beristidlalorang yang tidak mengetahuinya
bisa terperosok dalam kesesatan mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah atau
sebaliknya. Al Hafizh al Faqih al Khathib al Baghdadi menyebutkan kaidah tersebut dalam
kitab al-Faqih wal Mutafaqqih (h. 132):


: "
"


. .

"Jika seorang perawi yang tsiqah ma'mun (terpercaya) meriwayatkan hadits yang
bersambung sanadnya, hadits itu bisa tertolak karena beberapa hal. Kemudian beliau
mengatakan: Kedua: hadits tersebut menyalahi nash Al-Quran, hadits mutawatir, sehingga
dari sini diketahui bahwa hadits tersebut sebenarnya tidak memiliki asal atau mansukh (telah
dihapus dan tidak berlaku lagi). Ketiga: hadits tersebut menyalahi ijma', sehingga itu menjadi
petunjuk bahwa hadits tersebut sebenarnya mansukh atau tidak memiliki asal, karena tidak
mungkin hadits tersebut sahih dan tidak mansukh lalu umat sepakat untuk menyalahinya".

Orang yang tidak mengetahui kaidah ini bisa mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh
Allah, seperti sebagian orang yang mengaku mujtahid di masa kini yang mengharamkan bagi
perempuan untuk memakai perhiasan emas yang berbentuk lingkaran (adz-Dzahab al
Muhallaq) seperti cincin, gelang, kalung, anting dan semacamnya. Pengharaman itu
dikarenakan ia menemukan beberapa hadits yang sahih menurutnya yang mengharamkan
perhiasan emas tersebut. Padahal hadits-hadits tersebut sebenarnya menyalahi nash Al-Qur'an
seperti firman Allah:

Maknanya: "Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan
berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran". (Q.S.
az-Zukhruf: 18)

Hadits-hadits tersebut juga menyalahi ijma' sehingga dengan begitu diketahui bahwa hadits
tersebut telah dinasakh (telah dihapus dan tidak berlaku lagi). Al Hafizh al Bayhaqi
mengatakan:





.
.

"Jadi hadits-hadits ini dan semacamnya menunjukkan dibolehkannya berhias dengan emas
bagi perempuan, dan kita menjadikan adanya ijma' atas kebolehan permpuan memakai
perhiasan emas sebagai dalil bahwa hadits-hadits yang mengharamkan emas bagi perempuan
secara khusus telah dinasakh" (Lebih lanjut lihat Syekh Abdullah al Harari, Sharih al Bayan,
2/20-22).

Anehnya, di sisi lain, orang-orang semacam ini ketika bertemu dengan hadits yang
bertentangan dengan pendapat mereka, dengan mudah mereka mengklaim bahwa hadits
tersebut mansukh atau khusus berlaku bagi Nabi tanpa ada dalil yang menunjukkan nasakh
atau-pun khushushiyyah. Tetapi dalam hal yang oleh para ulama ditegaskan ada nasikh
mereka tidak mau mengikutinya sambil berlagak menegakkan dan membela sunnah Nabi.

Teladan Toleransi Ulama Salaf


Dalam bidang furu tidak pernah salah seorang dari para ulama mujtahid mengklaim bahwa
dirinya saja yang benar dan selainnya sesat. Mereka tidak pernah mengatakan kepada
mujtahid lain yang berbeda pendapat dengan mereka bahwa anda sesat dan haram orang
mengikuti anda.

Umar bin al Khaththab tidak pernah mengatakan hal itu kepada Ali bin Abi Thalib ketika
mereka berbeda pendapat, demikian pula sebaliknya Ali tidak pernah mengatakan hal seperti
itu kepada Umar. Demikian pula para ulama ahli ijtihad yang lain seperti Imam Abu Hanifah,
Malik, Syafii, Ahmad bin Hanbal, Ibnu al Mundzir, Ibnu Jarir ath-Thabari dan lainnya.

