Anda di halaman 1dari 32

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menghirup udara segar, berkumpul kembali bersama keluarga, kembali

ke masyarakat, dan memulai hidup baru, menjadi angan-angan dari kebanyakan

narapidana setelah keluar dari penjara. Kata bebas keluar dari penjara atau

pembebasan bagi narapidana merupakan jalan satu-satunya menuju titik terang

mencapai angan-angan tersebut. Maka dari itu untuk menyambut pembebasan

tersebut pihak penjara memberikan narapidana sebuah gambaran akan kehidupan

yang lebih baik dan penerimaan masyarakat untuk melengkapi angan-angan

narapidana.

Pada kenyataannya kehidupan yang didapat oleh narapidana tidak

seindah angan-angan dan gambaran dari pembinaan dalam penjara. Pengucilan,

penolakan, dan pemberian cap buruk yang bersifat mengintimidasi adalah

kenyataan yang diterima oleh kebanyakan narapidana setelah keluar dari penjara.

Hal tersebut menyebabkan banyak narapidana kemudian memiliki ketakutan-

ketakutan dan kekhawatiran untuk menghadapi pembebasan dan kembali ke

masyarakat.

Ketakutan dan kekhawatiran akan perbedaan antara angan-angan dan

gambaran dengan kenyataan di masyarakat dalam kehidupan para narapidana

bukanlah cerita belaka. Dalam komunitas yang terbentuk di dalam penjara yaitu

komunitas narapidana, ada sebutan bagi narapidana yang sudah keluar dari
2

penjara kemudian masuk kembali ke dalam penjara yang disebut dengan residivis.

Melalui residivis tersebutlah narapidana yang lain menerima dan memperoleh

gambaran kenyataan hidup di luar penjara yang ternyata jauh berbeda dengan

gambaran yang diberikan oleh pembinaan penjara. Kebanyakan residivis biasanya

kembali masuk penjara karena mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan

masyarakat.

Disini mbak, sudah ada yang berkali-kali keluar masuk penjara,


kasusnya sih sama aja nyuri, tapi ada juga yang masuk lagi malah bawa
rombongan. Ada juga yang kasusnya macem-macem, ada pembunuhan
ada juga pencurian. Ceritanya macem-macem juga, tapi kebanyakan
susah buat nyatu sama masyarakat lagi mbak, susah cari kerja, jadi
kebanyakan yang nyuri lagi itu ya karena lebih susah cari kerja. (Noaf,
narapidana LAPAS II B Sleman)

Cerita pengalaman dan bayangan yang diperoleh melalui residivis tersebutlah

yang membuat ketakutan narapidana kemudian berubah menjadi tekanan

kehidupan ketika kembali ke masyarakat. Walaupun demikian kata bebas tetap

menjadi tujuan dan keinginan utama dari seluruh narapidana untuk keluar dari

penjara dan memiliki kehidupan yang bebas dan tidak terkekang oleh batas aturan

dari penjara.

Bapak Akir sebagai salah satu mantan narapidana menceritakan bahwa

kehidupan sebagai mantan narapidana lebih berat untuk dijalani dibandingkan

dengan kehidupan sebelum ia dipenjara.

Kehidupan saya setelah keluar dari penjara lebih susah mbak. Pertama
keluarga saya malu, istri saya jadi susah kalau mau gabung sama ibu-
ibu yang lain, karena suka diomongin. Diomongin kalau suaminya itu
orang jahat, bekas narapidana. Terus saya mau cari kerja juga susah,
untung masih ada sisa modal jadi masih bisa buka usaha, tapi ya gitu
pelanggannya juga tidak sebanyak dulu. Orang suka mikir yang enggak-
enggak mbak, mereka mikirnya saya penjahat dan bakalan jahat terus,
padahal saya udah tobat mbak. Waktu itu saya mencuri dan judi juga
3

karena kepepet butuh uang buat anak sekolah, kalau saya ada duit
mungkin saya gak bakal nyuri deh mbak. Zaman sekarang hidup susah
mbak, apalagi kalau udah punya cap bekas narapidana, soalnya orang
mikirnya orang jahat sekali jahat ya jahat, padahal enggak mbak. Di
penjara juga ada orang baik. Ada sih orang yang mau terima bekas
narapidana, tapi yang kayak gitu gak banyak, kebanyakan nolak kita.
Jadi bingung harus hidup kayak gimana. (Hasil wawancara,10 Februari
2014)

Dalam kehidupan sehari-hari, narapidana dikenal oleh masyarakat

sebagai identitas dari individu yang melakukan tindakan kriminal dan selalu

berhubungan dengan penjara. Masyarakat sering kali memberi cap kepada

individu yang berindentitas narapidana sebagai orang yang jahat, berbahaya,

sebisa mungkin dihindari dan dikeluarkan dari kehidupan sosial karena

mengganggu keamanan dan ketertiban di masyarakat. Oleh karena itu banyak

masyarakat yang bersikap mengintimidasi melalui pemberian cap kepada

individu beserta kerabatnya yang memiliki identitas narapidana atau bekas

narapidana.

Tindakan masyarakat untuk memberikan cap bukan tindakan yang

dapat dikatakan sebagai tindakan yang salah. Pemerintah sendiri memberikan

label narapidana kepada sekelompok orang sebagai penanda bahwa individu

tersebut terpidana oleh hukum negara karena melakukan tindakan yang melanggar

hukum sehingga membutuhkan proses pemenjaraan guna mengembalikan kembali

kesadaran akan nilai dan norma (Paramarta, 2014). Dalam kajian ilmu kriminologi

sendiri, narapidana atau bekas narapidana sendiri merupakan nama buruk yang

diberikan bagi orang yang pesakitan atau bekas pesakitan (Barnes dan Negley

dalam Samosir, 2012). Namun yang menjadi masalah di Indonesia adalah ketika

kebijakan pemerintah berusaha untuk mengembalikan narapidana ke masyarakat


4

dengan memberi gambaran kehidupan yang lebih baik, penerimaan masyarakat,

mendapatkan pekerjaan, melalui proses pembinaan bertolak belakang dengan

tindakan masyarakat di lapangan yang berisikan penolakan, pemberian cap, yang

bersifat mengintimidasi. Perbedaan antara gambaran dan harapan dengan

kenyataan yang diterima oleh narapidana mengakibatkan narapidana mengalami

tekanan dan berada pada posisi kebingungan untuk bersikap setelah keluar dari

penjara. Kebingungan tersebutlah yang akhirnya menyebabkan banyak narapidana

memilih untuk kembali melakukan tindak pidananya ataupun tindak pidana yang

baru.

Menyadari adanya perbedaan kenyataan yang dihadapi oleh narapidana

yang dapat mengakibatkan narapidana dapat kembali melakukan tindakan pidana,

pemerintah akhirnya membentuk sebuah kebijakan. Kebijakan tersebut berupa

bantuan untuk mengatasi kebingungan dengan membentuk sebuah unit

pelaksana teknis lain dalam Lembaga Pemasyarakatan selain penjara yaitu Balai

Pemasyarakatan (BAPAS). Berbeda dengan Lembaga Pemasyarakatan Penjara,

BAPAS tidak berbentuk bangunan penjara, melainkan sebagai sebuah kantor

pembinaan dan pembimbingan. BAPAS sendiri memiliki tugas utama untuk

melakukan pembinaan luar penjara terhadap narapidana diharapkan dapat

mengatasi masalah yang dihadapi oleh Pemerintah Pemasyarakatan akibat adanya

perbedaan kenyataan tersebut.

