Anda di halaman 1dari 30

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Sumber Daya Air

Sumber daya air yang terdiri atas air, sumber air, dan daya air merupakan

karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang memberikan manfaat untuk mewujudkan

kesejahteraan bagi masyarakat di segala bidang, baik sosial, ekonomi, budaya,

politik maupun bidang ketahanan nasional (Sjarief, 2002).

Karakteristik Sumber Daya Air (SDA) sangat dipengaruhi aspek topografi

dan geologi, keragaman penggunaannya, keterkaitannya (hulu-hilir, kuantitas dan

kualitas), waktu serta siklus alaminya. Oleh karena adanya faktor topografi dan

geologi, maka sumber daya air dapat bersifat lintas wilayah administratif. Dengan

demikian kuantitas dan kualitas air sangat tergantung pada tingkat pengelolaan air

pada masing-masing daerah. Karena karakteristik aliran dapat mencakup beberapa

wilayah, maka air sering disebut sumber daya dinamis (dynamic flowing

resource). Dengan sifat air yang selalu mengalir, maka ada keterkaitan yang

sangat erat antara kuantitas di hulu dan hilir, instream dengan offstream, air

permukaan dan air bawah tanah. Akhirnya perlu diingat, bahwa air memerlukan

sifat kelanggengan ketika digunakan, baik oleh generasi sekarang maupun

mendatang (Ditjen Penataan Ruang, Dep. Kimpraswil, 2001).

Untuk mempertahankan sifat kelanggengan air tersebut, maka diharapkan

pengelolaan air dikelola berdasarkan pada UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber

Daya Air (SDA). Dalam Undang-Undang tersebut, menyebutkan bahwa

13
14

pengelolaan SDA adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau dan

mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan

sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Sumber daya air dikelola secara

menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan

mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-

besar kemakmuran rakyat. Menyeluruh berarti mencakup semua bidang

pengelolaan yang meliputi konservasi, pendayagunaan, dan pengendalian daya

rusak air, serta meliputi satu sistem wilayah pengelolaan secara utuh yang

mencakup semua proses perencanaan, pelaksanaan serta pemantauan dan evaluasi.

Terpadu merupakan pengelolaan yang dilaksanakan dengan melibatkan semua

pemilik kepentingan antar sektor dan antar wilayah administrasi. Berwawasan

lingkungan hidup adalah pengelolaan yang memperhatikan keseimbangan

ekosistem dan daya dukung lingkungan. Sedangkan berkelanjutan adalah

pengelolaan sumber daya air, tidak hanya ditujukan untuk kepentingan generasi

sekarang, tetapi juga termasuk untuk kepentingan generasi yang akan datang.

Menurut Grigg (1996), pengelolaan sumber daya air didefinisikan sebagai

aplikasi dari cara struktural dan non-struktural dalam mengendalikan sistem

sumber daya air alam dan buatan manusia untuk kepentingan/manfaat manusia

dan tujuan-tujuan lingkungan. Tindakan-tindakan struktural (structural measure)

untuk pengelolaan air adalah fasilitas-fasilitas yang terbangun (constructed

facilities) yang digunakan untuk mengendalikan aliran air, baik dari sisi kuantitas

maupun kualitas. Tindakan-tindakan non-struktural (non-structural measures)

untuk pengelolaan air adalah program-program atau aktifitas yang tidak


15

membutuhkan fasilitas-fasilitas terbangun. Di samping itu, Grigg (1996) juga

mendefinisikan beberapa hal tentang sumber daya air, meliputi:

1. Sistem sumber daya air adalah sebuah kombinasi dari fasilitas-fasilitas

pengendalian air dan elemen-elemen lingkungan yang bekerja bersama

untuk mencapai tujuan pengelolaan sumber daya air.

2. Sistem sumber daya air alami adalah sekelompok elemen hidrologi

dalam lingkungan alam, yang terdiri dari atmosfir, daerah aliran sungai

atau daerah tangkapan air, sungai-sungai, lahan basah, daerah banjir

(flood plains), akuifer dan sistem aliran air tanah, danau, estuari, laut dan

lautan.

3. Sistem sumber air buatan manusia adalah sekelompok fasilitas yang

dibangun untuk digunakan sebagai pengendali aliran air, baik secara

kuantitas maupun kualitas.

4. Sistem tata pengairan merupakan susunan tata letak sumber air,

termasuk bangunan pemanfaatan sesuai ketentuan teknik pembinaan di

suatu wilayah.

Menurut Sri Harto (2000), pengembangan sumber daya air dapat diartikan

secara umum sebagai upaya pemberian perlakuan terhadap fenomena alam, agar

dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan manusia. Fenomena alam

yang terjadi merupakan fenomena apa adanya, tidak dapat diatur dan tidak dapat

diprediksi secara akurat. Variabel-variabel ini mengandung variabilitas ruang

(spatial variability) dan variabilitas waktu (temporary variability) yang sangat

tinggi. Oleh karena itu, analisis kuantitatif dan kualitatif harus dilakukan secermat
16

mungkin agar hasilnya merupakan informasi yang akurat untuk pengembangan

dan perencanaan sumber daya air. Pengembangan sumber daya air merupakan

bagian dari pengelolaan sumber daya air, yang merupakan suatu aktifitas yang

komplek dirancang untuk menyelaraskan semua kebutuhan serta penyediaan air

secara seimbang pada ruang dan waktu, tanpa mengabaikan lingkungan kehidupan

yang serasi.

