Anda di halaman 1dari 31

buku ilmu negara

BUKU AJAR

MATA KULIAH ILMU NEGARA


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR - SULAWESI SELATAN

Oleh:
Tim Pengajar
TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM
Pada pokok bahasan ini mahasiswa dapat memahami status ilmu negara dalam
kurikulum, objek ilmu negara serta hubungannya dengan ilmu lain yang berobjek
negara, dan pengertian negara.

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS


Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan status ilmu negara sebagai mata kuliah prasyarat dan mata kuliah dasar
keahilan hukum (MKDKH);
2. Menggambarkan dan menjelaskan skema teori Georg JelIinek tentang
Staatswissenschaft dalam arti luas;
3. Menjelaskan objek ilmu negara;
4. Menjelaskan hubungan antara ilmu negara dengan hukum tata negara, hukum
administrasi negara, dan ilmu politik;
5. Menjelaskan dan menguraikan unsur-unsur negara baik menurut pandangan
tradisional maupun pandangan modern;
6. Menjelaskan pengertian negara menurut beberapa penulis.

PETUNJUK UNTUK MAHASISWA


1. Materi yang dibicarakan dalam pokok bahasan ini adalah:
1.1 Status Ilmu Negara dalam Kurikulum
1.2 Objek Ilmu Negara
1.3 Hubungan Ilmu Negara dengan Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara,
dan Ilmu Politik
1.4 Unsur-unsur Negara
1.5 Pengertian Negara.
2. Pelajarilah lebih dahulu tujuan instruksional pokok bahasan ini, sehingga Anda tahu
apa yang diharapkan oleh dosen Anda pada akhir kuliah pokok bahasan ini.
Kemampuan Anda dalam menguasai pokok bahasan ini dapat dilihat dan sejauh mana
Anda berhasil mencapai tujuan instruksional pokok bahasan ini.
3. Pelajarilah pokok bahasan ini sebelum dikuliahkan di kelas, agar lebih memudahkan
Anda mengikuti pokok bahasan ini dan dapat berpartisipasi aktif dalam kuliah sesuai
dengan isi pokok bahasan yang telah ditentukan.
4. Materi yang ada dalam pokok bahasan ini hanya merupakan rangkuman dan buku
wajib dan buku anjuran sebagai berikut:
4.1 Soehino, S.H., Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty, 1986. hlm. 6-10.
4.2 M. Soily Lubis, S.H., Ilmu Negara. Bandung: Alumni, 1981. hlm. 9-18.
4.3 G.S. Diponolo, Ilmu Negara. Jiiid 1. Jakarta: PN Baiai Pustaka, 1975. hlm. 9-14, 23-
34, 53-54.
4.4 Prof. Mr. Djokosutono, Harun Al Rasid, Ilmu Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia 1985.
hlm. 41-42, 47.
4.5 Prof. Wirjono Prodjodikoro, S.H., Asas-asas Ilmu Negara dan Politik. Jakarta-
Bandung: PT. Eresco, 1981. hlm. 1-6.
4.6 Padmo Wahjono, S.H., Teuku Amir Hamzah, S.H., Diktat Standard Ilmu Negara.
Jakarta: FHUI, 1966. hlm. 19; 224-230.
4.7 Prof. Padmo Wahjono, S.H., Negara Republik Indonesia. Jakarta: Radjawali Press,
1986. hlm 63-66.
4.8 Moh. Koesnardi, S.H., Bintan R. Saragih, S.H., Ilmu Negara. Jakarta: Perintis Press,
1985. hlm. 27-34.
Oleh karena itu Anda diwajibkan untuk membaca literatur tersebut, agar Anda
menguasai lebih dalam materi pokok bahasan ini.
5. Kerjakan soal-soal latihan yang tersedia, dan gunakan materi pokok bahasan yang
ada dalam buku rangkuman ini, dan literatur baik yang diwajibkan maupun yang
dianjurkan sebagai sumber jawabannya. Jawablah terlebih dahulu semua soal yang
ada. Kemudian cocokkan jawaban Anda dengan kunci jawaban untuk soal latihan
bentuk esai, maupun objektif (pilihan ganda, ganda majemuk, dan sebab-akibat).
Dengan cara demikian Anda dapat menilai sendiri apakah jawaban Anda benar atau
tidak menurut sumber jawaban tersebut. Hindarilah melihat kunci jawaban terlebih
dahulu, karena hal itu tidak akan membantu Anda menguasai pokok bahasan ini.
PENDAHULUAN
1.1 STATUS DAN FUNGSI ILMU NEGARA DALAM KURIKULUM FAKULTAS HUKUM
BERDASARKAN Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia No. 0198/U/1972 tanggal 30 Desember 1972 tentang pedoman mengenai
kurikulum minimal fakultas hukum negeri maupun swasta di Indonesia, ilmu negara
merupakan salah satu mata kuliah yang diberikan untuk mahasiswa tingkat persiapan
selama 2 jam per minggu dalam satu tahun. Setelah perubahan sistem pendidikan, dan
sistem paket ke sistem SKS (sistem satuan kredit semester), pihak pemerintah cq
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI mengeluarkan pedoman baru untuk
kurikulum pendidikan tinggi di Indonesia, sebagaimana dikenal dengan nama kurikulum
inti. Khusus untuk Fakultas Hukum, ketentuan mengenai kurikulum ini dituangkan
dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI No. 30/DJ/Kep/1983 tanggal 27 April 1983.
Semua mata kuliah dalam kurikulum inti Fakultas Hukum tersebut di atas
(termasuk pengembangannya), dikelompokkan dalam 7 kelompok mata kuliah, yaitu:
(a) Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU); (b) Mata Kuliah Dasar Keahlian Hukum
(MKDKH); (c) Mata Kuliah Keahlian Hukum (MKKH); (d) Mata Kuliah Pendalaman
Hukum (MKPH); (e) Mata Kuliah Program Kekhususan; (f) Mata Kuliah Penunjang Studi
Hukum, dan (g) Mata Kuliah Pembulat Studi Hukum. Ilmu Negara dalam
pengelompokan ini merupakan satu dan tiga mata kuliah dasar keahlian hukum, yang
ditentukan bobot kreditnya 4 SKS. Mata kuliah dasar keahlian hukum yang lain adalah
Pengantar Ilmu Hukum (PIH), dan Pengantar Hukum Indonesia (PHI).
Fungsi dan Mata Kuliah Dasar Keahlian Hukum (MKDKH) adalah membantu
setiap orang yang mempelajari hukum agar dapat mengetahui latar belakang
pertumbuhan hukum, masyarakat yang bagaimana yang menimbulkan hukum itu, serta
hal-hal apa yang mempengaruhi timbulnya hukum. Oleh karena itu, MKDKH lebih
bersifat teoretis daripada mata kuliah lainnya yang lebih mempunyai nilai praktis.
Demikianlah mata kuliah dalam kelompok MKDKH dikenal dengan sebutan ilmu
sedangkan mata kuliah hukum lamnnya tidak disebut ilmu melainkan hukum.
Kecuali itu orang merasa lebih mudah mempelajari cabang-cabang ilmu hukum
lainnya setelah menguasai MKDKH, misalnya: orang merasa lebih mudah mempelajari
hukum perdata, hukum pidana, hukum acara setelah menguasai Pengantar Ilmu
Hukum dan Pengantar Hukum Indonesia. Demikian pula orang akan merasa lebih
mudah mempelajari Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Antar
Negara, dan Ilmu Politik setelah menguasai Ilmu Negara.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itulah mata kuliah dasar keahlian
hukum dalam kurikulum Fakultas Hukum sistem paket diberikan kepada mahasiswa
tingkat persiapan, dengan maksud untuk membantu mahasiswa dalam mempelajari
mata kuliah hukum lainnnya pada tingkat-tingkat berikutnya. Namun, setelah diterapkan
sistem SKS tidak lagi dikenal istilah tingkat dalam arti jumlah tahun yang telah dilalui,
maka mata kuliah dasar keahilan hukum diberikan sebagai mata kuliah prasyarat atau
prerequisite untuk mata kuliah hukum lainnya, sehingga ditawarkan pada semester I
atau II. Hal itu berarti mahasiswa dilarang mengambil mata kuliah hukum lainnya
sebelum lulus mata kuliah dasar keahlian hukum.
1.2 . OBJEK ILMU NEGARA
Objek ilmu Negara adalah negara dalam pengertian yang abstrak, umum, dan
universal. Jadi, Ilmu Negara mempelajari bahan-bahan mengenai kenegaraan yang
tidak hanya ditujukan kepada negara-negara tertentu yang kongkret, melainkan lebih
ditujukan kepada bentuk dan hakikat (esensi) negara pada umumnya di seluruh dunia.
Oleh Georg Jellinek seorang sarjana Jerman, semua bahan mengenai kenegaraan
dihimpun dan disistematisasikan sedemikian rupa sehingga kita sekaligus dapat melihat
bidang-bidang Ilmu Negara secara keseluruhan. Ilmu yang mengenai negara itu
digabungnya dalam satu kelompok. yang dinamakan Staatswissenschaft atau Ilmu
Kenegaraan. Dalam sistematika lebih lanjut, Georg Jellinek membagi
Staatswissenschaft dalam dua golongan, yaitu yang satu lebih ditekankan segi
objeknya (negara), sedangkan yang lain lebih ditekankan segi hukumnya (yuridis).
Kedua golongan tersebut dinamakan: (1) Staatswissensdzaft dalam arti sempit; dan (2)
Rechtswissenschift.
Kemudian Staatswissenschaft dalam arti sempit itu dibagi lagi dalam tiga
kelompok. yaitu: (1) Beschreibende Staatswissensehaft atau Staatskunde, (2)
Theoretische Staatswissenschaft atau Staatslehr dan (3) Praktische Staatswissenschaft
atau Angewandte Staatswissenschaft. Beschreibende Staatswissenschaft adalah
segala ilmu pengetahuan yang melukiskan dan menceritakan negara, termasuk unsur-
unsur negara, aspek-aspek negara yang belum disistematisasikan, melainkan baru
dikumpulkan. Setelah kumpulan itu diolah, dianalisis, digolongkan kembali mana yang
sama, dipisahkan mana yang berbeda, lalu disusun dalam suatu sistematik yang
akhirnya dicari pengertian-pengertian pokoknya dan sendi-sendi pokoknya, maka
disebut theoretisehe staatswissenschaft. Theoretische Staatswissenshaft atau
Staatslehre itulah Ilmu Negara sebagaimana yang kita pelajari sekarang. Jadi, Ilmu
Negara adalah suatu ilmu pengetahuan tentang negara yang mengambil bahan-
bahannya dan Besehreibende Staatswissenschaft. Setelah adanya teori-teori tersebut,
kemudian orang mempraktekkan ajaran kenegaraan yang diintrodusir oleh teori-teori
tersebut melalui Praktische Staatswissenshaft atau Ilmu Politik.
Ilmu pengetahuan tentang kenegaraan yang lebih ditekankan pada segi
hukumnya (Rechtissenshaft) meliputi: (1) Hukum Tata Negara; (2) Hukum Administrasi
Negara/Hukum Tata Usaha Negara/Hukum Tata Pemerintahan; (3) Hukum Antar
Negara. Jadi, menurut Georg Jellinek ada tiga macam limu Pengetahuan Hukum yang
mempunyai objek negara. Sedangkan Ilmu Pengetahuan Hukum lainnya seperti:
Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Acara tidak termasuk dalam negara sebagai
objek penyelidikannya.
Lebih lanjut Georg Jellinek membagi Theoretische Staatswissenschaft dalam
dua golongan berdasarkan sudut tinjauan sosiologis dan sudut tinjauan yuridis, yang
terkenal dengan teorinya Zweiseiten Theorie. Melalui kedua sudut tinjauan tersebut
diharapkan dapat diperoleh hal-hal yang bersifat umum dan universal, agar
Theoretische Staatswissenschaft atau Staatslehre itu dapat berlaku di seluruh dunia,
kendatipun dunia yang dimaksud pada waktu itu adalah dunia Barat. Ilmu Negara yang
berlaku umum untuk Seluruh dunia tersebut adalah Ailgeineine Staatslehre sesuai judul
bukunya yang terkenal saat itu, (allgemdne staatslenre = ilmu negara umum).
Sebaliknya ilmu Negara yang khusus mengenai negara tertentu disebut Besondere
Staatslehre. Ailgemeine Staatslehre dibagi lagi dalam dua bagian, yaitu: (1) Allgemeine
Soziale Staatslehre, yaitu teori-teori umum tentang negara yang ditinjau dan sudut
sosial; dan (2) Allgemeine Staatsrechtslehre, yaitu teori-teori umum tentang negara
yang ditinjau dan sudut yuridis. Demikian pula, Besondere Staatslehre dibagi dalam dua
golongan, yaitu: (1) Individuelle Staatslehre, yaitu teori-teori yang memandang negara
dan sudut sosial; dan (2) Spezielle Staatslehre, yaitu teori-teori yang memandang
negara dari sudut yuridis.
Secara sistematis dan skematis, teori George Jellinek tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:

Dengan terbitnya buku George Jellinek yang berjudul Aligemeine Staatslehre


tersebut, maka ia disebut juga Bapak Ilmu Negara. Hal itu karena ia orang pertama
yang membahas Ilmu Negara secara sistematis dengan melihat seluruh lapangan ilmu
pengetahuan, kemudian Ia meletakkan dalam satu sistem tertentu. Dalam sistem itu
terlihat adanya hubungan bagian yang satu dengan lainnya sehingga merupakan suatu
kesatuan yang disebut samenhangende eenheld. Ajarannya merupakan penutup untuk
masa lampau sekaligus sebagai dasar untuk mempelajari Ilmu Negara lebih lanjut.

1.3 HUBUNGAN ILMU NEGARA DENGAN HUKUM TATA NEGARA, HUKUM


ADMINISTRASI NEGARA, DAN ILMU POLITIK
Dengan mempelajari teori Georg Jellinek, telah kita ketahui bahwa bidang ilmu
pengetahuan hukum yang termasuk dalam Rechtswissenschaft ada tiga, yaitu: (1)
Hukum Tata Negara; (2) Hukum Administrasi Negara; dan (3) Hukum Antar Negara.
Akan tetapi, diketahui pula bahwa Ilmu Negara tidak hanya herhubungan dengan Ilmu
Hukum melainkan juga ilmu-ilmu lain yang bukan hukum. Menurut Gunadi Sukarno
Diponolo, Ilmu Negara menyangkut masalah hidup dan penghidupan manusia. Manusia
sebagai pribadi, manusia sebagai anggota masyarakat, manusia sebagai umat.
Manusia sehagai makhluk dan darah dan daging dengan segala instink hayatinya,
manusia sebagai insan nurani dengan naluri sosialnya dan dengan hasrat-hasrat
kebudayaannya. Manusia dengan serba-serbi aksi dan reaksinya, dengan emosi,
fantasi, ambisi, dan aspirasinya. Maka, Ilmu Negara erat huhungannya dengan segala
ilmu mengenai hidup dan penghidupan manusia, seperti: Sosiologi, Ekonomi, Psikologi,
Ilmu Hukum, Sejarah, dan Filsafat bahkan Ilmu Negara itu adakalanya perlu memasuki
daerahnya Ilmu Alam, seperti: Biologi, Antropologi, Ilmu Bumi.
Secara skematis, G.S. Diponolo dalam bukunya yang berjudul Ilmu Negara jilid
1, tersebut menggambarkan hubungan antara Ilmu Negara dengan ilmu-ilmu lain
sebagai berikut:
Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu-ilmu Lainnya
Meskipun demikian, di dalam uraian pada bagian pendahuluan ini hanya
diutarakan hubungan antara Ilmu Negara dengan Hukum Tata Negara, Hukum
Administrasi Negara, dan Ilmu Politik. Tidak dibicarakan hubungan antara Ilmu Negara
dengan Hukum Antar Negara, betapapun semua lapangan hukum tersebut mempunyai
objek negara.
Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, dan Ilmu Politik mempunyai
hubungan yang erat dengan Ilmu Negara karena ilmu-ilmu tersebut mempunyai objek
yang sama dengan Ilmu Negara, yaitu negara. Perbedaannya bahwa Hukum Tata
Negara dan Hukum Administrasi Negara memandang negara dan sifatnya atau
pengertiannya yang kongkret, sedangkan Ilmu Negara memandang negara dan sifatnya
atau pengertiannya yang abstrak. Objek dan Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara adalah negara yang sudah terikat pada tempat, keadaan, dan
waktu; jadi telah mempunyai ajektif tertentu, misalnya: Negara Republik Indonesia,
Negara Jepang, Negara Inggris. Kemudian negara dalam pengertiannya yang kongkret
itu diselidiki lebih lanjut mengenai susunannya, alat-alat perlengkapannya, wewenang
dan kewajiban alat-alat perlengkapannya. Kedua cabang ilmu pengetahuan tersebut
adalah hukum positif, dan di dalam sistematika Georg Jellinek kedua cabang ilmu
tersebut termasuk dalam kategori Rechtswissenschaft.
Antara Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara terdapat hubungan
yang sangat erat pula. Bahkan di Negeri Belanda, dua lapangan hukum tersebut pernah
disebut bersama-sama, yaitu: Staas- en Administratief Recht, bahkan selalu diajarkan
oleh seorang guru besar. Meskipun demikian, tidaklah berarti bahwa kedua cabang ilmu
tersebut adalah sama.
Menurut C. Van Vollenhoven dalam bukunya yang berjudul Thorbecke en het
Administratief Recht yang diterbitkan tahun 1919:
a. Hukum Tata Negara adalah rangkaian peraturan hukum, yang mendirikan badan-
badan sebagai alat (organ) suatu negara, dengan memberikan wewenang kepada
badan-badan itu, dan yang membagi-bagi pekerjaan pemerintah kepada banyak alat
negara, baik yang tinggi maupun yang rendah kedudukannya.
b. Hukum Administrasi Negara adalah rangkaian ketentuan-ketentuan yang mengikat
alat-alat negara tinggi dan rendah, pada waktu alat-alat negara itu mulai menjalankan
tugasnya, sebagaimana telah ditetapkan dalam Hukum Tata Negara tadi.
Demikian juga menurut Oppenheimer Lauterpacht bahwa peraturan-peraturan
Hukum Tata Negara adalah peraturan mengenai de staat in rust (negara yang sedang
beristirahat, atau negara dalam keadaan tak bergerak). Sebaliknya mengenai
peraturan-peraturan Hukum Administrasi Negara adalah peraturan mengenai de staat
in beweging atau negara yang sedang bergerak.
Berdasarkan rumusan-rumusan tersebut maka Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara sudah jelas lapangan penyelilikannya hanya terhadap negara-
negara tertentu (hukum positif), sedangkan ilmu Negara tidak mengenai negara-negara
tertentu, melainkan negara-negara di dunia ini pada umumnya. Dengan demikian
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara di satu pihak sebagai hukum
positif dan Ilmu Negara di pihak yang lain mempunyai hubungan saling mempengaruhi
dan saling menjelaskan. Oleh karena itu, dalam buku-buku tentang Hukum Tata Negara
atau Hukum Administrasi Negara, hal-hal dan Ilmu Negara dapat dipakai sebagai batu
loncatan untuk sampai kepada kedua cabang hukum tersebut; sebaliknya buku-buku
tentang Ilmu Negara, hal-hal mengenai kedua cabang hukum (HTN dan/atau HAN)
dapat dipakai sebagai contoh dan apa yang diuraikan dalam Ilmu Negara.
Mengenai hubungan antara Ilmu Negara dan Ilmu Politik kiranya sudah cukup
jelas dan sistematika Staatswissenschaft (dalam arti sempit) oleh Georg Jellinek. Ia
menerangkan bahwa teori-teori yang diajarkan dalam Theoretische Staatswissensciiaft
kemudian dipraktekkan melalui Praktische Staatswissenschaft. Theoretische
Staatswissenschaft adalah sama dengan Ilmu Negara. Praktisclie Staatswissenschaft
adalah sama dengan Ilmu Politik Dengan demikian, dapatlah diutarakan bahwa teori-
teori yang diajarkan dalam Ilmu Negara kemudian dipraktekkan melalui Ilmu Politik.
Hanya saja Ihnu Politik dalam sistematika Georg Jellinek berbeda dengan pengertian
Political Science/Politics yang terdapat di negara Anglo-Saxon, seperti Inggris dan
Amerika Serikat. Menurut pandangan yang terdapat di negara Anglo-Saxon, Ilmu Politik
berdiri sendiri terlepas dari praktek tentang teori-teori kenegaraan sebagaimana dikenal
di Eropa Barat tersebut.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, bahwa jika dilihat dan sudut sifatnya, maka Ilmu
Negara sama dengan Hukum Tata Negara yaitu bersifat statis. Sebaliknya Ilmu Politik
sama dengan Hukum Administrasi Negara yakni bersifat dinamis. Sedangkan antara
Ilmu Politik dan Hukum Administrasi Negara perbedaannya adalah bahwa Hukum
Administrasi Negara hanya mengenai cara bekerja alat-alat perlengkapan negara
menurut peraturan hukum tertentu, sebaliknya politik justru mengenai cara bekeqa
dalam praktek sehari-hari, yang jika perlu, melanggar hukum positif yang berlaku.
1.4 UNSUR-UNSUR NEGARA
Adapun unsur-unsur yang harus dimiliki oleh suatu masyarakat politik supaya ia
dapat dianggap sebagai negara, menurut Oppenheimer Lauterpacht adalah: (1)
harus ada rakyat; (2) harus ada daerah; dan (3) harus ada pemerintah yang berdaulat.
Ketiga unsur tersebut adalah unsur pokok sebagaimana dikenal dalam pandangan
tradisional. Saat ini ada pula pandangan baru bahwa ada empat unsur negara, yaitu: (1)
harus ada rakyat; (2) harus ada daerah tertentu; (3) harus ada pemerintah yang
berdaulat; dan (4) harus ada pengakuan negara lain tentang kedaulatan negara
tersebut.
Menurut Konperensi Pan-Amerika pada tahun 1933 di Montevideo, yang
menghasilkan Konvensi Montevideo Mengenai Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban
Negara (Montevideo Convention on the Rights and Duties of States), maka unsur-unsur
konstitutif negara sebagai pribadi Hukum Internasional adalah: (a) penduduk yang tetap;
(b) wilayah tertentu; (c) pemerintah; dan (d) kemampuan mengadakan hubungan dengan
negara-negara lain. (The State as a person of International Law should possess the
following qualification: (a) a permanent population; (b) a defined territory; (c) a
government; and (d) a capacity to enter into relations with other Stat es.)
1.4.1 Unsur Rakyat
Pengertian rakyat sebagai unsur negara tidaklah sekadar sejumlah orang yang
berada di tempat tertentu, melainkan yang paling penting di antara mereka adalah cita-
cita untuk bersatu. Kelompok inilah yang disebut bangsa. Memang ada pula yang
membedakan pengertian rakyat dan bangsa. G.S. Diponolo mengatakan, bahwa rakyat
hanyalah sebagian dan bangsa, yaitu mereka yang tidak duduk dalam pucuk pimpinan.
Sedangkan pengertian bangsa mencakup baik pimpinan maupun rakyat itu sendiri.
Dengan demikian, ia cenderung berpendapat bahwa istilah rakyat yang dipakai sebagai
unsur negara adalah tidak tepat. Istilah bangsa yang lebih tepat. Demikian pula Padmo
Wahjono, menggunakan istilah bangsa sebagai unsur negara. Bangsa dan suatu
negara jika dilihat secara perorangan maka disebut warga negara.
Dahulu orang berpendapat, bahwa suatu bangsa hanya dapat dibentuk oleh
suatu masyarakat yang berasal dan satu keturunan, satu bahasa, satu adat istiadat,
dan sebagainya. Pandangan ini sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Contoh, bangsa
Amerika berasal dan berbagai macam keturunan bangsa dan Eropa; bangsa Swiss
memiliki tiga macam bahasa yang sama kuatnya; dan bangsa Indonesia memiliki aneka
ragam adat istiadat dan kebiasaan. Hanya saja berkat bangsa-bangsa tadi mempunyai
cita-cita yang sama dan tekad bersama untuk hidup bersama di dalam suatu kesatuan
politik, maka terbentuklah satu bangsa, yaitu: bangsa Amerika, bangsa Swiss, dan
bangsa Indonesia. Demikian pula menurut Oppenheimer Lauterpacht, bahwa yang
dimaksud dengan rakyat adalah kumpulan manusia dan kedua jenis kelamin yang
hidup bersama merupakan suatu masyarakat, meskipun mereka berasal dan keturunan
yang berlainan, menganut kepercayaan yang berlainan, atau memiliki warna kulit yang
berbeda.
Mengenai warga negara dapat diperinci lagi dalam empat status, yaitu:
a. status positif; memperoleh fasilitas dan jaminan untuk mendapatkan kemakmuran
dan negara;
b. status negatif; negara tidak akan mencampuri hak asasi rakyatnya bila tidak perlu;
c. status aktif ikut dalam pemerintahan negara;
d. status pasif tunduk pada ketentuan-ketentuan negara.
Pengertian rakyat berbeda dengan penduduk Rakyat adalah warga atau anggota
