S1 2015 318327 Introduction
S1 2015 318327 Introduction
BAB I
PENDAHULUAN
narapidana setelah keluar dari penjara. Kata bebas keluar dari penjara atau
narapidana.
kenyataan yang diterima oleh kebanyakan narapidana setelah keluar dari penjara.
masyarakat.
bukanlah cerita belaka. Dalam komunitas yang terbentuk di dalam penjara yaitu
komunitas narapidana, ada sebutan bagi narapidana yang sudah keluar dari
2
penjara kemudian masuk kembali ke dalam penjara yang disebut dengan residivis.
gambaran kenyataan hidup di luar penjara yang ternyata jauh berbeda dengan
masyarakat.
menjadi tujuan dan keinginan utama dari seluruh narapidana untuk keluar dari
penjara dan memiliki kehidupan yang bebas dan tidak terkekang oleh batas aturan
dari penjara.
Kehidupan saya setelah keluar dari penjara lebih susah mbak. Pertama
keluarga saya malu, istri saya jadi susah kalau mau gabung sama ibu-
ibu yang lain, karena suka diomongin. Diomongin kalau suaminya itu
orang jahat, bekas narapidana. Terus saya mau cari kerja juga susah,
untung masih ada sisa modal jadi masih bisa buka usaha, tapi ya gitu
pelanggannya juga tidak sebanyak dulu. Orang suka mikir yang enggak-
enggak mbak, mereka mikirnya saya penjahat dan bakalan jahat terus,
padahal saya udah tobat mbak. Waktu itu saya mencuri dan judi juga
3
karena kepepet butuh uang buat anak sekolah, kalau saya ada duit
mungkin saya gak bakal nyuri deh mbak. Zaman sekarang hidup susah
mbak, apalagi kalau udah punya cap bekas narapidana, soalnya orang
mikirnya orang jahat sekali jahat ya jahat, padahal enggak mbak. Di
penjara juga ada orang baik. Ada sih orang yang mau terima bekas
narapidana, tapi yang kayak gitu gak banyak, kebanyakan nolak kita.
Jadi bingung harus hidup kayak gimana. (Hasil wawancara,10 Februari
2014)
sebagai identitas dari individu yang melakukan tindakan kriminal dan selalu
narapidana.
tersebut terpidana oleh hukum negara karena melakukan tindakan yang melanggar
kesadaran akan nilai dan norma (Paramarta, 2014). Dalam kajian ilmu kriminologi
sendiri, narapidana atau bekas narapidana sendiri merupakan nama buruk yang
diberikan bagi orang yang pesakitan atau bekas pesakitan (Barnes dan Negley
dalam Samosir, 2012). Namun yang menjadi masalah di Indonesia adalah ketika
tekanan dan berada pada posisi kebingungan untuk bersikap setelah keluar dari
memilih untuk kembali melakukan tindak pidananya ataupun tindak pidana yang
baru.
pelaksana teknis lain dalam Lembaga Pemasyarakatan selain penjara yaitu Balai
yang harusnya menjadi jalan menuju dunia terang sosial masyarakat dari dunia
5
gelap penjara, tetapi justru membawa narapidana kepada dunia kelabu, tidak
terang dan tidak gelap. Dunia kelabu tersebut menyebabkan narapidana berada
pada posisi yang menegaskan bahwa ia tidak bisa hidup di dalam penjara dan
pengawasan karena masa pidananya telah habis, namun ia juga tidak bisa hidup di
orang jahat dan masyarakat menganggapnya sebagai orang jahat dan menolaknya
tahap liminal yang dianggap pemerintah sangat kritis dan mempengaruhi kinerja
pemerintah pada masa ritus inisiasi (Van Gennep, 1960). Ritus inisiasi tersebut
transisi. Oleh sebab itu latar belakang dilakukannya penelitian ini atas dasar
pandangan bahwa BAPAS sebagai unit pelaksana teknis yang dibentuk oleh
penginisiasi yang mencoba membentuk jalannya fase-fase dalam ritus yang akan
masyarakat.