Secara umum, masalah pengelolaan sumber daya air (SDA) dapat dilihat

dari kelemahan mempertahankan sasaran manfaat pengelolaan SDA dalam hal

pengendalian banjir dan penyediaan air baku bagi kegiatan domestik, pertanian,

peternakan, dan industri. Masalah penyediaan air baku yang dibutuhkan bagi

kegiatan rumah tangga, baik di pedesaan dan perkotaan, serta industri, sering

mendapat gangguan secara kuantitas, dalam arti terjadinya penurunan debit akibat

terjadinya pembukaan lahan-lahan baru bagi pemukiman baru di daerah hulu,

yang berakibat pada pengurangan luas daerah tangkapan air (catchman area)

sebagai sumber penyedia air baku. Di samping itu, secara kualitas penyediaan air

baku sering tidak memenuhi standar, karena adanya pencemaran air sungai oleh

limbah rumah tangga, perkotaan dan industri. Sedangkan, kebijakan dasar yang

diterapkan dalam pengelolaan sumber daya air, antara lain: (Ditjen Penataan

Ruang, Dep. Kimpraswil, 2001)

a. Pengelolaan sumber daya air secara nasional harus dilakukan secara holistik,

terencana, dan berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan nasional dan

melestarikan lingkungan, untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan

ketahanan nasional.
17

b. Pengelolaan sumber daya air harus berdasarkan prinsip partisipasi dengan

melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan dalam segala aspek

kegiatan (perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan

pembiayaan) untuk mendorong tumbuhnya komitmen semua pihak yang

berkepentingan.

c. Masyarakat yang memperoleh manfaat/kenikmatan atas air dan sumber-

sumber air secara bertahap, wajib menanggung biaya pengelolaan sumber

daya air (user pays and cost recovery principles).

Menurut Sjarief (2002), pengelolaan sumber daya air semakin hari akan

menghadapi berbagai permasalahan, sejalan dengan bertambahnya jumlah

penduduk yang diiringi dengan pertumbuhan sosial ekonomi. Peningkatan

kebutuhan akan air, telah menimbulkan eksploitasi sumber daya air secara

berlebihan, sehingga mengakibatkan penurunan daya dukung lingkungan sumber

daya air, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan pasokan air. Gejala

degradasi fungsi lingkungan sumber daya air, ditandai dengan fluktuasi debit air

di musim hujan dan kemarau semakin tajam, pencamaran air, berkurangnya

kapasitas waduk, dan lainnya. Di samping tantangan fisik tersebut, pengelolaan

SDA juga mengalami tantangan dalam penanganannya, seperti tidak tercukupinya

dana operasi dan pemeliharaan, lemahnya koordinasi antar instansi terkait,

transparansi, serta partisipasi para pihak (stakeholders) yang mencerminkan good

governance dalam pengelolaan sumber daya air.

Pengelolaan sumber daya air (SDA) dalam rangka penyediaan air dapat

dilakukan dengan cara membuat kolam penampung air. Kolam penampungan air
18

yang umum dipakai dalam memenuhi kebutuhan air di musim kemarau adalah

dengan membangun waduk, cubang dan embung.

1) Waduk.

Waduk merupakan kolam besar atau danau buatan tempat menampung air

untuk berbagai kebutuhan. Waduk dibangun dengan cara membuat bendungan,

yang kemudian dialiri air sampai waduk tersebut penuh. Adapun manfaat dari

waduk yaitu sebagai sumber air irigasi, pengendali banjir, sumber air untuk

keperluan sehari-hari, pariwisata, serta pembangkit listrik tenaga air (PLTA).

Waduk menurut pengertian umum, merupakan tempat pada muka lahan

untuk menampung dan menabung air pada musim basah/hujan, sehingga air itu

dapat dimanfaatkan pada musim kering atau langka air. Air yang disimpan dalam

waduk terutama berasal dari aliran permukaan dan ditambah dengan yang berasal

dari air hujan langsung. Aliran permukaan, di samping berupa sungai atau aliran

tetap yang lain, juga berupa penyaluran air sementara sekitar keliling waduk

(Notohadiprawiro, 1981).

Waduk sebagai bangunan penyimpan air dan pengendali banjir, disamping

sangat bermanfaat, juga mempunyai kelemahan, terutama di daerah semi kering

dan yang mempunyai daerah tangkapan air yang tidak terlalu luas. Volume

tampungan waduk biasanya sangat besar (jutaan meter kubik), hal ini dapat

menyebabkan air di waduk tidak sampai penuh, sementara musim hujan sudah

berakhir. Penguapan yang relatif tinggi bisa juga terjadi, karena luas permukaan
19

waduk yang besar. Serta pembebasan lahan memerlukan area yang luas, sehingga

meyebabkan biaya pembangunannya sangat besar.

2) Cubang

Cubang adalah bak penampung air hujan, yang biasanya terbuat dari

pasangan semen atau beton. Pembangunan cubang ini, telah umum dipakai di

kawasan kering di Kabupaten Karangasem, seperti di Desa Tianyar, Munti

Gunung, Seraya, dan sekitarnya. Cubang memiliki ukuran yang bervariasi,

misalnya 5 x 4 meter dengan tinggi sekitar 3 meter, yang dipakai sekitar 25 KK,

biasanya digunakan dalam kelompok tani/ternak di desa tersebut.

Selama ini, cubang sangat cocok digunakan di daerah semi kering (tadah

hujan) dan dengan luas tangkapan hujan yang kecil, tetapi memiliki kelemahan,

yaitu volume tampungan cubang sangat kecil, sehingga pemanfaatan air tidak

akan terlalu lama, selama datangnya musim kemarau. Disamping itu, populasi

yang dapat dilayani dari bangunan tersebut sangat kecil.

3) Embung.

Embung merupakan bangunan yang berfungsi menampung air hujan untuk

persediaan suatu desa di musim kering. Selama musim kering, air akan

dimanfaatkan oleh desa untuk memenuhi kebutuhan penduduk, ternak dan sedikit

kebun. Di musim hujan, embung tidak beroperasi karena air di luar embung

tersebut cukup banyak untuk memenuhi ketiga kebutuhan di atas. Oleh karena itu,

pada setiap akhir musim hujan, sangat diharapkan kolam embung dapat terisi

penuh air sesuai dengan desain (Kasiro, dkk., 1997).