Mereka juga tidak pernah melarang orang untuk mengikuti madzhab orang lain selama yang
diikuti memang seorang ahli ijtihad. Mereka juga tidak pernah berambisi mengajak semua
umat Islam untuk mengikuti pendapatnya. Mereka tahu betul bahwa perbedaan dalam
masalah-masalah furu telah terjadi sejak awal di masa para sahabat Nabi dan mereka tidak
pernah saling menyesatkan atau melarang orang untuk mengikuti salah satu di antara mereka.
Dalam berbeda pendapat, mereka berpegang pada sebuah kaidah yang disepakati:



Tidak diingkari orang yang mengikuti salah satu pendapat para mujtahid dalam masalah
yang memang diperselisihkan hukumnya (mukhtalaf fih) di kalangan mereka, melainkan
yang diingkari adalah orang yang menyalahi para ulama mujtahid dalam masalah yang
mereka sepakati hukumnya (mujma alayhi). (Lihat as-Suyuthi, al-Asybaah wa an-Nazha-
ir, h. 107, Syekh Yasin al Fadani, al-Fawa-id al-Janiyyah, h. 579-584)

Maksud dari kaidah ini bahwa jika para ulama mujtahid berbeda pendapat tentang suatu
permasalahan, ada yang mengatakan wajib, sunnah atau makruh, haram, atau boleh dan tidak
boleh, maka tidak dilarang seseorang untuk mengikuti salah satu pendapat mereka. Tetapi
jika hukum suatu permasalahan telah mereka sepakati, mereka memiliki pendapat yang sama
dan satu tentang masalah tersebut maka tidak diperbolehkan orang menyalahi kesepakatan
mereka tersebut dan mengikuti pendapat lain atau memunculkan pendapat pribadi yang
berbeda. Wallahu a'lam.

Nur Rohmad, Dewan Pakar Aswaja NU Center PCNU Kabupaten Mojokerto


Ilustrasi ( NU Online)
Perkataan yang sering dikemukakan oleh sebagian orang ketika membidahkan suatu amalan,
Itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi, dan para sahabat tidak pernah melakukannya.
Seandainya itu perkara baik, niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya.

Tark Tak Selalu Bermakna Tahrim

Ketika Nabi tidak melakukan suatu haldalam istilah ilmu Ushul Fiqh disebut at-tark
mengandung beberapa kemungkinan selain tahrim (pengharaman). Mungkin saja Nabi tidak
melakukan suatu hal hanya karena tidak terbiasa, atau karena lupa atau karena memang tidak
terpikirkan sama sekali oleh beliau (sebab sebagai manusia, Nabi yang suci dari dosa
[mashum] diliputi pula oleh keterbatasan fisik dan lingkungan kulturalred), atau karena
takut hal tersebut difardlukan atas umatnya sehingga memberatkan atau karena hal tersebut
sudah masuk dalam keumuman sebuah ayat atau hadits atau kemungkinan-kemungkinan
yang lain. Jelas bahwa tidak mungkin Nabi bisa melakukan semua hal yang dianjurkan,
karena begitu sibuknya beliau dengan tugas-tugas dakwah, kemasyarakatan atau kenegaraan.
Jadi, hanya karena Nabi tidak melakukan sesuatu lalu sesuatu itu diharamkan, ini adalah
istinbath yang keliru.
Demikian juga ketika para ulama salaf tidak melakukan suatu hal itu mengandung beberapa
kemungkinan. Mungkin saja mereka tidak melakukannya karena kebetulan saja, atau karena
menganggapnya tidak boleh atau menganggapnya boleh tetapi ada yang lebih afdlal sehingga
mereka melakukan yang lebih afdlal, dan beberapa kemungkinan lain. Jika demikian halnya
at-tark (tidak melakukan) saja tidak bisa dijadikan dalil, karena kaidah mengatakan:

"Dalil yang mengandung beberapa kemungkinan tidak bisa lagi dijadikan dalil (untuk salah
satu kemungkinan saja tanpa ada dalil lain)".

Oleh karena itu al Imam asy-Syafi'i mengatakan:

"Setiap perkara yang memiliki sandaran dari syara' bukanlah bid'ah meskipun tidak pernah
dilakukan oleh ulama salaf."

Jadi, perlu diketahui bahwa ada sebuah kaidah ushul fiqh:

"Tidak melakukan sesuatu tidak menunjukkan bahwa sesuatu tersebut terlarang".