narapidana. Tugas BAPAS dengan melakukan pembinaan luar (di luar penjara)
fenomena yang muncul melalui cara kerja BAPAS untuk narapidana dan
pemerintah, masyarakat, dan narapidana untuk hidup saling menerima dan berlaku
adil (tidak membeda-bedakan), namun juga dapat menjadi jarak pemisah dan
pemerintah mengalami kegagalan. Oleh sebab itu kerja BAPAS memiliki peran
3. Apa saja faktor pendukung dan faktor hambatan keberhasilan apa saja
kerja dan peran BAPAS yang dilihat dari sudut pandang antropologi sebagai
tujuan penelitian ini. Inti tujuan tersebut yaitu memberikan bukti melalui cara
akhirnya melalui penelitian ini dapat diperoleh gambaran melalui sudut pandang
yang ada menjadi sebuah unsur masalah yang kompleks dalam kehidupan sosial
pemasyarakatan dewasa ini. Pada kenyataannya penelitian ini tidak melihat apa
yang harus diperbuat oleh manusia, melainkan apa yang pada kenyataannya
diperbuat oleh manusia dalam sebuah sistem kehidupan sosial. Maka dari itu
melalui tujuan penelitian ini yaitu memberikan gambaran akan kebijakan yang
untuk memandang kebijakan yang muncul. Cara pandang dan analisis data yang
merupakan gabungan dari Ilmu Antropologi dan Ilmu Penologi (ilmu yang
dapat berguna sebagai data pendukung dan bahan evaluasi terhadap program kerja
yang dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan. Namun yang paling utama manfaat
9
dari diadakannya penelitian ini adalah agar dapat digunakan sebagai tolak ukur
harapan dan kenyataan yang dihadapi oleh narapidana hingga ke masyarakat pada
memberikan kehidupan kedua yang adil dan sejahtera kepada para narapidana.
lainnya untuk berpartisipasi dan ikut dalam pembangunan dan perubahan sosial
yang ada di Indonesia tanpa ada penghakiman akan identitas narapidana yang
menjadi menarik untuk dibahas lebih dalam karena terdapat berbagai macam
fenomena yang muncul dari adanya kelompok narapidana. Sebagai bagian dari
dari norma hukum dan nilai yang berlaku secara tertulis dalam masyarakat sosial.
10
Seiring dengan pembangunan yang terjadi dewasa ini kehidupan narapidana yang
menjadi pembahasan bukan lagi pada proses penyimpangan, namun pada proses
molimo. Filosofi Molimo yang digunakan oleh Masyarakat Jawa sama dengan
filosofi dalam Agama Hindu yang mengajarkan tentang sikap yang harus
dihindari sebagai individu yang memimpin kehidupan dalam dirinya (Adi, 2013).
Molimo sendiri merupakan singkatan dari lima jenis tindakan menyimpang, yaitu
Madon atau Memitra (prostitusi), Memotoh (main judi), Maling (Mencuri), Madat
(pecandu atau menggunakan narkoba), dan Metuakan atau Minum (Mabuk). Oleh
sebab itu, bagi Masyarakat Yogyakarta sebagai masyarakat yang menganut nilai
Jawa, molimo menjadi hal yang sangat tabu untuk dilakukan dan harus dihindari.
Apabila ada individu yang melakukan hal tersebut biasanya masyarakat hukuman-
hukuman sosial berupa pemberian cap wong nakalan atau orang jahat hingga
terhadap kejahatan pada masa kini. Pandangan dari tokoh pertama yang ia
yang tidak akan mati. Kejahatan akan semakin terus berkembang seiring dengan
kebutuhan hidup. Bagi James Coleman, karena banyaknya tindak kejahatan yang
muncul dewasa ini, masyarakat seharusnya sadar bahwa pelaku kejahatan bukan
kejahatan sudah menjadi masalah sosial yang mendarah daging dan sangat
pelaku kejahatan yang sudah memiliki identitas narapidana baik pada saat sudah
keluar dari penjara tetap sebagai individu yang jahat, bukan individu yang
masyarakat, dan berkaca pada diri sendiri. Samosir menggunakan pandangan J.E.
dalam bukunya yang berjudul Peradilan Etik dan Etika Konstitusi membahas
banyaknya narapidana yang masuk serta masuk kembali dan tidak seimbang
dengan narapidana yang keluar dari penjara. Kondisi over capacity dipandang
dari dalam penjara. Pembinaan tersebut dikatakan gagal karena sarana dan
gambaran akan kehidupan secara garis besar yang akan didapat ketika keluar
penjara.
perolehan lapangan kerja, dan kehidupan yang lebih baik lagi. Namun, salah satu
dalam penjara, menjadi salah satu penyebab penjara mengalami over capacity.
latar belakang kebanyakan karena faktor ekonomi yang berada pada kelas
(Victor Turner), dimana mereka harus menyesuaikan diri dengan kondisi penjara
terbatas dalam segala hal. Sayangnya tulisan Anes hanya berkutat pada kehidupan
bahwa para narapidana selalu mendapat dan diberikan gambaran dari pembinaan
dalam penjara bahwa kehidupan kedua lebih baik dari kehidupannya yang
pertama.