Secara Antropologi, meminjam istilah Victor Turner, posisi narapidana

yang mengalami kebingungan disebut tahap liminal. Pembebasan bagi narapidana

yang harusnya menjadi jalan menuju dunia terang sosial masyarakat dari dunia
5

gelap penjara, tetapi justru membawa narapidana kepada dunia kelabu, tidak

terang dan tidak gelap. Dunia kelabu tersebut menyebabkan narapidana berada

pada posisi yang menegaskan bahwa ia tidak bisa hidup di dalam penjara dan

pengawasan karena masa pidananya telah habis, namun ia juga tidak bisa hidup di

dalam masyarakat karena dalam pandangan masyarakat ia dianggap sebagai

orang jahat dan masyarakat menganggapnya sebagai orang jahat dan menolaknya

masuk dalam masyarakat. Tahap liminal yang dialami narapidana merupakan

tahap liminal yang dianggap pemerintah sangat kritis dan mempengaruhi kinerja

pemerintah pada masa ritus inisiasi (Van Gennep, 1960). Ritus inisiasi tersebut

merupakan program pengembalian atau program reintegrasi yang berisikan

tahapan adaptasi kembali narapidana ke masyarakat yang disebut sebagai masa

transisi. Oleh sebab itu latar belakang dilakukannya penelitian ini atas dasar

pandangan bahwa BAPAS sebagai unit pelaksana teknis yang dibentuk oleh

pemerintah, dari sudut pandang antropologi dapat disebut sebagai lembaga

penginisiasi yang mencoba membentuk jalannya fase-fase dalam ritus yang akan

dilalui oleh narapidana melalui tahap pengadaptasian kembali narapidana ke

masyarakat.

1.2 Perumusan Masalah

Pembentukan BAPAS dipandang oleh Pemerintah Pemasyarakatan

sebagai satu jalan keluar untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi

narapidana. Tugas BAPAS dengan melakukan pembinaan luar (di luar penjara)

terhadap narapidana memiliki tujuan untuk menyelaraskan gambaran dan


6

kenyataan yang diterima oleh narapidana dengan membentuknya melalui program

reintegrasi narapidana ke masyarakat memunculkan pandangan baru dalam dunia

antropologi. Pandangan tersebut adalah bahwa dalam sebuah struktur

pemerintahan yang baku terdapat kegiatan-kegiatan anti-struktur seperti ritus-ritus

peralihan dan masa liminalitas. Dari kegiatan-kegiatan tersebut dapat dilihat

fenomena yang muncul melalui cara kerja BAPAS untuk narapidana dan

masyarakat. Fenomena tersebut dapat menghasilkan persatuan pandangan antara

pemerintah, masyarakat, dan narapidana untuk hidup saling menerima dan berlaku

adil (tidak membeda-bedakan), namun juga dapat menjadi jarak pemisah dan

memunculkan intimidasi diantara ketiganya. Ketika muncul jarak pemisah antara

pemerintah, masyarakat, dan narapidana, maka dapat dikatakan bahwa kebijakan

pemerintah mengalami kegagalan. Oleh sebab itu kerja BAPAS memiliki peran

penting dalam dunia pemasyarakatan.

Melihat pentingnya kerja BAPAS dengan perannya sebagai unit

pelaksana teknis melalui struktur dari Pemerintah Pemasyarakatan untuk

membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi narapidana, muncul tiga

pertanyaan besar yang merupakan dasar dilakukannya penelitian ini:

1. Bagaimana sesungguhnya cara kerja BAPAS dalam masa transisi yang

dialami oleh narapidana?

2. Sejauh mana narapidana dan masyarakat memandang cara kerja BAPAS

sebagai kebijakan pemerintah berperan dalam kehidupan narapidana

setelah keluar dari penjara?


7

3. Apa saja faktor pendukung dan faktor hambatan keberhasilan apa saja

yang muncul dalam kerja BAPAS sebagai lembaga penginisiasi

narapidana kembali ke masyarakat?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan gambaran bagaimana

usaha dan perhatian pemerintah kepada narapidana melalui kebijakan kerja

BAPAS untuk mengintegrasikan narapidana secara individu per-individu kembali

ke masyarakat di bawah bimbingan Pemerintah Pemasyarakatan. Harapannya cara

kerja dan peran BAPAS yang dilihat dari sudut pandang antropologi sebagai

lembaga penginisiasi dapat menjelaskan bagaimana narapidana sesungguhnya

juga merupakan anggota masyarakat yang berusaha untuk melalui fase-fase

kehidupan di Indonesia yang sedemikan rupa diatur oleh negara melalui

perkembangan pembangunan dan kebijakan-kebijakan baru.

Rangkaian proses reintegrasi narapidana ke masyarakat menjadi inti dari

tujuan penelitian ini. Inti tujuan tersebut yaitu memberikan bukti melalui cara

kerja BAPAS, pemerintah ingin masyarakat untuk melihat bahwa narapidana

bukan sampah masyarakat melainkan anggota masyarakat yang juga ingin

berperan dalam pembangunan. Harapannya masyarakat mau diajak bekerja sama

untuk memecahkan dan menyelesaikan masalah pemasyarakatan yang ada. Pada

akhirnya melalui penelitian ini dapat diperoleh gambaran melalui sudut pandang

antropologi dan ilmu lainnya bahwa di Indonesia, melalui fase-fase kehidupan


8

yang dialami narapidana, masyarakat Indonesia memiliki budaya gotong royong

untuk menjaga sistem yang berlaku di masyarakat.

1.4 Manfaat Penelitian

Secara keseluruhan penelitian ini merupakan penelitian antropologi yang

menggambarkan bagaimana narapidana sebagai unsur kecil dari jenis masyarakat

yang ada menjadi sebuah unsur masalah yang kompleks dalam kehidupan sosial

pemasyarakatan dewasa ini. Pada kenyataannya penelitian ini tidak melihat apa

yang harus diperbuat oleh manusia, melainkan apa yang pada kenyataannya

diperbuat oleh manusia dalam sebuah sistem kehidupan sosial. Maka dari itu

melalui tujuan penelitian ini yaitu memberikan gambaran akan kebijakan yang

diperbuat oleh pemerintah, harapannya dapat bermanfaat bagi Ilmu Antropologi

untuk memandang kebijakan yang muncul. Cara pandang dan analisis data yang

merupakan gabungan dari Ilmu Antropologi dan Ilmu Penologi (ilmu yang

mempelajari tentang pidana dan konsekuensinya dari tindak kejahatan),

diharapkan mampu membuka pandangan baru bahwa Ilmu Antropologi dapat

berfungsi bersama ilmu lainnya dalam menganalisis masalah yang terjadi di

masyarakat, terutama masalah kesejahteraan narapidana.