20

Embung merupakan salah satu teknik pemanenan air (water harvesting),

yang sangat sesuai di segala jenis agroekosistem. Keunggulan dari embung adalah

bangunan dengan teknologi konservasi yang sederhana, biayanya relative murah

dan dapat dijangkau kemampuan petani (Direktorat Pengelolaan Air, Departemen

Pertanian, 2010).

Untuk lebih lengkap mengenai embung, akan dijelaskan pada bagian di

bawah ini.

2.2. Embung

2.2.1. Embung dan Bagian-bagian Embung

Embung merupakan salah satu sumber air tawar yang dapat menunjang

kehidupan makhluk hidup dan kegiatan sosial ekonomi manusia. Ketersediaan

sumber daya air, mempunyai peran yang sangat mendasar untuk menunjang

pengembangan ekonomi wilayah. Sumber daya air yang terbatas di suatu wilayah,

mempunyai implikasi kepada kegiatan pembangunan yang terbatas, dan pada

akhirnya kegiatan ekonomipun terbatas, sehingga kemakmuran rakyat makin lama

tercapai. Air waduk/embung digunakan untuk berbagai pemanfaatan, antara lain

sumber baku air minum, air irigasi, pembangkit listrik, penggelontoran, perikanan,

dan sebagainya. Jadi, betapa pentingnya air tawar yang berasal dari waduk/

embung bagi kehidupan (Pusat Litbang SDA, 2011)

Embung adalah bangunan konservasi air berbentuk kolam untuk

menampung air hujan dan air limpasan (run off) serta sumber air lainnya untuk

mendukung usaha pertanian, perkebunan dan peternakan. Embung atau tandon air
21

merupakan waduk berukuran mikro di lahan pertanian (small farm reservoir) yang

dibangun untuk menampung kelebihan air hujan di musim hujan. Air yang

ditampung tersebut selanjutnya digunakan sebagai sumber irigasi suplementer

untuk budidaya komoditas pertanian di musim kemarau atau saat hujan makin

jarang (Irianto, 2007).

Menurut Kodoatie, dkk., (2010), embung adalah bangunan artificial yang

berfungsi untuk menampung dan menyimpan air dengan kapasitas volume kecil

tertentu, lebih kecil dari kapasitas waduk/bendungan. Embung bisa dibangun

dengan membendung sungai kecil atau dapat dibangun di luar sungai. Gambar

2.1. menunjukkan lokasi embung di/dalam sungai utama, sedangkan Gambar 2.2.

menunjukkan lokasi embung di luar sungai utama.

Mengalir ke daerah
layanan

Gambar 2.1. Sketsa Sederhana Lokasi Embung di/dalam Sungai.


(Kodoatie, 2010)
22

Mengalir ke daerah
layanan

Gambar 2.2. Sketsa Sederhana Embung di Luar Sungai Utama.


(Kodoatie, 2010)

Embung merupakan waduk kecil yang berfungsi untuk menampung air

pada waktu air berlebihan di musim hujan, dan dipakai pada waktu kekurangan air

di musim kemarau, untuk berbagai kepentingan, misalnya air minum, irigasi,

pariwisata, pengendalian banjir, dan lain-lain. Definisi yang lain menyebutkan,

bahwa embung merupakan bangunan yang berfungsi menampung air hujan untuk

persediaan suatu desa di musim kering. Selama musim kering, air akan

dimanfaatkan oleh desa untuk memenuhi kebutuhan penduduk, ternak, dan sedikit

kebun. Di musim hujan, embung tidak beroperasi karena air di luar embung

tersedia cukup banyak untuk memenuhi ketiga kebutuhan di atas. Oleh karena itu,
23

pada setiap akhir musim hujan sangat diharapkan kolam embung dapat terisi

penuh air, sesuai dengan desain (Kasiro, dkk.,1997).

Pengembangan sistem embung, dapat dikategorikan sebagai embung irigasi

dan embung kecil. Embung irigasi berfungsi untuk memenuhi kebutuhan air bagi

daerah irigasi, pada saat tidak ada lagi hujan yang turun atau setelah musim hujan

berakhir. Embung kecil berfungsi untuk memenuhi kebutuhan air bersih

penduduk, air minum ternak dan menyiram tanaman di pekarangan. Untuk

memenuhi kebutuhan masyarakat dalam sebuah dusun, dengan jumlah penduduk

berkisar antara 40 120 KK, dengan asumsi 1 KK terdiri dari 5 orang dan

mempunyai ternak 2 ekor, serta luas pekarangan 200 m2, diperlukan kapasitas

tampungan antara 5.000 60.000 m3 (Kasiro, dkk., 1997).

Kolam embung akan menyimpan air di musim hujan, dan kemudian air

dimanfaatkan oleh suatu desa hanya selama musim kemarau, untuk memenuhi

kebutuhan dengan urutan prioritas: penduduk, ternak, dan kebun/sawah. Jumlah

kebutuhan tersebut akan menentukan tinggi tubuh bendung, dan kapasitas

tampungan embung. Kedua besaran tersebut perlu dibatasi karena kesederhanaan

teknologi yang dipakai. Batasan tersebut sebagai berikut (Kasiro, dkk., 1997):

1. Tinggi tubuh embung maksimum 10 m untuk tipe urugan, dan 6 m untuk tipe

grafitasi atau komposit, dimana tinggi tubuh embung diukur dari permukaan

galian pondasi terdalam hingga ke puncak tubuh embung.

