Anda di halaman 1dari 11

Laporan kasus

CUTANEOUS LARVA MIGRANS

Jenny V. Latupeirissa (2015-84-013)

Bagian/ SMF I.P Kulit dan Kelamin

FK UNPATTI/ RSUD Dr. M. Haulussy Ambon

PENDAHULUAN

Cutaneous larva migrans (CLM) atau disebut juga dengan creeping

eruption merupakan kelainan kulit yang merupakan peradangan kulit yang

disebabkan oleh penetrasi dan migrasi larva cacing tambang ke epidermis yang

berasal dari kucing dan anjing, terbanyak disebabkan oleh Ancylostoma

braziliense, Ancylostoma caninum, dan Ancylostoma ceylanicum.[1]

Kelainan ini dapat ditemukan di seluruh dunia, terutama di daerah yang

beriklim tropis dan subtropis, misalnya Amerika Tengah dan Amerika Selatan,

Karibia, Afrika, Australia dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia banyak di

temukan CLM. Udara yang hangat dan lembab sangat cocok untuk kelangsungan

hidup cacing tambang.[2]

Larva cacing ini sering menginvasi manusia yang memiliki faktor resiko

berupa pekerjaan yang kontak langsung dengan tanah yang telah terkontaminasi.

Anak-anak yang sering bermain tanah tanpa menggunakan alas kaki, para pekerja

bangunan yang kontak dengan pasir atau tanah, para pemburu hewan di hutan, dan

peternak hewan merupakan kelompok yang paling sering menderita cutaneous

larva migrans[2,3].

1
Saat mengalami kontak langsung dengan lapisan terluar kulit manusia, larva

ini dapat langsung menginvasi masuk ke dalam epidermis. Pada saat telah

menembus epidermis akan timbul gambaran papul pada lokasi invasi namun

umumnya jarang dicurigai. Gambaran inflamasi yang berkelok baru akan muncul

tergantung seberapa cepat cacing dapat menembus stratum korneum kulit. Larva

cacing ini tidak dapat menembus membran basal kulit sehingga tidak dapat

melanjutkan siklus hidupnya dan hanya berjalan-jalan tanpa tujuan di dalam

epidermis dan menimbulkan gambaran klinis peradangan yang berkelok-kelok

sesuai dengan perjalanannnya. Karena tidak dapat menembus membran basal dan

melanjutkan hidup, maka larva ini lama-kelamaan akan mati, sehingga penyakit

ini termasuk jenis self limitting disease. Namun waktu yang diperlukan untuk

sembuh bervariasi, ada yang mencapai bulanan, rasa gatal dan panas pada kulit

dapat sangat mengganggu[3,4].

Pengobatan cutaneous larva migrans dapat diberikan anti-helmintes

berspektrum luas seperti tiabendazol dengan dosis 50 mg/kgBB 2 kali sehari

selama 2 hari berturut-turut. Namun obat ini sulit didapatkan, sehingga di

Indonesia lebih sering menggunakan Albendazole untuk terapi cutaneous larva

migrans dengan dosis 400 mg sehari selama 3 hari berturut-turut. [4,5].

Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk membahas cutaneous larva

migrans dan penatalaksanaannya.

2
Kasus

Seorang perempuan berusia 39 tahun, suku Ambon, bangsa Indonesia,

alamat Latuhalat. Datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. M. Haulussy

tanggal 02 Mei 2017 dengan keluhan adanya gatal diwajah dan belakang leher..

Autoanamnesis

Rasa gatal di wajah dan belakang leher sekitar 1 minggu yang lalu disertai

rasa panas saat digaruk. Gatal ini dirasakan sangat hebat dan paling dirasakan

pasien saat malam hari dan saat berkeringat sehabis kerja. Pasien mengaku

awalnya timbul kemerahan sedikit pada wajah dan belakang leher lama

kelamaan kemerahan bertambah panjang, berkelok-kelok dan menyembul. Pasien

tidak mengeluh demam (-), riwayat digigit serangga disangkal, dirumah pasien

memelihara anjing.

