Anda di halaman 1dari 6

Anak Angkat dan Statusnya Dalam Islam

Mengadopsi anak adalah fenomena yang sering kita jumpai di masyarakat kita,
entah karena orang tersebut tidak memiliki keturunan, atau karena ingin
menolong orang lain, ataupun karena sebab-sebab yang

By Abdullah Taslim, Lc., MA. 21 April 2011


20 17357 25

Mengadopsi anak adalah fenomena yang sering kita jumpai di masyarakat kita, entah karena
orang tersebut tidak memiliki keturunan, atau karena ingin menolong orang lain, ataupun karena
sebab-sebab yang lain.

Akan tetapi, karena ketidaktahuan banyak dari kaum muslimin tentang hukum-hukum yang
berhubungan dengan anak angkat, maka masalah yang terjadi dalam hal ini cukup banyak dan
memprihatinkan.

Misalnya: menisbahkan anak angkat tersebut kepada orang tua angkatnya, menyamakannya
dengan anak kandung sehinga tidak memperdulikan batas-batas mahram, menganggapnya
berhak mendapatkan warisan seperti anak kandung, dan pelanggaran-pelanggaran agama
lainnya.

Padahal, syariat Islam yang agung telah menjelaskan dengan lengkap dan gamblang hukum-
hukum yang berkenaan dengan masalah anak angkat ini, sehingga jika kaum muslimin mau
mempelajari petunjuk Allah Taala dalam agama mereka maka mestinya mereka tidak akan
terjerumus dalam kesalahan-kesalahan tersebut di atas.

Tradisi sejak jaman Jahiliyah

Kebiasan mengadopsi anak adalah tradisi yang sudah ada sejak jaman Jahiliyah dan dibenarkan
di awal kedatangan Islam1. Bahkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sendiri
melakukannya, ketika beliau shallallahu alaihi wa sallam mengadopsi Zaid bin Haritsah
radhiyallahu anhu sebelum beliau shallallahu alaihi wa sallam diutus Allah Taala sebagai
nabi, kemudian Allah Taala menurunkan larangan tentang perbuatan tersebut dalam firman-
Nya,


{ }

Dan Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang
demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya
dan Dia menunjukkan jalan (yang benar) (QS al-Ahzaab: 4).

Imam Ibnu Katsir berkata, Sesungguhnya ayat ini turun (untuk menjelaskan) keadaan Zaid bin
Haritsah radhiyallahu anhu, bekas budak Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Sebelum
diangkat sebagai Nabi, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengangkatnya sebagai anak,
sampai-sampai dia dipanggil Zaid bin Muhammad (Zaid putranya Muhammad shallallahu
alaihi wa sallam), maka Allah Taala ingin memutuskan pengangkatan anak ini dan
penisbatannya (kepada selain ayah kandungnya) dalam ayat ini, sebagaimana juga firman-Nya di
pertengahan surah al-Ahzaab,


{ }

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia
adalah Rasulullah dan penutup para nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu
(QS al-Ahzaab: 40)2.

Status anak angkat dalam Islam

Firman Allah Taala di atas menghapuskan kebolehan adopsi anak yang dilakukan di jaman
Jahiliyah dan awal Islam, maka status anak angkat dalam Islam berbeda dengan anak kandung
dalam semua ketentuan dan hukumnya.

Dalam ayat tersebut di atas Allah Taala mengisyaratkan makna ini:

Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja, artinya: perbuatanmu mengangkat
mereka sebagai anak (hanyalah) ucapan kalian (semata-mata) dan (sama sekali) tidak
mengandung konsekwensi bahwa dia (akan) menjadi anak yang sebenarnya (kandung), karena
dia diciptakan dari tulang sulbi laki-laki (ayah) yang lain, maka tidak mungkin anak itu memiliki
dua orang ayah3.

Adapun hukum-hukum yang ditetapkan dalam syariat Islam sehubungan dengan anak angkat
yang berbeda dengan kebiasaan di jaman Jahiliyah adalah sebagai berikut:

1. Larangan menisbatkan anak angkat kepada selain ayah kandungnya, berdasarkan firman Allah
Taala,

{


}

Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak (kandung)
mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak
mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu
Dan tidak ada dosa bagimu terhadap apa yang kamu salah padanya, tetapi (yang ada dosanya
adalah) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang (QS al-Ahzaab: 5).