2. Kapasitas tampungan embung maksumum 100.000 m3.

3. Luas daerah tadah hujan maksumum 100 Ha = 1 km2.

4. Embung dalam batasan ini merupakan embung kecil.


24

Permasalahan yang sering dialami suatu embung setelah beroperasi, adalah

menurunnya kapasitas tampung dari embung, karena adanya sedimentasi. Sedi-

mentasi ini disebabkan oleh:

a) Adanya perubahan tata guna lahan di hulu yang berakibat rusaknya daerah

pengaliran karena terjadinya erosi yang besar.

b) Tidak optimalnya pengoperasian embung sehingga terjadi endapan

sedimentasi yang besar di embung.

Untuk mengantisipasi menurunnya umur embung yang disebabkan oleh

sedimentasi ini maka perlu dilakukan:

a) Pemantauan secara periodik besarnya sedimentasi yang terbawa aliran masuk

ke embung dengan pengambilan contoh air dan butiran dari sedimen yang

masuk ke embung.

b) Perbaikan dari daerah pengaliran sungai di hulu embung dengan misalnya

melakukan reboisasi.

Sedangkan dalam menjaga keberlanjutan embung, maka beberapa

komponen pemeliharaan embung yang perlu mendapatkan perhatian antara lain:

(Irianto, 2007)

1. Mengurangi kehilangan air karena penguapan.

Untuk mengurangi kehilangan air oleh penguapan dapat dilakukan dengan

beberapa cara, antara lain:

a. Buat tiang peneduh di pinggir bibir embung, kemudian di atas embung

dibuat anyaman untuk media rambatan tanaman, serta ditanami dengan

tanaman merambat.
25

b. Tiang penahan angin di samping embung (wind breaker) pada sisi

datangnya angin, dan bisa ditanami tanaman merambat atau pohon sebagai

pengganti tiang.

2. Memelihara/melindungi embung, dapat dilakukan dengan:

a. Pemagaran sementara untuk mencegah gangguan ternak terhadap tanggul

embung.

b. Pengangkatan sedimen/endapan lumpur.

c. Sesegera mungkin melakukan perbaikan tanggul/talud, jika ada yang

bocor/rusak.

d. Tidak membuang sampah padat/cair ke dalam embung.

Komponen-komponen yang biasanya terdapat pada struktur bangunan

embung, yaitu: (Direktorat Pengelolaan Air, Dep. Pertanian, 2010)

a. Bendung

Untuk embung yang bukan galian, bendung berfungsi untuk membendung/

menahan air, selain itu bisa juga untuk melimpaskan air saat volume air

melebihi kapasitas tampungan embung. Oleh karena itu, konstruksi bendung

harus dilengkapi dengan pintu pelimpas dan harus kuat. Penempatan bendung

ini diusahakan terbuat dari pasangan batu kali.

b. Tanggul

Berfungsi untuk menjaga agar air tidak bocor. Tanggul dibuat hanya di

tempat-tempat yang memerlukannya. Konstruksi tanggul bisa terbuat dari

tanah atau pasangan batu kali/batu bata.


26

c. Saluran Penguras

Berfungsi untuk menguras dan membersihkan sedimen yang ada dalam

embung, serta untuk mengosongkan seluruh isi embung bila diperlukan.

Saluran penguras biasanya dilengkapi dengan pintu yang dioperasikan dengan

tangan. Pintu ini bisa berupa pintu sekat balok atau pintu sorong, bahkan jika

sumber air yang digunakan tidak membawa sedimen, dimungkinkan saluran

penguras cukup dibuatkan saluran dari pipa yang bisa dibuka-tutup.

d. Saluran Pemasukan (Inlet)

Berfungsi untuk mengarahkan air masuk ke dalam embung dan menyaring

kotoran/sedimen yang mungkin masuk ke embung.

e. Saluran Pengeluaran (Outlet)

Berfungsi untuk menyalurkan air ke lahan pertanian/warga desa, yang

biasanya dilengkapi dengan pintu. Jika elevasi lahan pertanian lebih tinggi

daripada embung, pembuatan saluran pengeluaran tidak diperlukan. Untuk

pemanfaatan airnya bisa menggunakan pompa.


27

Secara skematis, embung dapat dipresentasikan pada Gambar 2.3. berikut:

Tampak Samping

Lahan pertanian/
pemukiman warga

Outlet

Embung

Inlet

Pintu
Pengatur

Tampak Atas

Gambar 2.3. Desain Sederhana Embung (Irianto, 2007)

2.2.2. Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Embung.

Pemanfaatan sungai sebagai sumber air untuk memenuhi berbagai

keperluan dan kebutuhan akan air semakin meningkat, sejalan dengan laju

pembangunan sarana dan prasarana, kegiatan sektor industri serta sektor-sektor

lainnya. Pembangunan sektor sumber daya air adalah meningkatkan produktifitas

dalam pemanfaatan sumber air melalui pendayagunaan sumber air, dengan sarana
28

dan prasarana pengairan secara efektif dan efesien, yang muaranya bermanfaat

bagi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.

Memperhatikan hal tersebut, dan melihat keterbatasan dari faktor

klimatologi dan hidrologi dari suatu wilayah, dimana pada musim kemarau

banyak sungai yang kering, maka menjadi salah satu pilihan untuk memanfaatkan

potensi sumber air yang ada, dengan membuat penampungan air yang mengalir di

musim hujan, agar dapat dimanfaatkan hingga musim kemarau.