Riwayat penyakit dahulu : pasien pernah menderita keluhan yang sama sejak

4 tahun yang lalu hilang timbul.

Riwayat pengobatan : pasien sudah berobat ke puskesmas dan diberikan

salep betamethasone, pasien juga memakai obat cina.

Riwayat keluarga : tidak ada yang mempunyai keluhan seperti pasien

Riwayat sosial ekonomi : pasien seorang ibu rumah tangga sering nyuci

pakaian di sungai. Kadang jalan sekitar rumah tidak menggunakan alas kaki.

3
Pemeriksaan Fisik

Status generalis

Keadaan umum : Kesadaran compos mentis, tampak sakit ringan, gizi cukup.

nadi : 80 x/menit RR : 20x/menit, Suhu : 36,5oC


Kepala : Bentuk normosefal, konjungtiva anemis (-), sklera ikterik
Mulut : Sianosis (-), tonsil (T1/T1) hiperemis (-)

Leher dan aksila : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening


Toraks : Jantung dan paru dalam batas normal
Abdomen : Hepar dan lien tidak teraba, tidak ada nyeri tekan
Ekstremitas : Akral hangat, edema(-)
Status dermatovenereologi:

Lokasi : Regio Facial, Colli posterior


Efloresensi : lesi berkelok dan menyembul membentuk terowongan

dengan dasar eritem, skuama


Morfologi : Linear

Gambar 1. Pemeriksaan Hari ke-1


DIAGNOSIS BANDING

1). Cutaneous larva migrans


2). Scabies
3). Dermatofitosis

DIAGNOSIS : Cutaneous larva migrans

4
PEMERIKSAAN PENUNJANG :

Kerokan : KOH (-)

PENATALAKSANAAN

1. Terapi sistemik :
- Albendazole 1x400 mg/hari, selama 3 hari
- Cetrizine 1x10 mg/hari

PROGNOSIS

Quo ad Vitam : ad bonam

Quo ad Fungsionam : ad bonam

Quo ad Sanationam : dubia

Quo ad Kosmetikan : dubia ad bonam

FOLLOW UP

Hari/Tanggal S.O.A Terapi


02/05/2017 S : Gatal berkurang pada wajah - Cetrizine tab 1 x 10mg
- Mometazone cream
H-3 dan belakang leher serta
berkurangnya juga kemerahan.
O:
Status Dermatovenerologi
Lokasi : Regio facial dan colli

5
dextra
Efloresensi : eritema, papul,
skuama
Ukuran : linear
A : Cutaneus Larva Migrans

Gambar.2 Kontrol Hari ke-3

DISKUSI

Pada kasus ini pasien didiagnosis Cutaneous Larva Migrans berdasarkan

anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Dari hasil anamnesis dketahui bahwa penderita seorang perempuan berusia

39 tahun, datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. M. Haulussy tanggal

02 Mei 2017 dengan keluhan utama adanya gatal pada wajah dan belakang leher.

6
Menurut kepustakaan CLM dapat terjadi pada semua golongan umur, ditemukkan

di seluruh dunia, terutama di daerah daerah yang beriklim tropis dan subtropis,

misalnya Amerika Tengah dan Amerika Selatan, Karibia, Afrika, Australia dan

Asia Tenggara, termasuk Indonesia banyak di temukan CLM. Udara yang hangat

dan lembab sangat cocok untuk kelangsungan hidup cacing tambang.


Etiologi dan faktor predisposisi pada penderita dapat disebabkan oleh

penderita yang kesehariannya bekerja sebagai ibu rumahtangga sering nyuci di

sungai, kadang tidak memakai alas kaki disekitar rumah serta pasien juga

mempunyai peliharaan anjing dirumah. Menurut kepustakaan penyebab utama

CLM adalah larva cacing tambang yang berasal dari kucing dan anjing

(Ancylostoma braziliense, Ancylostoma caninum, dan Ancylostoma ceylanicum,

dan Strongyloides).[2,3] Telur cacing tambang disimpan di pasir dan tanah yang

hangat, serta pada daerah yang teduh, kemudian menetas menjadi larva yang dapat

menembus kulit manusia.[4] Pekerjaan dan aktivitas yang berisiko adalah aktivitas

yang bersentuhan langsung dengan pasir atau tanah yang terkontaminasi dengan

kotoran hewan, seperti aktivitas bermain di pasir, berjalan tanpa alas kaki dan

duduk di pantai. Sedangkan pekerjaan yang berisiko adalah tukang kebun, tukang

pipa, petani, tukang listrik, dan tukang kayu.[5]