Imam Ibnu Katsir berkata, (Ayat) ini (berisi) perintah (Allah Taala) yang menghapuskan
perkara yang diperbolehkan di awal Islam, yaitu mengakui sebagai anak (terhadap) orang yang
bukan anak kandung, yaitu anak angkat. Maka (dalam ayat ini) Allah Taala memerintahkan
untuk mengembalikan penisbatan mereka kepada ayah mereka yang sebenarnya (ayah kandung),
dan inilah (sikap) adil dan tidak berat sebelah4.
2. Anak angkat tidak berhak mendapatkan warisan dari orang tua angkatnya, berbeda dengan
kebiasaan di jaman Jahiliyah yang menganggap anak angkat seperti anak kandung yang berhak
mendapatkan warisan ketika orang tua angkatnya meninggal dunia5.

3. Anak angkat bukanlah mahram6, sehingga wajib bagi orang tua angkatnya maupun anak-anak
kandung mereka untuk memakai hijab yang menutupi aurat di depan anak angkat tersebut,
sebagaimana ketika mereka di depan orang lain yang bukan mahram, berbeda dengan kebiasaan
di masa Jahiliyah. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu
anha bahwa Salim maula (bekas budak) Abu Hudzaifah radhiyallahu anhu tinggal bersama
Abu Hudzaifah dan keluarganya di rumah mereka (sebagai anak angkat), maka (ketika turun ayat
yang menghapuskan kebolehan adopsi anak) datanglah Sahlah bintu Suhail radhiyallahu anhu,
istri Abu Hudzaifah radhiyallahu anhu kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan dia
berkata: Sesungguhnya Salim telah mencapai usia laki-laki dewasa dan telah paham
sebagaimana laki-laki dewasa, padahal dia sudah biasa (keluar) masuk rumah kami (tanpa kami
memakai hijab), dan sungguh aku menduga dalam diri Abu Hudzaifah ada sesuatu
(ketidaksukaan) akan hal tersebut. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda
kepadanya,Susukanlah dia agar engkau menjadi mahramnya dan agar hilang ketidaksukaan
yang ada dalam diri Abu Hudzaifah7.8

4. Diperbolehkannya bagi bapak angkat untuk menikahi bekas istri anak angkatnya, berbeda
dengan kebiasaan di jaman Jahiliyah. Sebagaimana firman Allah Taala,


{






}
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat
kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: Tahanlah terus isterimu dan
bertaqwalah kepada Allah, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah
akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak
untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya
(menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang
mumin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu
telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya (menceraikannya). Dan adalah ketetapan
Allah itu pasti terjadi (QS al-Ahzaab: 37).

Syaikh Abdur Rahman as-Sadi berkata: Sebab turunnya ayat ini adalah bahwa Allah Taala
ingin menetapkan ketentuan syriat yang umum bagi semua kaum mukminin, (yaitu) bahwa anak-
anak angkat hukumnya berbeda dengan anak-anak yang sebenarnya (kandung) dari semua segi,
dan bahwa (bekas) istri anak angkat boleh dinikahi oleh bapak angkat merekaDan jika Allah
menghendaki suatu perkara, maka Dia akan menjadikan suatu sebab bagi (terjadinya) hal
tersebut, (yaitu kisah) Zaid bin Haritsah yang dipanggil Zaid bin Muhammad (di jaman
Jahiliyah), karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah mengangkatnya sebagai anak,
sehingga dia dinisbatkan kepada (nama) Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, sampai
turunnya firman Allah:
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak (kandung)
mereka (QS al-Ahzaab: 5).

Maka setelah itu dia dipanggil Zaid bin Haritsah.

Istri Zaid bin Haritsah adalah Zainab bintu Jahsy radhiyallahu anha, putri bibi Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam. Telah terlintas dalam hati Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bahwa jika Zaid menceraikannya maka beliau shallallahu alaihi wa sallam akan menikahinya.
Kemudian Allah menakdirkan terjadinya sesuatu antara Zaid dengan istrinya tersebut yang
membuat Zaid mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan meminta izin kepada
beliau shallallahu alaihi wa sallam untuk menceraikan istrinya(Kemudian setelah itu Allah
Taala menikahkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan Zainab bintu Jahsy
radhiyallahu anha sebagaimana ayat tersebut di atas)9.