Menurut Susilawati (2009) dalam penelitiannya, pengembangan sistem

embung di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada umumnya diprakarsai oleh

pemerintah pusat dan provinsi, yang dikatagorikan sebagai embung irigasi dan

embung kecil. Pembangunan embung telah memberikan manfaat yang sangat

besar bagi penduduk yang mempunyai curah hujan yang sangat rendah. Salah satu

contoh keberhasilan pembangunan embung di Pulau Sabu, yang dibangun pada

tahun 2003. Masyarakat pedesaan selama ini memerlukan jarak dan waktu tempuh

yang lama untuk mendapatkan air bersih dalam jumlah yang kecil. Produktivitas

kerja penduduk sangat rendah, karena waktu banyak tersita untuk mencari air

sepanjang hari. Situasi saat telah difungsikannya bangunan embung menjadi lain,

waktu dan jarak tempuh yang relatif singkat untuk mendapatkan air bagi

kebutuhan harian keluarga, dimanfaatkan oleh kaum perempuan untuk mengolah

lahan tidur di sekitar lokasi embung dengan menanam tanaman bawang, sayuran

dan cabe. Keberhasilan pembangunan embung ini memberikan gambaran

sementara tentang pengembangan sistem embung dapat meningkatkan kehidupan


29

masyarakat daerah layanan embung, kreatifitas untuk memanfaatkan lahan tidur

menjadi lahan produktif dan dapat meningkatkan ekonomi daerah.

Pengembangan embung-embung merupakan suatu alternatif yang cukup

memungkinkan untuk mengatasi defisit air yang besar di musim kemarau. Untuk

mendapatkan desain yang baik secara teknis serta ekonomis, kondisi sosial

masyarakat dan alternatif penempatan tampungan air, memerlukan kajian yang

menyeluruh, sehingga memperoleh hasil yang optimal. Hal ini harus dilakukan,

mengingat pembangunan suatu waduk/embung secara langsung dan tidak lang-

sung, akan merubah suatu areal secara fisik dan non fisik, sehingga kajiannya

harus dilakukan sebaik-baiknya, agar tidak menimbulkan permasalahan di

kemudian hari.

2.2.3. Operasi dan Pemeliharaan Embung.

Kegiatan-kegiatan operasi embung adalah usaha untuk memanfaatkan

prasarana embung secara optimal dan pengaturan bangunan yang terkait dengan

pengoperasian embung, meliputi: 1) Pekerjaan pengumpulan data (data debit,

curah hujan, data luas tanaman, dan lain-lain), 2) Pekerjaan kalibrasi, 3)

Penyuluhan tentang pemanfaatan air, 4) Pekerjaan membuat rencana pembagian

air, rencana tata tanam, rencana pengeringan, dan lain-lain, 5) Pekerjaan

membuka/menutup pintu intake (pintu pengambilan) berkaitan dengan datangnya

debit banjir, 6) Pekerjaan membuka/menutup pintu penguras pada kantong lumpur

untuk menguras endapan lumpur (Balai Wilayah Sungai Bali-Penida, 2007)


30

Menurut Suripin (2004), pemeliharaan waduk/embung adalah usaha-usaha

untuk menjaga agar sarana dan prasarana yang ada, selalu dapat berfungsi dengan

baik selama mungkin, selama jangka waktu pelayanan yang direncanakan, guna

pelaksanaan operasi dan mempertahankan kelestariannya. Ruang lingkup

pemeliharaan embung, meliputi:

- Kegiatan pengamanan dan pencegahan, yaitu usaha pengamanan

untuk menjaga kondisi/fungsi bangunan, yang dapat mengakibatkan

rusaknya embung.

- Kegiatan perawatan, yaitu usaha-usaha untuk mempertahankan

kondisi dan fungsi bangunan, tanpa mengubah/mengganti konstruksi.

- Kegiatan perbaikan, yaitu usaha-usaha perbaikan dengan maksud

agar bangunan embung dapat berfungsi kembali.

Dengan demikian, pelaksanaan operasi dan pemeliharaan tersebut meliputi

pengaturan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari bangunan embung yang

dibangun, untuk menjamin kelestarian fungsi dan manfaat sumber daya air.

Operasi dan pemeliharaan ini terkait dengan infrastruktur yang ada dalam Dinas

Pekerjaan Umum (DPU), dimodifikasi dengan infrastruktur di tempat/lokasi

embung, yaitu sistem adat dan kearifan lokal. Modifikasi ini dikembangkan

dengan mempertimbangkan undang-undang yang berlaku tentang SDA, sistem

organisasi di lokasi embung atau masyarakat setempat, dan kapasitas sistem

informasi manajemen yang ada (Susilawati, 2009).

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 42 Tahun 2008, tentang

Pengelolaan Sumber Daya Air, pelaksanaan operasional dan pemeliharaan SDA


31

terdiri atas pemeliharaan sumber air serta operasi dan pemeliharaan prasarana

SDA. Operasi dan pemeliharaan prasarana SDA meliputi:

a) Operasi prasarana SDA, yang terdiri atas kegiatan pengaturan, pengalokasian,

serta penyediaan air dan sumber air.

b) Pemeliharaan prasarana SDA, yang terdiri atas kegiatan pencegahan keru-

sakan dan/atau penurunan fungsi prasarana SDA serta perbaikan kerusakan

prasarana SDA.

Operasi dan pemeliharaan prasarana SDA dilaksanakan berdasarkan norma,

standar, pedoman dan manual (NSPM), yang ditetapkan oleh menteri.

Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan SDA dilakukan oleh pemerintah,

pemerintah daerah, atau pengelola SDA sesuai kewenangannya.

2.3. Partisipasi Masyarakat Pemakai Air, Dalam Operasi dan Pemeliharaan

Embung

Dalam pelaksanaan operasi dan pemeliharaan embung, sangat diperlukan

adanya partisipasi aktif masyarakat pemakai air embung, yang difasilitasi oleh

pemerintah, dengan tujuan dapat memenuhi kebutuhan akan air, baik untuk

pertanian, perkebunan, peternakan, serta penyediaan air bersih bagi masyarakat.

Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2008, tentang

Pengelolaan Sumber Daya Air (SDA), operasi dan pemeliharaan parasarana

sumber daya air yang dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah atau

pengelola sumber daya air dapat melibatkan peran masyarakat. Badan usaha,

kelompok masyarakat, atau perseorangan atas prakarsa sendiri dapat melakukan


32

kegiatan operasi dan pemeliharaan SDA untuk kepentingan sendiri. Dalam hal ini,

embung yang dibangun oleh pemerintah, masyarakat pemakai air (P3A/petani/

warga pedesaan) dapat berpartisipasi dalam palaksanan operasi dan pemeliharaan

embung.