dan suatu negara, sedangkan penduduk adalah orang yang tinggal dalam wilayah
negara tertentu. Jadi dalam penduduk terdapat rakyat dan orang asing.
1.4.2 Unsur Daerah
Unsur daerah atau terkadang dipakai istilah unsur wilayah adalah merupakan
unsur negara dengan syarat bahwa kekuasaan negara yang bersangkutan harus
secara efektif diakui di seluruh wilayah negara yang bersangkutan. Hal ini berarti di
dalam wilayah tersebut tidak boleh ada kekuasaan lain selain kekuasaan negara yang
bersangkutan. Batas daerah atau batas wilayah suatu negara ditentukan melalui
perjanjian dengan negara-negara lain. Dulu penentuan batas negara kerap kali dibuat
menurut pembawaan alam, misalnya : sungai, selat, danau, dan pegunungan. Batas
negara tersebut tidak hanya meliputi daratan, tetapi juga wilayah lautan, dan wilayah
udara.
Makna penentuan batas wilayah adalah negara dipandang sebagai subjek,
dalam arti tidak ada kekuasaan lain yang berhak menanamkan kekuasaannya di
wilayah itu. Menempuh wilayah negara asing tanpa izin negara yang bersangkutan,
dianggap pelanggaran atas souvereinitas negara itu. Perbuatan-perbuatan demikian
dapat ditindak secara hukum oleh negara. Batas teritorial negara biasanya ditentukan
dalam perjanjian dengan negara-negara tetangga. Dalam traktat yang diadakan pada
tahun 1919 di Paris, ditetapkan bahwa udara di atas tanah suatu negara termasuk
wilayah negara itu.
Batas laut teritorial ditetapkan oleh masing-masing negara yang berbatasan.
Umumnya lebar laut teritorial adalah 3 mil, kecuali Norwegia, Swedia, dan Spanyol
menetapkan 4 mil. Indonesia 12 mil. Selain itu kepada negara-negara pantai diberikan
hak eksklusif atas sumber daya ekonomis dan sumber daya alas laut dalam, selebar
200 mil dari pantai (konvensi PBB tentang Hukum laut tanggal 7 Oktober 1982, artikel
82). Hal itu berarti negara-negara pantai yang bersangkutan mempunyai hak untuk
mengusahakan sumber daya ekonomi dalam laut (menangkap ikan, usaha
pertambangan mineral, dan lainnya) selebar 200 mil lepas pantai tanpa diganggu oleh
negara lain. Batas inilah yang disebut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Selain pandangan mengenal wilayah secara tradisional tersebut di atas, ada pula
pandangan yang lebih modern yaitu bahwa wilayah yang dimaksud merupakan
lebensraum (ruang hidup) suatu negara. Dari sudut hukum maka pengertian wilayah
tersebut adalah merupakan wilayah hukum, berarti dapat berupa: (a) wilayah ruang; (b)
wilayah orang; dan (c) wilayah soal/bidang. Sepanjang telah diuraikan di atas termasuk
dalam wilayah ruang.
Pada zaman purba di mana kehidupan suatu masyarakat (negara) itu berpindah-
pindah, maka wilayah ruang tidaklah terlalu penting, melainkan wilayah orang
(persoonlijke element), yaitu siapa yang menjadi objek kekuasaan harus tunduk pada
pusat pemerintahan itu. Dalam konstruksi patrimonial, wewenang penguasa didasarkan
hak milik, maka orang dalam wilayah tersebut tunduk kepada penguasa. Wilayah soal
dijumpai apabila: dalam suatu wilayah ada dua atau lebih pusat kekuasaan disebabkan
karena perjanjian, wilayah mana disebut kondominium (pemilikan bersama) atau lebih
tepat disebut koimperium (penguasaan bersama); (2) dalam hal Negara Serikat
dijumpai adanya pemerintah pusat dan pemerintah negara-negara bagian yang masing-
masing memiliki wewenang atas suatu wilayah soal-soal yang telah ditetapkan; (3)
dalam negara Protektorat di mana negara yang kurang kuat menyeahkan beberapa
kekuasaan (beberapa soal) terutama urusan luar negeri dan pertahanan, kepada
negara yang kuat untuk melindungunya; dan (4) dalam penaklukan suatu negara yang
kalah dalam peperangan, seperti pemerintahan pendudukan Amerika di Jepang
(Occupation).
1.4.3 Unsur Pemerintah yang Berdaulat
Unsur pemerintah ini biasanya dirumuskan berdaulat ke luar dan ke dalam.
Berdaulat ke luar artinya mempunyai kedudukan yang sederajat dengan negara-negara
lain. Berdaulat ke dalam artinya merupakan pemerintah/penguasa yang berwibawa.
Mengenai pengertian pemerintah sebagaimana halnya tiap organisasi mempunyai
badan pimpinan dan badan pengurus. Demikian pula negara selaku organisasi
mempunyai badan pimpinan dan badan pengurus yang disebut peinerintah. Fungsi dan
badan pimpinan serta badan pengurus disebut pemerintahan. Pemerintah memerintah
berarti pemerintah menjalankan tugas pemerintahan.
Dengan mensitir catatan Utrecht dalam bukunya berjudul Pengantar Dalam
Hukum Indonesia, M. Solly Lubis, menulis bahwa istilah pemerintah meliputi tiga
pengertian yang tidak sama. Ketiga pengertian tersebut adalah: (a) pemerintah dalam
arti luas meliputi badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif; jadi termasuk semua badan
kenegaraan yang menyelenggarakan kesejahteraan umum. Pengertian pemerintah
demikian dalam istilah Belanda disebut ovetheid atau gouvernement, dalam istilah
Inggris disebut government. Populer dalam istilah Indonesia sekarang adalah
penyelenggara negara; (b) pemerintah dalam arti gabungan badan-badan kenegaraan
tertinggi atau satu badan kenegaraan tertingi yang berkuasa memerintah di wilayah
suatu negara, misalnya: Raja, Presiden, Badan Soviet Tertinggi, Yang Dipertuan Agung
di Malaysia; (c) pemerintah dalam arti kepala negara (Presiden) bersama-sama dengan
menteri-menterinya, yang berarti organ eksekutif, yang biasa disebut Dewan Menteri
atau Kabinet atau di Inggris disebut Privy Council.
G.S. Diponolo dalam bukunya Ilmu Negara jilid 1 menulis bahwa ada dua
pengertian pemerintah. Kedua pengertian tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a. Dalam arti luas: pemerintah adalah keseluruhan dan badan pengurus negara dengan
segala organisasi, segala bagiannya, dan segala pejabatnya yang menjalankan tugas
negara dari pusat ke pelosok-pelosok daerah;
b. Dalam arti sempit: pemerintah adalah suatu badan pimpinan yang terdiri atas seorang
atau beberapa orang yang mempunyai peranan pimpinan dan menentukan dalam
pelaksanaan tugas negara; jelasnya pemerintah dalam pengertian ini adalah kepala
negara dengan para menteri yang kini lazim disebut kabinet.
1.4.4 Unsur Pengakuan oleh Negara-negara Lain
Ketiga unsur yang diuraikan terdahulu adalah unsur pokok yang dikenal dalam
pandangan klasik,, sekaligus merupakan unsur pembentuk negara. Dengan kata lain,
bahwa suatu negara itu ada jika memenuhi ketiga unsur tersebut; sebaliknya jika belum
memenuhi ketiga unsur tersebut maka negara itu belum ada. Sedangkan unsur
pengakuan oleh negara-negara lain hanyalah bersifat menerangkan saja tentang
adanya negara. Jadi hanya deklaratif, bukan konstitutif, sehingga unsur pengakuan
tidak bersifat mutlak.
Ada dua macam pengakuan atas suatu negara, yaitu: (a) pengakuan defacto;
dan (b) pengakuan dejure.
1.4.4.1 Pengakuan De Facto
Pengakuan de facto ialah pengakuan atas fakta adanya negara. Pengakuan itu
diberikan berdasarkan realita bahwa suatu masyarakat politik itu telah memenuhi ketiga
unsur utama negara, yaitu: ada wilayahnya, ada rakyat (bangsa)nya, dan ada
pemerintahnya. Pengakuan de facto demikian biasanya diberikan untuk menghadapi
kenyataan-kenyataan yang tidak dapat dielakkan dalam hubungan internasional.
Misalnya, pemerintah Inggris mula-mula tidak ingin mengakui pemerintahan Republik
Indoneia. Namun, ia menghadapi kenyataan bahwa pada akhir Perang Dunia II Ia harus
melucuti dan mengembalikan tentara Jepang yang masih ada di Indonesia. Syarat
mutlak yang merupakan conditio sine qua non bagi tentara Inggris untuk dapat
melakukan tindakan tersebut adalah melalui kerja sama dengan pemerintah Republik
Indonesia. Dengan demikian, maka secara terpaksa pemerintah Inggris mengakui
pemerintahan Republik Indonesia secara de facto.
Pengakuan de facto sifatnya adalah sementara. Pengakuan tcrsebut diberikan
sambil menunggu perkembangan lebih lanjut dari negara yang baru lahir itu. Apabila
ternyata bahwa praktek negara ini dapat berlangsung lama, juga berlaku atas dasar-
dasar yang dapat diterima menurut hukum dan kebiasaan internasional; kemudian
pemerintah baru itu pun ternyata dapat mendirikan kekuasaan yang kokoh dan tetap
(stable), serta dapat memenuhi segala kewajibannya sebagai anggota keluarga
bangsa-bangsa sedunia, baru disusul pengakuan de jure.
1.4.4.2 Pengakuan De Jure
Pengakuan de jure ialah pengakuan akan sahnya suatu negara berdasarkan
pertimbangan yuridis menurut hukum. Dengan memperoleh pengakuan de jure suatu
negara mendapat hak-haknya di samping kewajibannya sebagai anggota keluarga
bangsa-bangsa sedunia. Hak dan kewajiban yang dimaksud adalah hak dan kewajiban
untuk bertindak dan diperlakukan sebagai negara yang berdaulat penuh, di antara
negara-negara lain.
Jika suatu pemerintahan telah memperoleh pengakuan de facto, tetapi kemudian
ternyata pemerintahan itu tidak berhasil menegakkan kekuasaannya, maka pengakuan
de facto akan gugur dengan sendirinya, namun jika pemerintahan itu terbukti dapat
bertahan dan mampu memenuhi kewajibannya yang lazim sebagai anggota keluarga
bangsa-bangsa sedunia, barulah pemerintahan yang bersangkutan diberikan
pengakuan de jure. Dengan diberikannya pengakuan de jure, maka lazimnya
pengakuan itu dianggap berlaku tidak sejak pengakuan de jure itu diberikan, melainkan
pengakuan tersebut berlaku sejak berdirinya kekuasaan atas negara itu secara de
facto.
Ada yang berpendapat bahwa unsur pengakuan mendapat posisi yang begitu
penting, sehingga unsur pengakuan sebagai unsur keempat dan berdirinya suatu
negara, di samping ketiga unsur yang lain, yaitu: rakyat (bangsa), wilayah, dan
pemerintah yang berdaulat. Sebaliknya ada pula yang berpendapat bahwa kehadiran
unsur pengakuan hanyalah sekadar menjelaskan tentang negara yang sudah ada. Jadi
keberadaan suatu negara sama sekali tidak tergantung dan ada tidaknya unsur
pengakuan. Akibat perbedaan pandangan mengenai unsur pengakuan tersebut maka
dikenal dua macam teori tentang hal itu.
1.4.4.3 Teori-teori Pengakuan
Dalam lapangan hukum internasional dikenal dua teori tentang pengakuan suatu
negara baru oleh negara lain yang telah ada sebelumnya. Kedua teori tersebut sering
dikenal dengan nama: (a) declaratory theory atau evidentiary theory atau teori
deklaratif; dan (b) constitutive theory atau teori konstitutif.
a. Teori Deklaratif (Declaratory Theory = Evidentiary Theory)
Berdasarkan teori deklaratif, jika suatu masyarakat politik telah memiliki ketiga
unsur pokok tentang negara, maka dengan sendirinya ia telah merupakan; sebuah
negara, yang karenanya patut diperlakukan sebagaimana mestinya perlakuan tersebut
diberikan oleh anggota keluarga negara sedunia dan yang satu terhadap yang lainnya.
Hal itu berarti bahwa hukum internasional harus menganggap masyarakat politik yang