At-tark yang dimaksud adalah ketika Nabi tidak melakukan sesuatu atau salaf tidak
melakukan sesuatu, tanpa ada hadits atau atsar lain yang melarang (untuk melakukan) sesuatu
(yang ditinggalkan) tersebut yang menunjukkan keharaman atau kemakruhannya. Jadi at-tark
saja tidak menunjukkan keharaman sesuatu. At-tark saja jika tidak disertai nash lain yang
menunjukkan bahwa al-matruk dilarang bukanlah dalil bahwa sesuatu itu haram, paling jauh
itu menunjukkan bahwa meninggalkan sesuatu itu boleh. Sedangkan bahwa sesuatu itu
dilarang tidak bisa dipahami dari at-tark saja, tetapi harus diambil dari dalil lain yang
menunjukkan pelarangan, jika tidak ada berarti tidak terlarang dengan dalil at-tark saja.

Perlu diketahui bahwa pengharaman sesuatu hanya bisa diambil dari salah satu di antara tiga
hal: ada (1) nahy (larangan), atau (2) lafazh tahrim atau (3) dicela dan diancam pelaku suatu
perbuatan dengan dosa atau siksa. Karena at-tark tidak termasuk dalam tiga hal ini berarti at-
tark bukan dalil pengharaman. Karena itulah Allah berfirman:

Maknanya: "..Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah" (Q.S. al Hasyr: 7)

Allah tidak menyatakan:

"Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang ditinggalkannya
maka tinggalkanlah."
Al Imam Abu Sa'id ibn Lubb mengatakan:

"



".

"Jadi at-tark tidak memiliki akibat hukum apa pun terhadap al Matruk kecuali hanya
kebolehan meninggalkan al Matruk dan ketiadaan cela dalam meninggalkan hal tersebut.
Sedangkan pengharaman atau pengenaan kemakruhan terhadap al Matruk itu tidak ada
padanya, apalagi dalam hal yang tentangnya terdapat dalil umum dan global dari syara'
seperti doa misalnya".

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Syarh al Bukhari:

-

:

"Ibnu Baththal mengatakan, Perbuatan Rasulullah jika tidak ada qarinah (konteks, red) lain
demikian pula tark-nyatidak menunjukkan kewajiban dan keharaman." (Kitab Fathul
Bari, 9/14)

Jadi perkataan al Hafizh Ibnu Hajar " " menunjukkan bahwa at-tark saja (mujarrad at-
tark) tidak menunjukkan pengharaman.

Perihal Tuntutan Mana Dalilnya?

Sebagian kalangan sering mengatakan ketika melihat orang melakukan suatu amalan, Ini
tidak ada dalilnya!, dengan maksud tidak ada ayat atau hadits khusus yang berbicara tentang
masalah tersebut.

Pertama, dalam ushul fiqh dijelaskan bahwa jika sebuah ayat atau hadits dengan
keumumannya mencakup suatu perkara, itu menunjukkan bahwa perkara tersebut masyru'.
Jadi keumuman ayat atau hadits adalah dalil syar'i. Dalil-dalil umum tersebut adalah seperti:

Maknanya: Dan lakukan kebaikan supaya kalian beruntung (Q.S. al Hajj: 77)

Jadi dalil yang umum diberlakukan untuk semua cakupannya. Kaidah mengatakan:

"Dalil yang umum diterapkan (digunakan) dalam semua bagian-bagian (cakupannya)."

Ini sangat bertentangan dengan kebiasaan sebagian orang. Sebagian orang tidak menganggap
cukup sebagai dalil dalam suatu masalah tertentu bahwa hal tersebut dicakup oleh keumuman
sebuah dalil. Mereka selalu menuntut dalil khusus tentang masalah tersebut.

Sikap seperti ini sangat berbahaya dan bahkan bisa mengantarkan kepada kekufuran tanpa
mereka sadari. Karena jika setiap peristiwa atau masalah disyaratkan untuk dikatakan masyru'
dan tidak disebut sebagai bid'ah bahwa ada dalil khusus tentangnya, niscaya akan tidak
berfungsi keumuman Al-Qur'an dan Sunnah dan tidak sah lagi berdalil dengan keumuman
tersebut.