Dalam operasi dan pemeliharaan embung ini, masyarakat dapat

berpartisipasi dalam pelaksanaan tata kelola air embung, sehingga masyarakat

akan merasakan manfaat dari dibangunnya embung tersebut.

Untuk embung irigasi, kegiatan operasi dan pemeliharaan sampai saat ini

dilaksanakan oleh petugas pengairan dari dinas PU, bersama petani (P3A). Hal

tersebut dapat dilihat pada pelaksanaan operasi dan pemeliharaan di sekitar pintu

pemasukan (inlet), pengeluaraan air embung (outlet) serta di tingkat jaringan,

sehingga komponen-komponen yang terdapat pada embung berfungsi secara

optimal dan tidak cepat mengalami kerusakan (Susilawati, 2009)

Menurut Susilawati (2009), sistem operasi dan pemeliharaan pada dasarnya

melibatkan secara penuh masyarakat setempat ataupun kemampuan yang ada pada

masyarakat dan pihak terkait. Dengan melibatkan masyarakat, atau lembaga

masyarakat terkait, maka sistem akan berkelanjutan. Sejauh memungkinkan,

operasi dan pemeliharaan menjadi tanggung jawab dan wewenang masyarakat

pemakai air, terutama untuk bangunan struktur sistem mikro. Pihak Dinas

Pekerjaan Umum (DPU) berfungsi sebagai penyuluh, pendamping dan pengontrol

jalannya operasi dan pemeliharaan. Untuk prasarana bangunan sistem makro,

menjadi tanggung jawab dan wewenang dari dinas pemerintah terkait, seperti

Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kabupaten.


33

2.3.1. Pengertian Partisipasi

Pengertian partisipasi menurut Wazir Ws. (1999), partisipasi bisa diartikan

sebagai keterlibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi

tertentu. Dengan pengertian itu, seseorang bisa berpartisipasi bila ia menemukan

dirinya dengan atau dalam kelompok, melalui berbagai proses berbagi dengan

orang lain dalam hal nilai, tradisi, perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggung

jawab bersama.

Mikkelsen (1999) membagi partisipasi menjadi 6 (enam) pengertian, yaitu:

1) parisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek, tanpa ikut

serta dalam pengambilan keputusan, 2) partisipasi adalah pemekaan (membuat

peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan

untuk menanggapi proyek-proyek pembangunan, 3) partisipasi adalah keterlibatan

sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri, 4)

partisipasi adalah suatu proses aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau

kelompok terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk

melakukan hal itu, 5) partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat

setempat dengan para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring

proyek, agar supaya memperoleh informasi mengenai kontek lokal, dan dampak-

dampak sosial, 6) partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan

diri, kehidupan dan lingkungan mereka.

Pengertian tentang partisipasi oleh Dusseldorf (dalam Slamet, 1989) yang

menulis tentang partisipasi di tingkat masyarakat pedesaan. Dikatakan bahwa

partisipasi adalah suatu bentuk interaksi dan komunikasi khas, yaitu berbagi
34

dalam kekuasaan dan tanggung jawab. Pandangan tersebut mengandung arti

bahwa partisipasi sebagai bagian dalam kegiatan bersama (taking part in join

action). Namun demikian, partisipasi bukan berarti hanya ikut serta secara fisik,

namun juga sekejiwaan, seperti yang dikemukakan oleh Davis (1995), yang

mengartikan partisipasi sebagai keterlibatan mental, pikiran dan perasaan

seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan

sumbangan atau bantuan kepada kelompok tersebut dalam usaha mencapai tujuan

bersama, dan turut bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan.

Pentingnya parisipasi dikemukakan oleh Conyers (1991) sebagai berikut: 1)

partisipasi masyarakat merupakan suatu alat, guna memperoleh informasi

mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa

kehadirannya, program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal, 2) bahwa

masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan, jika

merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka

akan lebih mengetahui seluk-beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa

memiliki terhadap proyek tersebut, 3) bahwa merupakan suatu hak demokrasi,

bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Apa

yang ingin dicapai dengan adanya partisipasi adalah meningkatnya kemampuan

(pemberdayaan) setiap orang yang terlibat, baik langsung maupun tidak langsung,

dalam sebuah program pembangunan, dengan cara melibatkan mereka dalam

pengambilan keputusan dan kegiatan-kegiatan selanjutnya dan untuk jangka yang

lebih panjang.
35

Berdasarkan atas penjelasan beberapa pengertian tentang partisipasi di atas,

dapat disimpulkan bahwa partisipasi adalah keterlibatan aktif dari seseorang atau

sekelompok orang (masyarakat) secara sadar untuk berkontribusi secara sukarela

dalam program pembangunan dan terlibat mulai dari perencanaan, pelaksanaan,

monitoring, sampai tahap evaluasi, sehingga akan mempunyai rasa memiliki

terhadap proyek/program yang dibangun.

Menurut Soelaiman (1985), partisipasi masyarakat diartikan sebagai

keterlibatan aktif warga masyarakat, baik secara perorangan, kelompok

masyarakat atau kesatuan masyarakat dalam proses pembuatan keputusan

bersama, perencanaan dan pelaksanaan program dan pembangunan masyarakat,

yang dilaksanakan di dalam maupun di luar lingkungan masyarakat, atas dasar

rasa kesadaran dan tanggung jawab. Partisipasi masyarakat pada dasarnya dapat

dinyatakan dalam bentuk pemikiran, keterampilan/keahlian, tenaga, harta benda

atau uang (pendanaan).