Pada pemeriksaan fisik dijumpai lesi berkelok dan menyembul

membentuk terowongan dengan dasar eritem dan berskuama. Menurut

kepustakaan Masa inkubasi CLM 1-6 hari dari waktu terpapar sampai timbulnya

gejala. Gejala kulit berupa pruritus lokal dimulai dalam beberapa jam setelah

penetrasi larva dan timbul papul. Adanya lesi papul yang eritematosa

menunjukkan bahwa larva tersebut telah berada di kulit selama beberapa jam atau

7
hari. Lesi kulit CLM kemudian menjadi lesi yang khas berupa lesi yang

serpiginous, tipis, linier, meninggi, dan terdapat lesi seperti terowongan (burrow)

dengan lebar lesi 2-3 mm yang mengandung cairan serosa. Muncul beberapa atau

lesi yang lebih dari satu tergantung pada jumlah penetrasi larva. Migrasi larva

dimulai 4 hari setelah inokulasi, dan membentuk saluran. Cacing bisa tetap

menetap selama beberapa hari atau bahkan beberapa bulan sebelum mulai

bermigrasiLarva akan bermigrasi 2 milimeter per hari. .[6] Larva tidak dapat

menembus membran basalis sehingga hanya terbatas pada epidermis antara

stratum germinativum dan stratum corneum dan menyebabkan reaksi inflamasi

eosinofil. Kebanyakan larva tidak dapat bermigrasi lebih jauh atau menginvasi

jaringan lebih dalam, dan mati setelah beberapa hari atau bulan. Lesi biasanya

terdapat pada area terbuka dan sering terpapar seperti ekstremitas distal bagian

bawah, bokong, alat kelamin, tangan juga di bagian tubuh di mana saja yang

sering berkontak dengan tempat larva berada. Terkadang terdapat manifestasi

purulen akibat infeksi sekunder berupa erosi dan eksoriasi akibat garukan. Jika

tidak diobati, larva biasanya mati dalam 2-8 minggu, dan terjadi resolusi lesi.

Eosinofilia bisa terjadi.[7]

Pada kasus ini pemeriksaan laboratorium tidak dilakukan. Menurut teori

pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah dengan pemeriksaan

laboratorim dan biopsi. Pada pemeriksaan hematologi didapatkan eosinofilia

perifer. Selain itu, pada pemeriksaan dermatopatologi akan terlihat bagian dari

parasit yang dapat dilihat pada spesimen biopsi dari lesi.[4]

8
Diagnosis banding dari cutaneous larva migrans salah satunya adalah

Scabies, karena gambaran klinis yang sama-sama membentuk terowongan,

dengan gatal yang menghebat dimalam hari. Namun, yang membedakannya dari

Scabies, terowongan yg terbentuk pada Scabies relatif pendek dan kecil, rasa gatal

yang hebat pada malam hari juga tidak disertai rasa panas, dan predileksi khas

dari scabies yang terdapat pada sela-sela jari, pantat, daerah lipat paha, perut dan

dada.[2,4] Dermatofitosis jenis Tinea Manus juga bisa menjadi diagnosis banding

jika berbentuk polisiklik dengan gambaran central healing yang tampak.[4,5]

Namun pada kasus tidak didapatkan gambaran tersebut

Terapi yang diberikan terdiri dari topikal dan sistemik peroral. Pilihan

terapi sistemik yang dapat diberikan adalah antihelmintes seperti ivermectin,

tiabendazol, mebendazol, dan albendazol. Ivermectin dengan dosis tunggal 20

mg / kg BB per hari lebih efektif dibandingkan antihelmintes lainnya karena

langsung mematikan larva yang diam ataupun yang sedang bermigrasi. Namun,

obat ini hanya terdapat di negara-negara tertentu saja.[8,9,10] Terapi oral yang

diberikan kepada Ny.RM adalah 400mg albendazol single dose 1 kali sehari

selama 3 hari berturut-turut. Albendazol mudah didapatkan di negara-negara di

Asia tersedia dalam bentuk tablet dan suspensi 10 ml / botol dengan dosis 400 mg.