Ini artinya merobohkan sebagian besar dalil-dalil syar'i dan mempersempit wilayah hukum
dan itu artinya bahwa syari'at ini tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan tentang hukum
peristiwa-peristiwa yang terus berkembang dengan berkembangnya zaman. Ini semua adalah
akibat-akibat yang bisa mengantarkan kepada penghinaan dan pelecehan terhadap syari'at,
padahal jelas penghinaan terhadap syari'at merupakan kekufuran yang sangat nyata.

Kedua, dalam menetapkan hukum suatu permasalahan tidak diharuskan ada banyak dalil;
berupa beberapa ayat atau beberapa hadits misalnya. Jika memang sudah ada satu hadits saja,
misalnya, dan para mujtahid menetapkan hukum berdasarkan hadits tersebut maka hal itu
sudah cukup.

Ketiga, dalam beristidlal sering dijumpai adanya hadits yang diperselisihkan status dan
kehujjahannya di kalangan para ulama hadits sendiri. Perbedaan penilaian terhadap suatu
hadits inilah salah satu faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para
ulama mujtahid. Seandainya bukan karena hal ini, niscaya para ulama tidak akan berbeda
pendapat dalam sekian banyak masalah furu dalam bab ibadah dan muamalah.

Oleh karenanya, jika ada hadits yang statusnya masih diperselisihkan di kalangan para ahli
maka sah-sah saja jika kita mengikuti salah seorang ulama hadits, apalagi jika yang kita ikuti
betul-betul ahli di bidangnya seperti Ibnu Hibban, Abu Dawud, at-Tirmidzi, al Hakim, al
Bayhaqi, an-Nawawi, al Hafizh Ibnu Hajar, as-Sakhawi, as-Suyuthi dan semacamnya. Karena
memang menurut para ulama hadits sendiri, hadits itu ada yang muttafaq ala shihhatihi dan
ada yang mukhtalaf fi shihhatihi (Lihat as-Suyuthi, al-Hawi lil Fataawi (2/210), Risalah
Bulugh al Mamul fi Khidmah ar-Rasul).

Dari penjelasan ini diketahui bahwa jika ada sebagian kalangan yang mengira bahwa hanya
mereka yang mengetahui hadits yang sahih dan hanya mereka yang memiliki hadits yang
sahih, hadits yang ada pada mereka saja yang sahih dan semua hadits yang ada pada selain
mereka tidak sahih, maka orang seperti ini betul-betul tidak mengerti tentang apa yang dia
katakan. Orang seperti ini tidak tahu menahu tentang ilmu hadits dan para ahli hadits yang
sebenarnya.

Hati-hati Terperosok!

Ada sebuah kaidah yang sangat penting dalam beristidlalorang yang tidak mengetahuinya
bisa terperosok dalam kesesatan mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah atau
sebaliknya. Al Hafizh al Faqih al Khathib al Baghdadi menyebutkan kaidah tersebut dalam
kitab al-Faqih wal Mutafaqqih (h. 132):


: "
"



. .

"Jika seorang perawi yang tsiqah ma'mun (terpercaya) meriwayatkan hadits yang
bersambung sanadnya, hadits itu bisa tertolak karena beberapa hal. Kemudian beliau
mengatakan: Kedua: hadits tersebut menyalahi nash Al-Quran, hadits mutawatir, sehingga
dari sini diketahui bahwa hadits tersebut sebenarnya tidak memiliki asal atau mansukh (telah
dihapus dan tidak berlaku lagi). Ketiga: hadits tersebut menyalahi ijma', sehingga itu menjadi
petunjuk bahwa hadits tersebut sebenarnya mansukh atau tidak memiliki asal, karena tidak
mungkin hadits tersebut sahih dan tidak mansukh lalu umat sepakat untuk menyalahinya".

Orang yang tidak mengetahui kaidah ini bisa mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh
Allah, seperti sebagian orang yang mengaku mujtahid di masa kini yang mengharamkan bagi
perempuan untuk memakai perhiasan emas yang berbentuk lingkaran (adz-Dzahab al
Muhallaq) seperti cincin, gelang, kalung, anting dan semacamnya. Pengharaman itu
dikarenakan ia menemukan beberapa hadits yang sahih menurutnya yang mengharamkan
perhiasan emas tersebut. Padahal hadits-hadits tersebut sebenarnya menyalahi nash Al-Qur'an
seperti firman Allah:

Maknanya: "Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan
berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran". (Q.S.
az-Zukhruf: 18)

Hadits-hadits tersebut juga menyalahi ijma' sehingga dengan begitu diketahui bahwa hadits
tersebut telah dinasakh (telah dihapus dan tidak berlaku lagi). Al Hafizh al Bayhaqi
mengatakan:





.
.