Tidak hanya bagi Ilmu Antropologi, penelitian ini diharapkan dapat

berguna bagi dunia pemasyarakatan, terutama dalam kelanjutan kerja Balai

Pemasyarakatan. Melalui gambaran yang ada dalam penelitian ini diharapkan

dapat berguna sebagai data pendukung dan bahan evaluasi terhadap program kerja

yang dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan. Namun yang paling utama manfaat
9

dari diadakannya penelitian ini adalah agar dapat digunakan sebagai tolak ukur

dan evaluasi usaha Pemerintah Pemasyarakatan untuk menyelaraskan antara

harapan dan kenyataan yang dihadapi oleh narapidana hingga ke masyarakat pada

kehidupan narapidana setelah keluar dari penjara. Pada akhirnya melalui

penelitian ini pemerintah dan masyarakat dapat bersama-sama membantu

memberikan kehidupan kedua yang adil dan sejahtera kepada para narapidana.

Sejahtera yang dimaksud adalah narapidana mampu menempatkan diri di

masyarakat, memenuhi kebutuhan pokok, mendapat pekerjaan, dan pengakuan

sebagai individu anggota masyarakat. Kehidupan yang adil, dimana narapidana

memiliki kesempatan dan perlakuan yang sama dengan anggota masyarakat

lainnya untuk berpartisipasi dan ikut dalam pembangunan dan perubahan sosial

yang ada di Indonesia tanpa ada penghakiman akan identitas narapidana yang

melekat dalam dirinya.

1.5 Tinjauan Pustaka

Kajian tentang pemasyarakatan, terutama tentang kehidupan narapidana

menjadi menarik untuk dibahas lebih dalam karena terdapat berbagai macam

fenomena yang muncul dari adanya kelompok narapidana. Sebagai bagian dari

anggota masyarakat sosial, narapidana memiliki komponen kehidupan yang

kompleks dan berbeda dengan masyarakat lainnya, sehingga memunculkan

fenomena perilaku masyarakat yang berbeda terhadap narapidana. Kehidupan

narapidana biasanya lebih dikenal dengan perilaku kehidupan yang menyimpang

dari norma hukum dan nilai yang berlaku secara tertulis dalam masyarakat sosial.
10

Seiring dengan pembangunan yang terjadi dewasa ini kehidupan narapidana yang

menjadi pembahasan bukan lagi pada proses penyimpangan, namun pada proses

pengembalian narapidana ke masyarakat, khususnya untuk mengatasi masalah-

masalah pembangunan dalam dunia pemasyarakatan.

Di Indonesia, pandangan masyarakat secara umum tentang narapidana

memiliki penjelasan yang berbagai macam. Yogyakarta sendiri sebagai satu-

satunya Daerah Istimewa di Indonesia memiliki filosofi tentang kehidupan

menyimpang Molimo yang menjelaskan bahwa narapidana adalah pelaku dari

molimo. Filosofi Molimo yang digunakan oleh Masyarakat Jawa sama dengan

filosofi dalam Agama Hindu yang mengajarkan tentang sikap yang harus

dihindari sebagai individu yang memimpin kehidupan dalam dirinya (Adi, 2013).

Molimo sendiri merupakan singkatan dari lima jenis tindakan menyimpang, yaitu

Madon atau Memitra (prostitusi), Memotoh (main judi), Maling (Mencuri), Madat

(pecandu atau menggunakan narkoba), dan Metuakan atau Minum (Mabuk). Oleh

sebab itu, bagi Masyarakat Yogyakarta sebagai masyarakat yang menganut nilai

Jawa, molimo menjadi hal yang sangat tabu untuk dilakukan dan harus dihindari.

Apabila ada individu yang melakukan hal tersebut biasanya masyarakat hukuman-

hukuman sosial berupa pemberian cap wong nakalan atau orang jahat hingga

pengeluaran individu dari kelompok masyarakat.

Djisman Samosir dalam bukunya yang berjudul Sekelumit Tentang

Penologi dan Pemasyarakatan menjelaskan pandangan beberapa tokoh mengenai

pandangan masyarakat terhadap identitas narapidana, serta pandangan tokoh


11

terhadap kejahatan pada masa kini. Pandangan dari tokoh pertama yang ia

jelaskan adalah Romli Atmasasmita, dimana Romli mengatakan bahwa,

Masyarakat selalu memiliki pandangan yang negatif terhadap pelaku


kejahatan, sehingga kenyataan yang muncul adalah bahwa pelaku
kejahatan berubah menjadi korban kejahatan itu sendiri. Dimana akibat
tindak kejahatannya, masyarakat kini membalas kejahatan dengan
memberikan cap buruk, bukan hanya kepada dirinya, namun juga
kepada keluarganya.

Pandangan kedua adalah pandangan James W. Coleman, ia menjelaskan bahwa

James Coleman memandang kejahatan sebagai suatu fenomena dalam masyarakat

yang tidak akan mati. Kejahatan akan semakin terus berkembang seiring dengan

berkembangnya pembangunan. Hal tersebut dikarenakan perkembangan yang ada

menuntut manusia untuk semakin kompetitif, terutama dalam bidang pemenuhan

kebutuhan hidup. Bagi James Coleman, karena banyaknya tindak kejahatan yang

muncul dewasa ini, masyarakat seharusnya sadar bahwa pelaku kejahatan bukan

harus dihindari melainkan harus dicegah dan ditangani.

Melihat pandangan-pandangan tersebut, Samosir memandang bahwa

kejahatan sudah menjadi masalah sosial yang mendarah daging dan sangat

menghambat pembangunan. Masalah terbesar adalah masyarakat memandang

pelaku kejahatan yang sudah memiliki identitas narapidana baik pada saat sudah

keluar dari penjara tetap sebagai individu yang jahat, bukan individu yang

mengalami perubahan. Dalam bukunya, ia mengkritisi bahwa masyarakat

seharusnya tidak melakukan tindakan pemberian cap tersebut. Ia menjelaskan

bahwa seharusnya masyarakat sadar jika narapidana merupakan bagian dari

masyarakat, dan berkaca pada diri sendiri. Samosir menggunakan pandangan J.E.

Sahetapy yang mengatakan bahwa,


12

Sebelum masyarakat melakukan tindakan cap, sebaiknya masyarakat


berkaca pada diri sendiri, adakah masyarakat yang belum pernah
melakukan kejahatan sekecil apapun?

Dalam bukunya, Samosir juga menjelaskan bahwa masyarakat harusnya

membantu pemerintah untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana, bukan

memberikan perlakuan cap buruk terhadap narapidana dan keluarganya.

Jimly Asshiddiqie, Ketua Mahkamah Konsitusi pertama di Indonesia,

dalam bukunya yang berjudul Peradilan Etik dan Etika Konstitusi membahas

tentang permasalahan pembangunan yang dialami oleh dunia pemasyarakatan di

Indonesia. Permasalahan tersebut adalah kondisi penjara sebagai wahana

resosialisasi narapidana mengalami kondisi yang over capacity akibat dari

banyaknya narapidana yang masuk serta masuk kembali dan tidak seimbang

dengan narapidana yang keluar dari penjara. Kondisi over capacity dipandang

oleh pemerintah sebagai dampak dari gagalnya program pembinaan narapidana

dari dalam penjara. Pembinaan tersebut dikatakan gagal karena sarana dan

prasarana lembaga pemasyarakatan penjara yang terbatas, menyebabkan

narapidana tidak mendapat resosialisasi yang maksimal dengan hanya mendapat

gambaran akan kehidupan secara garis besar yang akan didapat ketika keluar

penjara.

