Biologi
Pengalaman perang
Penyiksaan, bencana alam,
Pola Penyerangan, perkosaan
Asuh Kecelakaan serius
Orang yang mengalaminya - Aktivasi kembali trauma
Tidak mampu memproses pada masa kanak-kanak
Atau merasionalisasikan
Trauma Pencetus gangguan ini
Faktor kognitif PTSD menyatakan bahwa orang yang mengalaminya tidak mampu
memproses atau merasionalisasikan trauma pencetus gangguan ini. Penderita terus mengalami
stress dan berupaya menghindarinya. Secara kognitif, konsistensi dengan kemampuan parsial
menghadapi peristiwa tersebut mereka mengalami periode bergantian memahami dan memblok
peristiwa. Faktor perilaku menekankan adanya dua fase dalam perkembangannya. Pertama,
trauma yang menimbulkan respon takut dan pembelajaran klasik sebagai stimulus yang
respon takut yang bebas dari stimulus asal yang tidak dipelajari dengan pengembangan pola
penghindaran. Sejumlah penerima bantuan sekunder dari dunia luar (kompensasi keuangan,
Gejala-gejala gangguan stress pasca trauma timbul sebagai akibat dari respon biologik
dan psikologik seorang individu karena aktivitas dari beberapa sistem di otak yang berkaitan
dengan timbulnya perasaan takut pada seseorang. Dalam hal ini, amigdala merupakan bagian
otak yang sangat berperan besar. Amigdala akan mengaktivasi beberapa neurotransmiter serta
mengancam nyawa sebagai respon tubuh untuk menghadapi peristiwa tersebut (Robby dkk
2009):
Cemas pada PTSD dipicu tidak hanya dari stimulus external tetapi juga dari memori
seseorang. Memori traumatic yang tersimpan pada hipokampus dapat mengaktivasi amigdala,
mengaktivasi region otak yang lain dan menghasilkan respon takut. Ini dinamakan dengan istilah
Re-experiencing yang sering tampak pada gejala dari PTSD (Sthal, 2013).
Gambar 3. Amigdala dan avoidance ( dikutip dari Sthal, 2013)
Perasaan takut bisa di perlihatkan melalui sikap seperti menghindar (Avoidance) yang
diatur oleh amigdala dan periaqueductus gray (PAG) yang berhubungan secara timbal balik.
Avoidance pada kasus ini adalah respon motorik dan kemungkinan dapat disamakan dengan
ancaman.
Akibat dari perangsangan pada sistem saraf simpatis segara setelah mengalami peristiwa
traumatik, maka akan terjadi reaksi fight or flight reaction. Sistem saraf parasimpatis berupa
membatasi reaksi sistem saraf simpatis pada beberapa jaringan tubuh, namun respon ini bekerja
secara bebas dan tidak berkaitan dengan respon yang diberikan oleh sistem saraf simpatis.
Ketekolamin berperan dalam menyediakan energi yang cukup dari beberapa organ vital tubuh
dalam bereaksi terhadap tekanan tersebut. Katekolamin yang meningkat ini membuat individu
tetap berada dalam kondisi siaga terus menerus. Sejumlah studi menemukan peningkatan
konsentrasi epinefrin urin 24 jam pada veteran dengan PTSD dan peningkatan katekolamin urin
pada perempuan yang mengalami penyiksaan seksual. Pada PTSD, reseptor -adrenergik limfosit
dan -trombosit mengalami downregulation, kemungkinan sebagai respon terhadap peningkatan
kronis katekolamin.
Sistem Opioid
PTSD. Pada veteran perang yang mengalami PTSD menunjukkan efek analgesik reversibel
dengan nalokson untuk stimulus yang berkaitan dengan perang sehingga meningkatkan
Hormon kortisol berperan dalam menghentikan aktivasi sistem saraf simpatik dan
beberapa sistem tubuh yang bersifat defentif tadi yang timbul akibat dari peristiwa traumatik
yang dialami oleh individu tersebut. Dengan kata lain, hormon kortisol berperan dalam proses
terminasi dari respon tubuh dalam menghadapi tekanan. Jika hormon kortisol gagal
menghentikan proses ini, maka aktivitas katekolamin akan tetap tinggi dan kondisi ini dikaitkan
dialami.