"Jadi hadits-hadits ini dan semacamnya menunjukkan dibolehkannya berhias dengan emas
bagi perempuan, dan kita menjadikan adanya ijma' atas kebolehan permpuan memakai
perhiasan emas sebagai dalil bahwa hadits-hadits yang mengharamkan emas bagi perempuan
secara khusus telah dinasakh" (Lebih lanjut lihat Syekh Abdullah al Harari, Sharih al Bayan,
2/20-22).

Anehnya, di sisi lain, orang-orang semacam ini ketika bertemu dengan hadits yang
bertentangan dengan pendapat mereka, dengan mudah mereka mengklaim bahwa hadits
tersebut mansukh atau khusus berlaku bagi Nabi tanpa ada dalil yang menunjukkan nasakh
atau-pun khushushiyyah. Tetapi dalam hal yang oleh para ulama ditegaskan ada nasikh
mereka tidak mau mengikutinya sambil berlagak menegakkan dan membela sunnah Nabi.

Teladan Toleransi Ulama Salaf

Dalam bidang furu tidak pernah salah seorang dari para ulama mujtahid mengklaim bahwa
dirinya saja yang benar dan selainnya sesat. Mereka tidak pernah mengatakan kepada
mujtahid lain yang berbeda pendapat dengan mereka bahwa anda sesat dan haram orang
mengikuti anda.

Umar bin al Khaththab tidak pernah mengatakan hal itu kepada Ali bin Abi Thalib ketika
mereka berbeda pendapat, demikian pula sebaliknya Ali tidak pernah mengatakan hal seperti
itu kepada Umar. Demikian pula para ulama ahli ijtihad yang lain seperti Imam Abu Hanifah,
Malik, Syafii, Ahmad bin Hanbal, Ibnu al Mundzir, Ibnu Jarir ath-Thabari dan lainnya.
Mereka juga tidak pernah melarang orang untuk mengikuti madzhab orang lain selama yang
diikuti memang seorang ahli ijtihad. Mereka juga tidak pernah berambisi mengajak semua
umat Islam untuk mengikuti pendapatnya. Mereka tahu betul bahwa perbedaan dalam
masalah-masalah furu telah terjadi sejak awal di masa para sahabat Nabi dan mereka tidak
pernah saling menyesatkan atau melarang orang untuk mengikuti salah satu di antara mereka.
Dalam berbeda pendapat, mereka berpegang pada sebuah kaidah yang disepakati:



Tidak diingkari orang yang mengikuti salah satu pendapat para mujtahid dalam masalah
yang memang diperselisihkan hukumnya (mukhtalaf fih) di kalangan mereka, melainkan
yang diingkari adalah orang yang menyalahi para ulama mujtahid dalam masalah yang
mereka sepakati hukumnya (mujma alayhi). (Lihat as-Suyuthi, al-Asybaah wa an-Nazha-
ir, h. 107, Syekh Yasin al Fadani, al-Fawa-id al-Janiyyah, h. 579-584)

Maksud dari kaidah ini bahwa jika para ulama mujtahid berbeda pendapat tentang suatu
permasalahan, ada yang mengatakan wajib, sunnah atau makruh, haram, atau boleh dan tidak
boleh, maka tidak dilarang seseorang untuk mengikuti salah satu pendapat mereka. Tetapi
jika hukum suatu permasalahan telah mereka sepakati, mereka memiliki pendapat yang sama
dan satu tentang masalah tersebut maka tidak diperbolehkan orang menyalahi kesepakatan
mereka tersebut dan mengikuti pendapat lain atau memunculkan pendapat pribadi yang
berbeda. Wallahu a'lam.

Nur Rohmad, Dewan Pakar Aswaja NU Center PCNU Kabupaten Mojokerto

Anda mungkin juga menyukai