bersangkutan sebagai suatu negara yang berdaulat penuh, lengkap dengan segala hak
dan kewajibannya yang dengan sendirinya melekat padanya. Pengakuan hanyalah
bersifat pencatatan pada pihak negara-negara lain, bahwa negara baru itu telah
mengambil tempat di samping negara-negara lain yang sudah ada.
Contoh:
USA memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1776, sedangkan pengakuan dari
Inggris baru dibenihan pada tahun 1873. Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya
pada tahun 1945 yang saat itu belum ada negara yang mengakui keberadaannya;
pengakuan dan Belanda baru diumumkan pada tahun 1949.
b. Teori Konstitutif (Constitutive Theory)
Penganut teori konstitutif berpendirian bahwa betapapun unsur-unsur
kenegaraan telah dimiliki oleh suatu masyarakat politik, tidaklah ia secara otomatis
diterima sebagai negara di tengah-tengah masyarakat internasional. Alasannya, bahwa
suatu masyarakat politik justru baru dapat diketahui apakah ia memenuhi unsur-unsur
negara atau tidak melalui unsur pengakuan oleh negara lain. Dengan adanya
pernyataan pengakuan dan negara-negara lain, maka masyarakat politik tersebut mulai
diterima sebagai negara baru yang berdaulat dan berkedudukan sama dengan negara-
negara lainnya sebagai anggota keluarga negara-negara sedunia. Setelah melewati
proses pengakuan tersebut baru suatu negara itu dapat menikmati hak-haknya sebagai
negara baru.
Kedua golongan penganut teori yang berlainan tersebut di atas hingga saat ini
tetap saling bertentangan. Menurut M. Solly Lubis, bahwa pokok pangkal pertentangan
ini tidak lain dan sistem hukum internasional sendiri yang tidak mengenal suatu central
authority (kekuasaan pusat) yang menentukan secara normatif, ukuran-ukuran mana
yang digunakan dalam penerapan lembaga pengakuan tersebut.
1.5 . PENGERTIAN NEGARA
Setelah mempelajari unsur-unsur negara tersebut di atas, kemudian melalui
metode induktif dapatlah dimengerti bahwa negara adalah suatu masyarakat politik
yang telah memenuhi unsur-unsur tersebut, sekurang-kurangnya tiga unsur yang
pertama G.S. Diponolo menulis dalam bukunya Ilmu Negara, jilid 1:
Pada hemat kita negara itu adalah suatu organisasi kekuasaan yang berdaulat yang
dengan tata pemerintahan mdaksanakan tata tertib atas suatu umat di suatu daerah
tertentu. Bagaimana bentuk dan coraknya, negara selalu merupakan organisasi
kekuasaan. Organisasi kekuasaan ini sefalu mempunyai tata pemerintahan. Dan tata
pemerintahan ini selalu melaksanakan tata tertib atas suatu umat di daerah tertentu.
Rumusan dari G.S Diponolo tersebut di atas merupakan rangkuman dan
beberapa definisi tentang negara dengan melihat unsur-unsur negara. Beberapa
definisi tersebut antara lain adalah:
a. Menurut Aristoteles, negara (polis) ialah persekutuan dan keluarga dan desa guna
memperoleh hidup yang sebaik-baiknya;
b. Menurut Jean Bodin, negara ialah suatu persekutuan keluarga-keluarga dengan
segala kepentingannya yang dipimpin oleh akal dan suatu kuasa yang berdaulat;
c. Menurut Hugo Grotius, negara ialah suatu persekutuan yang sempurna dan orang-
orang yang merdeka untuk memperoleh perlindungan hukum;
d. Menurut Bluntschli, negara adalah diri rakyat yang disusun dalam suatu organisasi
politik di suatu daerah tertentu;
e. Menurut Hans Kelsen, negara adalah suatu susunan pergaulan hidup bersama
dengan tata paksa;
f. Menurut Woodrow Wilson, negara ialah rakyat yang terorganisasi untuk hukum dalam
wilayah tertentu.
Dengan memperhatikan pengertian-pengertian mengenai negara tersebut,
khususnya mengenai keberadaan suatu negara adalah memiliki ketiga unsur pokok itu,
maka kini timbul pertanyaan bagaimanakah dengan negara Republik Indonesia yang
diakui keberadaannya sejak 17 Agustus 1945 sedangkan presiden dan wakil presiden
baru ada pada tanggal 18 Agustus 1945? Apakah benar negara Indonesia lahir pada 17
Agustus 1945 meskipun presiden dan wakil presiden baru ada satu hari kemudian, yaitu
tanggal 18 Agustus 1945?
Jawaban atas pertanyaan tersebut tentunya berkisar pada unsur yang ketiga dan
negara, yaitu pemerintahan yang berdaulat. Ada yang berpendapat bahwa lahirnya
negara Republik Indonesia harus dipisahkan dan lahirnya pemerintahan Republik
Indonesia. Akan tetapi, pendapat demikian sukar diterima karena pemerintah adalah
unsur yang melahirkan negara, bukan sebaliknya setelah adanya negara baru lahir
unsur negara yang disebut pemerintah. Oleh karena itu, dalam menjawab pertanyaan
tersebut haruslah bertolak dan pengertian pemerintah dalam arti luas dan dalam arti
sempit. Pemerintah dalam arti luas sebagaimana diuraikan sebelumnya meliputi semua
badan kenegaraan yang menyelenggarakan kesejahteraan umum. Dengan demikian,
maka pada tanggai 17 Agustus 1945 negara Repubilk Indonesia sudah mempunyai
pemerintahan dalam arti luas, yaitu Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
sebagai satu-satunya lembaga dan penguasa negara Repubilk Indonesia saat itu.
Sedangkan terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden RI pada tanggal 18 Agustus 1945
hanyalah melengkapi kekuasaan pemerintahan negara RI yang sudah ada, sekaligus
melakukan pembagian tugas di mana Presiden dan Wakil Presiden RI yang kemudian
ditambah dengan menteri-menteri yang duduk dalam kabinet yang dibentuk oleh PPKI
pada 19 Agustus 1945 untuk melaksanakan fungsi eksekutif. Fungsi-fungsi lain pun
dilaksanakan oleh presiden selama lembaga-lembaga menurut UUD 1945 seperti:
MPR, DPR, dan DPA, belum terbentuk namun pelaksanaan fungsi itu presiden dibantu
oleh PPKI yang telah meleburkan diri dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
pada tanggal 22 Agustus 1945.
SOAL-SOAL LATIHAN
A. Bentuk Esai
1. Jelaskan status Ilmu Negara sebagai mata kuliah dalam kurikulum Fakultas Hukum
dan merupakan mata kuliah prasyarat (prerequisite)!
2. Berikan uralan singkat mengenai hubungan antara Ilmu Negara dengan:
a. Hukum Tata Negara (HTN);
b. Hukum Administrasi Negara; dan
c. Ilmu Politik.
3. Sebutkan dan jelaskan beberapa unsur negara berdasarkan pandangan klasik!
4. Bagaimanakah pandangan modern mengenai unsurunsur negara? Sebutkan pula
teori-teorinya dan jelaskan secara singkat masing-masing teori itu!
5. Sehubungan dengan terpilihnya Jr. Soekarno sebagai Presiden RI dan Drs. Moh.
Hatta sebagai Wakil Presiden RI pada tanggal 18 Agustus 1945, apakah unsur-unsur
terbentuknya negara Republik Indonesia baru terpenuhi pada tanggal 18 Agustus 1945,
kendatipun tanggal 17 Agustus 1945 telah diproklamirkan kemerdekaan Republik
Indonesia? Jelaskan pendapat Anda!
B. Pilihan Ganda
Berilah tanda X (tanda silang) pada jawaban yang Anda yang Anda anggap benar.
1. Negara sebagai pribadi Hukum Internasional harus miliki unsur:
A. Rakyat.
B. Daerah.
C. Pemerintah.
D. Kemampuan mengadakan hubungan dengan negara lain.
E. Gabungan unsur A, B, C, dan D.
2. Menurut Hans Kelsen, negara ialah:
A. Persekutuan dan keluarga dan desa guna memperoleh hidup yang sebaik-baiknya.
B. Suatu persekutuan keluarga dengan segala kepentingannya yang dipimpin oleh akal
dan suatu kuasa yang berdaulat.
C. Suatu susunan pergaulan hidup bersama dengan tata paksa.
D. Rakyat yang berorganisasi untuk hukum dalam wilayah tertentu.
E. Suatu sistem kesejahteraan umum (res pub1ica).
3. Dalam sistematika Georg Jellinek, letak Ilmu Negara adalah pada:
A. Beschreibende, Staatswissenschaft.
B. Theoretjsche Staatswissenschaft.
C. Praktische S taatswissenschaft.
D. Rechtswissenschaft.
4. Yang dimaksud dengan pemerintah dalam arti luas menurut Utrecht adalah:
A. Badan eksekutif dan badan legislatif.
B. Badan eksekutif, legislatif, dan badan yudikatif.
C. Badan eksekutif dan badan yudikatif.
5. Negara adalah suatu persekutuan keluarga dengan segala kepentingan yang
dipimpin oleh akal dan suatu kuasa yang berdaulat, adalah pengertian yang
dikemukakan oleh:
A. Jean Bodin.
B. Aristoteles.
C. Hans Kelsen.
D. Hugo Grotius.
6. Suatu masyarakat politik sekalipun telah memiliki unsur negara, namun tidak otomatis
diterima sebagai negara dalam masyarakat internasional, sebab suatu negara harus
memiliki syarat pokok, yaitu pengakuan. Pandangan demikian adalah menurut:
A. Teori Deklaratif.
B. Teori Konstitutif.
C. Teori Substantif.
D. Teori Instinktif.
E. Teori Kedaulatan.
C. Pilihan Ganda Majemuk
Pilihlah:
A. Bila jawaban nomor 1, 2, dan 3 benar.
B. Bila jawaban nomor I dan 3 benar.
C. Bila jawaban nomor 2 dan 4 benar.
D. Bila jawaban nomor 4 saja yang benar.
E. Bila semua nomor benar.
1. Ilmu Negara mempunyai hubungan yang sangat erat dengan HTN dan HAN karena:
1. Ilmu Negara dianggap sebagai ilmu pengantar untuk mempelajari Hukum Tata
Negara dan Hukum Administrasi Negara.
2. Ilmu Negara di satu pihak dan HTN serta HAN di lain pihak saling menjelaskan.
3. Objek dan Ilmu Negara sama dengan objek HTN dan HAN (yaitu negara) hanya sudut
pandangan yang berlainan.
4. Baik Ilmu Negara maupun HTN dan HAN dalam pembahasannya lebih
menitikberatkan kepada gejala sosial-politik dalam negara.
2. Berdasarkan Teori Pengakuan yang Deklaratif, maka unsur negara yang dianggap
penting adalah:
1. Daerah.
2. Rakyat.
3. Pemerintah yang berdaulat.
4. Pengakuan kedaulatan oleh negara lain.
3. Unsur pemerintah haruslah berdaulat ke luar dan ke !alam, artinya:
1. Mempunyai kedudukan yang sederajat dengan negara lain.
2. Mempunyai tata tertib.
3. Merupakan pemerintah/penguasa yang berwibawa.
4. Menjalin hubungan dengan negara-negara lain.
4. Sejak tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia sudah dapat sebut sebagai negara yang
berdaulat sebab:
1. Pada tanggal tersebut rakyat Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya.
2. Pada saat itu Indonesia sudah memiliki lembaga penguasa negara, yaitu PPKI.
3. Indonesia sudah memiliki pemerintah (dalam arti luas).
4. Sudah memiliki presiden dan wakil presiden.
D. Hubungan Sebab-Akibat
Pilihlah :
A. Bila pernyataan benar, alasan benar, dan kedua-duanya menunjukkan hubungan
sebab akibat.
B. Bi1a pernyataan benar, alasan benar, tetapi keduanya tidak menunjukkan hubungan
sebab akibat.
C. Bila pernyataan benar, alasan salah.
D. Bila pernyataan maupun alasan keduanya salah.
1. HTN mempelajari negara dalam keadaan diam de staat in rust
sebab
HTN mempunyai hubungan yang erat dengan Ilmu Negara.
2. Sejak proklamasi 17 Agustus 1945, Indonesia sudah dapat disebut sebagai negara
yang berdaulat
sebab
Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan Sepenuhnya oleh MPR.
KUNCI JAWABAN
B. Pilihan Ganda
1. E
2. C
3. B
4. B
5. A
6. B
C. Pilihan Ganda Majemuk
1. A
2. A
3. B
4. D
D. Hubungan Sebab Akibat
1. B
2. B
POKOK BAHASAN II:
TIMBUL TENGGELAMNYA NEGARA