Sedangkan Oakley (1991), memberi pemahaman tentang konsep partisipasi

masyarakat, dengan mengelompokkan ke dalam tiga pengertian pokok, yaitu

partisipasi sebagai kontribusi, partisipasi sebagai organisasi dan partisipasi

sebagai pemberdayaan. Dimensi kontribusi masyarakat dijabarkan menjadi: 1)

Kontribusi pemikiran, 2) Kontribusi tenaga, 3) Kontribusi Dana, dan 4)

Kontribusi sarana. Kontribusi pengorganisasian masyarakat dijabarkan menjadi:

1) Model pengorganisasian, 2) Sruktur pengorganisasian, 3) Unsur-unsur

pengorganisasian, dan 4) Fungsi pengorganisasian. Sedangkan partisipasi sebagai


36

pemberdayaan masyarakat dapat dijabarkan, yaitu: 1) Peran masyarakat, 2) Aksi

masyarakat, 3) Motivasi masyarakat, dan 4) Tangungjawab masyarakat.

Dalam pelaksanaan operasi dan pemeliharaan embung, sangat diperlukan

adanya partisipasi aktif masyarakat, baik masyarakat petani (untuk embung

irigasi) maupun masyarakat pedesaan dalam pemenuhan kebutuhan air bersih

(embung kecil), yang difasilitasi oleh dinas terkait dengan tujuan dapat

meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

2.3.2. Masyarakat

Menurut Santoso (2005), dalam kamus praktis bahasa Indonesia,

masyarakat diartikan sebagai kumpulan orang-orang yang hidup dalam suatu

tempat. Sedangkan Purwadarminta, dalam kamus umum bahasa Indonesia

memberikan pengertian bahwa masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti

seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.

Koentjaraningrat (1978) menjelaskan bahwa masyarakat adalah suatu

kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat

tertentu, yang bersifat kontinyu dan terikat oleh rasa identitas bersama.

Beberapa pengertian masyarakat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

masyarakat merupakan sejumlah manusia yang merupakan bagian dari keluarga

yang bertempat tinggal di suatu daerah, di mana masing-masing individu saling

berinteraksi dan mempunyai kepentingan untuk mengembangkan hidup bersama,

dengan norma-norma dan adat istiadat yang telah disepakati.


37

Menurut Yulianti (2005), berdasarkan tempat tinggal, masyarakat dapat

dibagi menjadi dua, yaitu masyarakat kota dan desa. Masyarakat kota adalah

orang-orang yang bermukim dan bertempat tinggal di daerah perkotaan,

sedangkan masyarakat desa adalah orang-orang yang bermukim dan bertempat

tinggal di daerah pedesaan.

Di samping terdapat kategori masyarakat kota dan desa, ada bentuk

masyarakat lainnya, yang dinamakan masyarakat setempat. Masyarakat setempat

merupakan suatu kelompok hidup bersama sedemikian rupa, sehingga merasakan

bahwa mereka dapat memenuhi kepentingan hidup yang utama (Soekanto, 1983)

Berdasarkan pengertian tentang masyarakat setempat, ada 4 (empat) kriteria

yang saling berkaitan, yaitu:

a. Jumlah penduduk.

b. Luas, kekayaan dan kepadatan penduduk.

c. Fungsi-fungsi khusus masyarakat setempat terhadap seluruh

masyarakat.

d. Organisasi masyarakat setempat yang bersangkutan.

2.3.3. Sumber Daya Manusia (SDM) Dalam Operasi dan Pemeliharaan

Embung

Sumber daya manusia (SDM) adalah manusia yang bekerja di lingkungan

suatu organisasi (kelompok), sebagai potensi manusiawi penggerak organisasi

dalam mewujudkan eksistensinya. Dalam peningkatan kinerja organisasi,

diperlukan adanya kemampuan anggota dalam memanfaatkan potensinya,


38

sehingga pemanfaatan air embung dilakukan dengan optimal. Di samping itu,

diharapkan mempunyai pemahaman dalam pengaturan penggunaan air, baik untuk

memenuhi kebutuhan air bersih bagi masyarakat, maupun untuk peternakan dan

perkebunan.

Keberhasilan pembangunan embung sangat dipengaruhi oleh sosialisasi dan

pendekatan kepada masyarakat sekitar, baik secara teknis, sosial dan ekonomi.

Kurangnya tinjauan sosial masyarakat setempat dan keterlibatan lembaga di

daerah setempat dalam perencanaan, dapat menimbulkan kurang partisipatif

dalam pembangunan dan pemeliharaan, bahkan merusak, karena dirasakan tidak

memberikan manfaat langsung bagi masyarakat setempat. Maka pemahaman

terhadap manfaat/tujuan dibangunnya embung sangat penting dimiliki masyara-

kat, sehingga partisipasi dalam operasi dan pemeliharaannya dapat dibangkitkan

(Susilawati, 2009)

Perbedaan pandangan dan kesadaran akan kebutuhan teknologi, sebagai

sarana menuju perbaikan kehidupan dalam mengatasi berbagai permasalahan yang

ada di tengah masyarakat, dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan yang dimiliki

masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. Kesadaran akan kebutuhan hidup

yang lebih tinggi, biasanya dilakukan jika suatu masyarakat dengan tingkat

pengetahuan yang tinggi pula. Dengan adanya kesadaran akan kebutuhan tuntutan

hidup yang tinggi (lebih baik), timbul kesadaran akan pentingnya teknologi yang

dapat menciptakan perbaikan kehidupan. Dengan demikian, suatu masyarakat

dengan tingkat pengetahuan yang tinggi, akan lebih mudah menyerap suatu

teknologi yang diperkenalkan (Dikti 1990, dalam Yuswari, 2010). Sosialisasi


39

teknologi yang dipakai dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan perlu

mendapat perhatian secara serius, misalnya program pendidikan dan latihan

(diklat) bagi masyarakat pemakai air embung perlu dilaksanakan, terutama pada

hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam

bidang operasi dan pemeliharaan, sehingga embung dapat dimanfaatkan secara

optimal dan berkesinambungan.