Gambaran yang biasanya diberikan oleh penjara biasanya berisikan

penerimaan yang akan dilakukan oleh masyarakat terhadap diri narapidana,

perolehan lapangan kerja, dan kehidupan yang lebih baik lagi. Namun, salah satu

penyebab masalah over capacity adalah narapidana yang mengalami kebingungan

saat bertemu kembali dengan masyarakat, karena perbedaan antara gambaran


13

dalam pembinaan dengan kenyataan yang diterima (Asshiddiqie, 2014:37). Hal

tersebut menyebabkan banyak narapidana mengalami tekanan dan memilih

kembali untuk melakukan tindakan kriminal guna bertahan hidup di masyarakat.

Kembalinya narapidana melakukan tindakan kriminal dan masuk kembali ke

dalam penjara, menjadi salah satu penyebab penjara mengalami over capacity.

Dalam survey yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Pemasyarakatan, setidaknya

sebanyak 25 propinsi dari 33 propinsi di Indonesia mengalami over capacity di

setiap penjara yang ada (http://smslap.ditjenpas.go.id dalam Asshiddiqie, 2014).

Anes (2007) dalam studi tugas akhir kuliahnya di jurusan Antropologi

Budaya Universitas Gadjah Mada, mengangkat permasalahan kehidupan

narapidana di dalam penjara. Studi kasusnya berisikan tentang liminalitas yang

dihadapi oleh lima narapidana di LAPAS Wirogunan Yogyakarta. Dalam

tulisannya ia menceritakan bagaimana narapidana masuk dalam penjara dengan

latar belakang kebanyakan karena faktor ekonomi yang berada pada kelas

menengah ke bawah. Di dalam penjara, para narapidana mengalami tahap liminal

(Victor Turner), dimana mereka harus menyesuaikan diri dengan kondisi penjara

yang dituliskan bahwa kebanyakan narapidana merasa hidupnya berubah menjadi

terbatas dalam segala hal. Sayangnya tulisan Anes hanya berkutat pada kehidupan

narapidana didalam penjara, tetapi dalam penjelasannya tentang bagaimana

narapidana memandang kehidupan setelah keluar dari penjara menjadi gambaran

bahwa para narapidana selalu mendapat dan diberikan gambaran dari pembinaan

dalam penjara bahwa kehidupan kedua lebih baik dari kehidupannya yang

pertama.
14

Dalam studi perkembangan pola sistem pembinaan dan pemasyarakatan

yang dilakukan di Indonesia tahun 2014 oleh Y. Ambeg Paramarta selaku

Sekertaris Jenderal Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, saat ini

proses pembinaan dan pemasyarakatan narapidana memiliki konsep yang berbasis

kepada komunitas atau yang disebut dengan Community Based Correction.

Penggunaan konsep tersebut atas dasar:

1. Masalah kelebihan kapasistas over capacity memunculkan anggapan

bahwa pemerintah dipandang tidak mampu memaksimalkan program re-

integrasi, sehingga banyak waktu dan program yang dipandang sia-sia

oleh masyarakat. Melalui konsep ini diharapkan masyarakat dapat ikut

serta membantu sehingga program tidaklah sia-sia.

2. Memanusiakan manusia yang telah disintegrasi dipercaya dapat lebih

efektif jika langsung dilakukan di dalam masyarakat. Hal tersebut menjadi

nilai tambah penggunaan konsep ini karena aspek kemanusiaan menjadi

jelas ketika narapidana dikembalikan ke masyarakat, dimana narapidana

dapat berinteraksi langsung bukan hanya melalui gambaran pembinaan

petugas.

3. Penghematan biaya Pemerintah Pemasyarakatan. Berdasarkan survey yang

dilakukan, program kegiatan pembinaan didalam masyarakat

membutuhkan biaya yang lebih sedikit dibandingkan dengan program

pembinaan di dalam penjara.

4. Administrasi peradilan yang lebih tepat dan transparan. Pemasyarakatan

berbasiskan masyarakat menawarkan dan meningkatkan aktifitasnya pada


15

level lokal dan selanjutnya memberikan banyak kemungkinan-

kemungkinan kooordinasi dan manajemen peradilan yang layak langsung

dari pelaku dan penerima program tersebut.

5. Adanya sanksi pidana pengganti yaitu pembebasan bersyarat. Harapannya

melalui pembebasan bersyarat, pencapaian utama digunakannya konsep ini

yaitu untuk mengatasi over capacity penjara dapat teratasi.

Namun dalam pembahasan tentang konsep Community Based Correction tidak

dijelaskan secara jelas bagaimana konsep tersebut di masyarakat dan siapa pelaku

utama konsep tersebut.

Dari beberapa kajian diatas, masih banyak lagi kajian dan studi yang

membahas tentang narapidana. Namun sejauh pengetahuan dan studi pustaka yang

dilakukan oleh penulis belum ada studi yang membahas tentang cara kerja Balai

Pemasyarakatan dalam kajian ilmu Antropologi terutama dalam memandang

BAPAS sebagai agen pembaru dan lembaga penginisiasi. Melalui ilmu

antropologi, penelitian ini menjelaskan cara kerja BAPAS sebagai sebuah

lembaga penginisiasi yang membentuk tahapan-tahapan agar narapidana mampu

masuk dalam rangakaian pencapaian ritus inisiasi dan melalui ritus tersebut. Dari

penjelasan tersebutlah tujuan penelitian ini untuk membahas bagaimana kebijakan

yang dibuat oleh pemerintah berjalan dalam masyarakat sosial diharapkan dapat

terjelaskan. Dalam penelitian ini penulis akan mencoba menjawab kekurangan

dari beberapa tulisan tersebut dengan menjelaskan secara jelas tentang bagaimana

sebuah kebijakan pemerintah pemasyarakatan Community Based Correction lewat

faktor pembebasan bersyarat dari pelaku konsep tersebut yaitu BAPAS itu sendiri.
16

Fokus penelitian ini adalah menggambarkan konsep kebijakan tersebut melalui

cara kerja BAPAS sebagai unit pelaksana teknis yang dapat disebut sebagai agen

pembaru sekaligus lembaga penginisiasi yang berupa tahapan-tahapan bentukan

pemerintah untuk melihat bagaimana kerjasama antara pemerintah, narapidana,

dan masyarakat mengatasi sebuah masalah sosial yang terjadi.