SATUAN ACARA PERKULIAHAN


TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM
TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS
PETUNJUK UNTUK MAHASISWA
II.1 Pendahuluan
II.2 Teori-teori Tentang Timbulnya Negara
11.2.1 Zaman Yunani Kuno
11.2.2 Zaman Romawi Kuno
11.2.3 Zaman Abad Pertengahan
11.2.4 Zaman Renaissance
11.2.5 Zaman (Kaum) Monarchomacjien
11.2.6 Zaman Berkembangnya Hukum Alam
11.2.6.1 Teori Hukum Alam Abad XVI1
11.2.6.2 Teori Hukum Alam Abad XVIII
11.2.7 Zaman Berkembangnya Teori Kekuatan (Kekuasaan)
11.2.8 Teori Positivisme
11.2.9 Teori Modern
11.3 Sifat Hakikat Negara
11.3.1 Peninjauan Sosiologis
11.3.1.1. Pandangan Kranenburg dan Rudolf Smend
I.1.3.1.2. Pandangan Heller dan Logemann
I.1.3.1.3. Pandangan Oppenheimer dan Gumplowicks
1.1.3.1.4. Pandangan Teori Duguit
I.1.3.1.5. Pandangan Harold J. Laski
11.3.2 Peninjauan Yuridis
11.3.2.1. Negara sebagai Rechts Objek
I.1.3.2.2. Negara sebagai Rechts Verhaltnis
I.1.3.2.3. Negara sebagai Rechts Subjek
II.4 Teori teori tentang Tenggelamnya Negara
II.4.1. Teori Organis
II.4.2. Teori Anarkis
II.4.3. Teori Markis
II.4.4 Daerah, Bangsa, Pemerintah, dan Hidup Matinya Negara
II.4.5. Perang dan Hidup Matinya Negara
SOAL-SOAL LATIHAN
KUNCI JAWABAN
Tabel
SATUAN ACARA PERKULIAHAN
TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM
Pada akhir pokok bahasan ini mahasiswa dapat memahami bagaimana, suatu negara
itu terbentuk, apa hakikat negara, serta kemungkinan-kemungkinan suatu negara itu
akan tenggelam.
TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa dapat:
1. Menguraikan latar belakang sejarah timbulnya negara pada setiap periode, sert.a
pandangan beberapa ahli pikir dalam periode tersebut secara garis besar.
2. Menguraikan latar belakang timbulnya perbedaan pandangan antara periode yang
satu dengan periode yang lain.
3. Menjelaskan pandangan para ahli pikir mengenai sifat hakikat negara, baik menurut
pandangan sosiologis, maupun pandangan yuridis;
4. Menjelaskan teori-teori tenggelamnya negara, serta usaha-usaha untuk
menghindarkan kemungkinan suatu negara akan tenggelam dan hancur.
PETUNJUK UNTUK MAHASISWA
1. Materi yang dibicarakan dalam pokok bahasan ini adalah:
1.1 Teori-teori Tentang Timbulnya Negara
1.2 Sifat Hakikat Negara
1.3 Teori-teori Tentang Tenggelamnya Negara
2. Pelajarilah lebih dahulu tujuan instruksionai pokok bahasan ini, sehingga Anda tahu
apa yang diharapkan oleh dosen Anda pada akhir kuliah pokok bahasan ini.
Kemampuan Anda dalam menguasai pokok bahasan ini dapat dilihat dan sejauh mana
Anda berhasil mencapai tujuan instruksional pokok bahasan ini.
3. Pelajarilah pokok bahasan ini sebelum dikuliahkan di kelas, agar Anda siap mengikuti
kuliah pokok bahasan ini dan dapat berpartisipasi aktif dalam kuliah sesuai isi bahasan
yang telah ditentukan.
4. Materi yang ada dalam pokok bahasan ini hanya mepupakan rangkuman dan literatur
berikut:
4.1 M.. Soily Lubis, S.H., Ilmu Negara. Bandung: Alumni, 1981, hlm. 31-47.
4.2 Soehino, S.H., Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty, 1986, hlm. 11-146.
4.3 Prof. Padmo Wahjono, S.H., Negara Republik Indonesia. Jakarta: Rajawali Press,
1986, hlm. 52-56; 81-85.
4.4 Prof. Mr. Djokosutono, Harun Al Rasid, Ilmu Negara. Jakarta: Ghaiia Indonesia, 1985,
hlm. 61-62, 73.
4.5 Prof. Mr. Kranenburg, Mr. Tk. B. Sabaroedin, Ilmu Negara Umum. Jakarta: Pradnya
Paramita, 1986, hlm. 345-350.
4.6 Padmo Wahjono, S.H., Teuku Amir Hamzah, S.H., Diktat Standard Ilmu Negara.
Jakarta: FHUI 1966, hlm. 49-57; 159.
4.7 G.S. Diponolo, Ilmu Negara. Jiiid 1. Jakarta: PN Balai Pustaka, 1975, hlm. 61-92.
Oleh karena itu Anda diwajibkan untuk membaca literatur tersebut, sejauh literatur
tersebut adalah buku wadan dianjurkan pula membaca buku anjuran, agar Anda
menguasai lebih dalam materi pokok bahasan ini.
5. Kerjakanlah soal-soal latihan yang tersedia, dan gunakanlah materi pokok bahasan
yang ada dalam buku rangkuman ini, dan literatur baik yang diwajibkan maupun yang
dianjurkan sebagai sumber jawabannya. Jawablah terlebih dahulu semua soal yang
ada. Kemudian cocokkan jawaban Anda dengan kunci jawaban baik untuk soal latihan
bentuk esai, maupun untuk soal dalam bentuk objektif (pilihan ganda, ganda majemuk,
sebab akibat). Dengan cara demikian Anda dapat meni1ai sendiri apakah jawaban
Anda benar atau tidak menurut sumber jawaban tersebut. Hindarilah melihat kunci
jawaban terlebih dahulu, karena hal itu akan membantu Anda menguasasi pokok
bahasan ini.