Obat ini bekerja dengan cara menghambat pengambilan glukosa oleh larva cacing

sehingga produksi ATP sebagai sumber energi untuk mempertahankan hidup

lambat laun berkurang dan menyebabkan kematian larva. Efek samping obat dapat

menyebabkan gatal-gatal dan mulut kering.[8]

9
Prognosis penyakit ini biasanya baik dan merupakan penyakit self-limited,

dimana larva akan mati dan lesi membaik dalam waktu 4-8 minggu jarang hingga

2 tahun. Dalam sebuah penelitian, 25-33% larva mati setiap 4 minggu, sedangkan

81% dari lesi menghilang dalam 4 minggu. Beberapa bertahan selama berbulan-

bulan. Dengan pengobatan progresi lesi dan rasa gatal akan hilang dalam waktu

48 jam.[5,6]

RINGKASAN

Telah didapatkan sebuah kasus Cutaneous Larva Migrans, pada seorang

perempuan berusia 39 tahun, dengan keluhan rasa gatal diwajah dan belakang

leher. Pada pemeriksaan fisik didapatkan lesi berkelok-kelok bentuk linier dengan

dasar eritem dan terdapat skuama. Pemeriksaan KOH didapatkan hasil negatif.

Pasien diberikan terapi sistemik yaitu Albendazole 400 mg/hari singledose selama

3 hari serta cetirizine 10 mg/hari

Prognosis pasien quo ad vitam: bonam, ad fungtionam : bonam, ad

kosmetikam : dubia ad bonam dan ad sanationam : dubia ad bonam.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bolognia, Jean L, Joseph L, Jorizzo, MD and Julie V, Schaffer. 2008.

Dermatology. Spain: Elsevier Inc. p.1276-1279.

2. Burgdorf W.H.C., Plewig G, Wolff H.H., Landthaler M. 2009. Braun-Falcos

Dermatology. Germany. Third edition. Springer Medizin Verlag. p.344-345

10
3. Aisah, Siti dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, editor Djuanda, Adhi.,

Hamzah, Mochtar., Aisah, Siti., Edisi Ke tujuh. 2016. Jakarta : FK UI. Hal.,

141-142

4. Wolff, Klaus dan Richard Allen Johnson. 2009. Fitzpatricks; Color Atlas &

Synopsis of Clinical Dermatology. United States: The McGraw-Hill

Companies.p.916-917

5. Burns Tony, Breatnach S, Cox N, Griffiths C. 2004. Rooks Textbook of

Dermatology. Italy: Blackwell Publishing.p.1525-1526

6. James, William D, MD, Berger T, MD dan Dirk Elston. 2012. Andrews

Disease of the Skin; Clinical Dermatology. China: Elsevier Inc. p.1156-1158

7. Schachner, L.A., Ronald C.H. 2011. Pediatric Dermatology, 4th Edition.

United States: Elsevier Inc. p.1528-1529

8. Goldsmith, Lowell A., Stephen I, Katz, Barbara A., Gilchrest, Amy S, dkk

(Ed.). 2011. Fitzpatricks; Dermatology in General Medicine, 8th Edition.

United States: the McGraw-Hill Companies, Inc. p.2315-2316.

9. Williams H, Bigby M, Diepgen T, Naldi L, Rzany B.2003. Evidence-based

dermatology. BMJ.p.104

10. Caumes E, Carriere J, Datry A, et a.2005.: A randomized trial of ivermectin

versus albendazole for the treatment of cutaneous larva migrans. Am J Trop

Med Hyg 49: p.641

11

Anda mungkin juga menyukai