1.6 Landasan Teori

Narapidana atau prisoner merupakan istilah yang muncul pada abad ke-

18 menuju abad ke-19, bersamaan dengan munculnya istilah penjara. Pada

perubahan abad tersebut yang lebih dikenal dengan masa reformasi penjara, istilah

penjara muncul sebagai nama baru dari rumah tahanan (Foucault dalam

Hardiyanta, 1997: 122). Nama baru tersebut merupakan transisi bentuk keadilan

hukuman dari hukuman fisik dan langsung kepada individu yang melakukan

tindakan illegal menjadi hukuman yang lebih kemanusiaan dan membentuk moral

yaitu dengan konsep perampasan kebebasan. Individu-individu pelaku tindakan

illegal tersebutlah yang dinamakan sebagai prisoner atau yang nantinya dalam

perkembangan pemasyarakatan di Indonesia disebut sebagai narapidana. Tokoh-

tokoh reformasi yang memunculkan istilah tersebut antara lain Chaptal (1801),

Decazes (1819), Villerme (1820), hingga Blouet (1835), dimana seluruhnya

menegaskan bahwa seluruh bentuk hukuman tersebut berubah menjadi hukuman

pemenjaraan dengan teknis hukuman berbentu koreksi (Foucault dalam

Hardiyanta, 1997).
17

Dalam perkembangan pembangunan pemerintahan yang ada di

Indonesia, kelompok narapidana termasuk dalam sektor perhatian pemerintah

yang sangat penting. Warga binaan pemasyarakatan atau narapidana memiliki

pengertian sebagai seseorang yang dipidana berdasarkan keputusan pengadilan

karena tindakan melanggar hukum dan akan menjalani pidana dengan pola

pemidanaan berupa pembinaan yang berisikan penghilangan kemerdekaan dan

pemunculan koreksi moral di dalam lembaga pemasyarakatan (UU no.12 tahun

1995 tentang Pemasyarakatan dalam Samosir, 2012: 170).

Michael Foucault dalam pandangannya tentang Displine and Punishment

yang telah disandur oleh Hardiyanta, penjara merupakan bentuk hukuman baru

supaya dapat menundukkan individu-individu agar taat dan berguna. Dalam

pandangannya, penjara berhak untuk merampas kebebasan yang dimiliki oleh

orang yang ditaruh didalam penjara, penjara juga berhak meminta orang tersebut

membayar hutang-hutang atau uang yang dirampasnya, yang pada tujuannya

merupakan sebuah teknik koreksi, dan untuk menghindari terjadi pemberontakan

balas dendam terutama dalam kontak fisik kepada tahanan (hal. 124). Pandangan

penjara sebagai lembaga lengkap dan keras menurut Foucault bukanlah lembaga

yang cukup dapat menentukan bagaimana mekanisme yang diatur dapat

memberikan efek jera. Istilah kepulauan pemenjaraanlah yang dipilih Foucault,

dimana masyarakat yang digambarkan sebagai kota hukuman yang sebenarnya

menentukan bagaimana seseorang sudah mendapatkan efek jera (hal. 156). Kota

hukuman merupakan bentuk baru dari pandangan hukuman representatif

(hukuman masyarakat langsung kepada individu pelaku kriminal), dimana di Kota


18

Hukuman bukan lagi penguasa pusat yang menentukan keberhasilan efek jera,

namun sistem masyarakatlah yang menentukan (hal. 157).

Di Indonesia, permasalahan yang muncul adalah sebuah ketimpangan

pelaksanaan kebijakan pemerintah kepada narapidana, dan masyarakat.

Pemerintah melalui lembaga pemasyarakatan, penjara, menyadari

ketidakmampuan narapidana untuk berintegrasi dengan masyarakat sehingga

membutuhkan pembinaan, namun pemerintah terlambat untuk memahami bahwa

yang seharusnya membina adalah masyarakat dengan narapidana tidak dibatasi

ruang gerak secara terus-menerus di dalam penjara. Kenyataannya pembinaan

narapidana adalah dengan sistem koreksi dan menggambarkan kehidupan depan

yang selalu indah setelah keluar dari penjara, namun realita yang diterima oleh

narapidana sering bertolak belakang dengan penggambaran tersebut. Kebanyakan

masyarakat menolak narapidana kembali ke masyarakat. Oleh sebab itu kebijakan

pembentukan lembaga pemasyarakatan penjara saja dianggap tidak cukup

menyelesaikan masalah, namun malah menimbulkan masalah yang menjadi tanda

jelas kegagalan kebijakan pemerintah dalam usaha resosialisasi narapidana,

sehingga akhirnya pemerintah membentuk lembaga pemasyarakatan lainnya yaitu

Balai Pemasyarakatan (BAPAS).

Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi menjelaskan bahwa ada tiga tahap

perubahan sosial, yaitu pertama tahap invensi dimana ide-ide baru diciptakan dan

dikembangkan, kemudian tahap kedua adalah difusi yang berisikan proses

mengkomunikasikan ide-ide baru ke dalam sistem sosial, dan tahap ketiga

konsekwensi yakni perubahan-perubahan yang muncul dalam sistem sosial yang


19

terjadi sebagai akibat pengadoptasian atau penolakan inovasi (Rogers dan

Shoemaker dalam Hanafi, 1981: 16). Kegagalan adaptasi yang dialami oleh

narapidana merupakan ketidakseimbangan antara individual dan sistem yang

dimulai dari tahap dua atau pengkomunikasian yang berujung hingga tahap tiga.

Hal tersebut mengakibatkan individu melakukan pemilihan usaha lain agar dapat

menyeimbangi perubahan yang muncul, namun usaha lain tersebut dianggap salah

oleh sistem hukum yang berlaku sehingga muncul identitas narapidana yang dapat

menimbulkan fenomena masyarakat yang tidak bersikap adil melalui cara

penghakiman identitas tersebut. Oleh sebab itu dalam perubahan sosial yang

terjadi perlu agen pembaru dalam kehidupan bermasyarakat. Agen pembaru

adalah orang asing yang memiliki latar belakang anak buah dari lembaga pembaru

yang memiliki cara kerja sebagai tangan yang mengarahkan keputusan dan

inovasi yang diambil dari sistem yang dimiliki oleh klien perubahan sosial

(Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi, 1981:97).

Balai Pemasyarakatan merupakan anak buah dari lembaga pembaru

Direktorat Jendral Pemasyarakatan yang dibentuk dengan tujuan untuk dapat

mengarahkan keputusan dan inovasi yang diambil oleh klien perubahan sosial

yaitu narapidana dan masyarakat. Harapannya narapidana dapat berhasil

beradaptasi kembali dan masyarakat mau diajak untuk mendukung keberhasilan

adaptasi tersebut melalui proses penerimaan. Pada akhirnya dampak dari

kebijakan tersebut dapat menyelesaikan masalah dari kebijakan sebelumnya yaitu

over capacity yang dianggap oleh Pemerintah Pemasyarakatan menjadi sebuah

penghambat pembangunan dari perubahan sosial yang terjadi dapat terselesaikan.


20

Pada kajian ilmu antropologi dikenal istilah ritus dalam kehidupan.

Dalam teori yang dikemukakan oleh Van Gennep, setiap individu dalam

kehidupan pasti mengalami ritus rites de passage, ritus tersebut merupakan

serangkaian peralihan dari satu bagian ke bagian lainnya secara bertahap dan

tertata, seperti kelahiran, kematian, perkawinan. Istilah ritus seringkali

dihubungkan dengan inisiasi, ritus inisiasi dan berbentuk upacara. Ritus inisiasi

sendiri memiliki pengertian ritus permulaan yang harus dijalani individu untuk

masuk ke dalam suatu kelompok, kultur ataupun status sosial (Turner dalam

Winangun, 1990:33). Kegunaan dari ritus inisasi itu sendiri adalah sebagai jalan

seseorang untuk masuk dalam tahap baru kehidupannya di masyarakat. Biasanya

ritus inisiasi dapat dilihat melalui upacara-upacara keagaman atau kepercayaan

berbentuk kegiatan anti-struktur, namun dalam penelitian ini teori tersebut dapat

dilihat pada sebuah struktur kebijakan pemerintah untuk narapidana. Kelompok

narapidana sebagai anggota masyarakat secara individu juga mengalami ritus

inisiasi tersebut, perbedaannya adalah ritus inisiasi narapidana bukan berupa

upacara yang sakral, melainkan sebuah rangkaian tahapan yang profan yang

dibentuk oleh kebijakan pemerintah melalui Balai Pemasyarakatan (BAPAS).