TIMBUL TENGGELAMNYA NEGARA


II.1 PENDAHULUAN
Sebelum diuraikan tentang pokok bahasan ini, perlu disampaikan terlebih dahulu bahwa
sesungguhnya ada tiga subpokok bahasan yang digabungkan dalam rangkuman pokok
bahasan ini. Ketiga sub-pokok bahasan tersebut adalah: (1) timbulnya negara atau asal
mula negara yang membicarakan bagaimana suatu negara itu terbentuk (2) sifat
hakikat negara yang membicarakan apakah esensi dan suatu negara dalam rangka
negara itu mencapai tujuannya; dan (3) tenggelamnya negara atau lenyapnya negara
yang membicarakan ajaran-ajaran mengenai apakah negara ini abadi atau suatu saat
dapat hilang. Biasanya ketiga sub-pokok bahasan tersebut dibicarakan terpisah, akan
tetapi pada ningkasan pokok bahasan ini tidak, karena ketiga hal itu dapat dilihat
sebagai suatu kesatuan kronologis riwayat negara.
Selain alasan itu ternyata pula bahwa Soehino di dalam bukunya yang berjudul
Ilmu Negara Bab III perihal teoriteori tentang Asal Mula Negara, ia memaparkan
pandangan para ahli pikir mengenai bagaimanakah timbulnya suatu negara.
Pemaparan pandangan para ahli pikir tersebut dilakukan secara periodik mulai dan
zaman Yunani Kuno hingga zaman modern. Dalam pandangan para ahli pikir itu
ternyata tidak hanya soal asal mula negara, melainkan juga dibicarakan esensi suatu
negara dalam rangka negara dalam mencapai tujuannya. Dengan demikian, jika
digunakan sistematika uraian timbulnya negara menurut Soehino tensebut, maka
dengan sendirinya sifat hakikat negara sudah tercakup.
Dari sekian banyak pandangan ahli pikir tentang negara, ada pula yang
memandang negara sebagai organisme dalam arti sesuatu yang dapat lahir, tumbuh,
dan berkembang, mulai dan kecil hingga dewasa, mulai dan umur muda, dewasa, dan
tua, sehingga akhirnya musnah. Kenyataan juga menunjukkan demikian bahwa negara
yang dulu ada sekarang tidak ada, berarti negara dapat berakhir. Mengenai berakhirnya
negara tersebut, masih terdapat dua pandangan yang berbeda. Pendapat pertama,
bahwa negara itu kekal, tidak pernah akan lenyap. Contoh: negara China itu ada dari
dulu hingga sekarang, dan tetap akan ada di masa datang. Demikian pula halnya
dengan Mesir, Turki, Spanyol, Portugal, Prancis, Jerman, Rusia, dan lain sebagainya,
betapapun revolusi-revolusi telah membawakan perubahan-perubahan di negara itu.
Jadi, adanya negara itu kekal dan abadi, ia tidak pernah runtuh, lenyap, atau
ditiadakan. Yang dapat timbul, tenggelam, muncul, dan lenyap hanya pemerintahannya
saja, sedangkan daerahnya dan bangsanya tetap ada, sehingga hakikat negara tetap
ada untuk selama-lamanya.
Pendapat kedua bahwa kenyataannya tidak hanya pemerintah yang dapat
lenyap, melainkan juga bangsanya (rakyatnya) dan daerahnya (wilayahnya). Contoh:
negara Tarumanegara, negara Majapahit, negara Sriwijaya, pernah ada namun
sekarang tidak ada karena sudah lama negara-negara itu lenyap. Sebutan daerah
(wilayah), bangsa (rakyat), maupun pemerintah dan negara-negara tersebut di atas,
sekarang sudah tidak ada lagi.
Perbedaan pendapat itu akan dibicarakan lebih lanjut dalam sub-pokok bahasan
mengenai tenggelamnya negara, hanya saja pada bagian ini perlu diketahui terlebih
dahulu bahwa negara yang sudah terbentuk, telah dipikirkan sebaik-baiknya mengenai
fungsi negara itu dalam rangka mencapai cita-cita bangsanya, kemungkinan dapat
lenyap jika tidak ada usaha untuk mempertahankannya. Maka tujuan dan uraian
mengenai tenggelamnya negara ini adalah:
(a) konstruktif: menghindarkan gejala-gejala yang dapat membahayakan keselamatan
negara, atau eksistensi negara,
(b) destruktif: yaitu meruntuhkan negara lain yang dianggap berbahaya.
Dari uraian-uraian tersebut di atas jelaslah terlihat ada benang merah yang
menghubungkan pembicaraan antara Timbulnya Negara, Hakikat Negara, dan
Tenggelamnya Negara, bahkan benang merah itu masih terus terlihat dalam
pembicaraan mengenai unsur-unsur negara. Oleh karena itu, pada tempatnya pula jika
ketiga sub-pokok bahasan tersebut dirangkum dalam satu pokok bahasan.
II.2 TEORI-TEORI TENTANG TIMBULNYA NEGARA
II.2.1 Zaman Yunani Kuno
Para ahli pikir tentang asal mula negara dan hakikat negara yang dikategorikan
dalam zaman ini adalah: Socrate, Plato, Aristoteles, Epicurus, dan Zeno.
Socrates: (469-339 sM)
Berdasarkan pandangannya Socrates, negara bukanlah organisasi yang dibuat
manusia untuk kepentingan diri sendiri melainkan negara merupakan susunan objektif
berdasarkan hakikat manusia. Oleh karena itu, negara bertugas membuat dan
melaksanakan hukum-hukum yang objektif mengandung keadilan bagi umum; tidak
semata-mata demi melayani kebutuhan penguasa. Dengan melaksanakan keadilan
sejati yang objektif itu, setiap penguasa akan merasakan kenikmatan jiwanya. Ajaran
Socrates itu diterapkan di negara Polis pada zaman Yunani Kuno dalam suatu sistem
pemerintahan yang bersifat demokratis. Hanya saja pengertian demokrasi waktu itu
berbeda dengan pengertian demokrasi saat ini, karena saat itu adalah demokrasi
langsung, sekarang tidak.
Plato: (429-347 sM)
Plato adalah murid dan Socrates dan terkenal sebagai pencipta ajaran alam cita
(ideeenleer). Ada tiga buku Plato yang terkenal adalah: (1) Politeia (negara hukum); (2)
Politikos (ahil negara); dan (3) Nomoi (undang-undang).
Menurut Plato negara ini timbul atau ada karena adanya kebutuhan dan
keinginan manusia yang beraneka ragam, yang menyebabkan mereka harus bekerja
sama untuk memenuhi kebutuhan mereka. Secara sendiri-sendiri mereka tidak dapat
memenuhi kebutuhan yang diinginkan. Oleh karena itu, sesuai dengan kecakapan
mereka masing-masing di dalam kerja sama tersebut diadakan pembagian tugas, akan
tetapi tetap dalam kesatuan karena tugas-tugas yang berbeda itu dimaksudkan untuk
memenuhi kebutuhan mereka secara bersama-sama. Kesatuan mereka itulah yang
kemudian disebut masyarakat atau negara.
Aristoteles: (384-322 sM)
Aristoteles adalah murid dan Plato, akan tetapi dalam menyampaikan ajaran
mereka masing-masing terdapat dua ciri khas yang berbeda: (1) mengenai pemisahan
objek penyelidikan: yaitu Plato dalam ajarannya masih mencampuradukkan semua
objek penyelidikan, sedangkan Aristoteles memisahkan objek penyelidikannya antara
keadilan yang tertulis dalam buku Ethica, dan negara yang ditulisnya dalam buku
Politica (2) pandangan terhadap objek penyelidikan: yaitu Plato sebagai pencipta
idealisme (alam cita = ideeenleer) memandang semua benda yang dapat ditangkap
dengan pancaindera manusia hanyalah sekadar bayangan dan wujudnya yang murni
yang berada di dunia cita-cita atau dunia ide, sedangkan Aristoteles adalah pencipta
ajaran realisme yang mengatakan bahwa hakikat semua benda harus dicari di dalam
benda itu sendiri.
Menurut Aristoteles negara terjadi karena penggabungan keluarga-keluarga
menjadi satu kelompok yang besar. Kelompok itu bergabung lagi sehingga menjadi satu
desa. Desa bergabung lagi, demikian seterusnya, hingga timbul negara, yang sifatnya
masih merupakan satu kota atau polis. Desa yang sesuai dengan kodratnya adalah
desa yang bersifat geneologis, yaitu desa yang berdasarkan keturunan. De ngan
demikian, menurut Aristoteles, adanya negara itu berdasarkan kodrat. Manusia sebagai
anggota keluarga menurut kodratnya tidak dapat dipisahkan dan negara, karena
manusia adalah zoon politicon (makhluk sosial) yang selalu hidup bermasyarakat.
Mengenal hakikat negara Aristoteles berpendapat bahwa negara itu
dimaksudkan untuk kepentingan warga negaranya, agar mereka dapat hidup baik dan
bahagia. Negara merupakan suatu kesatuan yang bertujuan untuk mencapai kebaikan
yang tertinggi, yaitu kesempurnaan din manusia sebagai anggota dan negara. Sejalan
dengan itu Aristoteles memandang kesusilaan itu sebagai bagian dan kehidupan
negara, karena seseorang hanya dapat merasakan kebahagiaan jika Ia berada dalam
negara, sehingga kebahagiaan seseorang itu sangat tergantung pada kebahagiaan
negara yang bersangkutan. Maksud kebahagiaan dalam hal ini terbatas pada
kebahagiaan kehidupan duniawi saja. Dengan kata lain, bahwa jika kepentingan negara
terpelihara dengan baik, dengan sendirinya kepentingan manusia selaku warganya pun
dapat terjamin. Paham yang mengutamakan kepentingan negara atau masyarakat itu
disebut collectivisme. Ajaran Aristoteles itu sendiri disebut organisme.
Epicurus: (342-277 sM)
Berbeda dengan Aristoteles yang berpandangan universalitas dalam arti
kepentingan negara lebih diutamakan, maka Epicurus justru sebaliknya berpendapat
bahwa kepentingan individu yang lebih diutamakan (individualitas). Bahkan akibat dan
individu-individu itu mempunyai kepentingan maka diadakan negara untuk memenuhi
kepentingan individu-individu yang menjadi warga dan negara yang bersangkutan. Oleh
karena masyarakat itu terdiri atas individu-individu sebagai atom, maka ajaran Epicurus
tentang sifat susunan masyarakat/negara disebut ajaran atomisme sebagai lawan dari
organisme ajaran Aristoteles.
Ajaran Epicurus tersebut telah mengandung benih-benih pertama tentang ajaran
perjanjian masyarakat yang akan muncul kemudian. Hal tersebut terbukti bahwa
orang/individu dianggap sebagai atom, sebagai elemen yang terkecil, yang mempunyai