Faktor pendidikan formal dianggap penting, karena melalui pendidikan

yang diperoleh, seseorang lebih mudah berkomunikasi dengan orang luar, dan

cepat tanggap terhadap inovasi. Dengan demikian, dapat dipahami bila ada

hubungan antara tingkat pendidikan dan peran serta/partisipasi (Slamet, 1994).

2.3.4. Pendanaan Dalam Operasi dan Pemeliharaan Embung

Untuk kelangsungan operasional suatu organisasi dan meningkatkan

pendapatan masyarakat pemakai air embung, maka anggota yang masuk dalam

organisiasi harus memiliki sumber-sumber pendanaan yang cukup, memiliki

kecukupan anggaran dalam operasional kegiatan organisasi, kemampuan yang

baik dalam penggalian dana bagi sumber lain, selain dari iuran anggota, serta

kontribusi masyarakat sendiri dalam mengeluarkan dana pribadi secara suka rela

dalam pelaksanaan operasi dan pemeliharaan embung.

Pengelolaan dana tersebut, hendaknya berdasarkan pada prinsip

transparansi, akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi. Transparansi berarti

keterbukaan sumber dana dan jumlahnya, rincian penggunaan dan

pertanggungjawabannya harus jelas sehingga bisa memudahkan setiap anggota


40

untuk mengetahuinya. Akuntabilitas berarti penggunaan dana anggota dapat

dipertanggungjawabkan sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan.

Efektivitas menekankan pada kualitas hasil suatu kegiatan pengelolaan dana,

dikatakan memenuhi prinsip efektivitas, kalau kegiatan yang dilakukan dapat

mengatur dana yang ada untuk membiayai aktivitas dalam rangka tujuan anggota

yang bersangkutan dan hasilnya sesuai dengan rencana yang telah ditentukan.

Sedangkan efisien adalah perbandingan yang terbaik antara masukan (input) dan

keluaran (output) atau antara daya/dana dan hasil.

2.3.5. Pemikiran dan Tenaga, Dalam Operasi dan Pemeliharaan Embung

Dilihat dari cara keterlibatannya, keterlibatan dalam bentuk tenaga

merupakan bentuk partisipasi yang langsung dapat diberikan pada saat itu juga,

tanpa membutuhkan waktu yang lama dan pemikiran yang panjang. Partisipasi

tenaga adalah partisipasi yang diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan

usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan suatu program, sedangkan

partisipasi pemikiran adalah partisipasi berupa sumbangan ide, pendapat atau

buah pikiran konstruktif, baik untuk memperlancar pelaksanaan program maupun

untuk mewujudkannya, dengan memberikan pengalaman dan pengetahuan, guna

mengembangkan kegiatan yang diikutinya (Syahyuti, 2011)

Keterlibatan secara fisik dan pemikiran, sejak perencanaan, pelaksanaan

dan pengawasan operasi dan pemeliharaan embung, merupakan salah satu

partisipasi masyarakat dalam operasi dan pemeliharaan embung. Frekuensi

kehadiran dalam rapat-rapat organisasi, keaktifan memberikan usul/saran yang


41

berkaitan dengan kegiatan masalah pengelolaan embung, dan ikut berperan aktif

secara langsung dalam pelaksanaan operasi dan pemeliharaan embung, misalnya

menggunakan air embung dengan tidak berlebihan, ikut menjaga kebersihan

embung dari sampah dan rumput liar, serta melarang binatang seperti sapi, kerbau

supaya tidak masuk ke dalam embung.

2.3.6. Organisasi Kelompok Masyarakat Pemakai Air, Dalam Operasi dan

Pemeliharaan Embung

Dalam sistem kelembagaan ini, disusun struktur organisasi kelembagaan di

tingkat kecamatan, desa sampai tingkat dusun, sehingga sistem informasi yang

dibutuhkan menjadi lebih tertata rapi dan efektif. Kelembagaan dari tiap tingkatan

administrasi meliputi kelembagaan dari unsur masyarakat dan unsur dinas

pemerintah. Untuk menunjang sistem kelembagaan yang berkelanjutan, maka

diperlukan suatu pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kemampuan dalam

operasional dan pemeliharaan embung (Susilawati, 2009)

Organisasi pengelolaan air bukan sekedar untuk kegiatan teknis semata,

namun juga suatu lembaga sosial, bahkan di tengah masyarakat pedesaan,

kandungan kaidah-kaidah yang telah disepakati lebih sarat daripada sarana

fisiknya. Dalam pemanfaatan embung untuk pertanian/irigasi (embung irigasi),

pengelolaan airnya dapat dimanfaatkan oleh organisasi tradisional setempat,

begitu juga terhadap embung kecil, pengelolaannya dapat dimanfaatkan oleh

warga desa dinas/adat setempat, sehingga kebutuhan akan air bersih terpenuhi.
42

Dalam melaksanakan operasi dan pemeliharaan embung, sangat diperlukan

adanya unsur organisasi yang lengkap, sehingga koordinasi antar pengurus

sebagai penggerak, anggota serta dari pihak pemerintah/instansi terkait, akan

berjalan dengan baik dan tidak tumpang tindih. Efektifitas kinerja organisasi

tersebut, dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan partisipatif yang telah menghasilkan

perwujudan seluruh tujuan yang mengusahakan aktivitas partisipatif (Slamet,

1994). Keaktifan kepengurusan dan anggota secara berkesinambungan, kemauan

setiap anggota dalam setiap kegiatan organisasi, juga merupakan tolok ukur dalam

keberhasilan pelaksanaan operasi dan pemeliharaan embung.

Anda mungkin juga menyukai