Ritus inisasi tersebut disebut dalam penelitian ini sebagai ritus reintegrasi. Ritus

reintegrasi merupakan ritus peralihan untuk kelompok narapidana masuk kembali

ke kelompok masyarakat. Atau dengan kata lain ritus reintegrasi adalah kebijakan

pemerintah mengintegrasikan kembali narapidana ke masyarakat.

Dalam penelitian ini kelompok narapidana merupakan kelompok

masyarakat devian, atau masyarakat yang melakukan penyimpangan dari main


21

stream yang berlaku di masyarakat, yaitu norma dan hukum. Tahap kehidupan

individu yang sudah memiliki identitas narapidana dapat dikatakan berada tahap

liminal (Turner, 1990) karena berbeda dengan tahap kehidupan masyarakat

lainnya. Tahap liminal atau liminalitas adalah tahap seseorang berada dikondisi

ambang, tidak di sana dan tidak di sini, tidak di luar dan tidak di dalam. Tahap

tersebut dibuktikan dengan kebingungan yang dialami oleh narapidana untuk

memposisikan diri dalam perubahan yang terjadi di masyarakat. Tahap tersebut

tidak hanya berada pada kehidupan sebelum di penjara, kehidupan di dalam

penjara, tetapi juga kehidupan setelah keluar dari penjara. Permasalahan terbesar

adalah ketika narapidana berada pada masa transisi untuk mencapai ritus

reintegrasi yaitu kehidupan saat keluar dari penjara dan kembali ke masyarakat.

Dalam masa transisi tersebut sering kali narapidana dihadapkan dengan

kebingungan-kebingungan untuk menemukan bagaimana cara masuk dan diterima

dalam masyarakat. Kebingungan tersebut merupakan ketidak mampuan

narapidana secara individu untuk melalui ritus reintegrasi tersebut karena ketidak

jelasan untuk memposisikan diri dalam masyarakat. Hasil akhir dari kebingungan

adalah narapidana tidak dapat melalui ritus tersebut dan mengulang kembali

tindak pidananya. Hal tersebut menjadi sebuah batu sandungan bagi apa yang

dilakukan oleh pemerintah melalui kebijakannya karena usaha pembinaan dapat

dipandang gagal oleh narapidana masyarakat. Oleh sebab itu dalam mengkaji

permasalahan keberhasilan narapidana melalui ritus reintegrasi sangat

berhubungan dengan apa yang diperbuat oleh pemerintah. Maka dari itu dalam

penelitian ini untuk melihat bagaimana narapidana menghadapi ritus reintegrasi


22

melalui BAPAS sebagai lembaga penginisiasi membutuhkan pandangan dari

kajian ilmu lain selain ilmu antropologi, karena peran BAPAS secara terstruktur

merupakan lembaga pemasyarakatan yang secara terstruktur dibentuk untuk

melakukan tahapan-tahapan guna membantu narapidana mencapai ritus

reintegrasi tersebut.

Satu kajian ilmu yang dapat membantu menjelaskan peran BAPAS

sebagai agen pembaru dan lembaga penginisiasi adalah kajian ilmu penologi dari

ilmu kriminologi. Ilmu penologi secara sederhananya merupakan ilmu yang

mempelajari tentang pidana dan konsekuensinya dari tindak kejahatan. Ilmu

penologi memiliki cakupan pandangan untuk melihat bagaimana perkembangan

pidana mulai dari masa lalu hingga melihat masa depan dari sisi warganegara

yang hidup di bawah hukum konstitusi. Penologi lebih fokus kepada bagaimana

melihat keputusan negara yang berdasarkan pada rencana atau program-program

untuk mengubah perilaku penjahat ke arah perkembangan individu yang lebih

baik dari sektor mental, pendidikan, ekonomi, dan unsur kehidupan lainnya,

dengan melihat bagaimana masyarakat memandang pengaruhnya terhadap nilai

yang ada, tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan kehidupan yang layak

bagi para narapidana (Thomas, 1987). Pada saat ini ilmu penologi digunakan

sebagai dasar untuk melihat perkembangan dunia pemasyarakatan yang ada di

Indonesia terutama permasalah kapasitas penghuni penjara over capacity

(Samosir, 2012).

Melalui pandangan antropologi dan penologi, dapat ditarik suatu

pengertian bahwa BAPAS sebagai lembaga penginisasi merupakan bentuk


23

realisasi dari rencana kebijakan negara memiliki kerja untuk mengeluarkan

narapidana dari tahap liminal masa lalu dan masa penjaranya untuk menuju masa

depan yang layak. Cara kerja BAPAS dengan melakukan pembinaan luar (luar

bangunan penjara) terhadap narapidana adalah melalui program mengintegrasikan

kembali narapidana yang sudah disintegrasi dalam masyarakat. Tujuan akhir

program tersebutlah yang dapat disebut sebagai ritus reintegrasi. Ritus reintegrasi

yang akan dilalui oleh narapidana merupakan rangkaian tahapan pembimbingan

dari cara kerja BAPAS yang berisikan proses adaptasi sosial narapidana kembali

ke masyarakat.

Adaptasi Sosial sendiri seperti yang dijelaskan oleh Pasurdi Suparlan

adalah suatu proses yang dilakukan manusia untuk mengatasi masalah yang ada

dalam lingkungan sosial, budaya, ekonomi, dan alam dalam rangka memenuhi

syarat-syarat dasar guna kelangsungan hidup (Suparlan dalam Geriya, 1982:74-75

dalam Edeltrudis, 1998: 12). Selain Pasurdi, Talcott Parson memandang adaptasi

sebagai sebuah cara pelaku kehidupan sosial untuk menyesuaikan diri dengan

situasi dan tempat mereka berinteraksi (Talcott Parsons, 1963: 35). Masyarakat

sebagai manusia adalah makhluk sosial yang memiliki ruang beradaptasi yaitu

lingkungan sosial. Lingkungan sosial adalah lingkungan dari individu-individu

yang membentuk kelompok yang memiliki sebuah sistem, tatanan, norma dan

nilai yang berlaku dalam lingkungan tersebut. Maka dari itu pengertian adaptasi

dari individu sebagai anggota masyarakat adalah sebagai proses penyesuaian yang

dilakukan oleh manusia sebagai individu kepada masyarakat dan lingkungan

sosial agar dapat melakukan kegiatan sosial untuk memenuhi kebutuhan-


24

kebutuhan dari sebuah sistem agar dapat berjuang hidup supaya berhasil dalam

proses penyisihan kehidupan sosial dan menemukan diri menjadi seorang

pribadi yang diakui oleh masyarakat (Erikson, 1989:182).