Sejumlah studi menunjukkan konsentrasi kortisol bebas rendah pada plasma dan urin
penderita PTSD. Terdapat pengingkatan reseptor glukortikoid pada limfosit dan percobaan
Sejumlah studi juga menemukan terjadinya hipersupresi kortisol pada pasien yang
terpajan trauma dan mengalami PTSD dibandingkan dengan pasien yang terpajan trauma tetapi
tidak mengalami PTSD. Secara keseluruhan hiperregulasi aksis HPA berbeda dengan aktivitas
neuroendokrin yang biasa terlihat selama stress dan gangguan lainnya seperti depresi. Pada studi
hewan, stres berhubungan dengan perubahan struktural hipokampus dan pada studi pada veteran
perang menunjukkan volume rata-rata yang lebih rendah pada regio hipokampus otak walaupun
masih kontroversial. Perubahan struktural pada amygdala, juga menunjukkan perubahan area
otak yang terkait dengan rasa takut. Studi pada depresi menunjukkan efek serupa pada amigdala
Saigh, Philip, A., Bremner, J., Douglas. 2013. The history of posttraumatic stress disorder.
American psychological association, 15: 434. Retrived Maret 12, 2015, Available from
http://psycnet.apa.org/psycinfo/2013-06874-001
DEPRESI
Depresi merupakan gangguan mental yang serius yang ditandai dengan perasaan sedih
dan cemas. Gangguan ini biasanya akan menghilang dalam beberapa hari tetapi dapat juga
berkelanjutan yang dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari (National Institute of Mental
Health, 2010).
Menurut WHO, depresi merupakan gangguan mental yang ditandai dengan munculnya
gejala penurunan mood, kehilangan minat terhadap sesuatu, perasaan bersalah, gangguan tidur
atau nafsu makan, kehilangan energi, dan penurunan konsentrasi (World Health Organization,
2010).
Gambaran Klinis
Gejala umumnya, banyak diantara mereka muncul dengan menunjukkan sikap rendah
diri, dan biasanya sulit untuk didiagnosa (Evans, 2000).
Perubahan Fisik :
Penurunan nafsu makan.
Gangguan tidur.
Kelelahan dan kurang energy
Agitasi.
Nyeri, sakit kepala, otot keran dan nyeri, tanpa penyebab fisik
Perubahan Perasaan
Penurunan ketertarikan dengan lawan jenis dan melakukan hubungan suami istri.
Merasa bersalah, tak berdaya.
Merasa sedih.
Sering menangis tanpa alasan yang jelas.
Iritabilitas, marah, dan terkadang agresif
Patofisiologi Depresi
Depresi dan gangguan mood melibatkan berbagai faktor yang saling mempengaruhi.
Konsisten dengan model diatesis-stres, depresi dapat merefleksikan antara faktor-faktor biologis
(seperti faktor genetis, ketidakteraturan neurotransmitter, atau abnormalitas otak), faktor
psikologis (seperti distorsi kognitif atau ketidakberdayaan yang dipelajari), serta stressor sosial
dan lingkungan (sepreti perceraian atau kehilangan pekerjaan).
Diagnosis Depresi
Beck Depression Inventory dibuat oleh dr.Aaron T. Beck, BDI merupakan salah satu instrumen
yang paling sering digunakan untuk mengukur derajat keparahan depresi. Para responden akan
mengisi 21 pertanyaan, setiap pertanyaan memiliki skor 1 s/d 3, setelah responden menjawab
semua pertanyaan kita dapat menjumlahkan skor tersebut, Skor tertinggi adalah 63 jika
responden mengisi 3 poin keseluruhan pertanyaan. Skor terendah adalah 0 jika responden
mengisi poin 0 pada keseluruhan pertanyaan. Total dari keseluruhan akan menjelaskan derajat
keparahan yang akan dijelaskan di bawah ini.
1-10 = normal
11-16 = gangguan mood ringan
17-20 = batas depresi borderline
21-30 = depresi sedang
31-40 = depresi berat
>40 = depresi ekstrim
Pengobatan
1. Tricyclic Antidepressants
Obat ini membantu mengurangi gejala-gejala depresi dengan mekanisme mencegah
reuptake dari norephinefrin dan serotonin di sinaps atau dengan cara megubah reseptor-
reseptor dari neurotransmitter norephinefrin dan seroonin.
2. Monoamine Oxidase Inhibitors
Obat lini kedua dalam mengobati gangguan depresi mayor adalah Monoamine Oxidase
Inhibitors. MAO Inhibitors menigkatkan ketersediaan neurotransmitter dengan cara
menghambat aksi dari Monoamine Oxidase, suatu enzim yang normalnya akan
melemahkan atau mengurangi neurotransmitter dalam sambungan sinaptik.
National Institute of Mental Health. 2010. Depression and Diabetes. Departement of Health
and Human Services. NIH Publication.
WHO.2010. Defenition and Diagnosis of Diabetes Melitus and Intermediate Hiperglikemia,
WHO Library Catalaguing in Publication Data.
Sadock, B.J.dan Sadock, V.A. 2007. Mood Disorders: Depression and Bipolar Disorder
Dalam: Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical
Psychiatry. 10th Ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. 527-62.