14
Sekertaris Jenderal Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, saat ini
petugas.
dijelaskan secara jelas bagaimana konsep tersebut di masyarakat dan siapa pelaku
Dari beberapa kajian diatas, masih banyak lagi kajian dan studi yang
membahas tentang narapidana. Namun sejauh pengetahuan dan studi pustaka yang
dilakukan oleh penulis belum ada studi yang membahas tentang cara kerja Balai
masuk dalam rangakaian pencapaian ritus inisiasi dan melalui ritus tersebut. Dari
yang dibuat oleh pemerintah berjalan dalam masyarakat sosial diharapkan dapat
dari beberapa tulisan tersebut dengan menjelaskan secara jelas tentang bagaimana
faktor pembebasan bersyarat dari pelaku konsep tersebut yaitu BAPAS itu sendiri.
16
cara kerja BAPAS sebagai unit pelaksana teknis yang dapat disebut sebagai agen
Narapidana atau prisoner merupakan istilah yang muncul pada abad ke-
perubahan abad tersebut yang lebih dikenal dengan masa reformasi penjara, istilah
penjara muncul sebagai nama baru dari rumah tahanan (Foucault dalam
Hardiyanta, 1997: 122). Nama baru tersebut merupakan transisi bentuk keadilan
hukuman dari hukuman fisik dan langsung kepada individu yang melakukan
tindakan illegal menjadi hukuman yang lebih kemanusiaan dan membentuk moral
illegal tersebutlah yang dinamakan sebagai prisoner atau yang nantinya dalam
tokoh reformasi yang memunculkan istilah tersebut antara lain Chaptal (1801),
Hardiyanta, 1997).
17
karena tindakan melanggar hukum dan akan menjalani pidana dengan pola
yang telah disandur oleh Hardiyanta, penjara merupakan bentuk hukuman baru
orang yang ditaruh didalam penjara, penjara juga berhak meminta orang tersebut
balas dendam terutama dalam kontak fisik kepada tahanan (hal. 124). Pandangan
penjara sebagai lembaga lengkap dan keras menurut Foucault bukanlah lembaga
menentukan bagaimana seseorang sudah mendapatkan efek jera (hal. 156). Kota
Hukuman bukan lagi penguasa pusat yang menentukan keberhasilan efek jera,
yang selalu indah setelah keluar dari penjara, namun realita yang diterima oleh
Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi menjelaskan bahwa ada tiga tahap
perubahan sosial, yaitu pertama tahap invensi dimana ide-ide baru diciptakan dan
Shoemaker dalam Hanafi, 1981: 16). Kegagalan adaptasi yang dialami oleh
dimulai dari tahap dua atau pengkomunikasian yang berujung hingga tahap tiga.
Hal tersebut mengakibatkan individu melakukan pemilihan usaha lain agar dapat
menyeimbangi perubahan yang muncul, namun usaha lain tersebut dianggap salah
oleh sistem hukum yang berlaku sehingga muncul identitas narapidana yang dapat
penghakiman identitas tersebut. Oleh sebab itu dalam perubahan sosial yang
adalah orang asing yang memiliki latar belakang anak buah dari lembaga pembaru
yang memiliki cara kerja sebagai tangan yang mengarahkan keputusan dan
inovasi yang diambil dari sistem yang dimiliki oleh klien perubahan sosial
mengarahkan keputusan dan inovasi yang diambil oleh klien perubahan sosial
Dalam teori yang dikemukakan oleh Van Gennep, setiap individu dalam
serangkaian peralihan dari satu bagian ke bagian lainnya secara bertahap dan
dihubungkan dengan inisiasi, ritus inisiasi dan berbentuk upacara. Ritus inisiasi
sendiri memiliki pengertian ritus permulaan yang harus dijalani individu untuk
masuk ke dalam suatu kelompok, kultur ataupun status sosial (Turner dalam
Winangun, 1990:33). Kegunaan dari ritus inisasi itu sendiri adalah sebagai jalan
berbentuk kegiatan anti-struktur, namun dalam penelitian ini teori tersebut dapat
upacara yang sakral, melainkan sebuah rangkaian tahapan yang profan yang
Ritus inisasi tersebut disebut dalam penelitian ini sebagai ritus reintegrasi. Ritus
ke kelompok masyarakat. Atau dengan kata lain ritus reintegrasi adalah kebijakan
stream yang berlaku di masyarakat, yaitu norma dan hukum. Tahap kehidupan
individu yang sudah memiliki identitas narapidana dapat dikatakan berada tahap
lainnya. Tahap liminal atau liminalitas adalah tahap seseorang berada dikondisi
ambang, tidak di sana dan tidak di sini, tidak di luar dan tidak di dalam. Tahap
penjara, tetapi juga kehidupan setelah keluar dari penjara. Permasalahan terbesar
adalah ketika narapidana berada pada masa transisi untuk mencapai ritus
reintegrasi yaitu kehidupan saat keluar dari penjara dan kembali ke masyarakat.
narapidana secara individu untuk melalui ritus reintegrasi tersebut karena ketidak
jelasan untuk memposisikan diri dalam masyarakat. Hasil akhir dari kebingungan
adalah narapidana tidak dapat melalui ritus tersebut dan mengulang kembali
tindak pidananya. Hal tersebut menjadi sebuah batu sandungan bagi apa yang
dipandang gagal oleh narapidana masyarakat. Oleh sebab itu dalam mengkaji
berhubungan dengan apa yang diperbuat oleh pemerintah. Maka dari itu dalam
kajian ilmu lain selain ilmu antropologi, karena peran BAPAS secara terstruktur
reintegrasi tersebut.
sebagai agen pembaru dan lembaga penginisiasi adalah kajian ilmu penologi dari
pidana mulai dari masa lalu hingga melihat masa depan dari sisi warganegara
yang hidup di bawah hukum konstitusi. Penologi lebih fokus kepada bagaimana
baik dari sektor mental, pendidikan, ekonomi, dan unsur kehidupan lainnya,
yang ada, tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan kehidupan yang layak
bagi para narapidana (Thomas, 1987). Pada saat ini ilmu penologi digunakan
(Samosir, 2012).
narapidana dari tahap liminal masa lalu dan masa penjaranya untuk menuju masa
depan yang layak. Cara kerja BAPAS dengan melakukan pembinaan luar (luar
program tersebutlah yang dapat disebut sebagai ritus reintegrasi. Ritus reintegrasi
dari cara kerja BAPAS yang berisikan proses adaptasi sosial narapidana kembali
ke masyarakat.
adalah suatu proses yang dilakukan manusia untuk mengatasi masalah yang ada
dalam lingkungan sosial, budaya, ekonomi, dan alam dalam rangka memenuhi
dalam Edeltrudis, 1998: 12). Selain Pasurdi, Talcott Parson memandang adaptasi
sebagai sebuah cara pelaku kehidupan sosial untuk menyesuaikan diri dengan
situasi dan tempat mereka berinteraksi (Talcott Parsons, 1963: 35). Masyarakat
sebagai manusia adalah makhluk sosial yang memiliki ruang beradaptasi yaitu
yang membentuk kelompok yang memiliki sebuah sistem, tatanan, norma dan
nilai yang berlaku dalam lingkungan tersebut. Maka dari itu pengertian adaptasi
dari individu sebagai anggota masyarakat adalah sebagai proses penyesuaian yang
kebutuhan dari sebuah sistem agar dapat berjuang hidup supaya berhasil dalam
belajar untuk mau dan harus memberikan kesempatan kepada narapidana untuk
pandangan ini dapat digunakan. Narapidana bisa dibilang kaum difabel sosial,
perubahan yang terjadi di kehidupan sosial. Maka dari itu pandangan normalisme
sebagai penyandang cacat, namun sebagai orang normal yang sama dengan
pertimbangan:
Fokus latar belakang pidana dari informan inti dalam penelitian ini
adalah pidana kasus pencurian dan kasus asusila. Alasan pemilihan dua pidana
tersebut karena yang pertama kasus asusila memiliki presentasi kasus tertinggi
dari empat kasus besar (lainnya: narkotika, korupsi, pencurian, dan penipuan)
yang ditangani oleh BAPAS Yogya, yaitu sebesar 45%. Yang kedua kasus
angka pencurian yang ditangani BAPAS Yogya, yaitu sebanyak 20%. Maka dari
itu sebanyak enam responden yang dipilih merupakan pelaku tindak pidana
Dalam analisis data nantinya, enam informan inti tersebut dibagi menjadi
tiga kelompok sesuai dengan tiga hasil penelitian kemasyarakatan (litmas) dari
cara kerja BAPAS Yogya. Tiga hasil tersebut yaitu hasil litmas positif, hasil
dua responden dengan latar belakang kasus yang berbeda. Harapannya selain
memudahkan penjelasan tentang ukuran hasil akhir dari cara kerja BAPAS
Yogya.
Kelompok informan yang dipilih pertama adalah pegawai BAPAS Yogya. Para
28
masyarakat, dari awal hingga akhir narapidana memperoleh status hasil penelitian.
Para pegawai inilah yang menjadi penghubung antara pihak pemerintah dengan
berkaitan dengan kehidupan yang akan dihadapi dan dihadapi oleh narapidana
setelah keluar dari penjara, seperti keluarga, pihak korban, masyarakat, perangkat
beberapa narapidana yang merupakan klien BAPAS Yogya yang tidak termasuk
bagaimana pengalaman proses adaptasi yang dapat menjadi data pendukung hasil
2014. Penelitian ini dilaksanakan selama hampir satu tahun dengan tujuan untuk
melihat bagaimana jalannya program kerja BAPAS Yogya dari awal hingga akhir.
Tujuannya agar gambaran akan perkembangan yang terjadi, dan masalah yang
29
ditemui selama jalannya program kerja BAPAS kepada narapidana dapat dilihat
mengalami hambatan yang cukup sulit dalam pengumpulan data. Hal tersebut
dikarenakan selama satu tahun jadwal pertemuan dan pembimbingan telah diatur
dalam program kerja BAPAS secara baku atas persetujuan pertemuan dan
kualitatif dengan hasil penelitian berupa deskripsi data kualitatif. Perolehan data
yaitu:
pemasyarakatan.
2. Peneliti mencari lokasi dan obyek penelitian yang dipandang menarik dan
3. Peneliti ikut ambil bagian dalam kerja BAPAS Yogya, terutama dalam
BAPAS Yogya.
riwayat responden.
terhadap narapidana dan ikut serta hadir dalam sidang Tim Pengamat
BAPAS Yogya.
digunakan juga metode studi pustaka dan dokumentasi dengan tujuan untuk
mudah dibaca dan dimengerti. Melalui cara pengumpulan data yang demikian
diharapkan analisis data penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang usaha
adaptasi kembali secara jelas. Pada akhirnya cara pengumpulan data diharapkan
satu, penelitian ini membahas tentang latar belakang yang mendasari diadakannya
penelitian ini. Bab ini berisikan bagaimana penelitian ini berangkat melalui
asusmsi dasar dan kerangka teori yang sudah diperoleh terlebih dahulu melalui
31
studi lapangan dan studi pustaka pertama. Serta pada bab ini dijelaskan bagaimana
Memasuki bab dua, penelitian ini kemudian membahas tentang data yang
(BAPAS Yogya). Bab dua diawali dengan latar belakang terbentuknya BAPAS,
gambaran umum BAPAS Yogya, dan struktur organisasi kerja BAPAS Yogya.
Kemudian pada bab dua dijelaskan melalui beberapa point berupa tahapan tentang
bagaimana cara kerja BAPAS Yogya dan program-program yang ada di BAPAS
Yogya. Sebagai akhir dari bab dua adalah pembahasan tentang bagaimana
pandangan pegawai BAPAS Yogya sebagai pelaku utama program kerja dan
Bab tiga dalam penulisan penelitian ini berisikan gambaran dari hasil
analisis data enam orang responden penelitian ini. Hasil analisis data tersebut
dikelompokkan dalam tiga hasil penelitian dari kerja BAPAS Yogya. Dalam
Dua bab terakhir yaitu bab empat dan bab lima lebih kepada menganalisis
penggambaran yang sudah ada pada bab dua dan bab tiga. Pada bab empat
penggambaran pada bab dua dan bab tiga kemudian dirangkum dalam tiga point
tahapan besar dengan menggunakan kerangka teori yang menjadi dasar penelitian
32
ini. Selain itu pada bab empat seluruh jawaban atas pertanyaan penelitian
dijelaskan dalam tiga point tahapan besar tersebut. Tahapan besar tersebut
dapat melalui ritus reintegrasi. Tahap pertama merupakan tahap dari BAPAS
Yogya sendiri, tahap kedua adalah tahap dari narapidana, dan tahap terakhir
penelitian ini dirangkum dalam bab lima. Kesimpulan tersebut berupa evaluasi,
konklusi, serta saran yang diharapkan dapat digunakan sebaga jalan pencapaian
manfaat dari penelitian ini kepada para sasarannya, yaitu narapidana, masyarakat,
dan pemerintah.