Dari penjelasan adaptasi itulah cara kerja BAPAS dapat digambarkan

berupa tahapan-tahapan proses pembimbingan narapidana kembali ke masyarakat.

Tahapan tersebut terdiri atas tiga tahapan dimana masing-masing tahapan

merupakan satu program kerja pembimbingan.

Tahapan Nama Program Pelaku Utama Sasaran


Awal Penelitian Pegawai Balai Narapidana,
Kemasyarakatan Pemasyarakatan Keluarga
Narapidana,
Korban dan
keluarganya,Masy
arakat, Aparatur
Masyarakat,
Lingkungan Sosial
Lanjutan Pembimbingan Narapidana BAPAS,
Luar dalam Masa sebagai Klien Keluarga,
Pembebasan BAPAS Masyarakat, dan
Bersyarat lingkungan sosial
Akhir Pembebasan Pegawai BAPAS Dirjen
Murni dan Klien Pemasyarakatan,
Masyarakat, dan
Lingkungan Sosial
Tabel 1. Tahapan-tahapan Proses Adaptasi Sosial Narapidana Kembali Ke Masyarakat melalui
BAPAS

Sekertaris Jenderal Pemasyarakatan Indonesia (tahun 2014), Ambeg

Paramarta mengatakan bahwa sesungguhnya tahapan-tahapan tersebut merupakan

proses pendidikan bagi seluruh pihak pemasyarakatan. Pendidikan bagi

pemerintah pemasyarakatan untuk belajar bahwa dewasa ini pola pembinaan

narapidana lebih baik berorientasi kepada pembinaan di tengah-tengah masyarakat

daripada di dalam penjara. Pendidikan bagi narapidana dimana sebagai individu


25

harus mau belajar berusaha berubah dan memanfaatkan kesempatan yang

diberikan oleh pemerintah dengan sebaik-baiknya untuk berusaha kembali

masyarakat. Pada akhirnya dari tahapan tersebut diharapkan masyarakat dapat

belajar untuk mau dan harus memberikan kesempatan kepada narapidana untuk

kembali hidup di masyarakat dengan hidup patuh hukum.

Mansour Fakih (2014) melalui pandangan pendidikan postmodernisme

mengatakan tentang pandangan ideologi yang harus dibentuk dalam masyarakat

Indonesia adalah pandangan ideologi normalisme. Pandangan ini sebenarnya

digunakan untuk menunjukan bagaimana sikap masyarakat memandang kaum

difabel (penyandang cacat secara fisik), namun dalam memandang narapidana

pandangan ini dapat digunakan. Narapidana bisa dibilang kaum difabel sosial,

mereka mengalami kecacatan moral dan hukum terhadap perkembangan

perubahan yang terjadi di kehidupan sosial. Maka dari itu pandangan normalisme

mengajak masyarakat untuk berlaku dan memperlakukan narapidana bukan

sebagai penyandang cacat, namun sebagai orang normal yang sama dengan

masyarakat. Melalui proses pembelajaran dari pandangan tersebut diharapkan

masyarakat dapat berlaku adil dengan tidak mendiskriminasikan narapidana

sebagai sebuah identitas buruk atau kaum buangan sampah masyarakat.

Harapannya dengan sikap masyarakat yang demikian, narapidana dapat berhasil

beradaptasi kembali sehingga masalah dari kebijakan pemerintah sebelumnya

yaitu masalah over capacity yang dianggap oleh Pemerintah Pemasyarakatan

menjadi sebuah penghambat pembangunan dari perubahan sosial yang terjadi


26

dapat teratasi oleh kebijakan pembentukan BAPAS yang berisikan pembelajaran

proses pembimbingan narapidana berbasis masyarakat.

1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Balai Pemasyarakatan Kelas I Yogyakarta

(selanjutnya ditulis BAPAS Yogya) yang terletak di Jalan Trikora nomor 1

Yogyakarta. Pemilihan lokasi penelitian di BAPAS Yogya atas dasar

pertimbangan:

1. BAPAS Yogya merupakan satu-satunya BAPAS Kelas I yang ada di

Yogyakarta dan bernaung langsung di bawah Kantor Wilayah Kementrian

Hukum dan HAM Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. BAPAS Yogya merupakan satu-satunya unit pelaksana teknis yang

bertugas memberikan pembinaan di luar penjara untuk para narapidana

yang akan beradaptasi kembali di wilayah Kota Yogyakarta, Kabupaten

Kulon Progo, dan Kabupaten Sleman.

3. Pada ukuran survey yang dilakukan oleh Direktorat Jendral

Pemasyarakatan awal tahun 2014, rangking BAPAS Yogya sebagai

BAPAS Kelas I mengalami rangking yang lebih rendah dibandingkan

dengan BAPAS Kelas II Wonosari, sehingga BAPAS Yogya masih

memerlukan banyak evaluasi untuk memperbaiki kinerja dan kualitas

sebagai sebuah lembaga pemasyarakatan di pusat Kota Yogyakarta.


27

1.7.2 Pemilihan Informan Inti dan Informan Pendukung

Fokus latar belakang pidana dari informan inti dalam penelitian ini

adalah pidana kasus pencurian dan kasus asusila. Alasan pemilihan dua pidana

tersebut karena yang pertama kasus asusila memiliki presentasi kasus tertinggi

dari empat kasus besar (lainnya: narkotika, korupsi, pencurian, dan penipuan)

yang ditangani oleh BAPAS Yogya, yaitu sebesar 45%. Yang kedua kasus

pencurian, dengan latar belakang karena permasalahan ekonomi dan keterbatasan

lapangan pekerjaan masih menjadi permasalahan utama kesejahteraan masyarakat

terutama dalam pemenuhan kebutuhan hidup yang menyebabkan tingginya kasus

angka pencurian yang ditangani BAPAS Yogya, yaitu sebanyak 20%. Maka dari

itu sebanyak enam responden yang dipilih merupakan pelaku tindak pidana

asusila dan pencurian.

Dalam analisis data nantinya, enam informan inti tersebut dibagi menjadi

tiga kelompok sesuai dengan tiga hasil penelitian kemasyarakatan (litmas) dari

cara kerja BAPAS Yogya. Tiga hasil tersebut yaitu hasil litmas positif, hasil

litmas negatif, dan hasil gagal bimbingan. Masing-masing kelompok berisikan

dua responden dengan latar belakang kasus yang berbeda. Harapannya selain

untuk memudahkan penyusunan penelitian, pengelompokan tersebut juga dapat

memudahkan penjelasan tentang ukuran hasil akhir dari cara kerja BAPAS

Yogya.

Selain informan inti, dalam penelitian ini juga ditentukan beberapa

informan yang mendukung dan berhubungan dengan pertanyaan penelitian.

Kelompok informan yang dipilih pertama adalah pegawai BAPAS Yogya. Para
28

pegawai adalah pelaku utama dalam proses adaptasi kembali narapidana ke

masyarakat, dari awal hingga akhir narapidana memperoleh status hasil penelitian.