Memanggil anak atau nak kepada orang lain untuk memuliakan dan kasih sayang

Hal ini diperbolehkan dan sama sekali tidak termasuk perkara yang dilarang dalam ayat di atas.
Karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sendiri melakukannya, sebagaimana yang
disebutkan dalam beberapa hadits yang shahih, di antaranya:

Dari Ibnu Abbas radhiayallahu anhuma dia berkata: Ketika malam (menginap) di Muzdalifah,
kami anak-anak kecil keturunan Abdul Muththalib datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam (dengan menunggangi) keledai, lalu beliau menepuk paha kami dan bersabda: Wahai
anak-anak kecilku, janganlah kalian melempar/melontar Jamrah aqabah (pada hari tanggal 10
Dzulhijjah) sampai matahari terbit10.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
pernah berkata kepada: Wahai anakku11.12

Oleh karena itu, imam an-Nawawi dalam kitab shahih Muslim (3/1692) mencantumkan hadits
ini dalam bab: Bolehnya seseorang berkata kepada selain anaknya: Wahai anakku, dan
dianjurkannya hal tersebut untuk menunjukkan kasih sayang.

Penutup

Demikianlah penjelasan singkat tentang hukum mengadopsi anak dalam Islam. Meskipun jelas
ini bukan berarti agama Islam melarang umatnya untuk berbuat baik dan menolong anak yatim
dan anak terlantar yang membutuhkan pertolongan dan kasih sayang.

Sama sekali tidak! Yang dilarang dalam Islam adalah sikap berlebihan terhadap anak angkat
seperti yang dilakukan oleh orang-orang di jaman Jahiliyah, sebagaimana penjelasan di atas.

Agama Islam sangat menganjurkan perbuatan menolong anak yatim dan anak terlantar yang
tidak mampu, dengan membiayai hidup, mengasuh dan mendidik mereka dengan pendidikan
Islam yang benar. Bahkan perbuatan ini termasuk amal shaleh yang bernilai pahala besar di sisi
Allah Taala, sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,Aku dan
orang yang menyantuni anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini, kemudian beliau
shallallahu alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau shallallahu
alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya13.

Artinya: orang yang menyantuni anak yatim di dunia akan menempati kedudukan yang tinggi di
surga dekat dengan kedudukan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam 14.

Demikianlah, dan kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah dengan nama-nama-
Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia melimpahkan taufik
dan kemudahan dari-Nya kepada kita untuk mencapai keridhaan-Nya dengan melaksanakan
semua kebaikan dalam agama-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha
Mengabulkan doa.

Kota Kendari, 18 Rabiul awal 1432 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Artikel www.muslim.or.id

1 Lihat Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 658) dan Aisarut tafaasiir (3/289).

2 Kitab Tafsir Ibnu Katsir (3/615).

3 Kitab Tafsir Ibnu Katsir (3/615).

4 Ibid.

5 Sebagaimana dalam HSR al-Bukhari (no. 3778), lihat juga kitab Tafsir al-Qurthubi (14/119).

6 Mahram adalah orang yang tidak halal untuk dinikahi selamanya dengan sebab yang mubah
(diperbolehkan dalam agama). Lihat kitab Fathul Baari (4/77).

7 HSR Muslim (no. 1453), hadits yang semakna juga terdapat dalam Shahih al-Bukhari (no.
3778).

8 Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir (3/615).

9 Kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 665).


10 HR Abu Dawud (no. 1940), Ibnu Majah (no. 3025) dan Ahmad (1/234), dinyatakan shahih
oleh syaikh al-Albani.

11 HSR Muslim (no.2151).

12 Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir (3/615).

13 HSR al-Bukhari (no. 4998 dan 5659).

14 Lihat kitab Aunul Mabuud (14/41) dan Tuhfatul ahwadzi (6/39).

Anda mungkin juga menyukai