kepribadian sendiri, maka di dalam negara (masyarakat) kepentingan individulah yang
harus diutamakan sebagai dasar dan kepentingan negara.
Zeno: (300 M)
Zeno adalah tokoh filsafat kaum Stoa atau Stoicin. Dikatakan Stoa karena Zeno
suka memberikan pelajaran di lorong-lorong yang banyak tonggak temboknya. Tonggak
tembok tersebut dinamakan Stoa. Berbeda dengan Epicurus, ajaran filsafat Zeno
bersifat universalistas, yang tidak hanya meliputi Yunani saja seperti ajaran Aristoteles,
melainkan Semua manusia di seluruh dunia, di mana setiap orang mempunyai
kedudukan yang sama sebagai warga dunia. Hal ini berbeda pula dengan pandangan
Plato dan Aristoteles, yang masih tertuju untuk bangsanya sendiri, sehingga manusia di
luar Yunani disebut barbar. Berdasarkan pandangan itu maka lenyaplah perbedaan
antara orang Yunani dengan orang biadab, orang merdeka dengan budak, dan
kemudian timbullah moral yang memungkinkan terbentuknya kerajaan dunia.
Oleh karena Zeno pahamnya panteistisch, jadi Tuhan sama dengan Alam,
sedangkan manusia adalah bagian dan alam, maka juga budi manusia merupakan
sebagian dan budi Tuhan. Jadi manusia dapat membentuk hukum yang berlaku abadi
dan meliputi seluruh dunia.
Hukum yang berlaku atas kerajaan dunia tersebut adalah hukum alam. Hukum
ini bersifat abadi dan tidak berubah-ubah. Di antara hukum alam tersebut akal manusia,
yang dengan akalnya itu manusia dapat mangetahui segala hal. Dan segala
pengetahuan tersebut memungkinkan universalitas itu sesungguhnya ingin
mengajarkan bahwa orang itu harus menyesuaikan diri dengan suasana dunia
internasional, sekaligus mematikan alam pikiran demokrasi nasional yang diajarkan
oleh Aristoteles. Akan tetapi, ajaran ini justru dimanfaatkan oleh bangsa Romawi yang
saat itu sedang berusaha melebarkan sayapnya, dalam rangka menciptakan kerajaan
dunia tersebut.
II.2.2 Zamari Romawi Kuno
Para ahli pikir tentang timbulnya negara yang dikategorikan dalam zaman
Romawi Kuno ini adalah: Polybius, Cicero, dan Seneca. Mereka sangat berbeda
dengan ahli pikir Yunani, karena bangsa Romawi bukanlah orang yang lebih
menitikberatkan soal praktis. Demikian pula teori kenegaraan dan para ahli pikir
Romawi ini tidak menunjukkan buah pikiran yang asli, karena dalam banyak hal mereka
hanya melanjutkan ajaran dan para ahli pikif Yunani. Meskipun demikian, ajaran
mereka tetap bernilai tinggi untuk dipelajari, karena teori mereka ditanamkan dalam
praktek ketatanegaraan mereka. Praktek ketatanegaraan mereka besar pngaruhnya
terhadap negara-negara di dunia, bahkan bekasnya masih dapat dilihat hingga dewasa
ini, antara lain mdngenaisistem hukum Romawi.
Para ahli pikir seperti Polybius tidak melahirkan teori tentang timbulnya negara,
melainkan teori perubahari bentuk-bentuk negara. Ajarannya kemudian terkenal dengan
nama cyclus theory. Hal ini pun merupakan kelanjutan dan pandangan Plato dan
Aristoteles mengenal bentuk-bentuk negara. Ahhi pemikir lain adalah Cicero,
mengatakan bahwa adanya negara itu merupakan keharusan, dan keharusan itu
didasarkan atas ratio manusia. Namun, ajaran Cicero ini sesungguhnya meniru ajaran
kaum Stoa, hanya saja pengertian ratio menurut Cicero adalah ratio yang murni
menurut hukum alam kodrat, bukan sekadar negara adalah buatan manusia sebagai
alat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebagaimana diajarkan oleh Epicurus.
Berdasarkan hal itu, maka teori-teori tentang timbulnya negara yang diajarkan
oleh ahli pemikir Romawi ini adalah melanjutkan ajaran-ajaran ahli pemikir Yunani.
Buku karangan Cicero yang termasyhur: De Republica (tentang negara) dan De
Legibus (tentang hukum atau tentang undang-undang) jelas susunannya meniru
susunan buku-buku karangan Plato. Demikian pula Polybius yang menciptakan cyclus
theory.
II.2.3 Zaman Abad Pertengahan
Para ahli pikir yang digolongkan dalam zaman Abad Pertengahan ini adalah:
Agustinus, Thomas Aquinas, dan Marsellius. Ciri pemikiran dan ajaran tentang negara
dan hukum pada zaman ini adalah pandangan teokratis dan penganut agama Kristen
yang mengatakan bahwa tidak ada kekuasaan di dunia ini yang harus ditaati, melainkan
yang harus di taati adalah perintah Tuhan. Segala sesuatu di dunia ini adanya atas
kehendak Tuhan. Jadi, segala sesuatu di dunia ini harus dikembailkan kepada Tuhan.
Lalu siapakah yang dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia ini? Muncul dua aliran: (a)
kaum Legist berpendapat bahwa kekuasaan tertinggi di dunia (sebagai wakil Tuhan)
adalah raja; (b) kaum Canonist berpendapat bahwa yang mempunyai kekuasaan
tertinggi di dunia (sebagai wakil Tuhan) adalah Paus.
Pertentangan tersebut ternyata membawa dampak dalam pembentukan hukum,
yaitu ada dua macam hukum: (1) hukum yang mengatur soal keduniawian
(kenegaraan); dan (2) hukum yang mengatur soal keagamaan (keroharian). Demikian
pula terdapat dua macam kodifikasi hukum, yaitu: (1) kodiflkasi hukum yang
diselenggarakan oleh Raja Theodosius dan Raja Justinianus. ini adalah kodifikasi
peraturan yang dikeluarkan oleh negara. Kodifikasi tersebut dinamakan oipus luris; (2)
kodifikasi hukum yang diselenggarakan oleh Paus Innocentius, yaitu kodifiikasi
perarutan yang dikeluarkan oleh Gereja. Kodifikasi ini disebut corpus luris canonici.
Corpus luris terdiri atas empat bagian, yaitu:
1. Instituten: sebuah ajaran tetapi mempunyai kekuatan mengikat seperti undang-
undang; maksudnya apabila ada hal-hal yang tidak jelas pengaturannya, maka dicari di
dalam Instituten;
2. Pandecten: penafsiran suatu peraturan oleh para sarjana;
3. Codex: peraturan atau undang-undang yang ditetapkan oleh Raja; dan
4. Novellen: tambahan dan suatu peraturan atau undang-undang.
Austinus: (354-430 M)
Dalam bukunya yang berjudul De Civitate Dei Agustinus menyebut dua macam
negara, yaitu:
1. Civitas Dei, atau Negara Tuhan, yaitu negara yang dicita-citakan oleh agama;
2. Civitas Terrena, a ta u Negara Du niawi.
Negara yang baik adalah Negara Tuhan (Civitas Dei) akan tetapi negara itu tidak
pernah akan tercapai di dunia ini. Semangatnya yang dimiliki oleh sebagian besar
orang di dunia ini yang berusaha sungguh-sungguh untuk mencapainya. Orang banyak
dapat mencapai Negara Tuhan ini dengan perantaraan gereja sebagai wakil dan
Negara Tuhan di dunia. Orang di luar gereja pun dapat mencapai Negara Tuban
tersebut, asal mereka menaati perintah Tuhan.
Agustinus berusaha membawakan ajarannya dalam teori dua pedang (Zwei
Zwaarden Theorie), yaitu ada pedang keroharian dan ada pedang keduniawian. Kristus
sebagai Kepala Gereja mempunyai wakil di dunia, yaitu Paus. Paus mempunyai dua
pedang tersebut untuk mengabdi kepada gereja.
Hubungan antara Kepala Negara dengan Paus ibarat bulan dan matahari.
Kekuasaan Kepala Negara sama dengan cahaya bulan. Kekuasaan Paus sama dengan
cahaya matahan. Bulan memperoleh cahaya dan matahari dan matahari memperoleh
cahaya dan Tuhan. Ini adalah contoh ajaran Skolastik.
Menurut Kranenburg bahwa sejak Paus Innocentius III (1198-1216) dan Paus
Bonifacius VIII (1294-1303) ajaran berdasarkan teori dua pedang tersebut ditetapkan.
Dasar hukum penerapan ajaran itu diambil dan Kitab Suci Injil Lukas Bab 22 ayat (38).
Pedang keduniawian dilakukan oleh Kepala Negara untuk kepentingan gereja,
sedangkan pedan keroharian dilakukan oleh Paus untuk kepentingan gereja.
Thomas Aquinas: (1225-1274 M)
Ajaran Thomas Aquinas tentang negara dan hukum dikemukakan dalam
bukirnya berjudul De Regimine Principiurn (pemerintahan raja-raja) dan Summa
Theologica (pelajaran tentang ketuhanan). Ajarannya banyak dipengaruhi oleh ajaran
Aristoteles.
Menurut Thomas Aquinas, manusia sesuai dengan kodratnya adalah makhluk
sosial, karena itu harus hidup bersama-sama dengan manusia lainnya dalam
masyarakat, untuk mencapai tujuan yang sesungguhnya. Dalam kehidupan
bermasyarakat tersebut, manusia menggunakan akal dan pikirannya untuk mengetahui
apa yang bergu.na dan apa yang merugikan. Pengetahuan tersebut hanya dapat
diperoleh dalam hidup bermasyarakat, maka hidup bermasyarakat adalah keharusan.
Dalam kehidupan bermasyarakat biasanya muncul kecenderungan pola pikir
yang beraneka ragam. Oleh karena itu, diperlukan seorang penguasa yang bertugas
ibarat jiwa dalam badan manusia. Penguasa yang baik adalah penguasa yang bertugas
ibarat jiwa dalam badan manusia. Penguasa yang baik adalah penguasa yang
memikirkan kepentingan umum, jika tidak demikian maka Ia adalah penguasa yang
lalim.
Mengenai hakikat negara, Thomas Aquinas berpendapat bahwa tujuan negara
identik dengan tujuan manusia. Tujuan manusia adalah mencapai kemuliaan abadi
pada saat setelah manusia itu mati. Kemuliaan abadi tensebut hanya dapat dicapai
dengan memenuhi tuntutan gereja. Maka tugas negara dalam hal ini adalah memberi
kesempatan bagi manusia melaksanakan tuntutan gereja. Hal itu berarti negara harus
menyelenggarakan keamanan dan perdamaian, yang memungkinkan manusia itu kelak
mencapai kemuliaan abadi setelah ia meninggal. Di sinilah letak kerja sama antara
negara dan gereja. Dan semua ajarannya disebut Thomisme.
Marsiljus: (1270-1340 M)
Hampir sama dengan Thomas Aquinas, Marsilius juga banyak dipengaruhi oleh
ajaran Aristoteles. Menurut Marsilius negara adaah badan atau organisme yang
mempunyai dasar-dasar hidup dan tujuan tentinggi, yang menyelenggarakan dan
mempentahankan perdamaian. Selanjutnya pandangan Marsilius sangat berbeda
dengan ajanan Agustinus dan Thomas Aquinas. Menurut Marsilius, terbentuknya
negara tidaklah semata-mata karena kehendak Tuhan, melainkan negara itu terjadi
karena petjanjian dan orang-orang yang hidup bersama untuk menyelenggarakan
perdamaian. Dalam perjanjian tensebut, rakyat menunjuk seorang yang diserahi tugas
untuk memelihana perdamaian. Terhadap orang yang telah ditunjuk tersebut, mereka
saling menundukkan diri. Jadi, dua perjanjian yang sekaligus diadakan, yaitu: (a)
perjanjian untuk membentuk negara dalam arti menunjuk penguasa negara; dan (b)
perjanjian untuk menundukkan diri terhadap negara/penguasa negara. Inilah yang
disebut perjanjian penundukan atau pactum subjectiones. Dalam perjanjian tersebut
Tuhan merupakan causa remota (penyebab dan kejauhan) yang berarti bahwa orang
mengadakan perjanjian tersebut mendapat dorongan atau ilham dan Tuhan.
Khusus mengenai pactum subjectiones Marsilius mengatakan ada dua macam:
1. Concessio (penundukan terbatas) yaitu penundukan hanya pada apa yang
dikehendaki oleh rakyat. Kekuasaan raja hanya untuk menyelenggarakan kekuasaan
rakyat, jadi sifatnya eksekutif. Raja tidak berwenang untuk membuat peraturan /undang-
undang, melainkan rakyat sendiri yang membuat hal itu.
2. Translatio (penundukan mutlak) yaitu raja yang sudah dipilih oleh rakyat diserahi
kekuasaan mutlak untuk membuat peraturan/undang-.undang dan melaksanakan
peraturan tersebut untuk rakyat. Jadi, raja tidak hanya bersifat eksekutif melainkan
konstitutif.
Marsilius sendiri berpegang pada penundukan macam yang pertama (concessio)
yaitu bahwa kedaulatan tetap di tangan rakyat karena negara itu merupakan kesatuan
dan orang yang bebas, sehingga tidak mungkin seorang menguasai orang lain secara
mutlak.
II.2.4 Zaman Renaissance (Penemuan Kembali Kepribadian)
Istilah renaissance menurut etimologi katanya berasal dan bahasa Prancis re =
kembali, naitre = lahir. Menurut Sudiman Kartohadiprojo, istilah renaissance dapat
diterjemahkan dengan penemuan kembali kepribadian.
Tokoh pemikir pada zaman ini adalah Nicollo Machiavelli, Thomas Morus, dan
Jean Bodin. Zaman ini berlangsung sejak bagian kedua abad pertengahan (sesudah
Perang Salib) sampai pada akhir abad XVI. Ada dua paham yang mempengaruhi
keadaan zaman renaissance ini adalah kebudayaan Yunani Kuno akibat Perang Salib,
dan sistem feodalisme dan kebudayaan Jerman Kuno pada saat Romawi Barat
ditaklukkan oleh bangsa Jerman. Zaman ini disebut renaissance dalam arti bahwa
zaman ini sangat berbeda atau bertolak belakang dengan zaman sebelumnya itu
zaman Abad Pertengahan. Segala ajaran dan pandangan tentang negara dan hukum
pada zaman Abad Pertengahan ditujukan kepada kehidupan di dunia akhirat, sehingga
menimbulkan sikap menerima bagi anggota masyarakat dan pemikinan baru tidak
berkembang. Sedangkan pemikiran dan pandangan mengenai negara dan hukum pada
zaman ini lebih ditujukan kepada kehidupan di dunia. Sekarang ini, sehingga memacu
setiap orang untuk berlomba mendapatkan penghargaan dan pujian secara individual.
Jika zaman sebelumnya hanya memperhatibn kehidupan akhirat, maka zaman ini lebih
mementingkan kehidupan sekarang, kehidupan duniawi, sebagaimana dialami pada
zaman sebelum Abad Pertengahan. Oleh karena itu, zaman ini disebut penemuan
kembali kepribadian.
Nicollo Machiavelli (1469-1527)
Dalam bukunya yang berjudul Il Principe (Sang Raja, atau buku pelajaran untuk
raja), dengan tegas Nicollo Machiavelli memisahkan antara asas kesusilaan dan asas
kenegaraan. Pemisahan kedua asas tersebut pernah dicoba oleh Aristoteles, akan
tetapi pada akhirnya ajaran tentang negara dan Aristoteles itu berdasarkan asas
kesusjlaan. Menurut Nicollo Machiavelli, jika kedua asas tensebut tidak dipisahkan,
maka tidak hanya kepentingan orang terugikan, melainkan kepentingan negara
terugikan pula.
Mengenai hakikat negara, Machiavelli berpendapat bahwa hakikat/tujuan negara
adalah terselenggaranya ketertiban, keamanan, dan ketenteraman, yang semuanya itu,
merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu kemakmuran
bersama bagi semua rakyat (rakyat Italia). Tujuan itu hanya dapat tercapai oleh
pemerintahan seorang raja yang mempunyai kekuasaan absolut. Lebih lanjut ia
mengatakan bahwa adanya negara itu adalah untuk kepentingan negara itu sendiri,
maka seharusnya negara mengejar tujuan dan kepentingan sendiri dengan cara yang
dianggapnya paling tepat, meski cara yang ditempuh itu adalah cara yang licik
sekalipun.
Secara singkat ajaran Machiavelli tersebut dikenal sebagai Machiavelisme yang
terdiri atas: (1) pemikiran negara kekuasaan (Machtsaatsgedachte); (2) tujuan
menghalalkan segala cara; (3) Real politik yaitu raja boleh mengabaikan sendi-sendi
kesusilaan; (4) Staats raison artinya negara di atas segala-galanya, dan (5) double
moral artinya raja harus bisa bermuka dua terkadang garang seperti singa, terkadang
cerdik seperti kancil.
Pandangan Machiavelli tersebut di abs muncul karena pengaruh keadaan
negara kelahirannya, Italia, yang pada waktu itu sedang mengalami kekacauan dan
perpecahan, sehingga ia menginginkan terbentuknya Zentral Gewalt (sistern
pemerintahan, sentral), agar keadaan di negara Italia dapat menjadi tenteram kembali.
Thomas Morus: (1478-1 535)
Selang beberapa tahun kemudian sejak Nicollo Machiavelli menulis bukunya Il
Principe, muncul Thomas Morus di Inggris pada tahun 1516 dengan bukunya beijudul
De optimo rei publicae statu deque nova insula Utopia, yaitu buku tentang susunan
pemerintahan yang paling baik dan tentang pulau yang tidak dikenal, yang dinamakan
negara antah berantah atau Utopia. Sebagai seorang yang ahli dalam bidang
kesusastraan, tulisan Thomas Morus tersebut rnerupakan roman kenegaraan yang
melukiskan suatu susunan negara khayalan, namun menggambarkan suatu susunan
masyarakat yang sempurna. Roman tersebut ditulis sebagai kritikan terhadap
ketidakadilan di Inggris waktu itu terhadap kaum feodal, kaum bangsawan, sekaligus
merupakan gugatan terhadap keluarga raja Tudor yang memerintah Inggris untuk
mencapai kekuasaan absolut.
Buku Utopia terdiri atas dua bagian. Bagian pertama menceritakan keadaan di
Inggris waktu itu antara lain bahwa rakyat mengalami banyak tekanan baik dan raja
maupun dan para bangsawan. Akibat hal itu rakyat yang bekerja keras mengalami
kesengsaraan dalam bidang ekonomi, kejahatan merajalela, dan merosotnya moral.
Sebaliknya raja dan para bangsawan yang menganggur, hidup mewah dan berfoya-
foya. Keadaan ini yang menimbulkan inspirasi Thomas Morus mengarang roman
tentang negara khayalan atau Utopia tersebut. Bagian kedua berisi susunan negara
sekaligus menerangkan asal mula dan suatu negara. Juga bagian kedua ini berisi
prosedur pembuatan undang-undang, serta bayangan tentang isi dan undang-undang
itu sendiri.
Demikianlah susunan negara khayalan menurut Thomas bahwa kehadiran
seorang penakiuk: Utopis telah membuat penduduk asli yang biadab menjadi suatu
natiel bangsa. Muncul 54 kota, yang berpusat di kota Amaurotum. Penduduk dibagi-
bagi dalam keluarga pertanian masing-masing 40 orang yang dipimpin oleh seorang
philarch. Setiap 10 orang philarch dipimpin oleh seorang protopilarch. Para
protophilarch berfungsi memilih rajanya, dan sebuah senat yang bertugas membuat
undang-undang.
Jean Bodin: (7530-1595)
Jean Bodin adalah seorang ahli pemikir besar tentang negara dan hukum dari
negara Francis. Buku karangan Jean Bodin berjudul Les Six Livres de la Republique.
Menurut Jean Bodin, negara adalah keseluruhan dan keluarga dengan segala miliknya
yang dipimpin oleh akal dari seorang penguasa yang berdaulat. Keluarga itulah asal
dari negara baik menurut logika maupun menurut sejarah. Dalam kehuarga itu ada
pater familias sebagai kepala keluara yang melakukan pembatasan terhadap keluarga.
Pada mulanya hanya ada satu keluarga, lalu keluarga lainnya bergabung -membentuk
suatu kesatuan, yang dengan demikian secara bersama mereka dapat
mempertahankan diri. Dalam keadaan demikian kebebasan alamiah lenyap.
Berbeda dengan Aristoteles, Jean Bodin mengatakan, bahwa penguasa pertama
bukanlah penguasa yang dipilih oleh rakyat melainkan pemimpin militer yang
memperlihatkan kekuasaannya. Pemimpin inilah pemegang kedaulatan. Pengertian
kedaulatan menurut Jean Bodin adalah kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara
untuk membuat hukum. Kedaulatan itu bersifat:
Tunggal: artinya hanya penguasa pertama itu yang memiliki, dan tidak boleh ada
kekuasaan lain dalam negara yang berfungsi membuat undang-undang/hukum;
Asli: artinya kekuasaan itu tidak berasal dan kekuasaan lain;
Abadi: artinya bahwa yang memiliki kekuasaan itu adalah negara, dan menurut Jean
Bodin negara itu abadi;
Tidak dapat dibagi-bagi: artinya kedaulatan itu tidak dapat diserahkan kepada orang
lain baik sebagian atau seluruhnya

Anda mungkin juga menyukai