Para pegawai inilah yang menjadi penghubung antara pihak pemerintah dengan

narapidana, pemerintah dengan masyarakat, dan narapidana dengan masyarakat,

sehingga kelompok informan pegawai memiliki informasi yang sangat penting

dalam penelitian ini. Kelompok informan kedua adalah pihak-pihak yang

berkaitan dengan kehidupan yang akan dihadapi dan dihadapi oleh narapidana

setelah keluar dari penjara, seperti keluarga, pihak korban, masyarakat, perangkat

masyarakat (rukun warga, rukun tetangga, kecamatan/ kelurahan), dan aparat

pemerintah lainnya (polisi dan penjara). Kelompok informan terakhir adalah

beberapa narapidana yang merupakan klien BAPAS Yogya yang tidak termasuk

dalam responden. Klien-klien BAPAS tersebut dijadikan informan guna melihat

bagaimana pengalaman proses adaptasi yang dapat menjadi data pendukung hasil

penelitian ini. Pada akhirnya informan-informan tersebut dipilih atas dasar

informan memiliki pengetahuan yang mendalam tentang obyek tema penelitian

yaitu evaluasi kebijakan pemerintah pemasyarakatan dalam proses

mengintegrasikan kembali narapidana ke masyarakat melalui BAPAS.

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober 2013 hingga September

2014. Penelitian ini dilaksanakan selama hampir satu tahun dengan tujuan untuk

melihat bagaimana jalannya program kerja BAPAS Yogya dari awal hingga akhir.

Tujuannya agar gambaran akan perkembangan yang terjadi, dan masalah yang
29

ditemui selama jalannya program kerja BAPAS kepada narapidana dapat dilihat

hingga narapidana benar-benar mampu diintegrasikan ke masyarakat. Selama

masa penelitian ini dilaksanakan, keberadaan responden dan informan tidak

mengalami hambatan yang cukup sulit dalam pengumpulan data. Hal tersebut

dikarenakan selama satu tahun jadwal pertemuan dan pembimbingan telah diatur

dalam program kerja BAPAS secara baku atas persetujuan pertemuan dan

kunjungan dari masing-masing pihak.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kualitatif dengan hasil penelitian berupa deskripsi data kualitatif. Perolehan data

tersebut menggunakan metode observasi dan partisipasi dengan beberapa tahapan,

yaitu:

1. Pertama peneliti menganalisa fenomena permasalahan yang terjadi di

masyarakat berhubungan dengan tema penelitian, yaitu dunia

pemasyarakatan.

2. Peneliti mencari lokasi dan obyek penelitian yang dipandang menarik dan

sesuai dengan tema penelitian.

3. Peneliti ikut ambil bagian dalam kerja BAPAS Yogya, terutama dalam

proses pembimbingan narapidana dari awal hingga akhir dengan status

peneliti sebagai pendamping peneliti dan pembimbing kemasyarakatan

BAPAS Yogya.

4. Peneliti melakukan wawancara kepada responden dan informan melalui

proses penelitian kemasyarakatan (litmas), pembimbingan

kemasyarakatan, dan program sosialisasi-sosialisasi di BAPAS Yogya.


30

5. Peneliti ikut serta dalam proses pengarsipan data-data narapidana dan

menggunakan arsip-arsip tersebut sebagai data pendukung tambahan

riwayat responden.

6. Peneliti membantu pembuatan laporan pertanggungjawaban pegawai

terhadap narapidana dan ikut serta hadir dalam sidang Tim Pengamat

Pemasyarakatan dalam pengambilan dan penentuan hasil akhir kerja

BAPAS Yogya.

Selain ke-enam tahapan diatas, untuk menyusun hasil penelitian ini

digunakan juga metode studi pustaka dan dokumentasi dengan tujuan untuk

mendukung dan menyempurnakan data kualitatif ke dalam bentuk yang lebih

mudah dibaca dan dimengerti. Melalui cara pengumpulan data yang demikian

diharapkan analisis data penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang usaha

adaptasi kembali secara jelas. Pada akhirnya cara pengumpulan data diharapkan

dapat mencapai tujuan dan manfaat dari penelitian ini.

1.8 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan hasil penelitian ini berupa deskripsi analisis data

kualitatif yang merupakan gambaran tahapan-tahapan proses adaptasi sosial

narapidana kembali ke masyarakat melalui lembaga pemasyarakatan. Pada bab

satu, penelitian ini membahas tentang latar belakang yang mendasari diadakannya

penelitian ini. Bab ini berisikan bagaimana penelitian ini berangkat melalui

asusmsi dasar dan kerangka teori yang sudah diperoleh terlebih dahulu melalui
31

studi lapangan dan studi pustaka pertama. Serta pada bab ini dijelaskan bagaimana

pemilihan metode penelitian untuk memperoleh data penelitian ini.

Memasuki bab dua, penelitian ini kemudian membahas tentang data yang

diperoleh dari lapangan mengenai Balai Pemasyarakatan Kelas I Yogyakarta

(BAPAS Yogya). Bab dua diawali dengan latar belakang terbentuknya BAPAS,

gambaran umum BAPAS Yogya, dan struktur organisasi kerja BAPAS Yogya.

Kemudian pada bab dua dijelaskan melalui beberapa point berupa tahapan tentang

bagaimana cara kerja BAPAS Yogya dan program-program yang ada di BAPAS

Yogya. Sebagai akhir dari bab dua adalah pembahasan tentang bagaimana

pandangan pegawai BAPAS Yogya sebagai pelaku utama program kerja dan

adaptasi narapidana kembali ke masyarakat.

Bab tiga dalam penulisan penelitian ini berisikan gambaran dari hasil

analisis data enam orang responden penelitian ini. Hasil analisis data tersebut

berupa kisah perjalanan proses adaptasi dari masing-masing responden yang

dikelompokkan dalam tiga hasil penelitian dari kerja BAPAS Yogya. Dalam

penjelasan dari masing-masing responden berisikan riwayat pidana, latar belakang

keluarga responden, tapi yang paling utama adalah pandangan responden,

masyarakat, keluarga, korban, dan BAPAS Yogya tentang proses adaptasi

kembali yang akan dan dilakukan oleh responden.

Dua bab terakhir yaitu bab empat dan bab lima lebih kepada menganalisis

penggambaran yang sudah ada pada bab dua dan bab tiga. Pada bab empat

penggambaran pada bab dua dan bab tiga kemudian dirangkum dalam tiga point

tahapan besar dengan menggunakan kerangka teori yang menjadi dasar penelitian
32

ini. Selain itu pada bab empat seluruh jawaban atas pertanyaan penelitian

dijelaskan dalam tiga point tahapan besar tersebut. Tahapan besar tersebut

merupakan tahapan proses adaptasi kembali narapidana ke masyarakat untuk

dapat melalui ritus reintegrasi. Tahap pertama merupakan tahap dari BAPAS

Yogya sendiri, tahap kedua adalah tahap dari narapidana, dan tahap terakhir

adalah tahap dari masyarakat. Akhirnya kesimpulan dari tahapan-tahapan tersebut

yang merupakan jawaban atas seluruh pertanyaan dan pernyataan dalam

penelitian ini dirangkum dalam bab lima. Kesimpulan tersebut berupa evaluasi,

konklusi, serta saran yang diharapkan dapat digunakan sebaga jalan pencapaian

manfaat dari penelitian ini kepada para sasarannya, yaitu narapidana, masyarakat,

dan pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai